Anda di halaman 1dari 2

Kami Sebut Mereka Oknum

‘mulutmu adalah harimau-mu’. Mungkin, pribahasa tersebut sudah tidak relevan lagi pada era digital
saat ini. Yang dimana, jari dapat lebih menyakitkan hati orang lain jika tidak dijaga, dengan melakukan
ujaran kebencian di dunia maya.

Kemajuan IPTEK tentunya telah memberikan sumbangan positif bagi kita. Namun, dampak negative dari
perkambangan ini juga sangat terlihat dan dapat kita rasakan di kehidupan sehari-hari. Ujaran kebencian
(hate speech) mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita, bahkan informasi-informasi yang kita peroleh
sehari-hari, bisa saja berisi hal-hal yang berbau provokasi, cuitan kebencian dan juga hasutan. Ujaran
kebencian dapat dilakukan oleh individu maupun organisasi dalam berbagai aspek seperti ras, gender,
warna kulit, agama, dan lain-lain. Ujaran kebencian ini dapat kita jumpai di berbagai platform media
sosial seperti tik-tok, twitter, dan facebook. Pernah beberapa kali saya menemukan cuitan kebencian,
provokasi, dan hasutan kepada salah satu institusi penegak hukum dan membandingkannya dengan
institusi lainnya di salah satu media sosial. Tidak jarang juga saya menemukan cuitan-cuitan yang berbau
provokasi dalam aspek agama dengan menjelek-jelek an agama tersebut. Ada beberapa orang yang
sadar bahwa cuitan tersebut adalah salah satu ujaran kebencian yang disengaja dilakukan dengan tujuan
tertentu namun, tidak sedikit pula orang-orang yang terhasut oleh kata-kata dari akun oknum tersebut.
Tentu hal ini sangat terlihat miris, dimana para oknum-oknum tersebut sangat ingin melihat adanya
kebencian dan memecah belah persatuan.

Ujaran kebencian (hate speech) termasuk tindakan pelanggaran hukum yang dimana oknum pelaku
yang melakukan ujaran kebencian tersebut dapat dijerat dengan pasal dan ayat dalam perangkat hukum
yang berlaku di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa di muka umum menyatakan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat
Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah” (KUHP, Pasal 156).

Kasus ujaran kebencian (hate speech) juga pernah terjadi pada mahasiswa. Factor seorang mahasiswa
melakukan ujaran kebencian adalah karena dalam menyampaikan pendapat-penadapatnya di dalam
media sosial, mereka merasakan ketidakadilan. Dalam menyampaikan kritiasannya tersebut secara
berlebihan dan tidak berhati-hati inilah yang kemudian dapat menyinggung perasaan lawannnya.
Contohnya saja pada kasus teks ujaran kebencian (hate speech) aksi demonstrasi mahasiswa yang
menolak RUU KUHP pada September 2019 lalu. Aksi dari mahasiswa tersebut terjadi karena mahasiswa
isi dari revisi UU KUHP tersebut tidak masuk akal. Ketika aksi penolakan RUU KUHP dari para mahasiswa
berlangsung pada saat itu, muncul oknum-oknum yang mengatasnamakan mahasiswa dan
memperkeruh keadaan dengan menyebarluaskan teks ujaran kebencian (hate speech). Padahal pada
saat itu para mahasiswa hanya ingin menyampaikan kritisannya terhadap kebijakan pemerintah tersebut
secara demokratis. Namun sayangnya, aksi tersebut tercoreng oleh perbuatan oknum yang tidak
bertanggung jawab.

Selain ujaran kebencian (hate speech) ada juga yang disebut dengan Bahasa kasar (abusive language).
Salah satu media sosial yang paling banyak terdapat bahasa kasar dan ujaran kebencian adalah Twitter.
Bahasa kasar ini seolah di normalisasikan, dan dianggap hal yang sudah biasa. Seperti kalimat yang saya
ambil dari salah satu akun Twitter mengatakan “Anjing! Kocak banget lu bangsat :D”

Anda mungkin juga menyukai