Anda di halaman 1dari 40

ASKEP GANGGUAN GANGGUAN MUSKULOSKELETAL:

SPONDYLITIS TB

Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Nilai Tugas Kelompok

Pada Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing:
Ns. Warsono., M.Kep, Sp. Kep. MB

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2

G2A221024 Andria Wahyuningsih


G2A221025 Nurasih
G2A221026 Siti Fatimah Fajar Wulandari
G2A221027 Kiki Suci Handayani

PROGRAM STUDI SARJANA LINTAS JALUR (S1) KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2021/2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.......................................................................................3
C. Manfaat Penulisan.....................................................................................3

BAB II ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengertian................................................................................................. 4
B. Etiologi/ Predisposisi................................................................................ 5
C. Patofisiologi ............................................................................................. 6
D. Manifestasi Klinik.................................................................................. 10
E. Penatalaksanaan...................................................................................... 11
F. Pengkajian............................................................................................... 12
G. Demografi........................................................................................................ 16
H. Riwayat Kesehatan................................................................................. 17
I. Data Fokus Terkait Perubahan Pola Fungsi Dan Pemeriksaan Fisik...... 18
J. Pemeriksaan penunjang............................................................................19
K. Pathways Keperawatan........................................................................... 21
L. Analisa Data ........................................................................................... 22
M. Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 23
N. Fokus Intervensi dan Rasional................................................................23

BAB III TELAAH ARTIKEL RISET


A. Judul Penelitian...................................................................................... 26
B. Peneliti....................................................................................................26
C. Latar Belakang........................................................................................26

i
D. Review Penelitian...................................................................................27
E. Hasil Penelitian dan Analisis.................................................................. 28
F. Kemungkinan Diterapkan Di Klinik ......................................................29

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan....................................................................................................... 36
B. Saran................................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per

tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga

setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang

pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000

orang pertahun.1,3 Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap

tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang belakang

yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang

mengenai tulang dan sendi.1,4 Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi

pada 25%-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada

5%-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun,

namun dapat juga 2-3 tahun kemudian(Paramarta et al., 2016).

Spondilitis TB adalah penyakit radang granulomatosa pada tulang

belakang yang bersifat kronik yang disebabkan bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Sebanyak 50 % penderita spondilitis TB mempunyai lesi di

tulang belakang dan 10-45% diantaranya mengalami defisit neurologis

(Rahyussalim, 2018).

Sejak obat anti tuberkulosis dikembangkan dan peningkatan kesehatan

masyarakat, tuberkulosis tulang belakang menjadi menurun di daerah negara

1
industri, meskipun tetap menjadi penyebab yang bermakna di negara

berkembang. Gejala yang ditimbulkan antara lain demam, keringat terutama

malam hari, penurunan berat badan dan nafsu makan, terdapat masa di tulang

belakang, kiposis, kadang-kadang berhubungan dengan kelemahan dari

tungkai dan paraplegi. Spondilitis tuberkulosis dapat menjadi sangat

destruktif. Berkembangnya tuberkulosis di tulang belakang berpotensi

meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologi yang permanen dan

deformitas yang berat. Pengobatan medikamentosa atau kombinasi antara

medis dan bedah dapat mengendalikan penyakit spondilitis tuberkulosis pada

beberapa pasien (Paramarta et al., 2016)

Penanganan yang dilakukan pada Spondilitis Tuberculosis berupa

terapi dasar tuberkulosis dengan obat anti tuberkulosis (OAI) dan

medikamentosa lain, konservatif dengan penggunaan ortosis, dan operatif

dengan tindakan debridement, evakuasi pus, serta stabilisasi segmen tulang

belakang bila didapatkan ketidakstabilan tulang belakang (Ulfah, 2012)

Seseorang yang menderita spondylitis akan mengalami kelemahan

bahkan kelumpuhan atau paling kurang mengalami kelemahan tulang, dimana

dampaktersebut akan berpengaruh pada aktivitas klien, baik sebagai individu

maupun masyarakat. Perawat berperan penting dalam mengidentifikasi

masalah-masalah dan mampu mengambil keputusan secara kritis untuk

menangani masalah tersebut serta mampu berkolaborasi dengan tim

kesehatan yang lain untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang

optimal.

2
B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Asuhan

Keperawatan Dengan Spondilitis TB.

C. Manfaat Penulisan

Manfaat dalam penulisan ini diharapkan sebagai tambahan pengetahuan,

wawasan dan sumber literature pada Asuhan Keperawatan Dengan

Spondilitis TB.

3
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengertian

Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi pada tulang belakang yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sejak obat anti

tuberkulosis dikembangkan dan seiring dengan peningkatan kesehatan

masyarakat tuberkulosis tulang belakang menjadi menurun di daerah negara

industri, meskipun tetap menjadi penyebab yang bermakna di negara

berkembang. Gejala yang ditimbulkan antara lain demam, keringat terutama

di malam hari, penurunan berat badan dan nafsu makan, terdapat massa di

tulang belakang, kifosis, kadang-kadang berhubungan dengan kelemahan dari

tungkai, dan paraplegia. Spondilitis TB adalah penyakit radang

granulomatosa pada tulang belakang yang bersifat kronik yang disebabkan

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebanyak 50 % penderita spondilitis TB

mempunyai lesi di tulang belakang dan 10-45% diantaranya mengalami

defisit neurologis. Keterlibatan infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis di

tulang belakang ini akan mempersulit penatalaksanaan dan memperberat

kondisi klinis karena adanya potensi defisit neurologis dan deformitas yang

permanen. Ironisnya, tulang belakang adalah lokasi infeksi tuberkulosis

tulang yang paling sering, yakni sekitar 50% kasus tuberkulosis

osteoartrikular. Apabila infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis ini

mengenai korpus vertebra, maka kerusakan yang terjadi menimbulkan

4
instabilitas tulang belakang dan gangguan struktur di sekitarnya. Pasien dapat

lumpuh akibat kompresi pada medula spinalis. Kelumpuhan yang menetap

(ireversibel) tidak hanya mengganggu dan membebani penderita itu sendiri,

tetapi juga keluarga dan masyarakat. Spondilitis TB dapat berasal dari infeksi

langsung (primer), yaitu bakteri langsung menginfeksi korpus, ataupun

infeksi tidak langsung (sekunder), yaitu bakteri menyebar secara hematogen

atau limfogen dari lokasi infeksi di tempat lain ke korpus tulang belakang.

Kebanyakan spondilitis TB merupakan infeksi sekunder dari paruparu, tetapi

pada beberapa kasus merupakan infeksi primer (Paramarta et al.,2016).

B. Etiologi/ predisposisi

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari

tuberkulosis di tempat lain. Sekitar 90-95% tuberkulosis tulang belakang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 tipe human dan 1/3

tipe bovine) dan 5-10 % sisanya oleh Mycobacterium atipik. Bakteri ini

berbentuk batang, tidak motil, tidak dapat diwarnai dengan cara konvensional

tetapi tahan terhadap pewarnaan asam (metode Ziehl-Neelsen), sehingga

dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). Bakteri ini tumbuh lambat dalam

media diperkaya telur selama 6-8 minggu. Spesies Mycobacterium lainnya,

seperti Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovine, ataupun

Mycobacterium nontuberkulosis juga dapat menjadi etiologi spondilitis TB,

tetapi biasanya banyak ditemukan pada penderita HIV. Kemampuan

Mycobacteriu tuberculosis memproduksi niasin merupakan karakteristik yang

5
dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain (Rahyussalim.,

2018)

C. Patofisiologi

Spondilitis tuberkulosis merupakan infeksi sekunder dari fokus infeksi

primer seperti paru-paru, kelenjar limfe mediastinum, mesenterium, servikal,

ginjal, dan organ dalam lainnya dengan penyebaran sebagian besar secara

hematogen melalui pembuluh darah arteri epifisis atau melalui pleksus vena

batson dari vena paravertebralis. Hasil pencitraan radiologi pada 499

penderita spondilitis tuberkulosis memperlihatkan 31% di antaranya memiliki

fokus primer di paru-paru dan 78% dari kelompok tersebut adalah anak-anak

sementara 69% sisanya memperlihatkan foto rontgen paru normal di mana

sebagian besarnya adalah dewasa. Kerusakan anatomi tulang belakang pada

kasus infeksi tuberkulosis dapat mempengaruhi kerusakan medula spinalis

melalui dua acara, yakni mekanik dan biologis. Pada spondilitis TB, bakteri

biasanya menyangkut di dalam spongiosa tulang (Rahyussalim., 2018)

Proses infeksi dapat melibatkan korpus vertebra atau diskus

intervertebra, di mana lokasi paling sering terjadinya infeksi pada vertebra

terletak pada bagian lower thoracic dan upper lumbar. Infeksi tuberkulosis

dapat menyebar ke tulang belakang dan menyebabkan proliferasi sel radang

dan nekrosis. Akibatnya, korpus vertebra dapat mengalami perubahan

morfologi (gibus) yang dapat merusak medula spinalis secara mekanik dan

mengakibatkan kelumpuhan. Secara biologis, infeksi tuberkulosis dapat

6
menyebar dan menginvasi langsung medulla spinalis melalui ligamentum

posterior (Rahyussalim., 2018)

Kerusakan medula spinalis akibat spondilitis tuberkulosis sejatinya

dapat terjadi melalui kombinasi 4 faktor, yaitu penekanan oleh abses dingin,

iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis, terjadinya end-arteritis

tuberculosis setinggi blokade spinalnya, dan penyempitan kanalis spinalis

akibat angulasi korpus vertebra yang rusak. Abses tuberkulosis banyak

ditemukan pada daerah vertebra torakalis bagian atas dan tengah, dan paling

sering mengenai daerah vertebra torakalis 12 (53%). Paraplegia biasanya

terjadi pada vertebra torakalis 10, sedangkan non-paraplegia umumnya

ditemukan pada vertebra lumbalis. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

arteri induk yang memengaruhi medula spinalis segmen torakal paling sering

terdapat pada vertebra torakal 8 – lumbal 3 sisi kiri. Trombosis pada arteri

yang vital ini dapat menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu

diperhitungkan adalah diameter relatif antara medula spinalis dengan kanalis

vertebralis. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra

torakal 10, sedangkan kanalis vertebralis di daerah tersebut berukuran relatif

kecil. Pada vertebra lumbal 1, kanalis vertebralisnya jelas berukuran lebih

besar. Oleh karena itu, vertebra lumbal lebih memiliki ruang gerak bila ada

kompresi dari bagian anteriornya.

Hal ini menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi

setinggi vertebra torakal 10. Masalah terpenting dalam patogenesis

tuberkulosis adalah karakterisasi virulensi determinan bakteri Mycobacterium

7
tuberculosis, hubungannya dengan pertumbuhan bakteri pada organ yang

terinfeksi, serta adanya respons inflamasi. Pertumbuhan bakteri

Mycobacterium tuberculosis pada tulang akan memunculkan manifestasi

infeksi dan memunculkan respons inflamasi pada inang. Inflamasi yang

diperlukan untuk mengendalikan infeksi nyatanya juga dapat menyebabkan

kerusakan jaringan yang luas. Infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis

akan menyebabkan apoptosis makrofag yang menghasilkan cathepsin D yang

terlibat dalam kerusakan jaringan dan dalam proses pencairan granuloma.

Reaksi pertama pada infeksi tuberkulosis di tulang belakang terjadi

pada sistem RES korpus vertebra berupa penimbunan sel-sel

polimorfonuklear (PMN) yang segera digantikan oleh makrofag dan monosit.

Lipid yang dihasilkan oleh proses fagositosis basil tuberkulosis oleh

makrofag akan dikeluarkan melalui sitoplasma makrofag dan membentuk sel-

sel epiteloid (datia Langhans) dan nekrosis perkijuan yang memberikan

gambaran reaksi spesifik tubuh terhadap infeksi bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Dalam waktu sekitar satu minggu, limfosit akan muncul dan

membentuk cincin yang mengelilingi lesi (Rahyussalim., 2018).

Kumpulan sel-sel epiteloid, sel datia Langhans, dan limfosit ini akan

membentuk suatu nodul yang disebut tuberkel. Yang berkembang lambat,

bersifat osteolisis lokal, dan berada pada tulang subkondral di bagian superior

atau inferior anterior korpus vertebra. Pada minggu kedua mulai terjadi

perkijuan di sentral tuberkel tersebut, dan reaksi eksudatif berupa abses

dingin yang terdiri dari serum, leukosit, jaringan perkijuan, debris tulang dan

8
basil tuberkel yang dapat berpenetrasi dan menyebar ke berbagai arah. Proses

selanjutnya ditandai dengan hiperemia dan osteoporosis berat akibat resorpsi

tulang yang akan mengakibatkan terjadinya destruksi korpus vertebra di

anterior. Proses perkijuan yang terjadi akan menghalangi proses pembentukan

tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang yang terinfeksi relatif

avaskular, sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi progresif

di anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang terinfeksi

dan terbentuklah kifosis atau angulasi posterior tulang belakang. Infeksi

selanjutnya dapat menembus korteks vertebra, menginfeksi jaringan lunak di

sekitarnya dan membentuk abses paravertebral(Rahyussalim., 2018).

Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan

penyebaran langsung di bawah LLA. Apabila abses paravertebra telah

terbentuk, lesi dapat turun mengikuti alur fasia muskulus psoas dan

membentuk abses psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis. Abses

dapat berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medula

spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal.

Selain karena tekanan abses, paraplegia awal dapat pula disebabkan oleh

kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskular atau akibat regangan

terus menerus pada gibus yang disebut paraplegia lanjut. Abses dingin di

daerah torakal dapat menembus rongga pleura sehingga terjadi abses pleura,

atau bahkan ke paru bila ada perlekatan paru(Rahyussalim., 2018).

Di daerah servikal, abses dapat menembus danberkumpul di antara

vertebra dan faring. Pada usia dewasa, diskus intervertebra bersifat avaskular

9
sehingga lebih resisten terhadap infeksi. Adapun infeksi diskus yang terjadi

akan bersifat sekunder. Berbeda dengan anak-anak yang

diskusintervertebralisnya masih bersifat vaskular, infeksi diskus yang terjadi

adalah infeksi primer. Penyempitan diskus intervertebra terjadi akibat

destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami herniasi

ke dalam korpus vertebra yang telah rusak(Rahyussalim., 2018).

D. Manifestasi klinik

Perkembangan tuberkulosis tulang belakang lambat dan

membahayakan. Durasi total penyakit bervariasi dari beberapa bulan hingga

beberapa tahun, dengan durasi penyakit rata-rata mulai dari 4 hingga 11 bulan.

Biasanya, pasien mencari pengobatan hanya ketika ada rasa sakit yang parah,

terlihat adanya kelainan, atau gejala neurologis. Gejala konstitusional hadir

pada sekitar 20-30% kasus tuberkulosis osteoartikular. Gambaran

konstitusional klasik tuberkulosis yang menunjukkan adanya penyakit aktif

adalah malaise, kehilangan berat badan dan nafsu makan, keringat malam,

kenaikan suhu malam, nyeri tubuh umum, dan kelelahan (Garg dan

Somvanshi, 2011).

Mungkin terdapat riwayat infeksi sebelumnya atau kontak baru dengan

tuberkulosis. Dalam kasus lanjutan mungkin ada serangan demam atau

kelesuan dan kehilangan berat badan. Terdapat night cries: sendi, diserang

oleh kejang otot di siang hari, rileks saat tidur dan jaringan yang rusak

teregangkan atau terkompres, menyebabkan sakit hebat tiba-tiba. Atrofi otot

adalah karakteristik yang khas dan penebalan sinovial sering mencolok.

10
Gerakan terbatas ke segala arah. Akibat adanya erosi artikular, sendi menjadi

kaku dan cacat. Biasanya ada sejarah panjang sakit punggung. Dalam

beberapa kasus kelainan bentuk adalah fitur yang dominan. Kadang-kadang

pasien datang dengan abses dingin yang mengarah ke selangkangan, dengan

parestesia dan kelemahan kaki. Rasa sakit mungkin sedikit menipu, sering

tidak lebih dari sakit ketika tulang belakang tersentak. Akibatnya pasien tidak

akan muncul sampai abses yang terlihat (biasanya di selangkangan atau

daerah lumbal ke salah satu sisi garis tengah) atau sampai kolaps

menyebabkan kifosis lokal. Kadang-kadang gejala yang ditampilkan adalah

kelemahan atau kehilangan kepekaan di tungkai bawah (Garg dan Somvanshi,

2011).

E. Penatalaksanaan

World Health Organization (WHO) merekomendasikan 9 bulan

pengobatan di mana 4 obat isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, atau

streptomisin diberikan dalam fase “inisiasi” selama 2 bulan, diikuti oleh

isoniazid dan rifampisin selama 7 bulan dalam fase “lanjutan”. Tindakan

bedah dapat dilakukan pada beberapa situasi seperti kurangnya respons

terhadap kemoterapi atau terjadi kekambuhan, kelemahan yang parah,

dandefisit neurologismenetap atau memburuk bahkan setelah dimulainya

kemoterapi, ketidakstabilan, nyeri hebat, dan deformitas. British Thoracic

Society merekomendasikan 6 bulan perawatan sehari-hari dengan rifampisin

dan isoniazid, ditambah dalam 2 bulan pertama dengan pirazinamid dan

11
etambutol atau streptomisin (rejimen empat obat 6 bulan) (Basalamah et al.,

2020).

Protokol pengobatan standar Spondilitis TB meliputi: isoniazid,

rifampisin, etambutol, dan pirazinamid. Pedoman-pedoman nasional dan

internasional merekomendasikan durasi pengobatan 9-12 bulan, yang dapat

diperpanjang hingga 24 bulan dalam kasus berat.(2) Intervensi bedah awal,

jika operasi diindikasikan, dianjurkan untuk menghindari ketidakstabilan

tulang belakang lebih lanjut dan komplikasi neurologis. Indikasi untuk

intervensi bedah meliputi: defisit neurologis, deformitas tulang belakang,

resisten terhadap terapi medis, abses paravertebral yang besar, dan diagnosis

yang tidak terbatas (Basalamah et al., 2020).

Pada pasien ini indikasinya adalah karena defisit neurologis. Berbagai

teknik pembedahan yang saat ini dipertimbangkan untuk pengobatan

spondylitis TB adalah: 1) debridemen / dekompresi dan fusi anterior, diikuti

oleh fusi posterior simultan atau berurutan dengan instrumentasi; 2) fusi

posterior dengan instrumentasi, diikuti oleh debridemen / dekompresi dan fusi

simultan atau berurutan; 3) dekompresi posterior dan fusi dengan autografts

tulang; dan 4) debridemen / dekompresi dan fusi anterior dengan autografts

tulang.

F. Pengkajian

1. Identitas

Biasanya pasien dengan penyakit spondilitis bisa menyerang laki-

laki maupun wanita. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien

12
mencari pertolongan kesehatan adalah paraparesis, gejala paraplegia,

keluhan gangguan pergerakan tulang belakang dan adanya nyeri tulang

belakang.

Pada kasus ini, didapatkan identitas pasien bernama Nn. A, berjenis

kelamin perempuan, umur 23 tahun, belum menikah dan berstatus sebagai

mahasiswi.

2. Pola Persepsi

Biasanya pasien akan mengalami kesadaran yang sangat rendah.

Terkadang pasien dengan penyakit spondilitis tulang pada awalnya tidak

menyadari benjolan yang muncul di tulang belakang. Pada kasus ini

klien tidak mengalami gangguan pola persepsi.

3. Pola Nutrisi dan Metabolisme

a. Pola Makan

Biasanya pasien tidak mengalami gangguan pada nutrisinya dan

biasanya frekuensi makan pasien normal. Pada kasus ini klien

mengalami nafsu makan menurun, badan terasa lemah, keringat

dingin dan penurunan berat badan.

b. Pola Minum

Biasanya pasien tidak mengalami ganguan pada pola minum. Pada

kasus ini klien tidak mengalami gangguan pola minum

4. Pola Eliminasi

a. BAK

13
Biasanya terkadang pasien mengeluh nyeri pada saat BAK karena

karena klien mengalami pembesaran testis akibat infeksi sekunder. Pada

kasus ini klien tidak mengalami gangguan pola BAK

b. BAB

Biasanya pasien tidak ada mengalami ganguan pada saat BAB.

Pada kasus ini klien tidak mengalami gangguan pola BAB

5. Aktivitas dan Latihan

Biasanya pasien mengalami ganguan pada aktivitas karena dengan

keadaan tulang yang skoliosis dan kifosis. Biasanya aktivitas pasien

lebih banyak duduk karena tidak mampu berdiri terlalu lama. Pasien

juga sering merasa kesemutan pada eksremitas bawah dan peegerakan

tulang belakang sangat terbatas. Pada kasus ini klien mengalami

gangguan aktivitas dan latihan yang diakibatkan karena rasa nyeri

6. Pola Istirahat dan Tidur

Biasanya pasien tidak mengalami ganguan kesulitan tidur namun

pasien tidak mampu tidur dengan telentang sepenuhnya dan punggung

pasien harus di sangga dengan bantal. Pada kasus ini klien mengalami

gangguan pola istirahat dan tidur akibat rasa nyeri yang semakin

meningkat pada malam hari

7. Pola Kognitif dan Persepsi


Biasanya tingkat kesadaran pasien composmentis. Pada kasus ini

klien tidak mengalami gangguan pola kognitif dan persepsi.

14
8. Pola Peran Hubungan
Biasanya pasien memiliki hubungan yang baik. Pada kasus ini klien

tidak mengalami gangguan pola peran dan hubungan

9. Pola Reproduksi
Biasanya pada pasien laki – laki mengalami pembesaran

skrotum/orchitis (infeksi sekunder TB yang metastase hingga ke saluran

reproduksi. Pada kasus ini klien tidak mengalami gangguan pola

reproduksi

10. Pemeriksaan Fisik


a. TTV

Biasanya TTV pasien normal. Pada kasus ini didapatkan TD:

130/70 mmHg, HR: 89 x/I, RR: 24 x/I, SPo2: 96

b. Kepala dan Leher

Biasanya tidak ada masalah pada kepala pasien tetapi pada leher

ada pembesaran kelenjer getah bening. Pada kasus ini tidak

didapatkan masalah pada kepala, leher dan pembesaran getah bening.

c. Dada dan Thoraks

Biasanya tidak ada masalah pada dada dan thoraks pasien. Pada

kasus ini tidak didapatkan masalah pada bagian thorax

d. Jantung

Biasanya tidak ada ganguan pada jantung pasien dan bunyi

15
irama jantung normal. Pada kasus ini tidak didapatkan masalah pada

bagian jantung

e. Abdomen

Bisanya tidak ada gangguan pada abdomen pasien. Pada kasus

ini tidak didapatkan masalah pada bagian abdomen

f. Eksremitas

Biasanya ekstemitas atas dan bawah pasien mengalami kekuatan

otot mulai berkurang. Rentang gerak pada ekstremitas pasien menjadi

terbatas karena adanya masa. Pada kasus ini tidak didapatkan

masalah pada bagian ekstremitas

G. Demografi

Nama : Nn. A

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 23 Tahun

Alamat : Pasar Minggu, Jakarta Selatan

Agama : Islam

Pendidikan : Mahasiswi

Status : Belum Menikah

Tanggal Masuk : 03 Maret 2022

No RM : 000123

Dirawat Menggunakan : JAMKESMAS

16
H. Riwayat kesehatan

a. Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya keluhan yang didapat hampir sama dengan gejala

tuberkulosis pada umumnya yaitu badan lemas, nafsu makan berkurang

dan BB menurun. Biasanya pasien mengatakan kadang merasa sangat

nyeri dibagian tonjolan tersebut saat digerakkan maupun hanya disentuh,

sakit bertambah ketika dibawa berjalan, biasanya pasien merasa nyeri

hampir dirasakan setiap waktu dengan skala 4-6 dan masih bisa ditahan.

Pergerakan tulang belakang sangat terbatas karena terdapat gibbus di

tulang belakang sekitar torakolumbar.

Pada kasus ini klien mengeluh nyeri punggung bagian bawah,

nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat

terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Klien juga mengeluh

nafsu makan menurun, badan terasa lemah, keringat dingin dan

penurunan berat badan.

b. Riwayat Kesehatan Dahulu

Biasanya pasien memiliki keluhan riwayat TB paru dan

penggunaan obat antituberculosis. Adapun pada kasus ini klien pernah

menderita tuberculosis paru 2 tahun yang lalu dan menjalani pengobatan

TB.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga

Biasanya tidak ada penyakit genetik yang berhubungan dengan

17
penyakit spondilitis tuberkulosis namun hal ini akan mempengaruhi

kesehatan pasien apabila klien memiliki anggota keluarga dengan TB

Paru. Namun, pada kasus ini tidak ada keluarga klien yang menderita

penyakit genetik yang berhubungan dengan penyakit spondilitis.

I. Data fokus terkait perubahan pola fungsi dan pemeriksaan fisik

Banyak faktor yang mempengaruhi pemulihan dari paraplegia yang

dihasilkan dari spondilitis TB. Faktor tersebut meliputi kondisi fisik umum

pasien, termasuk status imunologis, usia, status medulla spinalis, tingkat dan

jumlah vertebra yang terlibat. Faktor lain yang mempengaruhi pemulihan

adalah derajat kelainan bentuk tulang belakang (hampir tidak ada pemulihan

bahkan setelah operasi dekompresi radikal pada pasien dengan kyphosis lebih

dari 600), durasi dan tingkat paraplegia, waktu untuk mulai pengobatan, jenis

pengobatan dan sensitivitas obat.

1) Pola aktivitas dan istirahat

Data Subyektif: Pasien mengeluh nyeri pinggang bagian bawah pada

malam hari dan saat tulang punggung bergerak sehingga pasien sulit tidur

dan bergerak.

Data Objektif: Pasien tampak lemah, Keringat dingin, Nadi.

2) Pola Nutrisi

Data Subyektif: tidak nafsu makan

Data Obyektif: berat badan turun, kehilangan lemak subkutan.

18
3) Rasa nyaman/nyeri

Data Subyektif: nyeri tulang belakang meningkat saat malam hari dan saat

bergerak.

Obyektif: berhati-hati pada area yang sakit, gelisah, nyeri pada 4-6

J. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi

DNA kuman tuberculosis.

b. Pada pemeriksaan laju endap darah (LED) biasanya meningkat,

namun tidak spesifik menunjukkan proses infeksi.

c. Tes kulit Mantoux, dilakukan untuk memastikan dan menentukan

apakah pasien terinfeksi bakteri TBC atau tidak,berdasarkan reaksi

kulit yang telah disuntikkan tuberkulin PPD (Purified Protein

Derivative)

d. Spesimen sputum memberikan hasil positif hanya jika proses infeksi

paru sedang aktif.

e. Biopsi pada tulang atau jaringan sinovial dengan menggunakan jarum

mungkin turut dilakukan untuk mendeteksi bakteri penyebab TBC

tulang belakang. Kemungkinan dibutuhkan kultur bakteri untuk

memastikan diagnosa. (Zuwanda dan Janitra. Vol. 40 no 9, thn 2013).

2. Pemeriksaan Radiologi

a. Sinar-X

19
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologi awal yang paling sering

dilakukan dan berguna untuk penapsiran awal. Proyeksi yang di ambil

sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan

tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan

osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis

menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan

lunak sekitarnya memberikan gambaran fusimormis. Pada fase lanjut,

kerusakan anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik

(Gibbus). Pada pasien ini pemeriksaan radiologi didapatkan terlihat

gambaran distruksi vertebra da nada penyempitan duktus serta abses

vertebral.

b. CT-Scan

CT-Scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi

badan vertebra, abses epidural, pragmentasi tulang, dan penyempitan

kanalis spinalis. CT-Scan dapat berguna juga untuk memandu tindakan

biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang.

c. MRI

MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak.

Kondisi bandan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum

tulang, termasuk abses paraspinal dapat di nilai dengan baik dengan

pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya

dilakukan pencitraan MRI akasial, dan sagital yang meliputi seluruh

vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesinonkontiguous.

20
11. Pathways keperawatan

Mycobacterium tuberculosis Masuk saluran pernapasan

Masuk ke paru-paru (alveoli)

Tuberkulosis paru Fagositosis bakteri oleh macrofag gagal

Penyebaran basil melalui arteri intercostal

Menuju ke korpus vertebra discus intervetebra

Perusakan tulang dan perjalanan infeksi ke ruang diskus


Spondilitis tuberkulosis
vertebra yang berdekatan

Eksudasi

Osteoporosis dan perlunakan

Perubahan pada vertebra Perubahan pada vertebra Perubahan pada vertebra servikalis
torakal lumbalis

Kerusakan korpus vertebra dan Penekanan syaraf oleh Kerusakan korpus vertebra, terjadi
terjadi angulas ke depan pembesaran abses/tulang begeser angulasi vertebra ke depan

Kompresi radiks syaraf pada Paraplegia, stimulasi nyeri pada Perubahan discus intervetebra
vertebra torakal pinggang servikal

Stimulasi nyeri Gangguan mobilitas fisik Gangguan mobilitas leher,


Pembentukan abses pada faring

Nyeri akut Gangguan proses menelan, nafsu


makan turun

21
Defisit Nutrisi
12. Analisa data

Nama : Nn. A

Umur : 23 Tahun

No Data Etiologi Masalah

1. DS : Agen Pencedera Fisik Nyeri


- Klien mengatakan nyeri punggung
bagian bawah, nyeri dirasakan
meningkat pada malam hari dan
bertambah berat terutama pada saat
pergerakan tulang belakang.

DO :
- Klien tampak merisngis kesakitan
- Hasil radiologi terlihat gambaran
distruksi vertebra, terdapat
penyempitan duktus dan abses
vertebral

2. DS : Faktor psikologis Defisit Nutrisi


- Klien mengeluh nafsu makan (Keengganan untuk
menurun, badan terasa lemah, makan)
penurunan berat badan

DO
- Klien Tampak Lemah
- Pasien hanya menghabiskan ¼
Porsi makanan
- Turgor Kulit Jelek
- Bibir Pecah-pecah
- BB:40
- Pasien tampak mengeluarkan
keringat
- T: 35,5 C

3. DS : Nyeri akut pada tulang Ganguan Mobilitas


- Klien mengatakan nyeri punggung belakang Fisik
bagian bawah, nyeri dirasakan

22
meningkat pada malam hari dan
bertambah berat terutama pada saat
pergerakan tulang belakang.
- Skala nyeri pasien pada rentang 4-6
- Pasien mengatakan nyeri masih bisa
ditoleransi

DO :
- Hasil radiologi terlihat gambaran
distruksi vertebra, terdapat
penyempitan duktus dan abses
vertebral

13. Diagnosa keperawatan

a. Diagnosa keperawatan kode : D.0077 Nyeri akut

b. Diagnosa keperawatan kode : D.0019 Defisit nutrisi

c. Diagnosa keperawatan kode : D.0054 Gangguan mobilitas fisik

14. Fokus intervensi dan rasional

No Diagnosa (SDKI) NIC NOC (SLKI) Rasional

1. D.0077 Nyeri I.08238 Manajemen Nyeri L.08066 Tingkat nyeri


(PPNI, 2018b)
akut (PPNI, Observasi : - Membantu
menentukan
-Identifikasi lokasi, - Keluhan nyeri
2018a) intervensi yang tepat
karakteristik, durasi, frekuensi, menurun berada pada dan untuk
kualitas, intensitas nyeri skala 3-4) perbandingan dari
- Identifikasi skala nyeri - Frekuensi nadi evaluasi terhadap
- Mengdentifikasi respon nyeri membaik. terapi
non verbal - Menurunkan rasa
-Identifikasi faktor yang nyeri yang timbul
dan dapat
memperberat dan memperingan
mengontrol rasa
nyeri nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan - Analgetik dapat
keyakinan tentang nyeri menurunkan nyeri
dan
Terapeutik : ketidaknyamanan
-Berikan therapi non
farmakologis seperti therapi
musik
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri seperti
kebisingan

23
- Fasilitasi istirahat dan tidur

Edukasi :
- Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan
nyeri
-Ajarkan tehnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
2. D.0019 Defisit I.03120 Manajemen nutrisi L.03030 Status nutrisi
(PPNI, 2018)
nutrisi (PPNI, Observasi : -Mengetahui status
nutrisi sehingga
- Identifikasi status nutrisi -Porsi makan yang
2018a) dapat melakukan
- Identifikasi makanan yang dihabiskan (4-5) intervensi yang tepat
disukai - Perasaan cepat -Membantu
- Monitor asupan makanan kenyang menurun (4-5) meningkatkan nafsu
- Monitor berat badan - Berat badan membaik makan dan intake
-Mengurangi sensasi
Teraupetik : (4-5) nyeri pada proses
menelan akibat
- Lakukan oral hygiene sebelum
abses faringitis yang
makan, jika perlu terjadi pada
-Sajikan makanan secara spondylitis TB.
menarik dan suhu yang sesuai -Membantu
-Berikan makanan tinggi kalori memenuhi
tinggi protein kebutuhan kalori
-Berikan suplemen makanan, dan nutrisi dengan
keadaan sakitnya.
jika perlu.

Edukasi :
- Anjurkan posisi duduk

Kolaborasi :
-Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori
atau jenis nutrien

3. D.0054 Gangguan I.06171 Dukungan ambulasi L.05042 Mobilitas


fisik (PPNI, 2018)
mobilitas fisik Observasi : -Pergerakan - Membantu
-Identifikasi adanya nyeri atau menentukan terapi
ekstremitas meningkat
(PPNI, 2018) keluhan fisik laiinya yang tepat
-Identifikasi toleransi fisik (4-5) - Memberikan
melakukan ambulasi -Kekuatan otot kenyamanan pada
-Monitor kondisi umum selama meningkat (4-5) klien sehingga dapat

24
melakukan ambulasi -Rentan Gerak (ROM ) mengurangi rasa
meningkat (4-5) nyeri
Teraupetik : -Nyeri menurun (4-5) - Menghindari klien
-Fasilitasi aktivitas ambulasi dari kemungkinan
dengan alat bantu misalnya kruk terjadi cidera
-Fasilitasi melakukan mobilitas - Menghindari klien
fisik dari resiko jatuh
-Libatkan keluarga untuk -
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi

Edukasi :
-Anjurkan menlakukan
ambulasi dini
-Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan, misalnya
berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda.

25
BAB III

TELAAH ARTIKEL RISET

A. Judul penelitian

Effect of Iron Supplementation in Anti-Tuberculosis Drug Treatment on

Interferon-γ Level in Tuberculosis Spondylitis Patients (Pengaruh

Penambahan Zat Besi Pada Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Terhadap

Kadar Interferon-γ Pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis) (Perdana et al.,

2020)

B. Peneliti

M. F. Nanda Perdana, Hermawan Nagar Rasyid, Ahmad Ramdan,

Yoyos Dias Ismiarto

C. Latar Belakang

Kasus TB spondilitis menempati persentase sekitar 1% - 5% dari total

pasien TB.1,2 Ada sekitar 3 juta kematian terjadi masing-masing tahun

karena penyakit ini.3 Oleh karena itu, tuberkulosis spondilitis (TB) masih

merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar yang sering dijumpai di

masyarakat khususnya di Indonesia.

Kesembuhan dari tuberkulosis dapat dilihat dari berbagai faktor, salah

satunya adalah Interferon-γ (IFN-γ). Peningkatan kadar IFN-γ dapat diartikan

sebagai peningkatan respon imun pasien. Hal ini pula yang menjadi dasar

IFN-γ dapat menjadi biomarker penyembuhan infeksi tuberkulosis, yaitu jika

26
terjadi peningkatan jumlah IFN-γ dalam darah. Imunitas tubuh pasien juga

berperan dalam proses infeksi tuberkulosis. Salah satu mikronutrien penting

dalam pertahanan tubuh adalah zat besi.

Zat besi merupakan salah satu mikronutrien penting bagi makhluk

hidup dan memiliki peran penting dalam mekanisme pertahanan tubuh

terhadap mikroorganisme patogen. Kondisi kekurangan zat besi ini bisa

terjadi meski tidak ada kondisi anemia dan bisa terjadi pada siapa saja

Kondisi defisiensi besi ini dapat dideteksi dengan menggunakan level Soluble

transferrin receptor (sTfR). Peningkatan kadar sTfR merupakan respons

sensitif terhadap tahap awal defisiensi besi.

Belum ada penelitian tentang penambahan zat besi pada terapi obat anti

TB pada pasien spondilitis tuberkulosis khususnya di Indonesia. Oleh karena

itu, dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian tentang efek suplementasi

zat besi pada anti Terapi obat TB pada kadar IFN-γ pada spondilitis pasien

tuberculosis.

D. Review Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efek

suplementasi zat besi pada anti Terapi obat TB pada kadar IFN-γ pada

spondilitis pasien tuberculosis

27
2. Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

single blind randomized studi uji coba control.

3. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah Penderita Spondylitis TB

Kategori 1 dengan kadar STfR ≥ 21.7 mg/L yang berjumlah 34 responden.

4. Tempat penelitian

Tempat penelitian ini diadakan pada Rumah Sakit Umum Dr.

Hasan Sadikin di Bandung.

5. Kelemahan dan keterbatasan

Penerapan penambahan suplement besi pada terapi TB spondylitis

belum banyak diterapkan, sehingga masih menjadi pertimbangan bagi

klinik untuk menerapkannya.

E. Hasil Penelitian dan Analisis

Pada penelitian ini didapatkan peningkatan kadar IFN-γ rata-rata

kelompok eksperimen (pemberian obat anti tuberkulosis dengan

penambahan zat besi) dari 21,7 pg/mL sebelum dilakukan pemberian

terapi menjadi rata-rata 72,39 pg/mL setelah dilakukan pemberian terapi

diuji dengan uji t sampel independen (nilai p<0,05) secara statistic

berbeda dengan kelompok control (Pemberian obat anti tuberculosis),

yaitu dari 22.5 pg/mL sebelum dilakukan pemberian terapi menjadi rata-

rata 35.35 pg/mL setelah dilakukan pemberian terapi. Jadi kesimpulannya,

pemberian obat anti tuberculosis dengan penambahan zat besi dapat

28
meningkatkan respon imun tubuh, yang ditandai dengan meningkatnya

kadar IFN-γ

F. Kemungkinan Diterapkan di Klinik

Kemungkinan penerapan di klinik sangat besar sebab pemberian

suplement zat besi hal yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam

treatment selain itu juga bisa menerapkan kolaborasi dengan bagian ahli gizi

utuk mengontrol asupan zat besi dari makanan yang didapat.

29
30
31
32
33
34
35
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks

dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Pemeriksaan radiografi mutlak

diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta follow up penyakit. Jika dalam

pemeriksaan didapatkan normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus

dikerjakan untuk menyingkirkan spondilitis TB. Tata laksana ditentukan oleh

ada tidaknya paralisis atau paraplegi pada ekstremitas inferior sehingga

pembedahan harus segera dilakukan. Prognosis tergantung dari perjalanan

penyakit, tata laksana dan komplikasi yang menyertai.

B. Saran

Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat menjadi acuan pemberian

asuhan keperawatan pada khususnya pada pasien spondylitis lebih baik lagi.

Adapun dari telaah jurnal yang kami dapatkan pemberian supplement zat besi

diharapkan dapat diterapkan pada klinik berdasarkan hasil penelitian

didapatkan manfaatnya yang sangat besar terhadap peningkatan kesehatan

klien.

36
DAFTAR PUSTAKA

Basalamah, B., Nabila, B. K., Imran, Y., & Rahmansyah, M. (2020). Spondilitis
tuberkulosis: perbaikan yang signifikan setelah intervensi dini. Jurnal
Biomedika Dan Kesehatan, 3(3), 137–143.
https://doi.org/10.18051/jbiomedkes.2020.v3.137-143

Paramarta, I. G. E., Purniti, P. S., Subanada, I. B., & Astawa, P. (2016).


Spondilitis Tuberkulosis. Sari Pediatri, 10(3), 177.
https://doi.org/10.14238/SP10.3.2008.177-83

Perdana, M. F. N., Rasyid, H. N., Ramdan, A., & Ismiarto, Y. D. (2020). Effect of
Iron Supplementation in Anti-Tuberculosis Drug Treatment on Interferon-γ
Level in Tuberculosis Spondylitis Patients. Majalah Kedokteran Bandung,
52(3), 154–159. https://doi.org/10.15395/mkb.v52n3.1712

PPNI. (2018a). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia; Definisi dan Tindakan


Keperawatan (Edisi 1). DPP PPNI.

PPNI. (2018b). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan (1st ed.). DPP PPNI.

Rahyussalim. (2018). Spondilitis Tuberkulosis: diagnosis, penatalaksanaan dan


rehabilitiasi (1st ed.). Media Aesculapius.
https://staff.ui.ac.id/system/files/users/rahyussalim71/publication/final_isbn_
spondilitis_tuberkulosis_diagnosis-compressed.pdf

Ulfah, R. H. (2012). ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN


TINDAKAN DEBRIDEMENT dan EVAKUASI ABSES PADA SOFT TISSUE
TUMOR FEMUR DEKSTRA dan SPONDILITIS TB di RS ORTOPEDI Dr.
SOEHARSO SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI.

Anda mungkin juga menyukai