1
Daftar Isi
Daftar Isi......................................................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
1.1 OBJEK FILSAFAT................................................................................................................................5
1.2 RUANG LINGKUP FILSAFAT...............................................................................................................8
BAB 3.........................................................................................................................................................10
PENUTUP...................................................................................................................................................10
2.1 KESIMPULAN...................................................................................................................................10
Daftar Pustaka...........................................................................................................................................11
2
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak hadirnya manusia di dunia sebagai makhluk bumi, sebenarnya mereka telah memiliki ilmu
pengetahuan sebagai penolong hidupnya untuk bertahan dan melangsungkan berkelanjutan
generasinya hingga hari ini. Dalam persektif agama, ilmu bersumber dari Sang Khalik Ketika Tuhan
hendak menciptakan manusia, tentu saja telah dibekali dengan seperangkat aat deteksi dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Semua alat deteksi telah diciptakan kepada diri manusia, berupa akal
pikiran untuk mengkaji, dan melakukan riset di dunia; demikian juga mata hati dan oerasaan untuk
merespon, menanggapi, menilai, memilih, dan melahirkan keputusan yang tepat dan benar,
yangbersuara halus yang tidak perna salah dalam memutuskan sesuatu.
Sejarah perjalanan ilmu pengetahuan mulai dari klasik hingga kontemporer tercatat, banyak
temuan ilmuan yang tidak dapat terjawap secara tuntas karena keterbatasan manusia itu sendiri.
Sintesis dari keterbatasan di kemukakan Mohammad Bahrun (2012), tidak semua masalah yang
dipertanyakan manusia dapat dijawap secara positif oleh ilmu pengetahuan. Karenanya ilmuitu terbatas;
terbatas pada subjek, objek, metologinya sendiri. Sedangkan menurut Endang Saifuddin Anshari (2009),
tidak semua persoalan manusia ada jawabannya dari agama. Ada beberapa poin masalah manusia yang
tidak ada jawabannya dalam agama. Pertama, soal –soal yang prinsipiel, seperti kendaraan berjalan
sebelah kiri atuau kanan dan soal perbankan. Kedua, Persoalan yan tidak secara tegas dibahas di dalam
Al-Qur’an dan As Sunnah diserahkan Ijtihat (produk pemikiran manusiayang tidak bertentangan dengan
tekstualnya wahyu Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi).
Berdasarkan itu, Noeng Muhajir (2007), mengatakan ilmu dan filsafat yang bersumber kitab suci ini
sebagai epistemologi mora dan religius. Sementara itu, ada pula yang memfokuskan pada eksistensi
Tuhan, penciptaan alam semesta, dan kesusilaan. Muhajir menyimpulkan bahwa keyakinan religius
tumbuh dalam penghayatan religius. Dengan kekuatan akal budi 9 ilmu dan filsafat ), mausia dapat
memetik kebenaran.
3
Dalam kontekini, maka dapat dipahami tentang kebenarannya,yakni: Pertama, kebenara hakiki,
yaitu kebenran mutlak yang bersumber dari wahyu ilahi. Kedua, kebenaran ilmiah ilmu pengetahuan
yaitu kebenaran yang disandarkan pada teori kebenaran dan bukti empiris yang diriset dan ditelaah.
Secara umum dikenal menjadi 3 kriteria kebenaran ilmiah. Pertama, kohorensi, yakni teori
kebenaran yang mendasarkan diri pada kriteria kebenaran secara konsisten pada suatu argumentasi.
Kedua, korespodensi, yakni teori kebenaran yang mendasarkan diri pada kriteria tentang kesesuaian
antara materi yang dikandung suatu pernyataan dan objek pernyataan, seperti manis, tawar, asin.
Artinya, secara teoretis dan empris terbukti adanya dan tidak terbantahkan.
Tujuan studi filsafat adalah menghantarkan seseorang kedalam dunia filsafat, sehingga minimal dia
dapat mengtahui apakah filsafat, maksud dan tujuannya.
Menurut Prof. Dr. Notonagoro, yang dikenal sebagai ilmuan filsafat Indonsia dan ahli pikir filsafat
pancasila, studi filsafat dimaksudkan untuk “pendidikan mental”. Pendidikan mntal yang di adalah cara
atau bentuk mentalis filsafat yang memuat tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umumnya
adalah menjadikan manusia yang susila. Pengertian “susila” di sini terdapat dalam ruang lingkup
tertentu sesuai dengan tempat dan aturan yang ada.
Sedangkan tujuan khususnya adalah menjadikan manusia yang berilmu. Dalam hal ini, ahli filsafat
dipandang sebagai orang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan (ilmuan), yang selalu mencari
kenyataan kebenaran dari semua problem pokok keilmuan.
Pebedaan orang yang berfilsafat dengan yang tidak berfilsafat terletak pada sikap seseorng
terhadap hidupnya. Karena filsafat akan mengajarkan kepada kita tentang kesadaran, kemauan, dan
kemampuan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individual, makhluk sosial, dan
makhluk tuhan untuk diaplikasikan dalam hidup, maka yang diperlukan dalam studi filsafat.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 OBJEK FILSAFAT
Filsafat merupakan bagian dari filsafat pengetahuan. Secara umum, untuk memahami secara
lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat, maka diperlukan pembahasan yang dapat
menggambarkan dan memberi makna khusus dalam mempelajari objek-objek yang ada dan terkait
dengan filsafat , untuk itu didalam memepelajari filsafat terdapat dua objek, yaitu objek material dan
objek formal.
Berikut penjelasan dari kedua objek tersebut.
Objek material adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. “Ada” disini mempunyai tiga
pengertian, yaitu ada dalam kenyataan, pikiran, dan kemungkinan. [1]
Sedangkan objek formal adalah penyelidikan yang mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat ingin
tahu bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. [2]
Menurut Ir. Poedjawijatna yang menentukan perbedaan ilmu yang satu dengan yang lainnya adalah
objek formalnya, sehinggga kalau ilmu membatasi diri dan berhenti pada dan berdasarkan pengalaman,
sedangkan filsafat tidak membatasi diri, filsafat hendak mencari keterangan yang sedalam dalamnya,
inilah objek formal filsafat[3].
Tentang objek material ini banyak yang sama dengan material sains bedanya ialah dalam dua hal.
Pertama, sains menyelidiki objek material yang empiris sedangkan filsafat menyelidiki objek itu juga
tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak. Kedua, ada objek material filsafat yang
memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek material yang material yang
selama-lamanya tidak empriris. Jadi, objek material filsafat lebih tinggi dari objek material sains.[4]
Segala sesuatu yang ada artinya yang ada dengan sendirinya dan keberadaannya disebabkan oleh
keberadaan yang lain. Segala sesuatu yang ada, ada yang wajib adanya bukan karena kemungkinan lain
dan ada yang tidak wajib adanya dan wajib bergantung kepada beberapa kemungkinan.
Segala sesuatu yang wajib ada secara filosofis adalah wujud dari keberadaan yang ada dengan
sendirinya dan tidak berada dengan sendirinya. Ada itu adakalanya tergambarkan oleh pancaindra,
5
seperti langit, bumi, bulan, bintang, manusia, dan gunung – gunung, tetapi ada yang tidak tampak
menurut keterbatasan manusia, misalnya Sang Pencipta alam itu.
Manusia merupakan objek material filsafat, dilihat dari kedudukannya sebagai manusia di muka
bumi maupun fungsi dan perannya sebagai anggota masyarakat. Akan tetapi, jika berbicara tentang
bagimana nasib dan takdir manusia, jodoh, rezeki, batas usia dan masa depannya hal ini bukan lagi
objek material melainkan objek formal. Oleh karena itu, jawaban – jawaban filosofis terhadap masalah
demikian murni mengandalkan logika, tanpa memperdulikan kebenaran observatif yang ditemukan oleh
sains.
Sebagi contoh, tidur dan mimpi. Tidur merupakan masa istirahatnya tubuh dan urat saraf manusia.
Mata yang letih anggota badan yang terlalu capek atau kekenyangan yang dengan mudah merangsang
rasa kantuk dan akhirnya tetidur lelap. Dalam tidur sering muncul mimpi, padah realitasnya orang yang
sedang mimpi berada di bawah alam sadar. Tidur sama dengan mati dan mati sama dengan tidur yang
panjang. Lalu, mengapa orang berada di bawah alam sadar dapat bermimpi? Apakah mimpi itu realitas
atau khayalan? Tentu saja, orang yang sedang tidur tidak dapat untuk berkhayal. Dengan demikian
mimpi adalah realitas yang dialami oleh orang dialam bawah sadar. Apabila orang bermimpi dikejar –
kejar setan, ada yang dalam mimpinya benar - benar ketakutan, tidurnya terlihat gelisah dan berteriak
histeris. [5]
Dalam filsafat, semua realitas diatas bukan realitas yang sebenar-benarnya oleh kaerna itu,
kebenaran bukan dibatasi oleh hasil uji coba dilabolatorium atau hanya karna telah mengalaminya,
pertanyaan yang merangsang tercabutnya kebenaran adalah semua itu berada dalam kajian ontology
pendalaman rasional tentang hakikat segala sesuatu yang tidak terjawab oleh sains. Sebagaimana objek
materi filsafat yang menguliti keberadaan tuhan.
Ontologi adalah teori hakikat yang mempertanyakan setiap eksistensi dengan, sumber ditemukan.
Berbicara tentang sumber setiap pengetahuan, dalam filsafat lahir pengetahuan.
Dalam filsafat lahir pendekatan kedua, yaitu epistomologi yang berasal dari bahasa
latin “episteme” yang berarti knowledge, yaitu pengetahuan “logos” berarti theory. Jadi, epistemologi
berarti teori pengetahuan atau teori tentang metode, cara dan dasar ilmu pengetahuan atau studi
6
tentang hakikat tertinggi, kebenaran dan batasan ilmu manusia (sarwar, 1994 : 22). Dalam filsafat,
epistemologi adalah cabang filsafat yang meneliti asal, struktur, metode-metode, dan kasihan
pengetahuan. Istilah “Epistemologi” pertama kali dipakai oleh J.F.Farier Institues of Metaphysics (1854
M) yang membedakan dua filsafat epistemologi dan ontologi. Epistemologi berbeda dengan logika. Jika
logika merupakan sains formal (formal scaince) yang berkenaan dengan atau tentang prinsip-prinsip
penalaran yang sahih, epistemologi adalah isumbern filosofi tentang asal-usul pengetahuan dan
kebenaran. Puncak pengkajian epistemologi adalah masalah kebenaran yang membawa ke ambang
pintu metafisika.
Epistemologi adalah analisis filosofis terhadap sumber-sumber pengetahuan. Dari mana dan
bagaiamana pengetahuan diperoleh, merupakan kajian epistemology. Sebagai contoh adalah semua
pengetahuan berasal dari tuhan, artinya tuhan sebagai sumber pengetahuan ontologism sesuatu itu
menjelaskan objek yang ditelaah objek tersebut, wujud hakikatnya serta bagaimana hubungan objek
tersebut dengan daya tangkap manusia, seperti berfikir, berasal, dan mengindra yang memberikan
pengetahuan. Landasan epistemologis suatu ilmu menjelaskan proses dan prosedur yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang benaran menjelaskan keebenaran serta kriteria dan cara
mendapatkan pengetahuan tujuan yang dicapai oleh pengetahuan daalam filsfat menjadi kajian
ontologis.
Epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan. Pengetahuan yang benar adalah yang telah
memenuhi unsure-unsur epistemologi yang dinyatakan secara sistematis dan logis. Dalam epistemology
dibicarakan tentang sumber pengetahuan yang gejalanya dapat diamati.
Kajian utama filsafat, sebagaiman dikemukan diatas adalah berkaitan dengan masalah ilmu dan
pengetahuan atau tahu mengetahui, dan pengetahuan (kognitio). Maksudnya adalah memikirkan segala
hakikat segala pengetahuan atau hakikat keberadaan segala sesuatu yang bersifat fisical maupun
metafisika, baik yang umum maupun khusus. Epistemologi adalah filsafat yang mengkaji seluk-beluk
antara tata cara memperoleh suatu pengetahuan,sumber-sumber pengetahuan, metode dan
pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan logis dan rasional.
Secara filosofis jika mimpi buruk, cukup menyiksa orang yang sedang tidur bagaimana dengan orang
yang sudah mati dekejar - kejar dosa dan mimpi yang menjadi penyebab ia disiksa. Contoh tersebut
menggambarkan bahwa tidur dan mimpi adalah objek material filsafat sedangkan hubungan antara
mimpi dan realitasnya yang sesungguhnya serta hubungannya dengan siksaan di alam kubur merupakan
7
formal filsafat, sehingga jawaban – jawaban atas rahasia mimpi membutuhkan perenungan yang
mendalam.[6]
8
b) Metaphisical Problem (masalah metafisika),
c) Ethical Problem (masalah etika),
d) Political Problem (masalah politik),
e) Historical Problem ( masalah sejarah)
Dari sekian banyak telaah tentang ruang lingkup filsafat dan filsafat ilmu yang telah dikemukakan,
baik dari masa Plato Aristoteles, Renaisans, maupun pemikiran filsafat kontemporer, ternyata ruang
lingkup filsafat dan filsafat ilmu sangat luas. Namun demikian, dia tetap saja berputar di sekitar lapangan
utama filsafat, yakni seputar logika, etika, estetika, fisika, dan metafisika.
Selanjutnya Jujun Suriasumantri (2010) mengemukakan, bagaimana proses yang memungkinkan
timbulnya pengetahuan berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran? Adakah
kriterianya? Cara,teknik,atau sarana apa yang membentuk kita dalam mendapatkan pengetahuan
berupa ilmu? Inilah yang dikenal dengan landasan epistemologis.
Pandangan filsuf Muslim membagi epistemologi berdasarkan objeknya menjadi dua bagian, yakni:
a) Khuduri, hadirnya sesuatu ke dalam dirinya sendiri, contoh lapar, sedih, dan lain-lain.
Khusuli, hadirnya sesuatu dari dalam dirinya sendiri (harus ada bendanya terlebih dahulu), contoh
melihat bentuk gunung, laut, lembah, dan hutan.[8]
9
BAB 3
PENUTUP
2.1 KESIMPULAN
Jadi kesimpulannya, objek filsafat ada dua yaitu objek material dan objek formal
Objek material adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Sedangkan objek formal adalah
penyelidikan yang mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat ingin tahu bagian dalamnya. Kata
10
Daftar Pustaka
Atang Abdul, Hakim dan Beni Ahmad Saebani , “Filsafat Umum dan Metologi Sampai Teofilosofi”. Bandung : CV
Pustaka Setia. 2008.
11