Anda di halaman 1dari 14

ONTOLOGI MENURUT BARAT DAN ISLAM

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah : Falsafah Kesatuan Ilmu

Dosen pengampu : Ahmad Muthohar, M. Ag

Disusun oleh :

Kelompok 4 PAI 6-D

1. Elly Zakiyatin Nafisa (1903016137)


2. Ahmad Muthohhar (1903016149)
3. Najih Ahda Sabila (1903016154)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat. Studi tersebut membahas


keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas realitas atau suatu
entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas
kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan
proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses
tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada
bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang
objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup
penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan
pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian ontologi?

2. Apa saja aliran-aliran dalam ontologi?

3. Bagaimana ontologi menurut perspektif barat dan islam?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian ontologi.

1
2. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam ontologi.

3. Untuk mengetahui ontologi menurut perspektif barat dan islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ontologi

Secara etimologis, istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri
dari dua kata: ontos yang berarti ada atau keberadaaan dan logos yang berarti
studi atau ilmu. 1 Sedangkan menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.

Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan
cara yang berbeda dimana wujud dari kategori-kategori yang logis yang
berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada dalam
rangka tradisional. Ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip
umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya akhir-akhir ini ontologi
dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.

Ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636
M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika menjadi dua, yaitu
metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai
istilah lain dari ontologi.2 Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan
bagian pertama metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara
terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung
termasuk ada tersebut.

Adapun mengenai objek material ontologi ialah yang ada, yaitu ada individu,
ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk

1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 746
2
A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 91

3
kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang
ada. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas, bagi pendekatan
kualitif, realitas trampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya menjadi telaah
monism, paralerisme atau plurarisme.3

Berikut beberapa pengertian lain mengenai ontologi:

1. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti:
ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi
atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya.

2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir


yang ada, yaitu yang satu, yang absolute, bentuk abadi, sempurna, dan
keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-nya.

3. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau
semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.4

B. Aliran-Aliran dalam Ontologi

1. Aliran Monoisme

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua.
Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa
materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing
bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang

3
A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 92
4
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2005), hlm.
111.

4
pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah
tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan
bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh
Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian
terbagi ke dalam dua aliran :

a) Materialisme

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-
546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya
bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal
itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala
kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini
merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan
amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.

b) Idealisme

Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang
tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang
fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya
merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu.
Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang
pada kebenaran sejati.

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-


348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam
mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang

5
menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu.
Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.5

2. Aliran Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai
asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad
dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri,
sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan
dalam alam ini.

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai


bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia
kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam
bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima
Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya
yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian
Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M),
dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).

3. Aliran Pluralisme

Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan


kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of
Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa
kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan
Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan
terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran

5
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 17.

6
ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada
kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

4. Aliran Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada.
Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah
nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani


Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga
proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua,
bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu
dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam
pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata
manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia
di mana ia hidup.

5. Aliran Agnostisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat


benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal
dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya
know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan
mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri
sendiri dan dapat kita kenal.

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-
tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan
julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa
manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku

7
individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu
orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang
mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya
manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean
Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu
menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre
(akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham
pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui
hakikat benda, baik materi maupun rohani.

C. Ontologi Menurut Perspektif Barat dan Islam

1. Ontologi menurut perspektif barat

Dalam peran barat tidak bisa dilepaskan dalam upaya pengembangan ilmu
pengetahuan. Semenjak dari masa keemasan Yunani dengan Filsafat-nya,
mencapai puncaknya ketika revolusi industri, sampai sekarang pun Barat
masih menjadi ujung tombak bagi peradaban ilmu.

Bagi mereka, ilmu hanya akan bisa diusahakan melalui akal dan panca
indra semata. Selagi manusia mau berusaha menggunakan akalnya, maka
mereka akan mendapatkan ilmu. Namun, ketika mereka berhenti
menggunakan akalnya, maka disitulah manusia dianggap tiada. Bagi mereka
peran akal lebih dominan dibandingkan dengan wahyu, dan bahkan mereka
tidak mengakui otoritas wahyu sebagai sumber ilmu. Mereka menafikan
wahyu dan intuisi sebagai sumber ilmu. Baginya sumber ilmu itu hanya ada
dua macam, yaitu akal dan pengalaman manusia. Bagi mereka yang menganut
paham rasionalisme, ilmu itu bersumber dari akalnya. Ilmu itu bersumber dari
pengalaman, bagi mereka yang menganut paham empirisme.

8
Bagi mereka objek ilmu itu hanyalah apa yang bisa diindra dan apa yang
bisa dipikirkan oleh akal manusia. Oleh karenanya, jika sesuatu berhubungan
dengan alam metafisik, maka itu bukan bagian dari ilmu.

Dalam konsep mereka, ilmu itu tidak bermuara kepada Tuhan. Karena
mereka tidak mengakui adanya wahyu sebagai sumber ilmu, maka ilmu yang
mereka miliki itu tidak akan membawanya kepada kebenaran.

2. Ontologi menurut perspektif Islam

Baik Islam maupun Barat, keduanya sama-sama menempatkan ilmu


sebagai sesuatu yang amat sangat penting. Dalam pandangan Islam, tidak
terhitung betapa banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW yang
berbicara tentang pentingnya ilmu.

Kedudukan para penuntut ilmu pun dinilai sama dengan mujahid yang
sedang berjuang di jalan Allah SWT. Di samping itu, orang yang memiliki
ilmu dipandang sebagai pewaris tahta kenabian setelah diutusnya nabi terakhir,
Nabi Muhammad SAW.

Akan tetapi walaupun demikian, baik Islam maupun Barat, keduanya


memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan hakikat ilmu. Islam
mengakui bahwa ilmu itu adalah milik Allah SWT. Sekuat apa pun manusia
berusaha untuk menggapainya, jika tanpa kuasa dari Sang Pemilik ilmu, maka
manusia tidak akan mampu untuk meraih dan menggapainya. 6 Sekalipun
semuanya bergantung kepada kehendak Allah SWT, lalu manusia berlepas
tangan sajakah? Maka ini pun adalah kesalahan. Manusia tetap beredar di
jalannya, berusaha mencari ilmu, karena biasanya proses tidak akan pernah
mengkhianati hasil. Jadi, dalam pandangan Islam, ilmu pada hakikatnya
adalah milik Allah SWT.

6
Duski Ibrahim, Filsafat Ilmu, Cetakan I (Palembang: NoerFikri Offset, 2017), hlm. 196

9
Dari sisi objek, baik Islam maupun Barat sama-sama mengakui bahwa ilmu
itu memiliki objek formal dan objek materil. Namun, yang menjadi
permasalahannnya adalah apakah objek ilmu itu hanya terdapat pada alam
fisik saja atau melebihi itu semua sampai menembus alam metafisik. Di
sinilah letak perbedaan pandangan antara Islam dan Barat. Islam mengakui
bahwa objek ilmu itu berada pada alam fisik yang bisa dirasa dan dipikirkan,
kemudian juga termasuk alam metafisik, yang tidak bisa dijangkau oleh akal
dan indra manusia. Maka di sini, Islam menggunakan konsep wahyu untuk
memahaminya.

Di sisi lain, Islam mengakui bahwa ilmu itu bersumber dari akal atau rasio
manusia. Islam juga mengakui bahwa ilmu bersumber dari pengalaman-
pengalaman manusia. Islam juga mengakui intuisi sebagai sumber ilmu.
Terlebih lagi, wahyu merupakan sumber pamungkas ilmu dalam konsep Islam.
Wahyu berada pada urutan pertama dan menempati posisi yang sangat penting
dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya. Karena kebenaran wahyu itu
bersifat mutlak dan benar-benar berasal dari Allah SWT.

Dari sisi orientasi, Islam memahami bahwa ilmu itu akan mengantarkan
manusia kepada pengakuan akan kebesaran Tuhan-nya, pengakuan akan
adanya yang Maha Besar di antara yang besar, pengakuan bahwa tidak ada
yang berhak disembah melainkan Dia, tidak ada yang pantas ditakuti kecuali
Dia.

Jadi, dalam memandang hakikat ilmu, Islam dan Barat memiliki pandangan
yang berbeda. Jika Islam mengatakan ilmu adalah milik Allah SWT, dan
bersumber dari-Nya, maka Barat mengatakan bahwa ilmu itu bersumber dari
akal dan panca indra manusia.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologis, istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri
dari dua kata: ontos yang berarti ada atau keberadaaan dan logos yang berarti studi
atau ilmu. Sedangkan menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas
tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.

Dalam ontologi ada beberapa aliran yang perlu diketahui, yaitu :


1. Aliran Monoisme
2. Aliran Dualisme
3. Aliran Pluralisme
4. Aliran Nihilisme
5. Aliran Agnostisisme
Menurut perspektif barat, ilmu hanya akan bisa diusahakan melalui akal dan
panca indra semata. Selagi manusia mau berusaha menggunakan akalnya, maka
mereka akan mendapatkan ilmu.
Sedangkan menurut perspektif Islam mengatakan hal yang berbeda. Islam
mengakui bahwa ilmu itu adalah milik Allah SWT. Sekuat apa pun manusia
berusaha untuk menggapainya, jika tanpa kuasa dari sang pemilik ilmu, maka
manusia tidak akan mampu untuk meraih dan menggapainya.
Jadi, dalam memandang hakikat ilmu, Islam dan Barat memiliki pandangan
yang berbeda. Jika Islam mengatakan ilmu adalah milik Allah SWT, dan
bersumber dari-Nya, maka Barat mengatakan bahwa ilmu itu bersumber dari akal
dan panca indra manusia.

11
B. Saran

Demikian makalah ini kami buat. Kami menyadari bahwa dalam


pembuatannya masih terdapat beberapa kekurangan yang luput dari pengetahuan
kami. Oleh karena itu kami memohon kritik serta saran pembaca agar dapat
memperbaiki penyusunan makalah untuk selanjutnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Ibrahim, Duski. 2017. Filsafat Ilmu, Cetakan I. Palembang: NoerFikri Offset.

Kattsoff, Louis O. 1997. Pengantar Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: AR-RUZZ


MEDIA.

Susanto, A. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.

13

Anda mungkin juga menyukai