Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam (F)
Dosen Pengampu : M. Imamuddin, M.A

Oleh :
ADISA DWI WANTI (19650037)
DILA SOFIANA (210605110172)
SITA MAULIDIA ALYATU ZAHRA (210605110068)

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, serta memberikan
kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Umayyah” untuk memenuhi tugas
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Makalah ini disusun sedemikian rupa agar pembaca mengetahui Sejarah
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Umayyah. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada bapak Dr. H. Mochamad Imamudin, Lc.,M.A. selaku dosen mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya banyak kekurangan ataupun kesalahan
yang penulis buat secara tidak sengaja. Oleh karena itu, penulis akan dengan senang
hati menerima semua kritik maupun saran yang diberikan oleh pembaca. Penulis
berharap makalah ini akan memberikan banyak manfaat untuk pembaca.

Malang, 07 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3. Tujuan dan Manfaat .................................................................................. 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.1. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah ....................................................... 3
2.2. Pertumbuhan, Sistem, dan Kebijakan Pemerintahan ................................ 5
2.3. Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah ........................................................ 9
2.4. Masa Puncak Dinasti Umayyah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan .10
2.5. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Umayyah ................................... 14
BAB III ................................................................................................................. 17
PENUTUP ............................................................................................................. 17
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah Peradaban Islam merupakan suatu hal penting yang harus kita
ketahui sebagai umat islam. Karena melalui sejarah tersebut kita dapat
mempelajari banyak nilai-nilai moral, kebudayaan dan perkembangan
peradaban juga sistem pemerintahannya. Seperti halnya yang kita bahas dalam
makalah ini, yaitu daulah Bani Umayyah yang telah berhasil berjaya di wilayah
Eropa (Andalusia) dan membangun peradaban yang gemilang.
Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan pada
tahun 41 H/661 M hingga tahun 132 H/750 M yang berpusat di Damaskus,
Syiria juga di Cordoba Andalusiana dan Spanyol. Dinasti ini muncul saat
berakhirnya kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Masa kekhalifahan Dinasti
Umayyah tidak sampai 1 abad, yaitu hanya 90 tahun. Meski begitu pada masa
dinasti ini Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti perluasan
wilayah, kemajuan budaya serta pendidikan, dan lain sebagainya.
Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh
Mu’awiyah Ibnu Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara
menolak pembantaian khalifah Ali bin Abi Thalib yang kemudian ia memilih
berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik
yang sangat menguntungkan baginya. Dengan adanya perjanjian
tersebut maka berakhirlah apa yang disebut dengan masa Khulafa' al-Rasyidin
yang bersifat demokratis, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam
sejarah politik Islam yang bersifat keturunan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya dinasti Umayyah?
2. Bagaimana kondisi pertumbuhan, sistem dan kebijakan pemerintahan
dinasti Umayyah?
3. Bagaimana ekspansi wilayah pada dinasti Umayyah terjadi?
4. Bagaimana keadaan pada masa puncak dinasti Umayyah dan bagaimana
ilmu pengetahuan berkembang pada saat itu?
5. Bagaimana dinasti Umayyah mengalami kemunduran dan kehancuran?

1
1.3. Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui sejarah berdirinya dinasti Umayyah.
2. Mengetahui kondisi pertumbuhan, sistem, dan kebijakan pemerintahan
dinasti Umayyah.
3. Mengetahui ekspansi wilyah yang dilakukan pada masa dinasti Umayyah.
4. Mengetahui keadaan pada masa puncak dinasti Umayyah dan mengetahui
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Umayyah.
5. Mengetahui latar belakang kemunduran dan kehancuran dinasti Umayyah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah


Dalam Bahasa Arab, kata dinasti memiliki arti kekuasaan, dan berasal dari
kata daulat atau dawlah yang secara semantic memiliki arti peredaran dan
giliran1. Daulah Bani Ummayah atau Dinasti Umayyah merupakan sebuah
dinasti yang berdiri pada tahun 41 Hijriyah atau 661 Masehi. Latar belakang
berdirinya Dinati Umayyah terjai pada masa pemerintahan Khalifah Ali Bin
Abi Thalib. Pada masa tersebut, terjadi perbedaan pendapat yang dikemukakan
oleh Mu’awiyah yang merupakan seorang gubernur dari Syiria yang
berkedudukan di Damaskus. Mu’awiyah merasa keberatan apabila Ali Bin Abi
Thalib menjadi Khalifah ke-IV. Pertentangan tersebut akhirnya menimbulkan
peperangan yang saat ini dikenal dengan perang Shiffin (657 M). Perang
tersebut terjadi di suatu tempat di pinggiran sungai Eufrat (Irak). Perang Shiffin
ini diakhiri dengan tahkim, namun hal tersebut tetap tidak dapat menyelesaikan
permasalahan yang ada, justru menimbulkan adanya tida golongan yang
berbeda, yaitu Mu’awiyah, Syiah, dan Khawarij. Pada tahun 661 M Ali ra
terbunuh oleh salah satu angota Khawarij2. Dengan demikian, masa Khulafaur
Rasyidin berakhir dan Bani Umayyah memulai kekuasaannya dalam semangat
politik Islam.
Saat pemerintahan Bani Umayyah ini dimulai, pemerintahan yang
sebelumnya bersifat demokratis berubah menjadi sistem pemerintahan
monarki atau kerajaan. Hal tersebut terjadi ketika Mu’awiyah memasuki
Kuffah dan mnegucapkan sumpah jabatan yang disaksikan langsung oleh dua
orang putra Ali, yaitu Hasan dan Husain, serta disaksikan langsung oleh rakyat
banyak. Putra-putra Ali ra tersebut melepaskan hak kekhalifahannya dan
menyerahkannya kepada Mu’awiyah demi kemaslahatan dan perdamaian
umat.

1
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 192.
2
Busyairi Madjidi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1994), hlm. 17.

3
Namun, Hasan tetap mengajukan beberapa syarat sebelum benar-benar
menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah. Adapun syarat-syarat
tersebut antara lain :
a. Muawiyah harus menjalankan pemerintahan yang berpegang teguh kepada
al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta prilaku khalifah-khalifah yang saleh.
b. Muawiyah tidak boleh mengangkat seorang putra mahkota sepeninggalnya
dan segala urusan yang berhubungan dengan kekhalifahan harus
diserahkan kepada orang banyak untuk membantu menentukan keputusan.
c. Muawiyah tidak diperbolehkan menaruh dendam kepada penduduk Irak,
memafkan, dan menjamin keamanan penduduk Irak.
d. Muawiyah harus memberikan pajak tanah negeri Ahwaz di Persia untuk
Hasan dan diberikan setiap tahunnya.
e. Muawiyah harus membayar membayar sebesar lima juta dirham kepada
Husein dari Baitul Mal.
f. Muawiyah harus datang secara langsung ke Kufah untuk proses
penyerahan dan penerimaan jabatan khalifah dari Hasan dan mendapat
baiat dari penduduk Kufah3.
Dinasti Umayyah lahir dengan latar belakang pertentangan politik antar
golongan. Dan biasanya, corak politik suatu negara banyak dipengaruhi oleh
latar belakang berdirinya negara tersebut. Oleh karena itu, Dinasti Ummayah
yang berdiri dengan latar belakang pertentangan politik dan lahir dikelilingi
oleh musuh-musuh yang berasal dari berbagai golongan, maka kebijakan
politiknya menggunakan pendekatan militer agar kekuasaan Dinasti Umayyah
tidak menjadi korban4.
Dalam sejarahnya, Dinasti Umayyah ini bertahan selama 90 tahun dan
terdapat total 14 khalifah, dan seluruh khalifah-khalifah tersebut diangkat
berdasarkan keturunan Bani Umayyah. Adapun urutan-urutan khalifah
Umayyah adalah sebagai berikut :
1. Mu‟awiyah (Ibn Abi Sufyan) 661 – 680 M.
2. Yazid I (Ibn Mu‟awiyah) 680 – 683 M.
3. Muawiyah II (Ibn Yazid) 683 M.
4. Marwan I (Ibn Hakam) 683 – 685 M.

4
5. Abdul Malik Ibn Marwan 685 – 705 M.
6. Al-Walid I (Ibn Abdul Malik) 705 – 715 M.
7. Sulaiman Ibn Abdul Malik 715 – 717 M.
8. Umar II 717 – 720 M.
9. Yazid II (Ibn Abdul Malik) 720 – 724 M.
10. Hisyam Ibn Abdul Malik 724 – 743 M.
11. Al-Walid II (Ibn Yazid I) 743 – 744 M.
12. Yazid III 744 M.
13. Ibrahim 744 M.
14. Marwan II (Ibn Muhammad) 744 – 750 M.
2.2. Pertumbuhan, Sistem, dan Kebijakan Pemerintahan
Langkah awal yang diambil oleh Muawiyah dalam menata
pemerintahannya setelah resmi menjadi khalifah umat Islam adalah
memindahkan pusat pemerintahan yang sebelumnya berada di Madinah
menjadi di Damaskus. Langkah tersebut diambil oleh Muawiyah untuk
mengantisipasi tindakan-tindakan yang timbul dari reaksi pembentukan
kekuasaannya, terlebih dari kelompok-kelompok yang tidak meyukainya5.
Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus dilakukan karena
di Madinah sendiri masih terdapat banyak sisa-sisa kelompok yang
bertentangan dengan Muawiyah. Dengan itu, dikhawatirkan akan mengganggu
stabilitas kekuatannya.
Setelah langkah pemindahan pusat pemerintahan, langkah selanjutnya yang
dilakukan oleh Muawiyah adalah melakukan pergantian sistem pemerintahan
menjadi sistem kerajaan6. Sehingga, pergantian pemimpin akan dilakukan
berdasarkan garis keturunan, bukan berdasarkan demokrasi sebagaimana yang
terjadi pada sistem kekhalifahan sebelumnya. Hal tersebut juga dianggap telah
melanggar syarat-syarat yang diajukan oleh Hasan.

3 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 5.


4FujiRahmadi, Dinasti Umayyah (Kajian Sejarah dan Kemajuannya). Al-Hadi.(2018) 3(2), 669-676..
5 Syed Mahmuddunasir, Islam Its Concept and History (New Delhi: Lahoti Fine Arr Press, 1985), hlm. 151.
6 Fuad Mohd Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 44.

5
Model pemerintahan berbentuk monarki menggunakan sistem pergantian
kekuasaan bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah putera mahkota atau
putera saudaranya. Jika tidak ada anak laki-laki maka yang akan diangkat
adalah anak perempuan tertua. Sistem pemerintahan tersebut menimbulkan
beberapa kritik keras, terutama dari golongan Khawarij dan Syiah. Karena
dengan sistem pemerintahan tersebut, akan menunjukkan ketertutupannya
peluang bagi keturunan lain di luar keturunan Umayyah. Selain itu, sistem
pemerintahan monarki ini juga akan menimbulkan persaingan di kalangan
keluarga kerajaan untuk saling merebut kursi kekhalifahan yang seringkali
menimbulkan pertentangan-pertentangan dan akhirnya membuat konflik
berdarah atau kudeta. Dengan adanya tragedi perebutan kekuasaan, maka pihak
yang akan dirugikan adalah rakyat. Model pemerintahan yang ditetapkan
Muawiyah ini banyak diambil dari model pemerintahan Byzantium7.
Selain menimbulkan banyak kritik, sistem pemerintahan dinasti Umayyah
ini juga menimbulkan beberapa aspek positif, di antaranya adalah meluasnya
wilayah kekuasaan Islam. Meskipun upaya yang diambil Muawiyah tidak
terlepas dari sisi negatif, setidaknya hal tersebut diambil sebagai langkah baru
dalam rangkaian penataan masyarakat Islam yang lebih teratur, baik dari segi
struktur pemerintahan, politik keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan
perluasan wilayah pemerintahan.
Sedangkan masa pertumbuhan pemerintahan dinasti Umayyah sendiri
terjadi pada tahun 661-685 Masehi. Masa pertumbuhan ini mencakup masa
pemerintahan Muawiyah (661 – 680 M/40 – 60 H), Yazid bin Muawiyah (680
– 683 M/61 - 63 H) , dan Marwan bin Hakam (684 – 685 M/64 – 64 H).
a. Muawiyah (661 – 680 M/40 – 60 H)
Muawiyah sebagai pemimpin pertama dinasti Umayyah melakukan
pemindahan pusat pemerintahan ke Damaskus. Selain itu, untuk pertama
kalinya dalam pemerintahan Islam, Muawiyah mempergunakan tenaga
Body-Guard (pengalaman pribai) untuk alasan keamanan juga Muawiyah
membangun tempat khusus untuk dirinya di dalam mesjid yang disebut
dengan Maqsurah.

6
Muawiyah juga memperkuat pemerintahan dengan mengembangkan
armada angkatan laut sehingga ketika itu dia telah memiliki 1.700 buah
kapal. Dia pernah menyerahkan angkatan laut itu di bawah pimpinan
puteranya Yazid untuk merebut Konstantinopel (668 – 669 M). Akan tetapi
usaha ini gagal karena pertahanan kota tersebut sangat kokoh. Akibatnya
banyak yang menderita korban jiwa dan kapal, karena pihak musuh tetap
dapat menggunakan “Bom Yunani”.
b. Yazid ibn Muawiyah (680 – 683 M/61-63 H)
Masa pemerintahan Muawiyah kemudian digantikan oleh anaknya yang
bernama Yazid. Yazid hanya memerintah selama tiga tahun. Pada masa
kepemimpinannya, Yazid banyak mendapatkan perlawanan dari penduduk
Kufah, Bashrah, dan penduduk serta sahabat-sahabat di Madinah terutama
di Makkah. Sehingga pada masa pemerintahannya, Yazid dihadapkan
banyak kerusuhan.
Pada tahun pertama pemerintahannya, Yazid membunuh Husain bin Ali
di Karbela. Pada saat itu, penduduk Kufah berniat untuk mengundang
Husein untuk datang ke Kufah dan penduduk Kufah juga berniat untuk
menjadikan Husein bin Ali menjadi Khalifah setelah kepemimpinan
Muawiyah. Dalam perjalanan menuju Kufah, Yazid memerintahkan
gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad untuk mencegat Husein bin Ali.
Sehingga dalam perjalan menuju Kufah tersebut, Husein beserta 200 orang
rombongannya terbunuh oleh oleh Ubaidillah bersama 4000 tentaranya.
Kemudian pada tahun kedua pemerintahannya, Yazid bin Muawiyah
menjarah Madinah. Hal tersebut ia lakukan karena penduduk Madinah
tidak mau mengakui kekhalifahan Yazid, dan bahkan penduduk Madinah
memecat gubernur yang diangkat oleh Yazid. Selain itu, penduduk
Madinah juga mengusir gubernur tersebut beserta seluruh keturunan Bani
Umayyah8. Hal tersebutlah yang memicu kemarahan Yazid.

7
Nourouzzaman Shiddiqie, Tamadun Muslim: Bunga Rampai Kebudayaan Muslim (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), hlm. 72.
8
Ahmad Syalaby, Mausu’ah al-Tarikh al-Islamiyi wa al-Hasharah al-Islamiyah, Juz. I (Kairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1978), hlm. 19.

7
Pada tahun ketiga, Yazid bin Muawiyah juga melakukan penyerangan
ke Makkah untuk menaklukkan kota suci itu. Hal tersebut ia lakukan karena
di sanalah Abdullah bin Zubeir mengangkat dirinya sebagai khalifah dan
diakui oleh seluruh penduduk Hijaz. Namun, di tengah perjalanan Yazid
meninggal dan digantikan oleh panglima baru yaitu Husein bin Namir.
Panglima baru tersebut mengepung Makkah, merusak Ka’bah,
memecahkan Hajral Aswad, dan menembaki Masjidil Haram. Setelah
mendengr berita kematian Yazid, Husein bin Namir kemudian
mengehentikan serangan dan kembali ke Syam9.
Yazid meninggal secara mendadak tanpa diketahui yang menjadi
penyebabnya pemerintahannya digantikan oleh anaknya Muawiyah II bin
Yazid, sebagai pengganti dia hanya memerintah selama 3 bulan dan sakit-
sakitan, karena tidak mampu mengendalikan pemerintahan, dia
mengundurkan diri. Tidak ada pengganti lagi dari keturunan mereka.
Dengan demikian berakhirlah masa pemerintahan Bani Umaiyah dari Abu
Sofyan dan beralih ke keturunan al-Hakam Abu Ash’ bin Umaiyah yaitu
Marwan bin Hakam.
c. Marwan bin Hakam (684 – 685 M/64 – 65 H)
Pada saat Marwan bin Hakam diangkat menjadi khalifah, sudah ada
Abdullah bin Zubeir yang telah diakui oleh penduduk Hijaz, Kufah,
Basrah, dan sebagian penduduk Syam sebagai khalifah. Sementara
penduduk Arab Selatan berpihak kepada Marwan bin Hakam.
Dalam menghadapi tantangan di atas Marwan hanya dapat
mengalahkan Arab Utara dan mereka menyatakan tunduk kepadanya, dan
juga dia meneruskan serangan ke Mesir, penduduk Mesir pun menyatakan
sumpah setia kepadanya. Akan tetapi sebelum dapat mengalahkan
penduduk Hijaz dia wafat pada bulan Ramadhan 63 H dan hanya
memerintah selama satu tahun. Sebelumnya, dia telah membujuk anaknya
Abdul Malik sebagai penggantinya.

9
Hasan Ahmad Mahmud, Al-‘Alam al-Islamy fi ‘Ashri al-Abbasy, (Mesir: Dar al-Fikri Al-‘Araby,
1978), hlm. 20.

8
2.3. Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah
Salah satu tanda kejayaan dinasti Umayyah adalah capaian ekspansinya
yang sangat luas. Dan langkah ekspansi tersebut menunjukkan stabilitas politik
dinasti Umayyah yang cukup mapan. Selain itu, langkah ekspansi pada masa
dinasti Umayyah ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah dicapai pada
masa Khulafaurrasyidin. Karena pada masa Khulafaurrasyidin ekspansi
sempat terhenti karena disebabkan konflik dan kekacauan di kalangan umat
Islam10.
Beberapa wilayah yang dapat ditaklukkan di zama Muawiyah ini antara lain,
Tunisia, di sebelah Timur Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai
ke Sungai Oxus, Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian ekspansi ke wilayah
Timur dilanjutkan oleh Khalifah Abd al-Malik. Ia berhasil menundukkan
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana, dan Markhand. Bahkan, sampai ke
India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke
Maltan11.
Kemudian pada zaman Walid ibn Abdul Malik, ekspansi ke Barat secara
besar-besaran dilakukan. Pada masa pemerintahan Walid ibn Abdul Malik ini
dikenal dengan masa ketentraman, kemakmuran, dna ketertiban. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, Benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M. Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,
menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa,
dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar
(Jabal Tariq), setelah al-Jazair dan Marokko dapat ditaklukan. Tentara Spanyol
pun dapat ditaklukkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai, menyusul
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan Ibukota
Spanyol baru setelah jatuhnya Kordova12.

10
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), hlm. 74.
11
Badri Yatin, Sejarah Peradaban Islam (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm. 43.
12
Ibid., hlm. 44.

9
Setelah kemengan-kemenangan besar yang sudah dicapai Tariq tersebut,
kota demi kota di Spanyol mulai perlahan ditaklukkan juga. Sehingga
kemudian Musa bin Nushai juga ikut membantu Tariq menaklukkan kota-kota
yang ada di Spanyol, dan berhasil merebut Kota Karma, Kota Barcelona, dan
Saragosa. Selain itu, daerah-daerah lain seperti Aragon dan Castilia pun
berhasil ditaklukkan oleh Musa bin Nushai dan Tariq.
Keberhasilan-keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur
maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas.
Daerah - daerah tersebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Sind, Punjab, Syria,
Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah
yang sekarang.
2.4. Masa Puncak Dinasti Umayyah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Keberhasilan dan masa puncak dinasti Umayyah ini bukan hanya terletak
pada bidang ekspansi wilayah saja. Tetapi juga membawa intonasi-intonasi di
bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Berikut ini adalah bukti
keberhasilan dinasti Umayyah pada beberapa bidang :
1. Bidang Administrasi Pemerintahan dan Politik Kenegaraan
Pada masa Khulafaurrasyidin, sistem pemerintahan yang digunakan
merupakan sistem pemerintahan yang bersifat demokratis, yaitu sistem
pemerintahan yang di dalamnya selalu melibatkan rakyat. Selain itu, pada
masa Khulafaurrasyidin, belum terlihat jelas batas pemisah antara urusan
agama dengan urusan pemerintahan. Sedangkan pada masa dinasti
Umayyah, sistem pemerintahan menggunakan sistem pemerintahan yang
bersifat turun-temurun atau monarki. Selain itu, perbedaan yang paling
jelas terlihat adalah pada masa dinasti Umayyah ini, sudah terlihat jelas
batas pembeda antara urusan agama dengann urusan pemerintahan. Karena
kebanyakan Khalifah Bani Umayyah bukan merupakan orang-orang yang
ahli dalam soal-soal agama. Sehingga segala sesuatu yang berurusan
dengan agama akan diserahkan kepada ulama yang terdiri dari Qadhi dan
Hakim. Pada umumnya, para Qadhi dan Hakim tersebut selalu
menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber hukum pertama13.

13
Ali Ibrahim Hasan, Studies in Islamic History (Bandung: al-Ma’arif, 1987), hlm. 42.

10
Kemudian untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan
pemerintahan dibentuklah beberapa Diwan (departemen) yang di dalamnya
terdiri dari :
1. Diwan Rasail, merupakan departemen yang dibuat untuk mengurusi
masalah surat-surat negara.
2. Diwan al-Kharaj, merupakan departemen yang bertugas untuk
mengurusi pajak.
3. Diwan al-Barid, yaitu badan intelijen yang bertugas sebagai penyampai
rahasia daerah pada pemerintahan pusat.
4. Diwan al-Khatam, merupakan departemen yang bertugas untuk
mencatat dan menyalin segala peraturan yang dikeluarkan oleh
khalifah, kemudian peraturan yang asli harus disegel dan dikirim ke
alamat yang dituju.
2. Bidang Ekonomi
Salah satu bukti kejayaan pada masa dinasti Umayyah adalah pada
bidang ekonomi. Keberdaan Baitul Mal merupakan salah satu bukti adanya
kemajuan dan perkembangan di bidang ekonomi pada masa dinasti
Umayyah. Eksistensi Baitul Mal merupakan hasil dari penaklukan yang
dilakukan oleh dinasti Umayyah.
Para khalifah, pejabat, dan militer banyak memperoleh harta rampasan
perang dan tanah-tanah yang subur dari tuan-tuan tanah besar yang telah
melarikan diri bersama tentara kerajaan yang telah dilumpuhkan.
Pemerintah kemudian memperoleh pajak-pajak dari daerah-daerah yang
ditaklukkan tersebut. Untuk pemasukan negara, didapat dari Kharaj,
Jizyah, Usyur, Zakat, dan lain-lain. Selain itu, tanah-tanah luas yang
dimiliki pemerintah juga mulai diterapkan sistem sewa. Sistem sewa
(leases) ini merupakan sistem yang diadaptasi dari sistem emphyteusis dari
Bizantium14.

14
Bermars Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PIJ Press, 1988), hlm. 61.

11
Selain itu, salah satu kemajuan di bidang ekonomi yang terlihat adalah
pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, uang mulai dicetak sebagai
alat tukar yang dibuat dari emas dan perak. Uang yang dicetak pada masa
pemerintahan Abdul Malik ini memiliki ciri khas berupa hiasan ayat-ayat
al-Qur’an. Dengan gambaran yang diejaslan di atas, kita dengan jelas dapat
mengetahui bahwa pada masa dinasti Umayyah ini terjadi kemjuan yang
sangat besar pada bidang ekonomi yang menjadikan Islam sebagai
kekuatan adi daya di masa itu.
3. Bidang Sains, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban
Para sejerawan menyebutkan bahwa dinasti Umayyah merupakan benih
yang ditebarkan atas pohon ilmu dan peradaban Islam, tetapi ia berbunga
dan berbuah pada masa Daulah Abasiyyah. Para penguasa dinasti Umayyah
berusaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara
memberikan motivasi dan anggaran dana yang cukup besar untuk para
ulama, ilmuwan, seniman, dan sastrawan. Hal tersebut dilakukan agar
mereka dapat bekerja secara maksimal untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan tanpa memikirkan masalah keuangan15. Perkembangan di
bidang ilmu pengetahuan pada masa dinasti Umayyah tidak hanya berfokus
pada ilmu agama saja, melainkan juga mencakup bidang-bidang ilmu yang
lain, seperti ilmu kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu bumi, sejarah, dan
lain-lain.
Kemajuan ilmu agama mulai berkembang pada masa Khalifah Abdul
Malik. Salah satu tokoh ahli bahasa bernama Sibawih yang berhasil
menyusun kitab Nahwu dan Sharaf merupakan salah satu bukti kemajuan
ilmu pengetahuan di masa dinasti Umayyah. Ahli bahasa seperti Sibawaih
lahir karena pada masa kepemimpinan Khalifah Abdul Malik, bahasa Arab
dijadikan sebagai bahasa resmi di seluruh negeri. Meskipun begitu, bahasa-
bahasa asal tidak sepenuhnya hilang dalam diri masyarakat. Pengembangan
ilmu-ilmu agama, penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang sangat
memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis atau pun secara
kronologis tentang Islam.

15
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: Toha Putra, 2009), hlm. 86.

12
Bidang ilmu lain yang berkembang pada masa dinasti Umayyah adalah
bidang ilmu sosial budaya. Hal tersebut karena Bani Umayyah telah
membuka kontak antara bangsa-bangsa muslim dengan negeri-negeri
taklukan yang terkenal memiliki tradisi yang luhur. Kontak tersebut
kemudian menghasilkan sebuah kreativitas yang menakjubkan di bidang
seni. Salah satunya adalah seni arsitektur. Qubah as-Shakhra di Yerussalem
merupakan salah satu bukti yang mengautkan bahwa seni arsitektur pada
masa dinasti Umayyah pernah mencatat prestasi terbaiknya.
Pendidikan formal memnag belum didirikan pada masa dinasti
Umayyah. Namun, pada masa itu, nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam
pendidikan adalah tentang keberanian, daya tahan saat tertimpa musibah,
mentaati hak dan kewajiban tetangga, menjaga harga diri, kedermawanan
dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan
janji. Sehingga, orang-orang yang dapat membaca dan menulis bahasa
aslinya, bisa menggunakan busur panah, serta pandai berenang, dipandang
masyarakat sebagai orang-orang yang terpelajar.
Pada masa ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, bahkan ilmu
pnegobatan mencapai kesempurnaannya di Arab pada masa ini. Salah satu
contohnya adalah Khalid bin Yazid yang merupakan putera Khalifah
Dinasti Umayyah kedua yang berhasil memperoleh kesarjanaan dalam
bidang ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku mengenai
bidang tersebut16. Bahkan, Khalid bin Yazid merupakan orang Islam
pertama yang berhasil menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan
Koptik tentang kimia, kedokteran, dan astrologi. Perkembangan ilmu
pengetahuan yang pesat tersebut tentu saja tidak terlepas dari kerja sama
yang baik antara penguasa, hartawan, dan ulama. Pada masa itu, umat Islam
meyakini bahwa memajukan dan mengembang ilmu pengetahuan
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut
membuktikan bahwa umat Islam tidak hanya tampil sebagai tokoh agama
yang khusu’ dalam beribadah, tetapi juga mampu menguasai dunia.

16
K. Ali, A Study of Islamic History (New Delhi: Idarah Adabiyat-I Delhi, 1980), hlm. 241.

13
2.5. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Umayyah
Masa kemunduran dan kehancuran dinasti Umayyah sendiri bermula karena
sering terjadinya kekacauan. Kekacauan-kekacauan tersebut timbul karena
adanya persaingan antara para keluarga khalifah. Persaingan tersebut
mengakibatkan munculnya fanatisme golongan antara Arab Mudariyah di
Utara dan Yamaniyah di Selatan. Akibat cikal bakal runtuhnya Dinasti
Umayyah juga ditandai dengan ketidaksenangan rakyat atas perilaku para
khalifah dan keluarganya, terutama kepada empat khalifah terakhir (al-Walid
bin Yazid, Yazid bin Abdul Malik, Ibrahim bin al-Walid dan Marwan bin
Muhammad) yang terlalu mengabaikan kehidupan rakyat, bahkan mereka bisa
dikatakan memiliki akhlak dan moral yang buruk17. Berikut ini merupakan
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran dinasti
Umayyah :
1. Sistem Pergantian Khalifah
Sejak penggunakan sistem pemerintahan yang bersifat turun temurun,
muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada
anak keturunannya. Sistem yang dijalankannya ini, sekaligus sebagai
pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat dengan Hasan bin Ali18. Masa
sejak Mu‟awiyah sebagai penguasa, sesungguhnya mulai tercetuslah cara
permanen untuk pembaiatan secara paksa serta tumbuhnya Dinasti-dinasti
Tirani, di mana para pemegang kekuasaan tidak menggunakan musyawarah,
tetapi dengan kekuatan dan paksaan, dan bila seharusnya kekuatan
diperoleh berdasarkan baiat, maka justru baiatlah yang berlangsung
berdasarkan kekuatan19. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan
adalah sesuatu tradisi yang baru dalam Arab, yang lebih menentukan aspek
senioritas, pengaturannya tidak jelas. Sistem ketidakjelasan pergantian
khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di
kalangan anggota keluarga istana.

17
Studi Islam IAIN Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2004), hlm 134.
18
Muhammad Jalal Syarf, Al-Fikr Al-Siyasi Fi Al-Islam (Iskandariyah: Dar al-Misriyah, 1987), hlm.
135.
19
Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evalusi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam,
cet. IV (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 202.

14
2. Figur Khalifah yang lemah
Dengan sistem pemerintahan yang bersifat turun temurun,membuat
kecenderungan munculnya sifat khalifah yang lemah juga semakin banyak.
Cerita tentang kehidupan beberapa orang khalifah yang zalim, serta mabuk-
mabukan dan bersikap sewenang-wenang, bukanlah cerita “baru” bagi
masyarakat saat itu. Lemahnya pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga
disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana, sehingga anak-
anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala
mereka mewarisi kekuasaan. Sebagian besar golongan awam kecewa karena
perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
3. Banyak Pemberontakan
Lahirnya Bani Umayyah dan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan
berpotensi mengundang konflik, sentimen penyebab langsung runtuhnya
kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas bin Abbas al-Muthallib. Gerakan ini
mendapat dukungan dari Bani Hasyim, golongan Syi‟ah, dan kaum Mawali
yang merasa di kelas duakan oleh pemerintah Bani Umayyah.59 Sejarah
menyebutkan bahwa terdapat beberapa pemberontakan yang terjadi selama
pemerintahan Bani Umayyah. Pemberontakan itu dimaksudkan untuk
“mewakili” rasa ketidakpuasan di atas. Pemberontakannya antara lain:
gerakan Kaum Khawarij, golongan Syi‟ah, gerakan oposisi Abdullah bin
Zubair20.
4. Lahirnya kembali Fanatisme Kesukuan
Masa kekuasaan Bani Umayyah juga menimbulkan pertentangan etnis
antara suku Arabia Utara (Bani Qoys) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang
sudah ada sejak zaman sebelum Islam muncul kembali dan bahkan makin
meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah
mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan21. Orang
Mawali secara teoritis sebagai orang muslim memiliki derajat yang sama
dengan orang Arab, tetapi hal itu tidak tampak pada pemerintahan Bani

20
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), hlm. 94.
21
Ibid., hlm. 100.

15
Umayyah. Orang Kristen Arab dalam kenyataannya lebih disukai orang
Umayyah dari pada Muslim non-Arab. Tunjangan-tunjangan yang
diberikan oleh pemerintah Umayyah kepada orang-orang Mawali lebih
kecil dari pada orang Arab asli22. Sikap ini yang memupuk rasa permusuhan
di kalangan Mawali terhadap Bani Umayyah.
5. Sikap Hidup Mewah Para Penguasa
Kemenangan suatu dinasti lazimnya diikuti oleh kemewahan hidup,
foya-foya, dan tidak mau bekerja. Hasan Ibrahim Hasan berpendapat, inilah
yang ditiru oleh para Khalifah dari tradisi Byzantium, hal ini sudah
berlangsung sejak pemerintahan sebagian penguasa Bani Umayyah,
misalnya Yazid ibn Mu‟awiyah, juga di masa Walid I, dan Khalifah Yazid
ibn Abdul malik. Hidup bermegah-megahan ini tentu saja mempengaruhi
kondisi psikologis dan vitalitas mereka dalam memimpin negara yang besar
dengan daerah kekuasaan yang demikian luas23.
6. Munculnya Kekuatan Baru
Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah
munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas bin
Abbas al-Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan dari Bani Hasyim,
golongan Syi‟ah dan Kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh
pemerintah Bani Umayyah24.

22
W. Montgomery Watt, dan Hartono Hadikusumo, Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh
Orientalis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 28.
23
Busman Edyar et al., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2009), hlm. 57.
24
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm. 48.

16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa Dinasti Umayyah
berdiri dari latar belakang pertentangan politik yang berkuasa selama kurang
lebih 90 tahun yang didirikan oleh Muawiyyah bin Abi Sufyan bin Harb bin
Umayyah.
Pada masa pemerintahannya dinasti ini melakukan berbagai perubahan,
seperti mengubah sistem pemerintahan menjadi sistem kerajaan atau monarki,
sehingga pergantian pemimpin dilakukan berdasarkan garis keturunan.
Kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus. Pada masa dinasti
ini juga mengalami banyak kemajuan, yaitu semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan seperti kedokteran, ekonomi,
filsafat, dll. Juga melakukan ekspansi wilayah besar-besaran sampai ke wilayah
Barat yang membuatnya dapat mencapai puncak keemasan. Wilayah-wilayah
tersebut meliputi : Spanyol, Afrika Utara, Sind, Punjab, Syria, Palestina, jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan.
Pada masa kemunduran dan kehancuran Dinasti Umayyah timbul berbagai
kekacauan karena persaingan di antara keluarga khalifah. Seiring berjalannya
waktu muncul khilafah-khilafah yang mengabaikan kehidupan
rakyat,kemudian muncul kesenjangan, bahkan mereka bisa dikatakan memiliki
akhlak dan moral yang buruk hingga membuat rakyat tidak senang. Disisi lain,
penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah karena
munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas bin Abbas
al-Muthallib.

17
DAFTAR PUSTAKA

Yatim, Badri. Histografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.


Madjidi, Busyairi. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Sumbangsih Offset,
1997.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia,
1985.
Rahmadi, Fuji. 2018. Umayyah (Kajian Sejarah dan Kemajuannya). Al-Hadi, 3 (2),
669-676.
Madmuddunasir, Syed. Islam Its Concept and History. New Delhi: Lahoti Fine Arr
Press, 1985.
Fachruddin, Fuad Mohd. Perkembangan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1985.
Shiddiqie, Nourouzzaman. Tamadun Muslim: Bunga Rampai Kebudayaan Muslim.
Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Syalabi, Ahmad. Mausu‟ah al-Tarikh al-Islamy wa al-Hadarah al-Islamiyah.
Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Islamiyyah, 1978.
Mahmud, Hasan Ahmad. Al-‘Alam al-Islamy fi ‘Ashri al-Abbasy. Mesir: Dar al-
Fikri al-‘Araby, 1978
Fu‟adi, Imam. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Sukses Offset, 2011.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Depok: Rajawali Press, 2017
Hasan, Ali Ibrahim. Studies in Islamic History. Bandung: al-Ma’arif, 2987.
Lewis, Bermars. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PIJ Press, 1988.
Murodi, Sejarah kebudayaan Islam. Semarang: Toha Putra, 2009.
Ali, K. A Study of Islamic History. New Delhi: Idarah Adabiyat-I Delhi, 1980.
Studi Islam IAIN Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, 2004.
Syarf, Muhammad Jalal. , Al-Fikr Al-Siyasi Fi Al-Islam. Iskandariyah: Dar al-
Misriyah, 1987.
Al-Maududi, Abul A‟la. Khilafah dan Kerajaan: Evalusi Kritis Atas Sejarah
Pemerintahan Islam, cet. IV. Bandung: Mizan, 1992.

18
Watt, W. Montgomery. dan Hadikusumo, Hartono. Kejayaan Islam Kajian Kritis
dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Edyar, Busman et al., Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatrus, 2009.

19

Anda mungkin juga menyukai