Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PBL

SKENARIO 1 BLOK 9

Kelompok F (DK 6)
Ketua : Alfin Effendi (195160107111007)
Sekretaris : Mutiara Azzahra (195160107111012)
Anggota : Yuan Marcelita (195160101111030)
Farhan Al Rasyid Munthe (195160107111001)
Diva Mutiara Afina (195160107111002)
Herlambang Pangestu (195160107111003)
Vivi Anggia Puspitasari (195160107111004)
Salima Izzati (195160107111005)
Rizky Akbar Nimastama Putra (195160107111006)
Ayu Nabilatul Ummah (195160107111008)
Rania Luthfiyah El Ma’suma (195160107111010)
Mutiara Azzahra (195160107111012)
Ramadhan Waskita Gemilang (195160107111013)
Luluk Nadzifah Ranitasari (195160107111014)

DK 1 : Selasa / 19 Oktober 2021


DK 2 : Jumat / 21 Oktober 2021

FASILITATOR DK 1: drg. Ega Lucida Chandra K, Sp.Perio


FASILITATOR DK 2: drg. Ega Lucida Chandra K, Sp.Perio

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada drg. Ega Lucida Chandra K, Sp.Perio
atas bimbinganya dalam diskusi berlangsung, sehingga penulis dapat menyusun laporan ini
dengan tepat waktu. Laporan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas laporan Problem Based
Learning (PBL).
Penyusunan laporan ini tentunya tidak lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan.
Namun berkat kerjasama teman-teman, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terkait
dengan hal ini, penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kelancaran pembuatan tugas laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca,
sehingga dapat memperbaiki penulisan karya tulis selanjutnya. Akhir kata, semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis

II
DAFTAR ISI

Cover............................................................................................................................................
Kata Pengantar...........................................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................................... iii
I. Skenario......................................................................................................................... 1
II. Kata Sulit....................................................................................................................... 1
III. Keywords........................................................................................................................1
IV. Identifikasi Masalah.......................................................................................................1
V. Brainstorming................................................................................................................ 2
VI. Hipotesis........................................................................................................................ 2
VII. Learning Issue................................................................................................................3
VIII. Learning Outcomes........................................................................................................ 3
Daftar Pustaka..........................................................................................................................27
I. Skenario
Seorang wanita berusia 34 tahun datang ke dokter gigi dengan keluhan sering
mengalami sariawan dengan lokasi yang berbeda-beda, biasanya sariawan muncul
tiba-tiba menjelang menstruasi. Pada pemeriksaan klinis didapatkan ulser, multipel, 2-
3 mm, dikelilingi halo eritema. Hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan nilai
LED 33 mm/jam dan tidak ditemukan ulser pada bagian tubuh yang lain. Dokter gigi
memberikan obat oles setelah melakukan pemeriksaan. Pada hari yang sama, seorang
laki-laki 22 tahun datang dengan keluhan sariawan yang sakit pada lidah setelah
tergigit sehari sebelumnya. Dokter gigi memberikan obat kumur pada pasien tersebut.

II. Kata Sulit


1. Nilai LED = merupakan kepanjangan dari laju endap darah → pemeriksaan
yang bertujuan mengukur seberapa cepat eritrosit menggumpal
2. Halo eritema = kondisi yang bercak kemerahan pada kulit yg disebabkan oleh
pelebaran pembuluh darah, bisa diakibatkan oleh paparan sinar matahari,
infeksi

III. Keywords
1. Wanita berusia 34 tahun
2. Sariawan muncul tiba-tiba menjelang menstruasi
3. Ulser, multiple, 2-3 mm
4. Dikelilingi halo eritema
5. Pemeriksaan darah lengkap → nilai LED 33 mm/jam
6. Dokter memberikan obat oles
7. Laki-laki 22 tahun
8. Sariawan yang sakit pada lidah setelah tergigit sehari sebelumnya
9. Obat kumur

IV. Identifikasi Masalah


1. Apa saja yang dapat menyebabkan sariawan ?
2. Hormon apa yang menyebabkan sariawan saat menstruasi
3. Obat oles apa yang diberikan pada pasien wanita?
4. Berapakah nilai LED yang normal dan LED bernilai 33 mm/jam apakah
termasuk normal ?
5. Mengapa pemberian akhir pada pasien wanita 34 tahun dan pasien laki-laki 22
tahun berbeda dengan pasien wanita diberikan obat oles sedangkan pasien
laki-laki diberi obat kumur ?
6. Mengapa perlu pemeriksaan darah lengkap pada kasus tersebut ?
7. Apa saja bentuk lesi selain halo eritema?
8. Apakah umur berpengaruh pada terjadinya penyakit mulut ?
9. Apakah ada pengaruh dari timbulnya halo eritema dengan keadaan pasien
yang dehidrasi ?
10. Pemeriksaan darah lengkap meliputi apa saja?

1
V. Brainstorming
1.
● Hormon, Stress, Keadaan imun yang tidak normal
● Terkena kawat lepasan ortho, tidak sengaja tergigit
● Infeksi jamur, virus dan bakteri di mulut, kesalahan dalam menyikat
gigi, merokok dan faktor genetik
2. Hormon estrogen
3. Salah satunya Bufacomb
4. Wanita dibawah 50 tahun 0-20 mm, jadi pada skenario LED wanita berusia 34
tahun lebih dari normal
Interpretasi→ sel darah merah cenderung cepat mengendap menandakan laju
endap darah yang tinggi artinya memiliki kondisi atau penyakit yang
menyebabkan peradangan atau kerusakan sel
5.
● Karena pada wanita sariawan terjadi pada lokasi yang mudah
dijangkau sehingga bisa digunakan obat oles, sedangkan pada pasien
laki-laki sulit digunakan obat oles sehingga digunakan obat kumur
● Wanita 34 tahun memiliki kelainan sistemik→ dilakukan pemeriksaan
LED lebih dari normal
● Pasien laki-laki 22 tahun lesinya disebabkan oleh trauma jadi cukup
diberikan obat kumur
6. Untuk mengukur sejauh mana peradangan dan infeksi didalam tubuh
7. Bentuk lesi ada yang keluar (eksofitik) ada yang kedalam (endofitik)
Klasifikasi :
- lesi putih
- lesi non putih (merah, ungu, pigmentasi)
8. Usia berpengaruh terhadap aware atau tidaknya terhadap pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut
9. Sariawan bisa juga disebabkan karena kurangnya nutrisi dan mineral yang
masuk ke dalam tubuh maka dari itu mungkin jika terjadi sariawan pada
pasien yang dehidrasi
10. Pemeriksaan LED, hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit, hematokrit

VI. Hipotesis

2
VII. Learning Issues
1. Lesi ulserasi
a. Definisi
b. Etiologi
c. Pathogenesis
d. Macam
e. Gambaran klinis
f. Perawatan
g. Pemeriksaan penunjang
h. Prognosis

VIII. Learning Outcomes


Lesi ulserasi
- Definisi
a. Ulser didefinisikan sebagai hilangnya epitel. Ulser diawali dengan
adanya lepuh yang berisi cairan yang disebut vesikel atau bula. Lesi
ulseratif sering dijumpai pada pasien dokter gigi.
b. Ulser mukosa merupakan kerusakan epitel dan lamina propria dan
membentuk kawah, kadang-kadang menjadi lebih jelas secara klinis
oleh adanya edema atau proliferasi yang menyebabkan pembengkakan
pada jaringan sekitarnya. Adanya warna kemerahan yang mengelilingi
ulkus berwarna kuning atau abu abu. Umumnya, ulser terjadi pada
recurrent aphthous stomatitis

Lesi Ulserasi adalah lesi berbentuk cekung berbatas jelas dan berwarna putih
kekuningan di mukosa mulut yang terasa sakit (Witadiana dkk, 2020).

3
Ulcers and erythema caused by a denture flange.
Sumber: Oral Pathology Clinical Correlations
- Etiologi
a. Trauma kecil yang tidak disengaja
b. Faktor psikologis
c. Iatrogenik
yaitu kesalahan yang dilakukan saat perawatan rongga mulut selama
prosedur diagnostik, bedah, atau medis, pada perawatan jaringan keras
yang mengakibatkan cedera pada jaringan lunak secara tidak sengaja,
adanya tekanan dari saliva ejector, atau perlukaan pada mukosa karena
rotary instrument
d. Alergi bahan kimia
e. Pengobatan kemoterapi

Etiologi Utama Ulser Mukosa


- Systemic disease
- Kelainan darah
- Infeksi
- Penyakit gastrointestinal
- Penyakit kulit
- Malignant neoplasms
- Faktor lokal

4
- Aphthae
- Obat-obatan (Alfin)

Stomatitis Aphthous Recurrent


- Definisi
SAR adalah suatu penyakit ulseratif yang paling umum terjadi di mukosa
mulut. Gambaran lesinya yaitu bentukan ulkus dangkal, berbentuk bulat, nyeri,
bagian tengah ditutupi pseudomembran warna kuning keabu abuan,dan
memiliki batas kemerahan yang jelas. Biasanya terletak dibagian mukosa
bukal, labial dan jarang terjadi pada mukosa yang berkeratin (Akintoye SO
and Martin SG, 2014).

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) adalah gangguan yang ditandai dengan


ulkus berulang terbatas pada mukosa mulut pada pasien tanpa tanda penyakit
lain (Greenberg, 2003).

Stomatitis memiliki arti dalam bahasa yaitu peradangan jaringan lunak di


mulut, aphtosa berarti terbakar, dan rekuren yang artinya ulkus pada rongga
mulut tersebut timbul berulang atau secara tiba-tiba tanpa penyebab yang pasti.
Masyarakat mengenal Stomatitis Aftosa Rekuren dengan sebutan yaitu
sariawan (Junhar, dkk, 2015).

- Etiologi
a. Predisposisi Genetik
Faktor genetik Ada bukti yang baik untuk kecenderungan genetik.
Riwayat keluarga sering positif, dan penyakit ini mempengaruhi lebih
sering identik daripada kembar non-identik. Tidak ada penanda genetik
yang ditemukan. (Cawson. 2017)
b. Respon berlebih pada trauma,
Trauma Pasien sering menyalahkan ulser pada trauma. Ada beberapa
bukti bahwa trauma ringan lebih mungkin berkembang menjadi ulkus
pada individu yang rentan, dan kebanyakan ulkus berada pada lapisan
mukosa yang kurang tahan trauma. (Cawson. 2017)
c. Infeksi
Infeksi Tidak ada bukti bahwa aphthae secara langsung disebabkan
oleh mikroba yang menyebabkan infeksi atau memicu reaksi imun.
Berbagai macam komensal oral, patogen, bakteri, virus dan organisme
yang tidak biasa seperti mikoplasma dan bentuk-L telah diselidiki
tanpa hasil. (Cawson. 2017)
d. Kelainan Imunologis
Abnormalitas imunologi Pembentukan dan penyembuhan ulkus
melibatkan mekanisme inflamasi dan imun, tetapi tidak ada bukti
penyebab, dan penyakit ini bukan autoimun. Tidak ada hubungan
dengan atopi atau alergen lain yang diketahui meskipun banyak pasien

5
menghubungkan ulkus dengan komponen makanan. Aphthae hampir
tidak memiliki semua fitur penyakit autoimun yang khas. Mereka juga
gagal merespon obat imunosupresif dengan andal dan menjadi lebih
parah dalam keadaan defisiensi imun yang disebabkan oleh infeksi HIV.
(Cawson. 2017)
e. Gangguan Gastrointestinal
Penyakit Gastrointestinal Aphthae jarang dikaitkan dengan penyakit
gastrointestinal seperti penyakit celiac, dan kemudian sebagai akibat
dari defisiensi sekunder akibat malabsorbsi, terutama vitamin B12 atau
folat. (Cawson. 2017)
f. Defisiensi Hematologis,
Defisiensi hematologi Defisiensi vitamin B12, folat atau besi telah
dilaporkan pada sebanyak 20% pasien dengan aphthae. Defisiensi
tersebut lebih sering terjadi pada pasien yang aphthae mulai atau
memburuk pada usia paruh baya atau lebih, memiliki lebih dari tiga
ulser pada suatu waktu atau serangan yang sangat sering atau tak henti-
hentinya. Pada banyak pasien seperti itu, defisiensinya bersifat laten,
hemoglobin dalam batas normal, dan tanda utamanya adalah mikro
atau makrositosis sel darah merah. Pada pasien yang terbukti menjadi
kekurangan vitamin B12 atau folat, memperbaiki kekurangan dapat
membawa resolusi yang cepat dari ulser. (Cawson. 2017)
g. Gangguan Hormonal
Faktor hormonal Pada beberapa wanita, aphthae berhubungan dengan
fase luteal dari siklus menstruasi, tetapi tidak ada bukti kuat bahwa
terapi hormon efektif. Kehamilan sering dikaitkan dengan remisi.
(Cawson. 2017)
h. Stres
'Stres' Beberapa pasien menghubungkan eksaserbasi pada saat-saat
stres, dan beberapa penelitian telah melaporkan korelasi. Namun, stres
sangat sulit untuk diukur, dan beberapa penelitian tidak menemukan
hubungan. (Cawson. 2017)
i. Penyakit sistemik
Behcet’s syndrome, inflammatory bowel diseases, Celiac disease, HIV,
Cyclic neutropenia
j. Faktor Psikologi
stres psikologis dapat memicu pelepasan hormon stres misalnya
glukokortikoid dan katekolamin yang pada akhirnya mempengaruhi
respons imun melalui beberapa jalur (Hernawati S, 2013).
k. Defisiensi Nutrisi
Pasien yang mengalami defisiensi nutrisi memiliki hubungan terhadap
timbulnya SAR. Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami
defisiensi vitamin B12 (Volkov et al, 2009). Selain itu defisiensi
hematinik (zat besi, asam folat, vitamin B6 dan B12 juga memiliki

6
keterkaitan terhadap timbulnya SAR. Pada penelitian didapatkan 20%
pasien SAR mengalami defisiensi hematinik (Kumar A,et al, 2014).

- Pathogenesis
1. Dimulai dengan prodromal burning 2-48 jam sebelum ulkus muncul.
Selama periode awal ini, sebuah daerah eritema terlokalisir
berkembang.
2. Dalam beberapa jam, papula putih kecil terbentuk, ulserasi, dan secara
bertahap membesar selama 48-72 menit berikutnya (Greenberg, 2008).

Menurut (Regezzi, 2017)


a. Diawali dengan pelepasan fokal neuropeptida, seperti substansi
P yang dapat memediasi infiltrasi limfositik dan nekrosis epitel
à menghasilkan SAR.
b. Pelepasan sitokin secara fokal dapat menunda penyembuhan,
yang menunjukkan perjalanan klinis SAR. Peradangan
neurogenik dapat terjadi akibat stimulus awal

- Macam
a. Minor
SAR Minor atau disebut juga dengan Mikuliz’s apthae mengenai
sebagian besar pasien SAR yaitu 75% - 85% dari keseluruhan kejadian
SAR. SAR Minor ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat atau
oval, dangkal, dengan diameter kurang dari 1 cm, dan dikelilingi oleh
pinggiran yang eritematosus. SAR tipe minor cenderung mengenai
mukosa non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal, dan dasar
mulut.

7
Gambar. SAR tipe minor.

b. Mayor
SAR tipe mayor diderita 10%-15% dari keseluruhan penderita SAR.
Ulser mayor biasanya terdapat pada mukosa faring, bibir, dan palatum
lunak. SAR tipe mayor berukuran lebih besar, lebih dalam, dan lebih
sakit daripada SAR Tipe Minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval,
dan berdiameter sekitar lebih dari 1 cm.

Gambar. SAR tipe mayor

c. Herpetiformis
SAR tipe herpetiform paling sedikit dijumpai pada populasi dengan
prevalensi 5%-10% dari kasus SAR. Ulser biasanya terdiri dari 5
sampai 100 ulser, berbentuk bulat atau oval, mempunyai diameter 0,5-
3,0 mm dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur. Tidak seperti
SAR minor dan mayor, SAR herpetiform tidak memiliki lokasi tetap
dan dapat muncul di mana saja di rongga mulut

8
Gambar. SAR tipe herpetiformis

- Gambaran klinis
a. Minor
- Ulkus muncul hampir secara eksklusif pada nonkeratinized
mukosa dan dapat didahului oleh eritematosa makula yang
berhubungan dengan gejala prodromal terbakar, gatal, atau
menyengat. Ulserasi menunjukkan fibrinopurulen berwarna
kuning-putih yang dapat dilepas membran yang dikelilingi oleh
halo eritematosa (Neville, 2009).

9
b. Mayor
- Bulat atau bulat telur
- Ukuran besar, biasanya berdiameter sekitar 1 cm atau bahkan
lebih besar
- Ditemukan di setiap area mukosa mulut, termasuk dorsum lidah
atau palatal berkeratin
- Dalam kelompok yang hanya beberapa ulkus (1–6) pada satu
waktu
- Sembuh perlahan selama 10–40 hari
- Sangat sering kambuh
- Dapat sembuh dengan jaringan parut
- Kadang-kadang ditemukan dengan peningkatan ESR, CRP atau
PV (Scully, 2013)

10
c. Herpetiformis
- Ukurannya <0,5 cm
- Berbentuk oval
- jumlah 10-100
- lokasi pada bagian intraoral manapun

- Perawatan
Obat-obatan untuk mengatasi SAR diberikan sesuai dengan tingkat keparahan
lesi. Untuk kasus ringan, jenisnya bisa berupa obat salep yang berfungsi

11
sebagai topical coating agent yang melindungi lesi dari gesekan dalam rongga
mulut saat berfungsi dan melindungi agar tidak berkontak langsung dengan
makanan yang asam atau pedas. Selain itu ada juga salep yang berisi anestesi
topikal untuk mengurangi rasa perih. Obat topikal adalah obat yang diberikan
langsung pada daerah yang terkena Pada kasus yang sedang hingga berat,
dapat diberikan salep yang mengandung topikal steroid. Dan pada penderita
yang tidak berespon terhadap obat-obatan topikal dapat diberikan obat-obatan
sistemik.

Pemberian antibiotik Antibiotik telah digunakan dalam pengobatan ulkus


aphthous dengan hasil yang cukup baik. Suspensi tetrasiklin atau doksisiklin,
yang digunakan secara topikal, seringkali memberikan hasil yang sangat baik.
Selain efek antibakterinya dalam menjaga kebersihan mulut, tetrasiklin
mempercepat resolusi ulkus melalui penghambatan lokal matriks
metalloproteinase (MMPs). Pemberian obat imunosupresif, seperti
azathioprine dan cyclophosphamide, umumnya hanya dibenarkan untuk
pengobatan pasien yang terkena dampak parah (untuk memungkinkan
pengurangan dosis prednison). (Regezi, 2017).

Perawatan yang perlu dilakukan pada pasien SAR adalah sebagai berikut
(Guallar IB, et al, 2014) :
a. Mengatasi atau mengobati penyebab yang mendasari timbulnya SAR.
b. Mengidentifikasi dan memonitor faktor predisposisi dari timbulnya
SAR.
c. Obat topikal seperti kombinasi antiseptik seperti chlorhexidine dan
triclosan diperlukan apabila timbul outbreak dan gejala yang
berkelanjutan.
d. Obat sistemik diindikasikan apabila outbreak konstan dan agresif.
e. Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya
dengan menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stress serta
mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung
vitamin B12 dan zat besi. Menjaga kebersihan rongga mulut dapat juga
dilakukan dengan berkumur-kumur menggunakan air garam hangat
atau obat kumur. SAR juga dapat dicegah dengan mengutamakan
konsumsi makanan kaya serat seperti sayur dan buah yang
mengandung vitamin C, dan mengandung zat besi.

Menurut (Odell, 2017) :


a. Tetracycline mouth rinse
Secara signifikan mengurangi frekuensi dan keparahan aftosa. Paling
baik digunakan untuk herpetiform aphtosa. Kandungan tetracycline
kapsul (250 mg) dapat diaduk dengan sedikit air dan ditahan di dalam
mulut 2-3 menit, 3x sehari.
b. Chlorhexidine 0,2%

12
Lakukan kumur 3x sehari setelah makan dan tahan di mulut selama
paling tidak 1 menit, dikatakan dapat mengurangi durasi dan
ketidaknyamanan dari stomatitis aftosa
c. Topical salicylate
Sebagai antiinflamasi dan mempunyai efek lokal. Sediaan gel dapat
diaplikasikan pada aftosa
d. Lokal analgesic
Hanya meredakan gejala, tetapi benzydamine mouthwash atau spray
dapat membantu beberapa pasien. Topical lidocaine atau spray dan gel
benzocaine dan lebih efektif tapi hanya dapat digunakan dalam dosis
terbatas dan dalam waktu singkat
e. Perawatan untuk major aftosa
Azathioprine, cyclosporine, colchicine dan dapsone, tetapi thalidomide
lebih efektif
f. Suplemen untuk defisiensi vitamin B12, folat, dan zat besi

- Pemeriksaan penunjang
a. Pertama dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis untuk
membedakan SAR dari lesi akut primer seperti stomatitis virus atau
dari lesi multipel kronis seperti pemfigoid, serta dari kemungkinan
penyebab lain ulcer berulang, seperti penyakit jaringan ikat, reaksi obat,
dan gangguan dermatologis
b. Anamnesis harus menekankan keluhan sistemik diskrasia darah, dan
lesi kulit, mata, genital, atau rektal terkait.
c. Pemeriksaan laboratorium harus digunakan ketika ulcer menjadi parah
atau mulai melewati usia 25 tahun.
d. Biopsi hanya diindikasikan bila diperlukan untuk menghilangkan
penyakit lain, terutama penyakit granulomatosa seperti penyakit Crohn
atau sarkoidosis.
e. Pasien dengan SAR minor dan SAR mayor parah harus diketahui
faktor-faktor terkaitnya, termasuk penyakit jaringan ikat dan kadar zat
besi, asam folat, vitamin B12, dan feritin yang abnormal. Pasien
dengan kelainan pada nilai-nilai tersebut harus dirujuk ke internis
untuk menghilangkan sindrom malabsorpsi dan untuk memulai terapi
penggantian yang tepat

Tidak terdapat tes diagnostic yang spesifik. Tes darah untuk mengeliminasi
penyebab yang dapat diidentifikasi, yaitu:
➢ Tes darah lengkap
➢ Uji hemoglobin
➢ Jumlah dan diferensiasi sel darah putih
➢ Iron studies
➢ Indeks sel darah merah
➢ Kadar folat sel darah merah

13
➢ Pengukuran serum vitamin B12 (Scully, 2010)

Histopatologi
Biopsi hanya untuk menghilangkan kemungkinan karsinoma pada kasus SAR
mayor yang mengkhawatirkan secara klinis atau untuk menghilangkan infeksi
virus pada herpetiform aphtosa. Biopsy pada fase prodromal dapat
menunjukkan inisiasi infiltrasi limfosit pada epitelium, diikuti oleh destruksi
epitelium dan inflamasi non spesifik akut dan kronis. Aftosa tidak didahului
oleh vesikel (Odell, 2017)

- Prognosis
1. RAS memiliki prognosis yang baik. Namun rata-rata RAS akan terus
terjadi pada penderita hingga dekade ke-4 (usia 40 tahun)
kehidupannya. Sehingga pada RAS yang dibiarkan saja tanpa
diperiksakan oleh penderita, seringkali menyebabkan kualitas hidup
menurun. Hal ini dapat terjadi karena RAS akan membuat penderita
kesakitan dan kesulitan mengunyah makanan.
2. Pasca usia 40-an tahun, frekuensi RAS pada penderita akan berkurang
sedikit demi sedikit kemudian menghilang. Sebelum usia tersebut
tercapai, upaya yang dapat dilakukan adalah mengeliminasi faktor
predisposisi dan memberikan terapi paliatif agar kualitas hidup
penderita tidak menurun (Saikaly, 2018).

14
Traumatic Ulser
- Definisi
Merupakan lesi oral umum dan dapat diakibatkan oleh gigi yang patah atau
tajam, instrumen dental, iritasi, benda asing tajam

Ulcer traumatikus merupakan lesi sekunder yang berbentuk ulkus, yaitu


hilangnya lapisan epitelium hingga melebihi membrana basalis dan sampai
mengenai lamina propria yang diakibatkan oleh trauma (Regezi dkk., 2008).

Ulkus traumatikus dapat terjadi pada usia berapapun dan jenis kelamin apapun.
Ulkus traumatikus merupakan sebuah manifestasi umum dari penyakit
autoimun, kekurangan gizi, faktor traumatik, dampak dari alergi dan faktor
iatrogenik (Cavalcante dkk., 2011)

Lesi reaktif dengan cerminan klinis berupa ulkus tunggal pada mukosa yang
mampu disebabkan oleh keadaan trauma fisik atau mekanik, perubahan
thermal, kimia dan radiasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan (Regezi,
2007).

- Etiologi
a. Trauma mekanik
Seperti menggigit bibir, pipi atau lidah, mengonsumsi atau mengunyah
makanan keras, gigitan dari tonjolan gigi yang tajam, trauma dari gigi
yang patah dan iritasi gigi tiruan serta tumpatan yang tajam
b. Trauma kimia
Aspirin, perak nitrat, H2O2, fenol bisa menyebabkan sariawan
dikarenakan keasaman atau kemampuannya untuk iritasi lokal
c. Trauma elektrik
Sengatan listrik
d. Thermal
Makanan atau minuman panas, CO2 dingin (dry ice)
e. Trauma yang tidak disengaja dan umumnya muncul di daerah yang
mudah terjepit atau tergores di antara gigi, seperti bibir bawah, lidah,
dan mukosa bukal.
f. Ulkus traumatik juga dapat bersifat iatrogenik, yang secara tidak
sengaja diinduksi oleh praktisi perawatan kesehatan selama prosedur
diagnostik, bedah, atau medis. Ulkus yang diinduksi oleh pelepasan
gulungan kapas yang melekat, oleh tekanan negatif dari ejector saliva,
atau oleh pemukulan mukosa yang tidak disengaja dengan instrumen
putar jarang terjadi tetapi sepenuhnya dapat dicegah. Bahan kimia juga
dapat menyebabkan sariawan karena keasaman atau alkalinitasnya,
kemampuannya untuk bertindak sebagai iritasi lokal, atau sebagai
kontak alergi.

15
g. Obat bebas untuk sakit gigi, ulkus aphthous, dan cedera terkait gigi
tiruan memiliki kemampuan untuk merusak mukosa mulut jika
digunakan secara tidak bijaksana.
h. Obat rongga gigi, terutama yang mengandung fenol, dapat
menyebabkan ulkus mulut iatrogenik.
i. Agen etsa gigi yang asam telah dikaitkan dengan luka bakar kimiawi
pada mukosa.
j. Penggunaan prosedur pemutihan endodontik dan vital, yang
menggunakan pengoksidasi kuat agen seperti 30% hidrogen peroksida,
juga telah menghasilkan luka bakar. (Regezi. 2012)
k. Kebiasaan abnormal, dan dalam keadaan ini mungkin ada masalah
psikologis yang terkait (Regezi, 2017).
l. Ulserasi oral sering terjadi selama terapi radiasi dan dengan
penggunaan beberapa jenis kemoterapi antikanker. Pada keganasan
tersebut, terutama karsinoma sel skuamosa, yang diobati dengan
radiasi dosis besar, ulkus mulut selalu terlihat pada jaringan di dalam
jalur berkas. (Regezi, 2017).

- Pathogenesis
Tahap patogenesis Traumatik ulser menurut Greenberg dan Glick (2003)
dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Tahap pre-ulserasi
Tahap ini terjadi pada 18-72 jam pertama dari perkembangan lesi. Pada
fase prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada
tempat dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel
mononuklear akan menginfeksi epitelium dan edema akan mulai
berkembang. Tahap ini, diikuti dengan degenerasi sel epitel supra basal
yang disertai oleh mononukleus dengan sebagian besar limfosit masuk
ke dalam lamina propria, sehingga terbentuklah papula dengan tepi
eritematosus. Intensitas rasa nyeri akan meningkat pada waktu tahap
pre-ulserasi ini.
b. Tahap ulseratif
Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu.
Pada tahap ini terdapat penambahan infiltrasi sel mononukleus pada
jaringan (terutama epitel) dan disertai dengan edema yang lebih luas
serta adanya degenerasi dari epitelium yang menyebabkan papula akan
berulserasi, dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan fibromembranous,
protein, dan bekuan darah, yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang
semakin berkurang.
c. Tahap penyembuhan
Tahap ini terjadi pada hari ke 4 hingga ke 35. Ulser tersebut akan
ditutupi oleh epitelium dan penyembuhan luka terjadi.

16
- Macam
a. Akut

b. Kronis (Regezi, 2017)

17
- Gambaran klinis
a. Akut
- Menunjukkan tanda dan gejala klinis peradangan akut,
termasuk berbagai derajat nyeri, kemerahan, dan
pembengkakan. Ulkus ditutupi oleh eksudat fibrin berwarna
kuning putih dan dikelilingi oleh halo eritematosa.
- Gambaran klinis dan gejala seperti inflamasi akut dengan rasa
sakit yang bervariasi, kemerahan, dan pembengkakan
- Nyeri
- Ulser ditutupi oleh eksudat fibrin berwarna kuning putih
- Dikelilingi oleh halo eritema
- Adanya riwayat trauma
- Sembuh dalam 7 -10 hari jika penyebabnya dihilangkan

Ulser Traumatik Akut


Sumber: Oral Pathology Clinical Correlation

Ulser Akut pada Dasar Mulut (Luka akibat Ejektor Saliva)


Sumber: Oral Pathology Clinical Correlation

b. Kronis
- Bila terdapat problema ruangan, misalnya adanya berdesakan
yang parah ataupun adanya diastema yang berlebihan. Lesi
Ulser Traumatik Kronik yang jinak (benign) dapat disebut
sebagai traumatik granuloma, diantaranya yaitu Traumatic
Ulcerative Granuloma with Stromal Eosinophilia (TUGSE),
traumatic granuloma of the tongue, eosinophilic ulcer of the

18
oral mucosa, oral traumatic granuloma, and eosinophilic
granuloma of soft tissue (Regezi DDS MS et al., 2017).
- Sedikit atau tidak ada rasa sakit
- Ditutupi oleh membran kuning dan dikelilingi oleh elevated
margin yang menunjukkan hiperkeratosis
- Dikaitkan dengan indurasi, disebabkan oleh pembentukan
jaringan parut dan infiltrasi sel inflamasi kronis
- Riwayat trauma, jika ada
- Penyembuhan tertunda jika teriritasi, terutama lesi lidah
- Gambaran klinisnya mirip karsinoma squamous cell dan
infectious ulcer

Ulser Kronis pada Palatum


Sumber: Oral Pathology Clinical Correlations

- Perawatan
Obat yang biasa digunakan dalam perawatan ulkus traumatikus di rongga
mulut adalah kortikosteroid yang digunakan secara topikal, seperti
triamsinolon asetonid dan deksametason. Cara kerja obat ini dengan
menghambat terkumpulnya sel-sel inflamasi di tempat peradangan. Obat ini
juga menghambat fagositosis dan melepaskan mediator dari inflamasi yang
berupa prostaglandin, kinin, histamin, enzim liposomal, dan sistem
komplemen. Obat ini memiliki berbagai efek samping yaitu resiko terjadinya
kandidiasis, penipisan sel-sel mukosa, dan resiko terjadinya absorpsi sistemik

Ulser traumatik dapat disebabkan oleh gigi yang mengalami rotasi dan migrasi
sehingga melukai jaringan lunak. Perawatan yang diberikan berupa terapi non
farmakologi dan terapi farmakologi berupa pemberian obat kumur
chlorhexidine gluconate 0,2%, salep triamcinolone acetonide 0,1 % dan
multivitamin dapat meredakan keluhan yang diderita.

Awalnya, sebagian besar ulkus reaktif dapat diamati, dan meminta pasien
menggunakan obat kumur mukolitik yang lembut seperti natrium bikarbonat
dengan air hangat, akan membantu menjaga ulkus tetap bersih. Jika rasa
sakitnya cukup besar, pengobatan topikal mungkin bermanfaat, seperti

19
kortikosteroid topikal. Penyembuhan granuloma traumatik bersifat spontan,
tetapi steroid topikal dan intralesi dapat mempercepat penyembuhan dan
mengurangi gejala

Prinsip perawatan ulser traumatic yaitu menghilangkan penyebab dan


tergantung pada ukuran, lamanya, dan lokasi lesi. Terapi simptomatik pasien
dengan traumatic ulcer yaitu dengan pemberian obat kumur antiseptic seperti
povidone iodine 1 %, chlorhexidine gluconate 0,2 %. Pemberian antibiotic
seperti penicillin diberika untuk mencegah infeksi sekunder, khususnya jika
lesi dalam dan parah, namun hal ini jarang dilakukan.

Terapi suportif dapat berupa dengan mengkonsumsi makanan lunak. Jika lesi
benar-benar trauma, maka ulser akan sembuh dalam 7-10 hari. Pendapat lain
mengatakan bahwa setelah pengaruh traumatic hilang, ulser akan sembuh
dalam 2 minggu. Setiap ulser yang menetap melebihi waktu ini, maka harus
dibiopsi untuk menentukan apakah ulser tersebut merupakan karsinoma.

- Pemeriksaan penunjang
a. Tidak diperlukan bila riwayat penyebab lesi jelas
b. Kultur diperlukan bila lesi tidak sembuh dengan baik atau terdapat
supurasi untuk dicurigai adanya infeksi sekunder
c. Biopsi diperlukan apabila tidak sembuh dalam waktu normal (lebih
dari 2 minggu)
d. Bila diperlukan biopsi:
- Pada mukosa yang akan menunjukkan ulserasi akut dan kronis
- Epitelium yang berdekatan dengan ulser menunjukkan variasi
derajat dengan koagulasi dan nekrosis

Histopatologi
Ulkus akut menunjukkan hilangnya epitel permukaan yang diganti oleh
jaringan fibrin yang sebagian besar mengandung neutrofil. Dasar ulkus
mengandung kapiler yang melebar dan jaringan granulasi. Regenerasi
epitel dimulai pada tepi ulkus, dengan sel sel yang berproliferasi
bergerak di atas dasar jaringan granulasi dan di bawah bekuan fibrin.
Ulkus kronis memiliki dasar jaringan granulasi, dengan bekas luka
ditemukan lebih dalam di jaringan.

20
- Kronis

a. Karena penyebabnya tidak mudah ditentukan maka perlu diagnosis


banding baik infeksi (sifilis, TB, infeksi jamur) maupun keganasan
harus dipertimbangkan, jika lesi karena trauma maka harus ditentukan
juga penyebab traumanya
b. HPA
Memiliki jaringan dasar granulasi dengan scar ditemukan pada
jaringan yang lebih dalam
c. Terlihat mixed inflammatory cells
d. Regenerasi epitel kadang-kadang tidak terjadi karena trauma lanjutan
atau karena faktor jaringan lokal yang tidak menguntungkan
e. Pada granuloma traumatis, cedera jaringan dan peradangan meluas ke
otot rangka di bawahnya. Infiltrat makrofag padat yang khas dengan
eosinofil mendominasi gambaran histologis.

- Prognosis
Good (baik), traumatik ulser dapat sembuh dalam 7-10 hari jika penyebab
dihilangkan, namun jika lebih dari 2 minggu, maka harus dilakukan biopsi
untuk melihat kemungkinan malignancy. Meskipun kekambuhan sering
terlihat, ulserasi biasanya sembuh secara spontan, dan sebagian besar pasien
tidak menunjukkan penyebaran proses (Regezi, 2017).

21
Behcet Syndrome

- Definisi

Kondisi yang berpotensi mematikan. Sindrom behcet (BS) atau bisa disebut dengan
sindrom Adamantiades atau penyakit Behcet adalah kompleks tiga gejala menyerupai
aphthous ulkus dengan ulserasi genital serta penyakit mata (terutama iridocylitis).
Penyakit ini termasuk langka.

- Etiologi
a. Berhubungan dengan vaskulitis
b. Kemungkinan autoimun
c. Turun temurun
d. Adanya HLA-B51
- Patogenesis
a. Terdapat predisposisi genetic pada Behçet syndrome yang berhubungan
dengan leukosit antigen manusia
b. HLA-DRB1*14 akan meningkat pada pasien yang memiliki penyakit ini
sebelum usia 20 tahun
c. Berhubungan dengan respon imun (Interleukin, TNF alpha, single nucleotide
polymorphisms (SNPs)
d. Antigen tidak berfungsi dengan baik dalam mendeteksi virus dan jamur

- Gambaran klinis
a. Ditandai dengan vaskulitis nekrotikans
b. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dan pada usia antara 20-30 tahun
c. Bentuk ulser seperti aphthous oral
d. Ulkus pada genital yang berulang dengan timbulnya bekas luka
e. Lesi mata, adanya iridocyclitis
f. Lesi CNS mempengaruhi cerebellum, brainstem, dan spinal cord dengan
adanya meningoencephalitis, cerebral infarction, psychosis, cranial nerve
palsies, and hemi- and quadric-paresis

22
g. Lesi kulit yang menyerupai lesi eritema nodosum, papulopustular lesions dan
acneiform nodules
h. Trombosis pada vena besar (dari vena cava inferior dan sinus vena kranial)
atau jantung
i. Keterlibatan sendi, epididimis, jantung, saluran pencernaan, sistem vascular.

Hal-hal yang terjadi pada awal gejala meliputi:

a. Sakit tenggorokan
b. Tonsilitis
c. Mialgia
d. Malaise
e. Anorexia
f. Kehilangan berat badan
g. Sakit kepala
h. Berkeringat
i. Penurunan suhu tubuh
j. Limfadenopati
k. Nyeri pada regio substernal dan temporal

- Perawatan
a. Pengobatan untuk ulkus dengan obat kumur tetrasiklin dan topikal
kortikosteroid

23
b. Terapi thalidomide untuk mengontrol ulkus dengan dosis 25 mg/hari dan
untuk maintenance 100 mg/hari
c. imunosupresif
d. Untuk perawatan darurat:
Adalimumab, etanercept dan infliximab

- Pemeriksaan

Diagnosis sindrom behcet didasarkan pada tanda dan gejala yang terkait dengan area
tubuh yang terkena. Tidak ada catatan spesifik pada biopsi.

- Prognosis
● Memiliki morbiditas yang cukup besar terutama dalam hal penyakit mata dan
neurologis (Scully, 2010).
● Kematian dapat terjadi dari keterlibatan neurologis, vaskular, usus, atau
kardiopulmoner atau sebagai komplikasi terapi (Scully, 2010).

24
Reiter Syndrome
- Definisi
Memiliki nama lain yaitu reiter disease dan merupakan bentuk dari reactive arthritis.
Sekumpulan penyakit tidak umum yang kemungkinan besar memiliki penyebab yang
dimediasi secara imunologis (Neville, 2009)

Paparan organisme penyakit menular seksual, khususnya Chlamydia trachomatis


Respon imun abnormal terhadap antigen mikroba (Regezi, 2017).

- Etiologi
Arthritis yang disertai bakteri disentri seperti (Shigella, Yersinia, Salmonella,
Clostridium, and Campylobacter organisms) dan transmisi penyakit seksual. Secara
umum juga dapat disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Hal ini semakin diperparah
dengan respon dari imun terhadap bakteri tersebut.

- Gambaran klinis
a. Munculnya painless aphthous-type ulcers hampir di seluruh rongga mulut
b. Lesi pada lidah berupa geographic tongue
c. Lesi oral berupa circinate papules di palatum
d. Bersifat akut
e. Urethritis, conjunctivitis, dan oligoarthritis yang mempengaruhi sendi kaki
pasien
f. Muncul 1-3 minggu setelah penularan secara seksual atau dari disentri
g. Demam
h. Psoriasis di telapak tangan dan kaki (keratoderma blennorrhagica)
i. Penurunan berat badan pasien
j. Munculnya lesi pada kulit seperti makula, vesikel dan pustula pada kaki
tangan pasien
k. Paling banyak terjadi pada laki-laki di usia dekade ketiga.

- Perawatan Penunjang
HPA
Ditemukannya HLA-B27 genotype dan peningkatan erythrocyte sedimentation rate
(ESR).

- Perawatan
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), antibiotik, dan sistemik
corticosteroids.

25
Crohn's Disease
Gangguan Gastrointestinal (Crohn, Celiac, Anemia pernisiosa)
Keadaan malabsorbsi (anemia pernisiosa, penyakit Crohn, dan penyakit celiac) dapat memicu
sariawan pada sebagian kecil pasien. Lesi oral, disebut pyostomatitis vegetans, adalah fisura
dalam, pustula dan proyeksi papiler yang jarang terlihat, kebanyakan pada pasien dengan
penyakit radang usus, misalnya kolitis ulserativa atau penyakit Crohn. Perjalanan lesi ini
cenderung mengikuti penyakit usus yang terkait. Meskipun lesi oral dapat merespon sebagian
terhadap terapi topikal (misalnya kortikosteroid), pengobatan sistemik sering diperlukan
(Scully, 2010).

Coeliac Disease
Terjadi pada sekitar 3% pasien dengan sariawan berulang (ulser rekuren)
Terlihat seperti suatu reaksi alergi terhadap gluten dalam gandum (Scully, 2010)
Coeliac Disease adalah reaksi terhadap gluten, konsumsi yang mengaktifkan sel-sel
kekebalan di usus kecil, yang memicu peradangan dan kerusakan lokal, mengganggu
penyerapan makanan. Pasien coeliac disease yang tidak diobati mengalami penurunan berat
badan, pengembangan sindrom defisiensi seperti anemia, dan mengalami gejala seperti diare.
Hipoplasia gigi dan ulserasi mulut dapat terjadi. Diagnosis dipastikan dengan malabsorpsi,
antibodi transglutaminase jaringan darah dan atrofi vili pada biopsi jejunum. Gluten
ditemukan dalam gandum, jelai dan gandum hitam, yang berarti bahwa banyak makanan
pokok, seperti roti, banyak sereal sarapan dan makanan seperti pizza dan pasta, tidak bisa lagi
dimakan. (Scully, 2010)

Cyclic Neutropenia
- Definisi
Neutropenia siklik merupakan diskrasia darah yang langka yang dimanifestasikan
sebagai pengurangan siklik parah atau penipisan neutrofil dari darah dan sumsum,
dengan siklus rata-rata, atau periodisitas sekitar 21 hari.

- Etiologi
Disebabkan oleh mutasi pada gen ELANE yang terletak di kromosom 19p13.3 yang
mengkode neutrofil dan mengakibatkan neutrofil menjadi abnormal.

- Gambaran klinis
Demam, malaise, ulkus mulut, limfadenopati serviks, infeksi pada bagian tubuh
tertentu, termasuk pada jaringan periodontal.

- Perawatan
Perawatan suportif dan tindakan kebersihan mulut yang ketat adalah penting.
Pengenalan dini infeksi, seperti penggunaan antibiotik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Greenberg, M. Glick, M. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment. 11th ed.
Hamilton: BC Decker Inc.

Regezi, J.A., Sciubba, J.J., Jordan, R.C.K. 2017. Oral Pathology Clinical Pathologic
Correlations. 7th ed. Philadelphia: Saunders.

Saikaly SK, Saikaly TS, Saikaly LE. Recurrent aphthous ulceration: a review of potential
causes and novel treatments. J Dermatolog Treat. 2018;29(6):542– 52.

Scully, C., Almeida, O.P., Bagan, J., Dios, P.D., Taylor, A.M. 2010. Oral Medicine and
Pathology at a Glance. Hongkong: Graphicraft Limited

Witadiana, H.S, Nanan N, Indah, S.W. 2020. Tingkat pengetahuan dan sumber informasi
mengenai lesi ulserasi. Padjadjaran Journal of Dental Research and Student. April
2020;4(1):27-35.

G. Melki Junhar, L Pieter Suling dkk. 2015. Gambaran stomatitis Aftosa dan Stress pada
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Bitung. JUrnal e-Gigi (eG), Vol 3.
Nomor 1.100-106.

Guallar IB, Yolanda JS, and Ariadna CL, 2014, Treatment of Recurrent Aphthous Stomatiti,
Journal of Clinical and Experimental Dentistry, vol. 6(2), pp. 168-174

Hernawati S, 2013, Mekanisme selular dan molekular stres terhadap terjadinya rekuren
aptosa stomatitis, Jurnal Pendidikan Dokter Gigi Indonesia, vol.62, hal. 36-40.

27

Anda mungkin juga menyukai