Anda di halaman 1dari 4

Kontra mosi 1

Rencana menggunakan bukti vaksinasi sebagai syarat perjalanan sebetulnya juga sudah
dipertimbangkan banyak negara. Sebagai contoh China, Jepang, Inggris, dan Uni Eropa dilaporkan sudah
mulai mencoba memberikan sertifikat vaksinasi atau paspor vaksin untuk mempermudah perjalanan.

"Bila diminta dunia internasional, kami siap menerbitkan sertifikat vaksin," kata otoritas program
vaksinasi COVID-19 di Jepang seperti dikutip dari Japan Times.

Satu sisi penerapan kebijakan tersebut dianggap akan membuat orang-orang bisa kembali bepergian
sehingga menghidupkan perekonomian. Di sisi lain ada kekhawatiran bahwa sertifikat vaksin akan
mendorong penyalahgunaan dan diskriminasi.

Bisa saja ada orang yang tidak bisa mendapat sertifikat karena misalnya memiliki kondisi yang
membuatnya tidak bisa divaksinasi.

"Jadi meski vaksinasi bisa dipastikan mengurangi risiko, untuk individu dan populasi, mengeluarkan
'paspor' yang akan membedakan kita sebagai hitam-putih dan mengontrol apa-apa yang bisa atau tidak
bisa dilakukan individu sepertinya tidak adil," komentar ahli bioetika Sarah Chan dari Edinburgh
University.

*****

Jakarta, 9 Januari 2022

Kementerian Kesehatan mencatat penambahan total kasus konfirmasi Omicron hingga Sabtu (8/1)
sebanyak 414 orang. Ada penambahan kasus sebanyak 75 orang pada Sabtu (8/1).

Secara keseluruhan selama Desember 2021 kasus konfirmasi Omicron sebanyak 136 orang, sementara
pada tahun 2022 hingga 8 Januari sebanyak 278 orang.

Dari 414 orang, sebanyak 50 orang dengan kasus transmisi lokal. Sisanya merupakan pelaku perjalanan
luar negeri. Selain itu, kebanyakan dari yang terinfeksi Omicron adalah mereka yang sudah divaksinasi
lengkap.

Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan karena hal
tersebut pemerintah meminta masyarakat untuk tidak melakukan perjalanan luar negeri jika tidak
terlalu penting.

"Sebagian besar kasus Omicron berasal dari pelaku perjalanan luar negeri. Karena itu masyarakat
diharapkan menunda dahulu jika ingin pergi ke luar negeri,” katanya, Minggu (9/1).

Kasus penularan Omicron paling banyak berasal dari Turki dan Arab Saudi. Meski seseorang telah
divaksinasi COVID-19 dua dosis, virus tersebut tetap bisa menginfeksi.
Artinya vaksinasi tidak menjamin seseorang terhindar dari virus COVID-19. Bahkan kebanyakan kasus
konfirmasi Omicron saat ini telah menginfeksi mereka yang telah lengkap vaksinasi nya.

“Kita harus waspada, jangan sampai tertular. Wajib disiplin terapkan protokol kesehatan meski sudah
divaksinasi, jangan sampai tertular dan menularkan” ucap dr. Nadia.

Omicron memiliki tingkat penularan yang jauh lebih cepat dibandingkan varian Delta. Di Indonesia,
pergerakan Omicron terus meningkat sejak pertama kali dikonfirmasi pada 16 Desember 2021.

Kemenkes mendorong daerah untuk memperkuat kegiatan 3T (Testing, Tracing, Treatment), aktif
melakukan pemantauan apabila ditemukan cluster-cluster baru COVID-19 dan segera melaporkan dan
berkoordinasi dengan pusat apabila ditemukan kasus konfirmasi Omicron di wilayahnya.

“Kita tidak boleh lengah, jangan sampai gelombang ketiga terjadi di Indonesia. Jangan sampai apa yang
terjadi di India terjadi juga di Indonesia, dimana dalam 10 hari terakhir terjadi kenaikan tren kasus dari 6
ribuan menjadi 90 ribuan kasus konfirmasi omicron. Ini yang kita hindari” tutup dr. Nadia

*****

Berpotensi Langgar HAM

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Miftah Fadli meminta pemerintah tidak
terburu-buru dalam melegalkan kewajiban warga untuk menjalani vaksinasi jika ingin bepergian. Ia
mengingatkan, prinsip suatu kebijakan, apalagi yang sifatnya administratif, tidak boleh diberlakukan
kalau berpotensi melanggar fundamental rights dan human dignity.

“Pemerintah seharusnya kasih opsi, enggak semata-mata bergantung pada vaccination pass. Kalau
penerapan vactination pass diterapkan ke semua kasus, maka punya potensi pelanggaran hak asasi
manusia," kata Miftah kepada reporter Tirto, Kamis (1/7/2021).

Terkait ini, Jodi menegaskan, aksi pemerintah memaksa warga wajib vaksin bukanlah melanggar HAM. Ia
menuturkan, "Nggak ada masalah HAM sekarang. Ini masalah kemanusiaan." Jubir Kemenko Maritim
dan Investasi ini meminta warga yang belum divaksin untuk tetap berada di rumah.

Miftah mengakui, kartu vaksinasi atau sertifikat vaksin sebagai tanda boleh beraktivitas masih
berpolemik di dunia internasional. Dalam pandangan Miftah, kartu vaksinasi hanya digunakan untuk
kepentingan kesehatan seperti keterjangkauan vaksin atau menilai kekebalan tubuh (immunity). Oleh
karena itu, fungsi kartu vaksin harus melihat situasi dan kondisi, kata dia.
“Prinsip vaksinasi itu, menurut opini saya, vaksinasi itu harus aksesibel, tapi enggak bisa mandatory,"
kata Miftah.

Miftah justru mendorong pemerintah lebih baik menyiapkan fasilitas kesehatan yang memadai ketika
masyarakat butuh. Kemudian, pemerintah cukup menggunakan swab antigen atau tes PCR sesuai
kebutuhan.

“Yang penting itu sekarang access to information (terkait faskes, akses vaksin, akses tes swab/PCR), jadi
masyarakat bisa memilih dan ketersediaan jika masyarakat memerlukan [perlu faskes atau perlu
vaksin]," kata Miftah.

*****

Pandangan Epidemiolog

Di sisi lain, para epidemiolog memiliki pandangan beragam tentang gagasan PPKM darurat yang
dikeluarkan pemerintah. Epidemiolog Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka),
Mouhammad Bigwanto menuturkan, gagasan pemerintah dalam PPKM darurat tepat jika dijalankan
dengan benar.

“Saya rasa akan cukup efektif menekan kasus, mirip seperti PSBB ketat sepertinya, hanya ada beberapa
penyesuaian terutama soal kartu vaksin," kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Kamis (1/7/2021).

Namun, kata Bigwanto, dirinya masih lebih memilih langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
ketat yang dilaksanakan di awal pandemi. Menurut Bigwanto, PSBB lebih memberi ruang bagi kepala
daerah untuk mengelola penanganan COVID-19.

Sementara terkait kebijakan perjalanan, Bigwanto menilai sudah tepat. Ia beralasan, "Sekarang ini
sebaiknya memang tidak bepergian dulu kalau tidak terlalu penting, RS sudah kolaps."

Ia menilai, status kartu vaksin menjadi syarat ketat untuk seseorang bepergian. Ia melihat langkah
pemerintah sudah tepat dengan meminta warga bepergian dengan membawa kartu vaksin dan tetap
membawa hasil tes. Hal tersebut bisa membuat pemerintah memilah warga yang bisa bepergian selain
mendorong warga ikut vaksinasi.

“Filter pertamanya tetap di hasil tes antigen atau PCR, vaksinasi adalah jaring kedua, kalaupun dia
terpapar dalam perjalanan karena satu dan lain hal, diharapkan enggak perlu ke RS," kata Bigwanto.

Sebaliknya, epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health, Griffith University
Australia, dr Dicky Budiman justru melihat pemerintah belum seratus persen dalam penanganan COVID
di tengah situasi genting. Meski gagasan tersebut sudah membawa perbaikan dalam penanganan
COVID-19, tapi pemerintah belum memperhatikan kondisi darurat pelayanan kesehatan dengan tetap
membiarkan warga bisa mobilitas sebab pembatasan tidak maksimal.

“Dalam PPKM ini, esensi untuk merespons situasi yang darurat di faskes, kolapsnya faskes
sebetulnya lockdown itu membatasi semua aktivitas. Jadi kalau masih memungkinkan orang bepergian,
ya itu tidak merespons situasi yang serius itu di faskes," kata Dicky kepada reporter Tirto.

Dicky pun menyoalkan alasan pemerintah membolehkan warga tetap bepergian meski dengan satu kali
vaksinasi. Ia mengingatkan vaksinasi sebanyak satu kali tidak memberikan efektivitas pencegahan
penularan COVID hingga di atas 50 persen. Hal tersebut belum termasuk varian vaksin mana yang
digunakan karena tiap vaksin memiliki keampuhan dalam menangkal COVID, apalagi varian delta.

Selain itu, paspor vaksin itu adalah paspor yang diberikan kepada warga yang sudah menerima vaksin
penuh dua kali. Ia juga mengingatkan bahwa penerapan paspor vaksin baru bisa dilakukan jika setengah
populasi negara sudah divaksin COVID. Oleh karena itu, ia melihat pemerintah masih belum serius dan
masih membawa bahaya dalam penanganan COVID.

“Jadi ini menurut saya berbahaya membiarkan ini karena ada dua hal berbahaya. Pertama, situasi kita ini
adalah memang membutuhkan membatasi pergerakan karena kolapsnya sistem layanan kesehatan kita
ini harus meminimalisir orang bepergian, berpotensi terpapar atau memaparkan. Kedua, ya memang
enggak aman potensinya, bahkan 2 kali sekali pun pertanyaan berikutnya vaksin apa?" kata Dicky.

Anda mungkin juga menyukai