Anda di halaman 1dari 14

Tugas

Kimia Bahan Alam

Disusun oleh :
Elza Hafiza (10120002)

Dosen Pengampu :
Jane Arantika,M.Pd

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SAMBAS
2022/2023

Kegunaan senyawa-senyawa poliketida yaitu :


1. Sebagai Antibiotic, Misalnya Tetrasiklin
a. Sejarah asal mula
Tetrasiklin pertama kali ditemukan oleh Lloyd Conover. Berita tentang
Tetrasiklin yang dipatenkan pertama kali tahun 1955. Tetrasiklin merupakan
antibiotika yang memberi harapan dan sudah terbukti menjadi salah satu penemuan
antibiotika penting.
Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin
yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin
dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari
klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain.
Para tetrasiklin adalah suatu keluarga besar antibiotik yang ditemukan sebagai
produk alami oleh Benjamin Minge Duggar dan pertama kali dijelaskan pada 1948.Di
bawah Yellapragada Subbarao , Benjamin Duggar membuat penemuan pertama dunia
antibiotik tetrasiklin, Aureomycin , pada tahun 1945.
Pada tahun 1950, Profesor Harvard Robert Woodward menentukan struktur
kimia Terramycin, nama merek untuk anggota keluarga tetrasiklin; paten
perlindungan untuk fermentasi dan produksi juga pertama kali diterbitkan pada tahun
1950.
Nubia mumi telah dipelajari pada 1990-an dan ditemukan mengandung level
signifikan tetracycline; ada bukti bahwa bir brewed pada saat itu bisa saja
sumbernya.Tetracycline memicu pengembangan banyak antibiotik kimiawi berubah
dan dalam melakukannya terbukti menjadi salah satu penemuan paling penting yang
dibuat dalam bidang antibiotik. It is used to treat many gram-positive and gram-
negative bacteria and some protozoa. Hal ini digunakan untuk mengobati bakteri gram
positif dan gram-negatif banyak dan beberapa protozoa. It, like some other antibiotics,
is also used in the treatment of acne .Ini, seperti beberapa antibiotik lainnya, juga
digunakan dalam pengobatan jerawat.

b. Definisi Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam
natrium atau garam HClnya mudah larut. Dalam keadaan kering, bentuk basa dan
garam HCl tetrasiklin bersifat relatif stabil. Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin
sangat labil sehingga cepat berkurang potensinya.
Tetrasiklin adalah zat anti mikroba yang diperolah denga cara deklorrinasi
klortetrasiklina, reduksi oksitetrasiklina, atau dengan fermentasi.
Tetrasiklin mempunyai mempunyai potensi setara dengan tidak kurang dari
975 μg tetrasiklin hidroklorida,(C22H24N2O8.HCl),per mg di hitung terhadap zat
anhidrat .Tetracycline adalah spektrum luas Poliketida antibiotik yang dihasilkan oleh
Streptomyces genus dari Actinobacteria , diindikasikan untuk digunakan melawan
infeksi bakteri banyak. Ini adalah inhibitor sintesis protein. It is commonly used to
treat acne today, and, more recently, rosacea, and played a historical role in stamping
out cholera in the developed world. Hal ini umumnya digunakan untuk mengobati
jerawat hari ini, dan yang lebih baru, rosacea, dan memainkan peran historis dalam
memerangi kolera di negara maju. It is sold under the brand names Sumycin,
Terramycin, Tetracyn , and Panmycin , among others. Actisite is a thread-like fiber
form, used in dental applications. Itu dijual dengan merek Sumycin, Terramycin,
Tetracyn, dan Panmycin, antara lain. Actisite adalah seperti bentuk-serat benang,
digunakan dalam aplikasi gigi. It is also used to produce several semi-synthetic
derivatives, which together are known as the tetracycline antibiotics. Hal ini juga
digunakan untuk memproduksi turunan semi-sintetik beberapa yang bersama-sama
dikenal sebagai antibiotik tetrasiklin.
Menurut farmakope Indonesia Edisi 4, Tetrasiklin memiliki pemerian serbuk
hablur kuning, tidak berbau. Stabil di udara tetapi pada pemaparan dengan cahaya
matahari kuat, menjadi gelap. Dalam laruta dengan pH lebih kecil dari 2, potensi
berkurang dan cepat rusak dalam larutan alkali hidroksida.
Tetrasiklin mempunyai kelarutan sangat sukar larut dalam air, larut dalam 50
bagian etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dan dalam eter P. Larut
dalam asam encer, larut dalam alkali disertai peruraian.
Tetrasiklin adalah salah satu antibiotik yang dapat menghambat sintesis
protein pada perkembangan organisme. Antibiotik ini diketahui dapat menghambat
kalsifikasi dalam pembentukan tulang. Tetrasiklin diketahui dapat menghambat
sintesis protein pada sel prokariot maupun sel eukariot. Mekanisme kerja
penghambatannya, yaitu tetrasiklin menghambat masuknya aminoasil-tRNA ke
tempat aseptor A pada kompleks mRNA-ribosom, sehingga menghalangi
penggabungan asam amino ke rantai peptide.

Sumber: Anindita, Faradisa, dkk. 2013. Tetrasiklin dan Glikosida Sianogen. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Tadulako.

2. Sebagai Obat Kolesterol (Anti Kolesterol), Misalnya Senyawa Lovastatin


Poliketida merupakan salah satu metabolit sekunder yang terbentuk dari
banteri, jemur, tanaman maupun hewan. Salah satu contoh Poliketida yaitu
LOVASTATIN. Lovastatin merupakan obat golongan statin yang digunakan untuk
menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Lovastatin menghambat HMG-CoA
reduktase, enzim yang berperan dalam biosintesis kolesterol (Atalla et al. 2008;
Shindia 2001; Seenivasan et al. 2008; Szakacs et al. 1998).
Mekanisme kerja lovastatin adalah menghambat enzim HMG-CoA reduktase
sehingga produksi kolesterol di dalam hati berkurang. Lovastatin digunakan terutama
untuk antihiperkolesterolemia. Lovastatin juga potensial digunakan untuk pengobatan
penyakit alzheimer, kanker, osteoporosis, parkinson, multiple sclerosis, dan
rheumatoid arthritis. Statin mencegah terjadinya aterosklerosis penyebab terjadinya
kerusakan jaringan dan penyumbatan pembuluh darah, dan juga mencegah penyakit
kardiovaskular karena berdasarkan data klinis menunjukkan bahwa statin mengurangi
resiko kematian akibat penyakit jantung koroner.
Struktur kristal HMG-CoA reduktase pada situs katalitik membentuk
kompleks dengan substrat dan produk (HMG-CoA, HMG, CoA, NADPH) sehingga
memberikan gambaran rinci mengenai situs aktif enzim. Situs aktif HMG-CoA
reduktase membentuk kompleks dengan enam statin yang berbeda mevastatin,
simvastatin, fluvastatin, atorvastatin, cerivastatin, dan rosuvastatin. Bentuk kompleks
antara situs aktif HMG-CoA reduktase dengan golongan statin ini menghalangi
terbentuknya kompleks antara substrat dengan enzim. Ikatan yang terjadi antara obat
golongan statin dan enzim HMG-CoA reduktase adalah ikatan van der Waals yang
bersifat ikatan kuat) (Barrios-Gonzalez dan Miranda 2010; Manzoni dan Rollini 2002;
Seenivasan et al. 2008).
Sebagai analog substrat lovastatin berikatan dengan enzim HMG-CoA
sehingga menghambat sintesis kolesterol. Lovastatin terbukti menurunkan kadar
kolesterol dalam darah sehingga mencegah terjadinya penyempitan pembuluh darah
arteri, mengurangi terjadinya penyakit jantung koroner, meningkatkan fungsi endotel,
mencegah terbentuknya thrombus, dan mempengaruhi proses inflamasi. Aplikasi
lovastatin, diantaranya untuk: Antihiperkolesterolemia Statin menghambat biosintesis
kolesterol, mengurangi terjadinya penyakit jantung koroner berdasarkan uji klinis,
epidemiologis.

Sumber: Hardianto, Dudi. 2014. Tinjauan Lovastatin Dan Aplikasinya. Jurnal


Bioteknologi & Biosains Indonesia, Vol. 1 Nomor 1.

3. Sebagai Anti Jamur, Misalnya Senyawa Amfoterisin


Amfoterisin B merupakan poliena antibiotik kompleks yang disintesis oleh
actinomycetes aerobik, Streptomyces nodosus dan memiliki sifat antibakteri yang
dapat diabaikan. Obat ini menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogenik secara
kuat dalam in vitro maupun in vivo. Amfoterisin B berikatan dengan sterol pada
selaput sel jamur dan mengganggu kerjanya.2,3
1. Mekanisme kerja
Amfoterisin B diberikan secara intravena dalam bentuk micelles dengan natrium
deoksikolat yang dicairkan dalam cairan dekstrosa. Walaupun obat tersebar secara
luas dalam jaringan, obat ini tidak begitu baik memasuki cairan serebrospinal.
Ketika memasuki sel jamur, amfoterisin B berikatan secara kuat dengan ergosterol
pada selaput sel. Interaksi ini memberikan perubahan pada kandungan cairan
selaput dan barangkali pengenalan “kutub amfoterisin”. Molekul kecil dan ion
terlepas dari sel jamur, yang sesungguhnya mengakibatkan kematian sel. Sel
mamalia relatif resisten terhadap kerja obat ini karena mereka tidak mempunyai
ergosterol. Amfoterisin B berikatan secara lemah dengan kolesterol pada selaput
sel mamalia, barangkali interaksi ini yang menyebabkan efek toksiknya.

2. Indikasi
Amfoterisin B adalah obat antijamur berspektrum luas dan bermanfaat untuk
menghadapi sebagian besar mikosis sistemik utama, termasuk, koksidiodomikosis,
blastomikosis, histoplasmosis, sporotrikosis, kriptokokosis, mukormikosis dan
kandidiasis. Respon terhadap infeksi utama bergantung pada pemberian
amfoterisin B yang cepat, tempat infeksi, keadaan imun pasien dan sensitivitas
bawaan terhadap pathogen. Untuk meningitis jamur akibat Coccidioides
diperlukan pemberian secara intratekal. Terapi intraartikular berguna pada infeksi
sendi oleh jamur. Terapi kombinasi dengan flusitosin barangkali bermanfaat untuk
infeksi akibat Candida dan Cryptococcus. Infeksi jamur akibat Pseudallescheria
boydii tampaknya sukar disembuhkan oleh amfoterisin B.

3. Efek Samping
Reaksi akut yang biasanya menyertai pemberian amfoterisin B intravena antara
lain demam, menggigil, dispnea dan hipotensi. Efek samping ini biasanya dapat
dikurangi dengan pemberian hidrokortison atau asetaminofen secara bersamaan
atau sebelumnya. Toleransi terhadap efek samping akut timbul selama terapi. Efek
samping kronik biasanya mengakibatkan nefrotoksisitas. Azotemia hampir selalu
terlihat pada terapi amfoterisin B, dan kadar kreatinin serum serta kadar ion harus
dipantau secara ketat. Juga sering terlihat hipokalemia, anemia, asidosis tubuler
ginjal, sakit kepala, mual dan muntah. Walaupun beberapa kasus nefrotoksisitas
dapat pulih kembali, terjadi penurunan fungsi tubuler dan glomerulus yang
menetap. Kerusakan ini dapat dikorelasikan dengan dosis total amfoterisin B yang
diberikan.

Sumber: Dr. SRI AMELIA, M.Kes. 2011. Obat Anti Jamur (Fungal). Fakultas
Kedokteran. Universitas Sumatra Utara

4. Sebagai Anti Kanker, Misalnya Senyawa Epotilon


Epotilon adalah suatu makrosiklik lakton kelas baru yang menarik oleh karena
daya aktivitasnya sebagai zat anti kanker. Senyawa makrolida ini diisolasi pertama
kali oleh kelompok Höfle dari Myxobacterium Sorangium cellulosum strain 90 yang
diambil dari Sungai Zambezi Afrika Selatan. Berbagai uji biokimia mengunkapkan
bahwa epotilon lebih potensial dibandingkan taksol dengan efek samping lebih kecil.
Setelah konfigurasi absolut epotilon A (I) dan B (2) dipublikasikan oleh Höfle, dan
kawan-kawan, total sintesis epotilon dan turunanya secara intensif telah dilakukan.
Publikasi pertama sintetis epotilon total oleh Danishefsky dan kawan-kawan, diikuti
oleh Nicolou dan kawan-kawan, dan Shinzer dan kawan-kawan. Meskipun masing-
masing kelompok mempunyai strategi tersendiri, ketiga kelompok tersebut
menggunakan reaksi-reaksi olefin-metatesis, makrolaktonisasi, dan aldol sebagai
reaksi-reaksi penyambung.

PENDAHULUAN
Penelitian berkesinambungan terhadap senyawa bahan alam yang diikuti
dengan penentuan struktur menghasilkan bermacam-macam struktur dan memiliki arti
yang fundamental karena potensi farmakologinya, dan digunakan untuk
pengembangan obat-obat baru. Senyawa-senyawa bahan alam yang hampir tak
terbatas jumlahnya merupakan suatu tantangan bagi para ahli kimia yang bekerja baik
dalam bidang analitik maupun bidang sintesis. Sintesis senyawa bahan alam memiliki
keuntungan, yakni umumnya dengan biaya murah dan memberikan hasil yang dapat
direproduksi dengan baik. Selain itu, sintesis kimia menonjol karena derivatnya dapat
diperoleh dengan baik. Salah satu pengembangan baru dan paling penting pada
sintesis senyawa bahan alam dalam beberapa tahun terakhir ini adalah sintesis
senyawa bahan alam anti-tumor, misalnya Taksol, yang diperoleh melalui semi
sintesis, Tamoksifen dan Karboplatin sebagaimana juga epotilon yang baru-baru ini
ditemukan [1]. Epotilon merupakan tema yang baru, menghebohkan, dan menjanjikan
dalam bidang kimia, biologi, dan kedokteran.

Nama epotilon tersusun dari unit-unit yang terdapat didalamnya, yaitu:


epoksida, tiazol, dan keton. Epotilon pertama kali ditemukan oleh ilmuan kelompok
penelitian bioteknologi (GBF) Braunschweig yang dipimpin oleh ahli mikrobiologi
Hans Reichenbach dan ahli kimia Gerhard Höfle [2,3]. Epotilon diisolasi dari ekstrak
jaringan jenis Mycobakterium Sorangium Sellulosum So ce 90 yang pertama kali
ditemukan pada tahun 1985 di tepi dasar sungai Sambesi, Afrika Selatan [4]. Ekstrak
jaringan dari Mycobakterium ini memperlihatkan aktivitas biologi dalam tes skrining
yang sesuai. Struktur-struktur molekul epotilon telah ditetapkan dengan metode
spektroskopi dan analisis kristalografi sinar-X [2,3].
Suatu penelitian dari Altmann,dkk. (2000) [7] terhadap aktivitas epotilon
sebagai anti-proliferatif memperlihatkan bahwa epotilon merupakan zat penghambat
yang kuat untuk pertumbuhan sel pada berbagai macam sel kanker manusia. Epotilon
B (2) bekerja lebih kuat daripada paklitaksel (6-25 lipat) dan epotilon A (1) yang juga
mempunyai aktifitas yang luar biasa [7]. Epotilon kemampuannya lebih unggul
mencegah pembiakan sel kanker manusia daripada paklitaksel. Umumnya, epotilon
dapat digunakan sebagai obat kanker biasa sekalipun sel-sel kanker itu telah resisten.
Aktifitasnya terhadap sel-sel kanker dan tumor sebagai obat yang konstan
menunjukkan bahwa epotilon memberi arti sebagai klinik yang potensial dimasa
mendatang [7].

STRATEGI SINTESIS EPOTILON DARI S. J. DANISHEFSKY


Kelompok ini memperlihatkan sintesis totalnya dengan beberapa konsep
original dan luar biasa. Sintesis masing-masing fragmen, khususnya pembentukan
pusat stereo telah dilakukan. Danishefsky, dkk. menganalisis retrosintesis dari
epotilon dalam tiga tahapan: makrolaktonisasi, metatesis, dan reaksi-makroaldol.
Reaksi-makroaldol yang stereoselektif adalah secara khusus patut diperhatikan,
karena reaksi inilah yang merupakan reaksi siklisasi pertama dari kelompok kerja ini
[19]. Di dalam strategi sintesis yang kedua berikutnya dibuat fragmen dengan cara
yang sama, sedangkan urutan penyambungan (tanda panah A dan B) dari „Separuh“ 7
dan 8 ditetapkan melalui siklisasi secara makrolaktonisasi atau metatesis-olefin
[5,11,19]. Setelah reaksi siklisasi dilakukan, diperoleh senyawa prekursor yang
terproteksi dari epotilon C (3) atau D (4). Deproteksi, oksidasi-C5, dan epoksidasi
yang stereoselektif menghasilkan epotilon A (1) atau B (2). Pada strategi makroaldol,
fragmen 7 dan 8 digabung melalui suatu Bor-Alkil-Suzuki-Kopling (tanda panah A).
Segmen tiazol 7 dibuat dari (R)-glisidol di dalam sintesis total pertama, yang
merupakan cikal bakal pusat stereo-15. Selanjutnya, sintesis kerangka ini dibuat yang
lebih ekonomis, yakni dari aldehida 9 [5,11], yang dapat dibuat dalam jumlah
multigram [20]. Senyawa ini direaksikan dengan seng alliltributil menggunakan reaksi
allilasi dan sebagai katalis digunakan (S)-BINOL dan Ti(O-iPr)4. Setelah asetilasi,
pemecahan ikatan rangkap secara oksidatif dan reaksi Wittig diperoleh Viniliodida 7a
dan 7c yang penting untuk Suzuki-Kopling [11,19]. Sintesis fragmen 8 dengan gugus
fungsi yang banyak dirakit melalui reaksi siklokondensasi diena-aldehida secara
stereokimia [21]. Enantiomer murni aldehida 10 direaksikan dengan TiCl4 dan
sebagai katalisator adalah khelat-kontrolmembentuk Diena-Danishefsky 12. Selain
itu, gugus karbonil C5 juga berhasil mengalami reduksi dengan LAH yang
diastereoselektif.
Untuk memperoleh dua gugus metil pada atom C4, maka dilakukan
siklopropanisasi dengan menggunakan pereaksi Simmon-Smith membentuk senyawa
13. Akibatnya, terjadi pembukaan lingkar yang oksidatif dengan N-iodosuksinimida
membentuk gugus dimetil geminal. Sebaliknya, dengan adanya proton sebagai
elektrofil terjadi pemutusan jembatan dalam bisiklik membentuk lingkar lain.
Dehalogenasi, pemutusan ikatan glikosida dengan 1,2- dimerkaptan dan transformasi
benzil eter dalam suatu gugus fungsi aldehida membetuk senyawa 15. Pengubahan
senyawa 15 menjadi 8a berhasil dengan perpanjangan rantai dua atom karbon, yang
tercapai melalui dua kali reaksi Wittig dengan Ph3P=CHOMe dan Ph3P=CH2 [2].
Senyawa 8b diperoleh melalui perpanjangan aldehida 15 empat atom C dengan 3-
butenilmagnesiumbromida, karena dengan penutupan lingkar secara metatesis terjadi
pemutusan kedua gugus CH2 terminal pada ikatan etilena [5,11].
Setelah hidroborasi olefin 8a, viniliodida 7 mengalami Suzuki-kopling.
Siklisasi berhasil setelah deproteksi produk kopling 16a atau 16b melalui suatu reaksi
aldol pada –78°C dan KHMDS sebagai basa dalam THF [20]. Perbandingan (S)-C3-
Alkohol yang diinginkan dengan epimer-(R) adalah 6:1 untuk sintesis epotilon-A dan
2,1:1 untuk sintesis epotilon-B, tetapi isomer-(3R) dapat dibuktikan melalui oksidasi
membentuk keton dan selanjutnya reduksi NaBH4 isomer-(3S). Akhirnya, epotilon A
(1) atau epotilon B (2) diperoleh dalam enam tahap melalui deproteksi, oksidasi, atom
C5 dan epoksidasi ikatan ganda C12-C13 dengan dimetildioksiran dari produk
makroaldolisasi.
Pada strategi metatesis olefin oleh Danishefsky dkk [12,13,14]. kerangka 7a
dan 8b mengalami siklisasi melalui reaksi aldol. Disini juga terjadi campuran epimer
pada atom C3; tetapi, epimer-(3S) dapat diubah sebagaimana telah ditunjukkan pada
epimer-(3R). Keberhasilan reaksi metatesis amat tergantung pada besarnya substituen.
Sesuai dengan gugus pelindung yang digunakan dan fungsionalitas oksigen diperoleh
metatesis untuk epotilon A (1) menghasilkan substrat 19a (R=H) dengan
perbandingan Z/E yang berbeda dalam produk metatesis. Hasil yang paling bagus
diperoleh dengan P1 = P2 = TBS dan Y = O adalah (Z/E = 1.7:1 pada 20a) [12,13].
Untuk epotilon B (2) dapat dilakukan siklisasi dari 19b (R=Me) dengan P1 = P2 =
TBS dan Y = O dengan katalisator Schrock, dan diperoleh suatu campuran Z/E-1:1
produk siklisasi 20b [19]. Untuk jalur sintesis ketiga dari Danishefsky dkk. (Gambar
8), kerangka 8a pertama-tama memperpanjang satuan asetat untuk asam 24 yang
terproteksi. Disini juga terbentuk campuran epimer-C3, yang dari sini epimer-(3S)
dapat dibuat melalui dua tahapan yang telah disebutkan sebelumnya. Pembentukan
gugus terlindung dan oksidasi C5 memberikan senyawa 25, yang dihubungkan
melalui kopling Suzuki alkil dengan fragmen 7b atau 7c membentuk asam seko 26a
atau 26b. Setelah makrolaktonisasi Yamaguchi, deproteksi dan epoksidasi DMDO
diperoleh epotilon A (1) atau epotilon B (2) [5,19].
Jalur sintesis makrolaktonisasi yang terkenal dalam sintesis epotilon B (2) juga
dilakukan secara jelas pada fragmen C1-C11 yang merupakan strategi konvergen
(Gambar 10). Konfigurasi pusat kiral pada C6 dan C7 dibentuk melalui adisi aldol
yang stereoselektif. Etilketon akiral 27 direaksikan dengan aldehida 28 membentuk
senyawa aldol 29. Pada reaksi aldol ini, aldehida 28 diubah menjadi enolat-Z dengan
menggunakan LDA pada –120 °C. (6R,7S)-anti-Cram-produk aldol 29 yang
diinginkan terjadi dengan selektivitas diastereofasial 5,5:1 (berhubungan dengan
isomer (6S,7R)). C7-C8-anti-selektivitas yang relatif tinggi dicoba ulang pengaruh
timbal balik ikatan ganda yang tidak terikat dari aldehid 28 dengan gugus karbonil
enolat. Senyawa 30 yang diperoleh melalui kopling Boralkil-Suzuki ditaklukkan
dengan suatu reduksi Nyori menjadi asam 31 yang terlindungi, yang selanjutnya
gugus fungsi keto C3 direduksi secara selektif membentuk alkohol dengan
konfigurasi-(S) [22].

PENUTUP
Epotilon merupakan kelompok senyawa bahan alam makrosiklik baru yang
dapat digunakan sebagai obat kanker yang lebih efektif dan tanpa menimbulkan efek
samping.
Analisis retrosintesis epotilon dari Danishefsky, dkk. memperlihatkan bahwa
ada tiga tahapan sintesis epotilon, yakni: makrolaktonisasi, olefin-metatesis, dan
reaksi-makroaldol. Nicolaou, dkk. mensintesis epotilon dari tiga fragmen utama
melalui reaksi aldol, esterifikasi dan reaksi Wittig atau metatesis-olefin menjadi
makrolida. Tampak bahwa strategi ini mirip dengan strategi Danishefsky yang lebih
singkat dan konvergen. Schinzer, dkk menguraikan strateginya yang lebih konvergen
dan tidak sama dengan strategi Danishefsky dan Nicolaou dalam sintesis epotilon,
yang juga dibangun dari tiga unit-unit struktur melalui reaksi aldol, esterifikasi atau
makrolaktonisasi, dan olefin metatesis-epoksidasi. Berbagai strategi Schinzer dapat
dibedakan satu sama lain, terutama urutan penyambungan ketiga fragmen, dan unit
strukturnya disintesis dengan metodenya sendiri.
Strategi yang diperlihatkan oleh ketiga kelompok dalam mensintesis epotilon
mempunyai perbedaan satu sama lain, terutama dalam hal urutan penyambungan
ketiga fragmen. Walaupun setiap kelompok mempunyai strategi yang berbeda, namun
ketiga kelompok tersebut menggunakan reaksi yang sama dalam proses silkisasi,
yakni metatesis olefin, makrolaktonisasi, dan reaksi aldol sebagai reaksi perangkai.
Tampak bahwa strategi Schinzer yang paling efektif dan efisien, karena menggunakan
bahan-bahan baku yang sederhana dan relatif lebih singkat. Disamping itu, strategi
Schinzer juga memberikan hasil yang lebih stereoselektif, terutama pada proses reaksi
aldol.

Sumber: Muharram.2009. Strategi Sintesis Total Senyawa Epotilon: Suatu Senyawa


Aktif Baru Yang Potensial Sebagai Anti-Kanker. Jurnal Chemica Vol. 10 Nomor 2, 48
– 65.

5. Sebaagai Terapi Berbagai Penyakit Di Usia Lanjut


Pneumonia merupakan infeksi yang sering ditemukan pada usia lanjut.
Berbagai faktor dapat meningkatkan risiko usia lanjut mengalami pneumonia,
diantaranya perubahan sistem imun, multipatologi, dan penurunan status fungsional.
Dalam memilih antibiotika bagi pasien usia lanjut dengan pneumonia, diperlukan
berbagai pertimbangan diantaranya jenis pneumonia apakah di komunitas atau
nosokomial, beratnya pneumonia yang dideritanya, dan status frailty pasien usia
lanjut.
Prinsip dasar pada usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh 
yaitu : mengobati berbagai kondisi  yang mendasari instabilitas dan memberikan
terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot,alat
bantu,sepatu atau sandal yang sesuai,serta mengubah lingkungan agar lebih aman
seperti pencahayaan yang cukup, pegangan,lantai yang tidak licin
• Pada lanjut usia terdapat beberapa penyakit sekaligus,menurunnya daya
tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasipada lanjut usia
sehingga sulit/jarang mengeluh,sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini.                     
• Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya
temperatur badan,dan hal ini sering tidak dijumpai 
pada usia lanjut, malah suhu badan yang rendah lebih sering dijumpai.                     
• keeluhan dan gejala infeksi  semakin tidak khas antara lain berupa konfusi/delirium
sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan menjadi
lemas,dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut. 
•Lansia sering menderitapenyakit lebih dari satu jenis sehingga membutuhkan obat
yang lebih   banyak, apalagi sebagian  lansia  sering menggunakan  obatt 
dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dokter sehingga dapat
menimbulkan penyakit.                     
•Akibat yang ditimbulkan antara lain efek  samping  dan efek dari interaksi obat-obat 
tersebut yang dapat mengancam jiwa.
Usia lanjut merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun
ke atas.Adapun kategori lansia menurut usianya yaitu usia 45-
59 tahun merupakan pra lansia, usia 60-69 tahun merupakan lansia muda,usia 70-79
tahun merupakan lansia madya,dan 80-89 tahun merupakan lansia  tua. Peningkatan
pelayanan kesehatan terhadap lanjut usia diperlukan untuk mewujudkan lansia yang
sehat,berkualitas, dan produktif di masa tuanya.Pelayanan kesehatan pada
lansia harus diberikan sejak dini yaitu pada usia pralansia (45-
59 tahun). Pembinaan kesehatan yang dilakukan pada lansia yaitu dengan
memperhatikan faktor-faktor risiko
yang harus dihindari untuk mencegah berbagai penyakit yang mungkin
terjadi.Kemudian perlu juga memperhatikan faktor-
faktor protektif yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan lansia.

Sumber: Dicky Wahyu Arinto. 2018. Terapi Berbagai Penyakit Diusia Lanjut Pada
Lansia. Jurnal Publikasi.

6. Sebagai Pencegah Penyakit Jantung


Kardiotonik merupakan kemampuan untuk meningkatkan efisiensi dan
kontraksi otot jantung, yang mengarah pada peningkatan aliran darah ke seluruh
jaringan di tubuh. Aktivitas kardiotonik yang dapat berasal dari tanaman dengan
senyawa metabolit sekunder. Salah satu metabolit sekunder yang terkenal adalah
glikosida jantung. Merupakan metabolit sekunder yang digunakan ini sejak dahulu
dipakai untuk pengobatan gagal jantung dan aritmia jantung. Selain itu, Disamping
jenis glikosida, metabolit lain seperti flavonoid juga dapat berperan dalam aktivitas
kardiotonik dengan aktivitas antioksidannya.

PENDAHULUAN
Aktivitas kardiotonik merupakan kemampuan untuk meningkatkan efisiensi
dan kontraksi otot jantung, yang mengarah pada peningkatan aliran darah ke seluruh
jaringan di tubuh. Aktivitas tersebut dibutuhkan untuk penderita aritmia jantung dan
gagal jantung agar jantung tetap berdetak.
Glikosida jantung merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat
dalam tanaman yang telah digunakan sejak dahulu sebagai obat untuk aritmia dan
gagal jantung. Glikosida jantung sering disebut steroid jantung. Contoh senyawa
tersebut ialah digoxin merupakan cardenolides yang diisolasi dari tumbuhan dan
berperan dalam aktivitas kardiotonik (Kren & Martinkova, 2001).
Dalam dosis yang direkomendasikan, digoxin dapat menghasilkan efek
kardiotonik yang maksimal dan jika dosis dinaikkan dapat menyebabkan toksisitas.
Selain glikosida jantung, senyawa metabolit sekunder yang lain juga dapat
menghasilkan aktivitas kardiotonik.
Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam berbagai
tanaman dan terbukti memiliki aktivitas kardiotonik. Contoh senyawa yang memiliki
aktivitas kardiotonik ialah kuersetin yang merupakan flavonol dari golongan
flavonoid (Hayamizu, Morimoto, Nonaka, Hoka, & Sasaguri, 2017). Peran flavonoid
dan glikosida jantung dalam aktivitas kardiotonik perlu diperhatikan karena
perkembangan yang pesat terkait obat herbal sehingga dapat menjadi alternatif
pengobatan baru dalam penyakit aritmia dan gagal jantung (dengan mekanisme yang
telah diketahui).
SENYAWA GLIKOSIDA JANTUNG
Glikosida jantung merupakan senyawa metabolit alami yang memiliki efek
farmakologi pada otot jantung dalam dosis kecil. Efek kardiotonik sudah dikenal di
Mesir kuno dan telah digunakan dalam pengobatan penyakit jantung.
Digoxin dan digitoxin yang berasal dari Digitalis purpurea merupakan
senyawa glikosida jantung yang memiliki efek terapeutik. Digoxin dapat
meningkatkan laju kontraksi otot jantung dan menurunkan edema pada penderita
gagal jantung, sedangkan selama aritmia menurunkan konduksi nodus atrioventrikular
(AV) (menunjukkan efek parasimpatomimetik) dan menurunkan laju ventrikel.

MEKANISME KERJA AKTIVITAS KARDIOTONIK DARI FLAVONOID DAN


GLIKOSIDA DALAM AKTlVlTAS KARDlOTONlK
Aktivitas kardiotonik bertujuan untuk berhubungan dengan peningkatkan
kekuatan kontraksi otot (miokardium) jantung. Ketika kekuatan kontraksi miokard
meningkat, jumlah darah yang meninggalkan ventrikel kiri pada saat setiap kontraksi
meningkat. Ketika jumlah darah yang meninggalkan ventrikel kiri meningkat, curah
jantung (jumlah darah yang meninggalkan ventrikel kiri dengan setiap kontraksi) juga
meningkat (Mandal, Mandal, & Das, 2015).
Kontraksi jantung diatur oleh zat inotropik atau inotrop. Inotrop positif, yaitu
katekolamin seperti norepinefrin, yang merangsang kontraksi otot jantung dan
menyebabkan denyut jantung meningkat. Secara klinis, inotrop positif digunakan
dalam kondisi gagal jantung tertentu untuk mendukung fungsi jantung diperlukan,
sebagai contohnya untuk pasien gagal jantung hemodinamik yang tidak stabil atau
pasien yang menunjukkan sindrom curah jantung rendah pada penyakit jantung
bawaan.
Inotrop positif tidak sesuai untuk gagal jantung kronis karena stimulasi
adrenergik yang berkelanjutan akan menyebabkan aritmia, tetapi dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gagal jantung akut, terutama dengan hipoperfusi yang terbukti
secara klinis, syok kardiogenik atau sebagai tambahan untuk perawatan definitif
lainnya.

Sumber: Suwanditya, Rahandianti Khofii, dkk. 2017. Peran Senyawa Flavonoid dan
Glikosida Jantung dalam Aktivitas Kardiotonik. Karya Ilmiah. Fakultas Farmasi.
Universitas Padjadjaran.

7. Sebagai Zat Pewarna


Angkak adalah produk fermentasi beras oleh kapang Monascus sp., yang
mengandung berbagai metabolit sekunder. Salah satu metabolit, yaitu zat warna
Monascus, terdiri dari 3 (tiga) kelompok utama, yaitu zat warna merah
(rubropunktamin dan monaskorubramin), jingga (rubropunktatin dan monaskorubrin)
serta kuning (monaskin dan ankaflavin). Zat warna ini memiliki aktivitas
antiproliferasi, antitumor potensial, antidiabetes, antioksidatif stres, anti-inflamasi dan
antiobesitas. Banyaknya aktivitas farmakologi zat warna Monascus, menyebabkan
perlu dilakukan studi literatur mengenai proses fermentasi dan karakterisasi zat-zat
warna tersebut dalam berbagai jurnal elektronik, baik jurnal nasional maupun
internasional bereputasi. Hsil penelusuran pustaka menunjukkan bahwa zat warna
Monascus dapat dihasilkan melalui fermentasi padat dalam medium PDA atau
cornmeal serta medium cair, yang mengandung surfaktan atau MSG. pH medium di
bawah 4,00 akan menyebabkan pembentukan zat warna terkonsentrasi dalam cairan
intraseluler, sedangkan pH medium mendekati netral (5,5-6,5) menyebabkan
pembentukan zat warna terkonsentrasi dalam cairan ekstratraseluler. Seluruh
zatKedua zat warna jingga, yang dinotasikan dengan huruf O1 dan O2, menunjukkan
efek inhibisi yang paling signifikan pada proliferasi sel BGC-823 dibanding zat warna
lainnya, bahkan terhadap taksol (senyawa antikanker alami yang paling efisien)
sebagai kontrol positif. Perbedaan kemampuan tiga kelompok zat warna dalam
mengapoptosis sel kanker memang berhubungan erat dengan struktur kimianya. Zat
warna jingga, rubropunktatin, memiliki gugus 6-internal eter, 4-karbonil dan ikatan
rangkap terkonjugasi yang terikat pada struktur trisiklik. Struktur seperti inilah yang
umumnya menghasilkan efek antikanker (Zheng, et al., 2010). Xiong, et al. (2014)
mengisolasi zat warna Monascus sp. dari dua metode fermentasi yang berbeda, yaitu
submerged culture dan fermentasi ekstratif. Pada submerged culture, fermentasi
dilakukan dalam air, sedangkan fermentasi ekstraktif dilakukan dalam larutan
surfaktan, dengan penambahan Triton X-100. Triton X-100 ini ditambahkan ke dalam
medium sebagai surfaktan nonionik, yang akan mengkondisikan kepolaran medium.
Kedua proses fermentasi ini menghasilkan akumulasi zat warna jingga dalam cairan
intraseluler, yang dapat dipisahkan dengan zat warna kuning dalam cairan
ekstraseluler melalui sentrifugasi. Transmitan kedua cairan ini diukur menggunakan
densitometer. Hasil pengukuran membentuk puncak-puncak pada panjang gelombang
410 dan 470 nm. (Gambar 2). Farmaka 81 Volume 18 Nomor warna tersebut
dikarakterisasi menggunakan metode HSCCC, HPLC-MS, spektroskopi NMR, flow
cytometry, spektrofotometer UV/Vis serta Kromatografi Lapis Tipis/KLT. Kata kunci
.
Angkak, Zat warna Monascus, Fermentasi, gkak atau red fermented rice/RFR
atau koji merah, beras ankak, Beni-Koji, Hong Qu dan Hung-Chu merupakan hasil
fermentasi beras oleh jamur Monascus sp. Monascus sp. merupakan jamur dari genus
Monascus, keluarga Monascaceae dan kelas Ascomycetes (Kuo, et al., 2009; Liu,
2006). Angkak telah lama digunakan sebagai bahan tambahan untuk pewarna,
penambah aroma serta penyedap rasa pada makanan di Jepang, Cina dan
negaranegara Asia Tenggara (Yang, et al., 2014).
Dalam angkak terkandung berbagai metabolit sekunder yang telah
teridentifikasi, seperti Monascus pigments (MPs), monakolin K, asam γ-aminobutirat
(GABA), monaskodilon, sitrinin dan asam dimerumat (Liu, et al., 2011; Cheng, et al.,
2011). Monascus sp. memproduksi tiga kelompok zat warna,
Zat warna Monascus dapat dihasilkan melalui beberapa metode fermentasi,
yaitu fermentasi fase padat menggunakan medium potato dextrose agar (PDA) (Kuo,
2009; Mukherjee, 2011) dan medium beras (Vidyalakshmi, et al., 2009). Pada
penelitian Zheng, et al. (2010), zat warna yang diisolasi dari ekstrak etanol 70%
angkak dari fermentasi Monascus sp. galur FZU04 dapat diidentifikasi menggunakan
metode HSCCC (High-Speed Counter-current Chromatography). Struktur zat warna
tersebut ditentukan menggunakan HPLC-MS (High Performance Liquid
Chromatography-Mass Spectroscopy) dan spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic
Resonance). Hasil identifikasi menunjukkan 6 (enam) struktur berbeda, yaitu
monaskin dan ankaflavin (zat warna kuning), rubropunktatin dan monaskorubrin (zat
warna jingga), serta rubropunktamin dan monaskorubramin (zat warna merah)
(Gambar 1). Kesamaan dari keenam zat warna ini terletak pada rantai 4- karbonil dan
ikatan rangkap terkonjugasi dalam struktur trisiklik. Farmaka 80yaitu zat warna
jingga, merah dan kuning, yang masing-masingnya terdiri dari dua atau lebih senyawa
turunan poliketida (Mukherjee and Singh, 2010), yaitu monaskin dan ankaflavin
(kuning), monaskorubramin dan rubropuntamin (merah), serta monaskorubrin dan
rubropuntatin (jingga) (Patakova, 2013). Kebanyakan zat warna tersebut dihasilkan
dari jalur metabolisme poliketida, walaupun mekanisme pembentukan masih perlu
diteliti (Feng, et. al., 2012). Zat warna ini juga mempunyai aktivitas antiproliferasi
(Zheng, et al., 2010), antitumor potensial (Hsu, et al., 2011), antidiabetes,
antioksidatif stres (Shi, et al., 2012), anti-inflamasi (Hsu, et al., 2012; Hsu, et al.,
2013) dan antiobesitas (Lee, et al., 2013). Berdasarkan banyaknya aktivitas
farmakologi dari berbagai zat warna Monascus, maka perlu dilakukan studi literatur
mengenai proses fermentasi dan karakterisasi zat-zat warna yang diisolasi dari
angkak. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif berdasarkan literature
review. Data didapatkan secara on line dari berbagai jurnal elektronik seperti
ScienceDirect, Schelvier, NCBI dan situs lainnya menggunakan berbagai kata kunci.
Data-data tersebut disusun menjadi pokok bahasan, lalu ditarik kesimpulannya.
Zat warna Monascus dapat dihasilkan melalui beberapa metode fermentasi,
yaitu fermentasi fase padat menggunakan medium potato dextrose agar (PDA) (Kuo,
2009; Mukherjee, 2011) dan medium beras (Vidyalakshmi, et al., 2009). Pada
penelitian Zheng, et al. (2010), zat warna yang diisolasi dari ekstrak etanol 70%
angkak dari fermentasi Monascus sp. galur FZU04 dapat diidentifikasi menggunakan
metode HSCCC (High-Speed Counter-current Chromatography). Struktur zat warna
tersebut ditentukan menggunakan HPLC-MS (High Performance Liquid
Chromatography-Mass Spectroscopy) dan spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic
Resonance). Hasil identifikasi menunjukkan 6 (enam) struktur berbeda, yaitu
monaskin dan ankaflavin (zat warna kuning), rubropunktatin dan monaskorubrin (zat
warna jingga), serta rubropunktamin dan monaskorubramin (zat warna merah)
(Gambar 1). Kesamaan dari keenam zat warna ini terletak pada rantai 4- karbonil dan
ikatan rangkap terkonjugasi dalam struktur trisiklik.
Kedua zat warna jingga, yang dinotasikan dengan huruf O1 dan O2,
menunjukkan efek inhibisi yang paling signifikan pada proliferasi sel BGC-823
dibanding zat warna lainnya, bahkan terhadap taksol (senyawa antikanker alami yang
paling efisien) sebagai kontrol positif. Perbedaan kemampuan tiga kelompok zat
warna dalam mengapoptosis sel kanker memang berhubungan erat dengan struktur
kimianya. Zat warna jingga, rubropunktatin, memiliki gugus 6-internal eter, 4-
karbonil dan ikatan rangkap terkonjugasi yang terikat pada struktur trisiklik. Struktur
seperti inilah yang umumnya menghasilkan efek antikanker (Zheng, et al., 2010).
Xiong, et al. (2014) mengisolasi zat warna Monascus sp. dari dua metode fermentasi
yang berbeda, yaitu submerged culture dan fermentasi ekstratif. Pada submerged
culture, fermentasi dilakukan dalam air, sedangkan fermentasi ekstraktif dilakukan
dalam larutan surfaktan, dengan penambahan Triton X-100. Triton X-100 ini
ditambahkan ke dalam medium sebagai surfaktan nonionik, yang akan
mengkondisikan kepolaran medium. Kedua proses fermentasi ini menghasilkan
akumulasi zat warna jingga dalam cairan intraseluler, yang dapat dipisahkan dengan
zat warna kuning dalam cairan ekstraseluler melalui sentrifugasi. Transmitan kedua
cairan ini diukur menggunakan densitometer. Hasil pengukuran membentuk puncak-
puncak pada panjang gelombang 410 dan 470 nm. Perbedaan kedua metode
fermentasi ini mempengaruhi akumulasi zat warna. Hasil pengukuran menunjukan
adanya peak pada panjang gelombang 470 nm, sebagi tempat keberadaan zat warna
jingga, yang terakumulasi lebih banyak dalam cairan intraseluler submerged culture.
Hasil fermentasi ekstraktif menampilkan peak pada panjang gelombang 410 nm, yang
menunjukkan adanya akumulasi zat warna kuning pada cairan ekstraseluler (Xiong, et
al., 2014). Pada penelitian Kang, et al. (2014), berbagai zat warna Monascus
dihasilkan dari kultur dalam medium cornmeal dan medium MSG, dengan variasi pH
awal yang rendah, lalu dikarakterisasi melalui metode kromatografi lapis tipis
(Gambar 3 dan Gambar 4) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH
terhadap pembentukan zat warna.
Monascus sp difermentasi dengan pH awal yang bervariasi, yaitu pH 2-7,5.
Produk fermentasi disentrifugasi, lalu dipisahkan menjadi extracellular broth dan
intracellular biomass. Karakterisasi zat warna dilakukan menggunakan panjang
gelombang yang spesifik, yaitu 410 nm untuk zat warna kuning, 470 nm untuk zat
warna jingga dan 510 nm untuk zat warna merah, yang divalidasi menggunakan
kromatografi lapis tipis. Hasil fermentasi menunjukkan bahwa pH awal
mempengaruhi pembentukan dan komposisi zat warna antara cairan intraseluler dan
ekstraseluler. Semakin rendah pH yang digunakan, maka pembuatan zat warna
semakin terkosentrasi pada cairan intraseluler, yang ditandai dengan tingginya
absorbansi pada 470 nm serta adanya noda pada nRf 0,95. Pada pH 5,5, zat warna
yang dihasilkan terkonsentrasi pada zat warna ekstraseluler, yang ditandai dengan
tingginya absorbansi pada 410 nm serta noda pada Rf 0,7. Hasil ini menunjukkan
bahwa zat warna jingga merupakan komponen utama dalam fraksi intraseluler dan zat
warna kuning dalam fraksi ekstraseluler (Kang, et al. 2014). Penelitian Kang, et al.
(2014) diperkuat oleh penelitian Shi, et al., (2015). Karakterisasi zat warna dari
Monascus anka GIM 3.592 dilakukan menggunakan spektrofotometer UV/Vis pada
panjang gelombang 350-550 nm dan divalidasi menggunakan kromatografi lapis tipis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah pH awal (pH 6,5), zat warna
yang dihasilkan akan terkonsentrasi pada zat warna ekstraseluler.

Sumber: Cheng, M. J., Wu, M. D., Chen, I. S., Tseng, M., and Yuan,G. F. 2011.
Chemical constituents from the fungus Monascus purpureus and their antifungal
activity. Phytochemistry Letters, 4: 372-376. Feng, Y., Shao, Y., and Chen, F. 201.

8. Sebagai Bahan Wewangian Untuk Parfum


Zat pewangi dalam parfum merupakan komponen yang sangat penting. Tidak
hanya dalam parfum, hampir setiap produk memiliki komponen pewangi. Mulai dari
produk rumah tangga seperti sabun, shampoo, pengharum ruangan. Bahkan pada
produk-produk yang tidak harus menggunakan pewangi seperti tissue. Hampir semua
orang menyukai produk yang memiliki bau wangi karena terkesan bersih, segar, dan
menyenangkan jika menghirupnya. Namun dibalik keuntungannya pada pewangi
terdapat bahan kimia yang menjadi dasar pembuatan wewangian yang bisa meracuni
tubuh.Berdasarkan tabel komposisi kimia diatas diperoleh komponen zat pewangi dari
ketiga parfum adalah metal dihidrojasmonat.
Metil dihidro jasmonat adalah ester dan senyawa aroma difusi dengan bau
samar-samar mirip dengan melati. Senyawa ini digunakan sebagai zat pewangi dalam
parfum. Dalam material safety data sheet(MSDS) metal dihidrojasmonat tidak
berbahaya bagi kesehatan tubuh. Sehingga masih baik digunakan sebagai zat pewangi
dalam parfum.
Dalam penelitian ini senyawa metil dihidrojasmonat merupakan senyawa
pokok dari komponen zat pewangi pada ketiga sampel parfum tersebut. Namun selain
senyawa metal dihidrojasmonat terdapat juga senyawa alfa-heksil sinnamaldehid.
Berdasarkan material safety data sheet (MSDS) jika senyawa ini tertelan akan
menyebabkan aspirasi ke dalam paru-paru dengan risiko pneumonitis kimia, dan
konsekuensi serius bisa terjadi. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa
senyawa ini dapat menyebabkan iritasi mata dan kerusakan pada beberapa orang. Jika
terjadi kontak kulit tidak memiliki efek kesehatan yang merugikan,namun dapat
menyebabkan luka seperti lecet,terkelupas, atau kulit yang iritasi tidak boleh terkena
senyawa ini. Bahaya jika menghirup uap ini dapat menyebabkan mengantuk atau
pening, dapat disertai dengan kehilangan refleksi, kurangnya koordinasi, dan vertigo.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa senyawa ini dapat menyebabkan iritasi
pernafasan pada beberapa orang. Respon tubuh terhadap iritasi tersebut dapat
menyebabkan kerusakan paru-paru lebih lanjut.

Sumber: Isawara, Filasavita Prasasti, dkk. 2014. Analisis Senyawa Berbahaya Dalam
Parfum Dengan Kromatografi Gas-Spektofotometri Massa Berdasarkan Material
Safety Data Sheet (MSDS). Indonesia Journal Of Chemical Research, Vol. 2 No. 1.

Anda mungkin juga menyukai