Daftar isi
1Struktur
2Kelas
3Penerapan medis
4Referensi
5Pranala luar
Struktur[sunting | sunting sumber]
Struktur[pranala nonaktif permanen] skematik antibodi: dua rantai berat (biru, kuning) dan dua rantai ringan (hijau, merah
muda). Situs pengikatan antigen ditandai dengan lingkaran.
Antibodi merupakan protein yang berat (~150 kDa) dengan ukuran sekitar 10 nm.[9] Molekul ini
tersusun dalam tiga daerah globular yang secara kasar membentuk huruf Y.
Pada manusia dan kebanyakan mamalia, sebuah unit antibodi terdiri dari empat rantai
polipeptida, yaitu dua rantai berat yang identik dan dua rantai ringan yang identik; mereka
dihubungkan oleh ikatan disulfida.[10] Setiap rantai merupakan serangkaian domain: urutan yang
agak mirip yang masing-masing terdiri atas sekitar 110 asam amino. Domain ini biasanya
direpresentasikan dalam skema yang disederhanakan sebagai persegi panjang. Rantai ringan
terdiri dari satu domain variabel VL dan satu domain konstan CL, sedangkan rantai berat berisi
satu domain variabel VH dan tiga sampai empat domain konstan CH1, CH2, dan seterusnya.[11]
Secara struktural, antibodi juga dibagi menjadi dua fragmen pengikat antigen (Fab), yang
masing-masing mengandung satu domain VL, VH, CL, dan CH1, serta fragmen yang dapat
mengkristal (Fc), yang membentuk bagian batang huruf Y.[12] Di antara mereka terdapat daerah
engsel rantai berat yang fleksibilitasnya memungkinkan antibodi untuk mengikat pasangan
epitop pada berbagai jarak, untuk membentuk kompleks molekul (dimer, trimer, dll.), serta untuk
mengikat molekul efektor dengan lebih mudah.[13]
Kelas[sunting | sunting sumber]
Antibodi memiliki berbagai variasi yang dikenal sebagai isotipe atau kelas. Pada
mamalia berplasenta, terdapat lima kelas antibodi yang dikenal sebagai IgA, IgD, IgE, IgG, dan
IgM, yang selanjutnya dibagi lagi menjadi subkelas seperti IgA1, IgA2. Awalan "Ig" adalah
singkatan dari imunoglobulin, sedangkan akhirannya menunjukkan jenis rantai berat yang
dikandung antibodi: jenis rantai berat α (alfa), γ (gamma), δ (delta), ε (epsilon), dan μ (mu) yang
merupakan dasar penamaan bagi IgA, IgG, IgD, IgE, dan IgM. Ciri khas setiap kelas ditentukan
oleh bagian dari rantai berat di dalam engsel dan wilayah Fc.[14]
Tiap-tiap kelas memiliki perbedaan dalam sifat biologis, lokasi fungsional, dan kemampuan untuk
menangani antigen, seperti yang digambarkan dalam tabel. [15] Misalnya,
antibodi IgE bertanggung jawab atas respons alergi yang mencakup pelepasan histamin dari sel
mast, yang berkontribusi pada asma. Wilayah variabel antibodi berikatan dengan antigen
penyebab alergi, misalnya partikel tungau debu rumah, sedangkan wilayah Fc-nya (dalam rantai
berat ε) berikatan dengan reseptor Fc ε pada sel mast, yang memicu degranulasinya (pelepasan
molekul yang disimpan dalam granulanya). [16]
Subkela
Kelas Deskripsi
s
Fungsi IgD terutama sebagai reseptor antigen pada sel B yang belum
IgD 1 terpapar antigen,[18] serta mengaktifkan basofil dan sel mast untuk
menghasilkan faktor antimikrob.[19]
Isotipe antibodi dari sel limfosit B berubah selama perkembangan dan aktivasi sel tersebut. Sel B
belum matang, yang tidak pernah terpapar antigen, hanya mengekspresikan isotipe IgM dalam
bentuk terikat di permukaan sel. Dalam bentuk yang siap merespons ini, limfosit B dikenal
sebagai "limfosit B naif". Limfosit B naif mengekspresikan IgM dan IgD di permukaannya.
Koekspresi dari kedua isotipe imunoglobulin ini membuat sel B siap untuk merespons antigen.
[20]
Aktivasi sel B mengikuti keterlibatan molekul antibodi (yang terikat-sel) dengan antigen, yang
menyebabkan sel membelah dan berdiferensiasi menjadi sel penghasil antibodi yang disebut sel
plasma. Dalam bentuk teraktivasi ini, sel B mulai memproduksi antibodi dalam
bentuk tersekresikan alih-alih dalam bentuk terikat membran. Beberapa sel anak dari sel B yang
teraktivasi mengalami peralihan isotipe, suatu mekanisme yang menyebabkan produksi antibodi
berubah dari IgM atau IgD menjadi isotipe antibodi lain, IgE, IgA, atau IgG, yang memiliki peran
tertentu dalam sistem imun.
Penerapan medis[sunting | sunting sumber]
Diagnosa penyakit
Pada akhir abad ke-19, para ilmuwan yang menyelidiki penyakit menular mengembangkan
teknik diagnostik baru beserta cara terapinya. Alat baru muncul dari pemahaman yang
berkembang tentang sistem kekebalan dan peran antitoksin (antibodi) yang diproduksi tubuh
sebagai respons terhadap organisme atau racun (antigen) yang menyerang. Para ilmuwan
merancang tes untuk mendeteksi adanya antibodi dalam darah dan menggunakan antigen untuk
memicu respons imun. Tes ini memberikan informasi mengenai riwayat penyakit pasien,
termasuk infeksi yang sedang dialami serta paparan penyakit sebelumnya. Pengujian dapat
mengungkap infeksi sebelum gejala luar muncul dan membantu mengidentifikasi pembawa
penyakit atau individu tanpa gejala namun ia terpapar suatu penyakit. [21]
Terapi penyakit
Behring dan Kitasato menemukan terapi antibodi pasif yang dapat melindungi dari racun bakteri.
Pada awal 1890-an dan 1930-an terapi serum digunakan secara luas untuk mengobati berbagai
penyakit menular. Namun, popularitas terapi serum antibodi terjadi pada waktu yang hampir
bersamaan dengan antibiotik pertama dikembangkan, dan antibiotik menjadi lebih banyak
tersedia, sehingga penggunaan terapi serum menurun. Pada akhir 1940-an sebagian besar telah
ditinggalkan. Preparat imunoglobulin tersedia untuk mengobati beberapa infeksi, seperti hepatitis
B, rabies dan virus varicella-zoster, hanya satu antibodi monoklonal (palivizumab) yang telah
dilisensikan untuk mencegah penyakit menular.[22]
Antibodi mampu memediasi berbagai efek biologis yang berbeda termasuk tidak bergantung
pada komponen lain dari sistem kekebalan tubuh, seperti menetralkan racun dan virus,
mengaktifkan komplemen, serta efek yang melibatkan komponen lain dari sistem kekebalan
tubuh, seperti sitotoksisitas dan opsonisasi seluler yang bergantung pada antibodi. Selain itu,
efek antibodi dapat sinergis dengan efek terapi antimikroba konvensional, dan waktu untuk
mengembangkan sediaan antibodi terapeutik akan jauh lebih singkat daripada waktu
pengembangan vaksin.[22]
Antibodi dapat dengan mudah dimodifikasi untuk menargetkan sel inang. Salah satu strateginya
adalah radioimunoterapi, di mana radionuklida dilekatkan pada molekul antibodi. [22]
Terapi prenatal
Faktor Rhesus (Rh) yang juga disebut sebagai antigen Rh D merupakan antigen yang terdapat
pada sel darah merah. Individu dengan Rh-positif (Rh +) memiliki antigen ini pada sel darah
merahnya dan individu yang Rh-negatif (Rh–) tidak. Selama persalinan normal, trauma
persalinan atau komplikasi selama kehamilan, darah dari janin dapat masuk ke dalam sistem
tubuh ibu. Dalam kasus ibu dan anak yang memiliki ketidakcocokan Rh, pencampuran darah
konsekuensial dapat membuat ibu Rh-sensitif terhadap antigen Rh pada sel darah anak Rh +,
menempatkan sisa kehamilan, dan setiap kehamilan berikutnya bisa berisiko terhadap penyakit
hemolitik pada bayi yang baru lahir. [23]
Pengobatan pranatal dengan diberikan Antibodi anti-RhD bertujuan untuk mencegah sensitisasi
yang mungkin terjadi ketika ibu dengan Rh-negatif memiliki janin dengan Rh-positif. Pengobatan
ibu dengan antibodi Anti-RhD sebelum dan sesaat setelah trauma persalinan menghancurkan
antigen Rh dalam sistem ibu dari janin. Pengobatan Rho (D) Immune Globulin mencegah
sensitisasi yang dapat menyebabkan penyakit Rh, tetapi tidak mencegah atau mengobati
penyakit yang mendasari itu sendiri. [24]
Referensi[sunting | sunting sumber]
5t