Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DAN ANAK DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN
ELIMINASI PATOLOGIS DARI SYSTEM PENCERNAAN DAN KEMIH (ATRESIA ANI,
LABIOPALATOTOSCHZIZIZ DAN HIPOSPADIA)”

DOSEN PEMBIMBING: ABDUL HARIS, SST.,M.Pd.M.Kes

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 4


NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1. ABDUL MUIS
2. ANISATURRAHMA
3. FARAS SAIDINAH
4. MAULANA IKHLASUL AMAL
5. NUR ALKAIDAH
6. NURUL MI’RAJ
7. RESTU RABIATUN
8. TETI RAHMI

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugerah kepada
penyusun untuk dapat menyusun makalah yang berjudul “KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA BAYI DAN ANAK DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI PATOLOGIS
DARI SYSTEM PENCERNAAN DAN KEMIH (ATRESIA ANI, LABIOPALATOTOSCHZIZIZ
DAN HIPOSPADIA ”. Makalah ini disusun berdasarkan hasil data-data dari media elektronik
berupa Internet dan media cetak. Ucapan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah
memberikan partisipasinya dalam penyusunan makalah ini. Penyusun berharap makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua dalam menambah pengetahuan atau wawasan mengenai Asuhan
keperawatan pada anak dengan gangguan kebutuhan eliminasi patologis dari system pencernaan
dan kemih (atresia ani, labiopalatotoschziziz dan hipospadia . Penyusun sadar makalah ini
belumlah sempurna maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
agar makalah ini menjadi sempurna.

Bima,April 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................
C. Tujuan ......................................................................................................................
D. Manfaat ....................................................................................................................

BAB II TINJAUAN TEORI


1. ATRESIA.................................................................................................................
2. LABIOPALATOTOSCHZIZIZ..............................................................................
3. HIPOSPADIA.........................................................................................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian....................................................................................................................
B.Diagnosis Keperawatan.................................................................................................
C.Intervensi Keperawatan.................................................................................................
D.implementasi keperawatan............................................................................................
E.evaluasi .........................................................................................................................

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................................
B. Saran.............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia mempunyai kebutuhan dasar (kebutuhan pokok) untuk mempertahankan kelangsungan


hidupnya begitu juga dengan anak. Walaupun setiap individu atau anak mempunyai karakteristik
yang unit, kebutuhan dasarnya sama.

Perbedaannya hanya dalam cara pemenuhan kebutuhan dasar tersebut (Asmadi, 2008).
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam
mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan dan kesehatan (Alimul, 2006).

Di kalangan profesi keperawatan, teori kebutuhan dasar yang sering dijadikan acuan adalah
hierarki kebutuhan dasar manusia yang dipublikasikan Abraham Maslow pada tahun 1970.

Menurut Maslow, pemenuhan berbagai kebutuhan tersebut didorong oleh dua kekuatan
(motivasi) yakni motivasi kekurangan (defiency motivation) dan motivasi
pertumbuhan/perkembangan (growth motivation). Motivasi kekurangan bertujuan untuk
mengatasi masalah ketegangan manusia karena berbagai kekurangan yang ada. Misalnya lapar
mendorong seseorang untuk memenuhi nutrisi; haus untuk memenuhi kekurangan cairan dan
elektrolit; sesak napas, untuk memenuhi kekurangan oksigen di tubuh; takut cemas merupakan
kebutuhan untuk memenuhi kekurangan rasa aman; dan sebagainya (Asmadi, 2008).

Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang perlu atau penting untuk bertahan hidup. Manusia
memiliki delapan macam kebutuhan dasar yaitu: kebutuhan oksigen, cairan, nutrisi, temperatur,
eliminasi, tempat tinggal, istirahat, dan seks (Potter & Perry, 2005).

Eliminasi merupakan kebutuhan yang esensial dan berperan penting dalam menentukan
kelangsungan hidup dalam homeostatis melalui pembuangan sisa sisa metabolisme. Secara garis
besar, sisa metabolisme tersebut terbagi ke dalam dua jenis yaitu sampah yang berasal dari
saluran cerna yang dibuang sebagai feses (nondigestible waste) serta sampah metabolisme
berasal dari saluran kemih berupa urine (Asmadi, 2008).
B.Rumusan Masalah

1. Apa itu konsep gangguan atresia ani?


2. Apa itu konsep gangguan labiopalatotoschziziz?
3. Apa itu konsep gangguan hipospadia?
4. Apa konsep asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan atresia ani?

C. Tujuan
1. Mahasiwa memahami tentang konsep gangguan atresia ani
2. Mahasiwa memahami tentang konsep gangguan labiopalatotoschziziz
3. Mahasiwa memahami tentang konsep gangguan hipospadia
4. Mahasiwa memahami tentang konsep asuhan keperawatan pada anak dengan
gangguan atresia ani

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis Dapat menambah pengalaman bagi penulis dalam proses belajar
mengajar mengenai Asuhan Keperawatan dengan Prioritas Masalah Gangguan
atresia ani
BAB II

TINJAUAN TEORI

1. ATRESIA ANI

A.Pengertian

Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Wong, D. L, 2003). Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, C. L and Sowden, L. A, 2002). Atresia
ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus
secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2001). Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa atresia ani adalah suatu kelainan bawaan dimana tidak terdapatnya lubang atau saluran
anus.

B.Etiologi

Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan
bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan
embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1.Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur. 2.Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

3.Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan. 4.Berkaitan dengan sindrom down.

5.Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.

C.Patofisiologi

1.Proses perjalanan penyakit

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional.
Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang
berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal. Terjadi
stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak
ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Manifestasi
klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi
abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui
fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia,
sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan
ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90%
dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya
letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada
letak rendah fistula menuju ke uretra (rektourethralis).

D.Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah
bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada
perineum (Suriadi & Yuliani, R, 2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak
dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen,
pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat menonjol. Bayi muntah-muntah pada usia 24-48
jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan
dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan
mekonium.

E.Komplilkasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:

a.Asidosis hiperkloremia.

b.Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.

c.Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).


d.Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi jaringan perut
dianastomosis).

e.Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

f.Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).

g.Prolaps mukosa anorektal.

h.Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi). (Ngastiyah, 2005).

F.Klasifikasi

a.Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.

b.Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.

c.Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rektum dengan anus.

d.Rektal atresia adalah tidak memiliki rektum.

F.Penatalaksanaan Medis

Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin
tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi
setelah beberapa hari kelahiran lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen
(prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini
dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar
dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Jenis tindakan pembedahan yang dapat
dilakukan adalah:

1.Aksisi membran anal (membuat anus buatan).

2.Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi
sekaligus (pembuat anus permanen
2.LABIOPALATOSCHZIZIZ

A. Definisi

Menurut Wong Donnal L. dkk. (2008), Labioskizis (celah bibir) dan palatoskizis (celah langit-
langit/mulut/palatum) merupakan malformasi fasial yang terjadi dalam perkembangan embrio.
Keadaan ini sering dijumpai pada semua populasi dan dapat menjadi disabilitas pada semua
orang yang terkena. Keduanya dapat terjadi secara terpisah atau yang lebih sering lagi, secara
bersamaan. Labioskizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua prosesus nasalin
maksilaris dan mediana, palatoskizis merupakan fisura pada garis tengah palatum akibat
kegagalan penyatuan kedua sisinya.

Celah bibir dan celah palatum adalah anomali kraniofasial kongenital yang paling sering terjadi,
yaitu terjadi pada satu dari setiap 700 kelahiran di seluruh dunia. Kejadiannya sering berkaitan
dengan anomali lain dan telah diidentifikasi pada lebih dari 350 sindrom (Curtin & Bockelheide,
2010). Anomali yang paling sering berkaitan dengan celah bibir dan celah palatum antara lain
adalah defek jantung, malformasi telinga, deformitas skeletal, dan abnormalitas genitourinary.

B. Epidemiologi

Insidens celah bibir (bibir sumbing) dengan atau tanpa adanya celah pada palatum, kira-kira
terdapat pada 1:600 kelahiran; insidens celah palatum saja sekitar 1:1000 kelahiran. Bibir
sumbing banyak terjadi pada laki-laki. Kemungkinan penyebabnya ibu yang terpajan obat,
kompleks sindrommalformasi, murni-tak diketahui, atau genetik.

Faktor genetik pada bibir sumbing, dengan atau tanpa celah palatum, lebih penting dari pada
celah palatum saja. Namun, keduanya dapat terjadi secara sporadis; insidens tertinggi pada
kelainan ini terdapat pada orang Asia dan terendah pada orang kulit hitam. Insidens yang terkait
dengan malformasi kongenital dan gangguan dalam proses perkembangan meningkat pada anak-
anak pada cacat celah, terutama pada mereka yang cacat celah palatum saja. Penemuan ini
sebegian terjelaskan oleh adanya kenaikan insidens gangguan pendengaran konduktif pada anak
yang menderita celah palatum, sebagian disebabkan oleh infeksi berulang pada telinga tengah,
juga oleh frekuensi cacat celah pada anak-anak yang mempunyai kelainan kromosom.
(Nelson,2001).
C.Anatomi dan Fisiologi Sistem Terkait

Mulut (oris) : Merupakan jalan masuk menuju system pencernaan dan berisi organ aksesori yang
bersifat dalam proses awal pencernaan.

Secara umum terdiri dari 2 bagian, yaitu :

1.Bagian luar (vestibulla) yaitu ruang diantara gusi, gigi, bibir,dan pipi

2.Bagian rongga mulut (bagian dalam) yaitu rongga yangdibatasi sisanya tulang maksilaris,
palatum, dan mandibularis di sebelah belakang bersambung dengan faring.

Ada bagian-bagian yang perlu diketahui :

1. Palatum Palatum terdiri dari: Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk
palatum dan sebelah tulang maksilaris dan lebih kebelakang terdiri dari dua tulang palatum.
Palatum mole (palatum lunak) terletak dibelakang yang merupakan lipatan menggantung yang
dapat bergerak, terdiri dari jaringan fibrosa dan selaput lender

2. Rongga Mulut dilapisi membran mukosa terdiri atas epitelium skuamosa berlapis yang berisi
sedikit kelenjar penyekresi mucus.

3. Lidah adalah struktur muscular yang berada di dasar mulut. Saraf yang mempersarafi lidah
adalah saraf hipoglosal, cabang lingual, dari saraf mandibula, dan saraf fasial serta glosofaringeal
yang merupakan saraf pengecap. Lidah berperan penting dalam menguyah, menelan,
mengecap,dan bicara.

4. Kelenjar Ludah Saliva (ludah) merupakan sekresi dari kelenjar ludah dan sebagian kecil
kelenjar penyekresi mukus dari mukosa oral. Sekitar 1,5 liter saliva dihasilkan setiap hari dan
terdiri atas air, garam mineral, enzim (amilase salivarious), mukus, lisozim, imunoglobin, dan
faktor pembeku darah. Sekresi Saliva berada di bawah kendali syaraf otonom. Fungsi Saliva :
Membantu pencernaan polisakarida secara kimia, Lubrikasi makanan: Makanan kering masuk ke
mulut dilembabkan dan dilubrikasi oleh saliva sebelum diubah menjadi bolus dan siap untuk
ditelan, Membersihkan dan melubrikasi, Pertahanan tubuh non-spesifik, Pengecapan.

D. Klasifkasi
1. Klasifikasi menurut struktur – struktur yang terkena menjadi :

1. Palatum primer : meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum dibelahan foramen
incivisium.

2. Palatum sekunder : meliputi palatum durum dan molle posterior terhadap foramen.

2. Klasifikasi menurut organ yang terlibat :

1. Celah bibir (labioskizis)

2. Celah di gusi (gnatoskizis)

3. Celah dilangit (Palatoskizis)

4. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di bibir dan langit-langit
(labiopalatoskizis).

3. Klasifikasi berdasarkan lengkap atau tidaknya celah terbentuk

1. Unilateral iincomplete : Jika celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan tidak
memanjang ke hidung

2. Unilateral complete : Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung

3. Bilateral complete : Jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir dan memanjang hingga ke
hidung.

E. Etiologi

Menurut Marcdante Karen J. dkk. (2014): Celah bibir disebabkan :

 Faktor genetic yang kuat risiko tertinggi terjadi pada anak dengan keluarga yang
mengalami hal yang sama. Kembar monozigot hanya menunjukkan kesamaan sebanyak
60%, sehingga menimbulkan dugaan terdapat faktor nongenom.
 Faktor lingkungan selama gestasi juga meningkatkan risiko, termasuk obat-obatan
(fenitoin, asan valproate, talidomid), ibu mengkonsumsi alcohol dan merokok, dioksin
dan herbisida lain, dan kemungkinan ketinggian dataran juga berperan.
 Faktor Resiko : Defisiensi Asam folat selama kehamilan, Pajanan substansi berbahaya
pada saat prenatal, tembakau, alkohol.

F. Patofisiologi

Perkembangan celah atau sumbing terjadi di awal kehamilan. Jaringan yag membentuk bibir
biasanya menyatu pada usia 5 hingga 6 minggu gestasi, dan palate menutup usia 7 hingga 9
minggu gestasi. Oleh sebab itu, jika bibir atau palatum tidak menyatu, bayi lahir dengan celah
bibir atau palatum. Celah bibir atau palatum dapat terjadi secara tunggal, tetapi 50% bayi yang
dilahirkan dengan kondisi celah bibir juga mengalami celah palatum ( Curttin & Boekelheide,
2010). Celah bibir atau palatum mungkin unilateral (sisi kiri lebih sering terkena) atau bilateral.

G. Pemeriksaan Diagnostik

1. FOTO Rontgen untuk memeriksa kelainan pada rongga mulut

2. MRI untuk evaluasi abnormal, untuk melihat kelainan-kelainan pada rongga mulut

3. Pemeriksaan USG.Bibir sumbing lebih mudah di diagnosis melalui ultrasound


kehamilan.Diagnosis dapat dibuat pada awal kehamilan 18 minggu. Prenatal diagnosis
memberikan orang tua dan tim medis keuntungan dari perencanaan lanjutan untuk perawatan
bayi.

H. Penatalaksanaan

Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Operasi ini dilakukan setelah bayi
berusia 2 bulan, dengan berat badan meningkat, dan bebas dari infeksi oral pada saluran napas
dan sistemik.

1. Perawatan Menyusu adalah metode pemberian makan terbaik untuk seorang bayi dengan
bibir sumbing tidak menghambat penghisapan susu ibu. Ibu dapat mencoba sedikit
menekan payudara untuk mengeluarkan susu. Dapat juga menggunakan pompa payudara
untuk mengeluarkan susu dan memberikannya kepada bayi dengan menggunakan botol
setelah dioperasi, karena bayi tidak menyusu sampai 6 minggu.
2. Pembedahan Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya dilakukan setelah umur 2
bulan, ketika anak telah menunjukan kenaikan berat badan, dan bebas dari infeksi saluran
oral, saluran napas, atau sistemik. Tujuan pembedahan adalah menyatukan bagian-bagian
celah, mewujudkan wicara yang bagus dan jelas, mengurangi regurgitas hidung dan
menghindari cedera pada pertumbuhan lakrimalis.

3. HIPOSPADIA

A.Definisi

Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang terletak di sebelah ventral penis
dan proksimal ujung penis. Letak meatus uretra bisa terletak pada grandular hingga parineal.
(Basuki B. Purnomo).

Hipospadia adalah kelainan congenital saluran kemih yaitu muara uretra teretak tidak pada ujung
penis, namun lebih kea rah paroximal di sisi ventral penis. Hipospadia terjadi akibat gangguan
penutupan urethral goove oleh urethral fold. Pembentukan uretra terjadi pada usia kehamilan 4
bulan, sedangkan testis mulai turun keddalam skrotum pada usia kehamilan 7 bulan.

Pada daerah tempat tidak terbentuk uretra, terbentuk korde, yaitu suatu jaringan ikat berasal dari
jaringan meenkim yang seharusnya berdiferensasi menjadi korpus spongionsum, fasia buck dan
fasia dartos. Karena jaringan ikat tidak elastic, korde menyebabkan penis mebengkok kearah
ventral saat ereksi. ( R. Sjamsuhidajat, 2010 Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC ).

B.Etiologi

Penyebab kelainan ini kemungkinan bermula dari proses kehamilan juga karena maskulinisasi
inkomplit dari genetalia karena prematur dari sel interstitial testis. Didalam kehamilan terjadi
penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi
ventral penis. Perkembangan uretra in utero normalnya dimulai sekitar usia 8 minggu dan selesai
dalam 15 minggu. Secara umum dipercaya bahwa hipospadia disebabkanoleh produksi androgen
yang tak adekuat oleh testis fetal.

Perbedaan dalam penentuan waktu dan tingkat insufiensi hormonal kemungkinan menerangkan
jenis berbeda dari hipospadia. Bentuk hipospadia urethrae externum terletak pada badan penis
atau perineum, sehingga menganggu urinasi normal pada posisi berdiri yang lazim pada laki laki.
( Moore.L.Keith, 2013 Buku Anatomi Berorientasi Klinis Edisi 5 jilid 1 Jakarta : ERLANGGA )

C.Manifestasi klinis

1.Tidak terdapat prepusium ventral sehingga prepusium dorsal menjadi berlebih (dorsal hood)

2.Sering disertai korde (penis agulasi ke ventral / penis melengkung kearah bawah

3.Lubang kencing terletak dibagian bawah dari penis.

4.Kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung kearah bawah yang akan tampak lebih
jelas pada saat ereksi

D. Patofisiologi

Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka
pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang ringan
yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya di
perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal
dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan
kurvatura (lengkungan) ventral dari penis. (Muscari, 2007 : 357)

E.Pemeriksaan penunjang

Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir atau bayi. Karena kelainan
lain dapat menyertai hipospadia, dianjurkan pemeriksaan yang menyeluruh, termasuk
pemeriksaan kromosom (Corwin,2009).

1.Rongten

2.USG sistem kemih kelamin


3.BNO

IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan kongenital ginjal

4.Kultur urine (anak hipospadia).

F.Penatalaksanaan

Penanganan hipospadia dilakukan dalam 2 tahapan :

1.Operasi reseksi chorda (chordectomy atau release chorda )

1)Bertujuan aar penis tidak melengung ketika ereksi.

2)Tahap pertama dilakukan pada usia 2 tahun ( dapat ditunda ), dengan syarat dilakukan tes
endokrinologi anak (kadar hormon testoteron ) terlebih dahulu karena pada hipospadia biasanya
disertai undescensus testis.

3)Jika kadar hormon rendah sebaiknyya segera di operasi, bila normal maka operasi dapat di
tunda 6 bulan lagi.

2.Uretroplasty

1)Dilakukan 6 bulan setelah chordectomy, untuk menempatkan OUE pada tempatnya.

2)Sebelum usia 4 tahun seluruh tahapan operasii harus selesai, karena bila tidak dapat
enyebabkan gangguan psikis anak.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1.ATRESIA ANI

A. Pengkajian

a.Biodata klien.

b.Riwayat keperawatan.

1)Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.

2)Riwayat kesehatan masa lalu.

c.Riwayat psikologis. Koping keluarga dalam menghadapi masalah.

d.Riwayat tumbuh kembang anak.

1)BB lahir abnormal.

2)Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah mengalami
trauma saat sakit.

3)Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.

4)Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.

e.Riwayat sosial.

f.Pemeriksaan fisik.

g.Pemeriksaan penunjang Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan


penunjang sebagai berikut:

1)Pemeriksaan radiologis, Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.


2)Sinar X terhadap abdomen Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

3)Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa
tumor.

4)CT Scan Digunakan untuk menentukan lesi.

5)Pyelografi intra vena Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

6)Pemeriksaan fisik rectum Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.

7)Rontgenogram abdomen dan pelvis Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula
yang berhubungan dengan traktus urinarius.

B.Diagnosa keperawatan

 Diagnosa preoperasi:

a.Konstipasi berhubungan dengan aganglion.

b.Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, muntah.

c.Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan.

 Diagnosa postoperasi:

a.Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.

b.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi.

c.Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka


kolostomi.

d.Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.


e.Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

C.intervensi keperawatan

 Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi:

a.Konstipasi berhubungan dengan aganglion.

Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.

Kriteria hasil:

1)Penurunan distensi abdomen.

2)Meningkatnya kenyamanan.

Intervensi:

1)Lakukan enema atau irigasi rektal.

2)Kaji bising usus dan abdomen.

3)Ukur lingkar abdomen.

b.Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah.

Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.

Kriteria hasil:

1)Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.

2)Capillary refill 3-5 detik.

3)Turgor kulit baik.

4)Membran mukosa lembab.

Intervensi:

1)Pantau TTV.
2)Monitor intake-output cairan.

3)Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.

c.Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan.

Tujuan: Kecemasan orang tua dapat berkurang.

Kriteria hasil:

1)Klien tidak lemas.

Intervensi:

1)Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan fisiologi saluran
pencernaan normal.

2)Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.

3)Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.

Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi:

a.Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi luka.

Tujuan:Rasa nyeri teratasi/ berkurang.

Kriteria hasil:

1)Klien tampak tenang dan merasa nyaman.

2)Klien tidak meringis kesakitan.

Intervensi:

1)Kaji skala nyeri.

2)Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri.

3)Berikan lingkungan yang tenang.


4)Atur posisi klien.

5)Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

b.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi.

Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.

Kriteria hasil:

1)Penyembuhan luka tepat waktu.

2)Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.

Intervensi:

1)Kaji area stoma.

2)Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.

3)Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.

4)Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi ¼ atau ⅓

kantong.

5)Lakukan perawatan luka kolostomi.

c.Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka kolostomi.

Tujuan: Tidak terjadi infeksi.

Kriteria hasil:

1)Tidak ada tanda-tanda infeksi.

2)TTV normal.

3)Leukosit normal.

Intervensi:
1)Kaji adanya tanda-tanda infeksi.

2)Pantau TTV.

3)Pantau hasil laboratorium.

4)Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.

5)Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

d.Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.

Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.

Kriteria hasil:

1) BAB normal.

2)Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.

Intervensi:

1)Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.

2)Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.

3)Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan mengandung tinggi serat jika
konstipasi.

4)Lakukan perawatan kolostomi.

e.Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah.

Kriteria hasil:

1)Menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan kolostomi dirumah.

Intervensi:
1)Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat
melakukan perawatan.

2)Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.

3)Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal
secara tepat.

4)Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.

5)Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.

6)Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).

D.Implementasi keperawatan

Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dengan melaksanakann
berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana
tindakan keperrawatan.

Dalam tahap ini, perawat harus mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan
perlindungan pada klien, tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman
tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien. Dalam
pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan
tindakan kolaborasi (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008: 122).

E.Evaluasi keperawatan

Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang dibuat
pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap ini adalah
memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan kesimpulan
tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan
pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:

a.Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi
dengan respon segera.
b.Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien pada
waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. Di samping itu,
evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan
apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.

1)Tujuan tercapai Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan dan
kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

2)Tujuan tercapai sebagian Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai
secara keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau penyebabnya, seperti klien
dapat makan sendiri tetapi masih merasa mual. Setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.

3)Tujuan tidak tercapai Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan
kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan. Adapun evaluasi akhir yang ingin
dicapai dari tiap-tiap diagnosa adalah:

a.Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.

b.Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.

c.Kecemasan orang tua dapat berkurang.

d.Rasa nyeri teratasi/ berkurang.

e.Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.

f.Tidak terjadi infeksi.

g.Gangguan pola eliminasi teratasi.

h. Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah .


BAB IV

PENUTUP

A.Kesimpulan

Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Wong, D. L, 2003).Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, C. L and Sowden, L. A, 2002).

B. Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat mampu mendiagnosis
secara dini mengenai penyakit hernia pada anak, sehingga kita mampu memberikan asuhan
keperawatan yang maksimal terhadap anak tersebut.

Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan sehingga kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Adriana (2013), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Jakarta : Salemba MedikaCoyne (2013),
Terapi bermain TerhadapAnak Prasekolah. Jakarta : EGCDalami, E., Suliswati, dkk (2013).
Asihan Keperawatan Jiwa dengan Masalah Psikososial.Jakarta : Trans Info
MedikaHockenbery,& Wlson (2014), Wong’s esensial pediatric nursing. Eighth ediation. St.
Lois Mosby ElseviwrHamad, S. (2004).Terapi bermain.Jakarta. PustakaImam, h.
30.Herdman,T.Heather.(2015).Diagnosiskeperawatandefinisi&klasifikasi2015-2017
edisi10.Jakarta: EGC.Hidayat,A.A.
(2005)PengantarIlmuKeperawatanAnakI.Jakarta:SalembaMedika.Parker & Wampler (2013)
Keperawatan Anak Jakarta : Salemba MedikaKartika (2013), Terapi bermain anak prasekolah :
Salemba Medika.Nursalam.,Susilaningrum.,danUtami.(2005)AsuhanKeperawatanAnak.Jakarta:
SalembaMedika.Potter, P.A., and Perry, A.G. (2010). FundamentalKeperawatan. Jakarta:
SalembaMedika.Sherwood,L. (2011) FisiologiManusia: Dari Selke Sistem. Jakarta:
EGC.Sekriptini, A.Y.(2013).Pengaruh terapi bermain boneka tanganterhadapPenurunan
kecemasan pada anakdi Ruang UGDRSUDKotaCirebon. Tesis.FIK
UniversitasIndonesia.Sihombing,D,T.H.(2005).Terapi bermain pada
anak.Yogyakarta:GadjahMadaUniversityPress.SueMoorhead,dkk. (2013).Nursing Outcomes
Classification (NOC)edisibahasaIndonesia.: ELSEVER.Supartini, Y. (2010). Buku Ajar
KonsepDasar Keperawatan Anak.Jakarta: EGC. Wilian dan Chung (2016), Asuhan Keperawaan
Pada Anak : Jakarta : EGCWong dkk (2013).Buku Ajar Keperwatan Pediatrik.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai