Anda di halaman 1dari 9

NAMA : NUR INDAH ADHAYANI

NIM : B021201081

JUDICIAL REVIEW B

1. Pemohon
• Pasal 2
(1)Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);


b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

(2) Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.
(3) Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun
termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial).

• Pasal 3
(1) Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya
diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang
lain.
(2) Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.
(3) Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi,
menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.
• Pasal 4
(1) Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya
berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.
(2) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya, pemohon
dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu.
(3) Surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat keterangan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditunjukkan dan diserahkan kepada majelis
Hakim dalam persidangan.
Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang menyebutkan bahwa :
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang
atau Perppu, yaitu :
a. Perorangan warga nega Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dam sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. Lembaga negara.

2. Pemberi Keterangan
Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang menyebutkan bahwa :
(1) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b adalah MPR, DPR, DPD,
dan/atau Presiden.
(2) Dalam keadaan tertentu, Mahkamah dapat meminta keterangan pihak lain yang
diposisikan sebagai Pihak Terkait.

3. Pihak Terkait
Pasal 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang menyebutkan bahwa :

(1) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yaitu :


a. Perorangan warga nega Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dam sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. Lembaga negara.
(2) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pihak yang berkepentingan
langsung dan/atau pihak yang berkepentingan tidak langsung dengan pokok
Permohonan

4. Permohonan
Pada Pasal 10 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun
2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian UndangUndang menyebutkan
bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama Pemohon dan/atau kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat
rumah/kantor, dan alamat surat elektronik;
b. Uraian yang jelas mengenai :
1. Kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangna
Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan serta objek permohonan;
2. Kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya
undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 4; dan
3. Alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan
undangundang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undangundang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan
ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan
UUD 1945.
c. Petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan
pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) yaitu :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa pembentukan undang-undang atau Perppu yang dimohonkan
pengujian tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu
berdasarkan UUD 1945 dan undang-undang atau Perppu a quo tidka mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia;

atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex
aquo et bono).
d. Petitum, yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan
pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa meteri muatan, ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang
atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia;

atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex
aquo et bono).

5. Tahap persidangan
Tahap penanganan perkara (pasal 8 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021
Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang)
a. Pengajuan Permohonan;
b. Pencatatan Permohonan dalam e-BP3;
c. Pemeriksaan kelengkapan Permohonan;
d. Pemberitahuan APKNP disertai DHPKP2;
e. Pemenuhan kelengkapan dan perbaikan Permohonan;
f. Penyampaian laporan Permohonan dalam RPH;
g. Pencatatn Permohonan dalam e-BRPK;
h. Penyampaian salinan Permohonan;
i. Pengajuan Permohonan sebagai Pihak Terkait;
j. Pemberitahuan sidang kepada para pihak;
k. Pemeriksaan Pendahuluan;
l. Pemeriksaan Persidangan;
m. Pelaksanaan RPH pembahasan perkara;
n. Pengucapan Putusan Mahkamah; dan
o. Penyerahan/penyampaian salinan Putusan Mahkamah.

Pada BAB V Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang membahas tentang Persidangan. Pada pasal 34
ayat (2) disebutkan bahwa :

Persidangan perkara PUU dilaksanakan melalui : a.


Pemeriksaan Pendahuluan;
b. Pemeriksaan Persidangan; dan
c. Pengucapan Putusan.

Pada ayat 3 disebutkan bahwa persidangan tersebut bisa dilaksanakan secara luring
(offline), secara daring (online), melalui video conference, dan/atau melalui media
elektronik lainnya.
Pada Pasal 36 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang juga disebutkan bahwa “untuk kepentingan
pemeriksaan, Mahkamah dapat mempertimbangkan penggabungan pemeriksaan beberapa
perkara secara bersamaan”

Pada pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa :

Sebelum Pemeriksaan Persidangan, Mahkamah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan


dalam 2(dua) tahap sidang, yaitu :

a. Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda untuk mendengar pokok-pokok


Permohonan, memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi Permohonan;
b. Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda untuk memeriksa perbaikan Permohonan
serta pengesahan alat bukti Pemohon.

Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat
dilakukan dalam Sidang Panel yang dihadiri oleh paling kurang 3 (tiga) orang Hakim.
(Pasal 39 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang )
Setelah Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan, Panel Hakim yang
memeriksa perkara tersebut melaporkan hasilnya dalam RPH untuk memutuskan tindak
lanjut perkara. (Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang)

Pada pasal 49 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa Pemeriksaan
Persidangan meliputi :

a. Mendengar keterangan Pemberi Keterangan;


b. Mendengar keterangan Pihak Terkait;
c. Mendengar keterangan ahli;
d. Mendengar keterangan saksi;
e. Memeriksa dan/atau mengesahkan alat bukti tertulis;
f. Memeriksa rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang
bersesuaian dengan alat-alat bukri lain yang dapat dijadikan petunjuk;
g. Memeriksa alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan
itu.

Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang
dihadiri oleh 9 (Sembilan) orang hHakim atau paling kurang 7 (tujuh) orang Hakim. Dalam
keadaan tertentu (antara lain berkaitan dengan rahasia negara, kesusilaan, dan
perlindungan anak) Mahkamah dapat menetapkan Sidang Pleno yang bersifat tertutup.
(Pasal 48 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang
Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang)

Pada pasal 58 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa:

(1) Pemohon membuktikan dalil Permohonan dalam Persidangan;


(2) Pemberi Keterangan dan/atau Pihak Terkait dapat membuktikan keterangannya;
(3) Hakim dapat memerintahkan kepada Pemohon, Pemberi Keterangan dan/atau Pihak
Terkait menyerahkan tambahan alat bukti yang diperlukan dalam persidangan untuk
kejelasan pemeriksaan perkara;
(4) Keterangan ahli dan/atau saksi didengar keterangannya dalam persidangan setelah
Mahkamah mendengar keterangan Pemberi Keterangan, kecuali Mahkamah
menentukan lain.

Pada Pasal 66 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa :

(1) Mahkamah memutuskan perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan
keyakinan Hakim.
(2) Pengambilan Putusan Mahkamah dilakukan dalam RPH secara tertutup setelah selesai
Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Persidangan.
(3) RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihadiri oleh 9 (Sembilan) orang Hakim
atau paling kurang oleh 7 (tujuh) orang Hakim yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah.
(4) Dalam hal Ketua Mahkamah berhalangan, RPH dipimpin oleh Wakil ketua
Mahkamah.
(5) Dalam hal Ketua Mahkamah dan Wakil Ketua Mahkamah berhalangan dalam waktu
bersamaan, RPH dipimpin oleh Hakim yang bertindak sebagai ketua RPH yang dipilih
dari dan oleh Hakim yang hadir.

Pengambilan Putusan Mahkamah dilakukan dengan musyawarah mufakat. Dalam


pengambilan Putusan Mahkamah, setiap hakim menyampaikan pendapat hukum
terhadap Permohonan yang bertujuan untuk menjawab seluruh dalil yang dimohonkan
oleh Pemohon. Ketika mufakat tersebut tidak tercapai, rapat dapat ditunda sampai RPH
berikutnya. Selanjutnya, jika dalam RPH berikutnya ternyata tidak juga mencapai
mufakat meskipun telah diusahakan dengan sungguh-sungguh maka Putusan
Mahkamah diambil dengan suara terbanyak. Dan ketika dalam RPH tidak dapat
mengambil keputusan dnegan suara terbanyak, maka Putusan Mahkamah ditentukan
oleh suara terakhir dari ketua RPH. (Pasal 67 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2
Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang) 6)
Putusan Mahkamah
6. Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final diartikan bahwa tidak ada lagi upaya
hukum lain yang dapat ditempuh oleh para yustisiabel. Oleh karenanya, putusan tersebut
telah memiliki kekuatan mengikat secara umum dimana semua pihak harus tunduk dan
taat melaksanakan putusan tersebut.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu
berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam
persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.

• Pasal 31
Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim
Konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi.

• Pasal 32
(1) Dalam rangka pengambilan putusan setiap Hakim Konstitusi wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
(2) Putusan sedapat mungkin diambil secara musyawarah untuk mufakat. 16
(3) Dalam hal tidak dicapai mufakat bulat, rapat ditunda sampai rapat permusyawaratan
berikutnya.
(4) Setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh ternyata tidak dapat dicapai mufakat
bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(5) Dalam hal RPH tidak dapat mengambil putusan dengan suara terbanyak sebagaimana
dimaksud ayat (4), suara terakhir Ketua RPH menentukan.
(6) Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda terhadap putusan dimuat dalam putusan,
kecuali hakim yang bersangkutan tidak menghendaki.

• Pasal 33
Putusan Mahkamah tentang pengujian undang-undang memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi:
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas Pemohon;
c. ringkasan permohonan yang telah diperbaiki;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan;
g. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan
h. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim Konstitusi, serta Panitera.

• Pasal 34
Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan sebagaimana dimaksud Pasal
32 huruf d meliputi ringkasan:

a. pendirian Pemohon terhadap permohonannya dan keterangan tambahan yang disampaikan


di persidangan;
b. keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD;
c. keterangan Pihak Terkait; dan
d. hasil pemeriksaan alat-alat bukti; Pasal 35 Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan
sebagaimana dimaksud Pasal 32 huruf
e meliputi:
a. maksud dan tujuan permohonan;
b. kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud Pasal 24 huruf c UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003;
c. kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU
Nomor 24 Tahun 2003; 17
d. alasan dalam pokok permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (3) huruf a d
an/atau b UU Nomor 24 Tahun 2003;
e. kesimpulan mengenai semua hal yang telah dipertimbangkan.

Anda mungkin juga menyukai