Anda di halaman 1dari 22

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Wacana

Banyak ahli bahasa yang telah berpendapat mengenai pengertian wacana.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:1122), wacana diartikan sebagai: 1)

ucapan; perkataan; tutur, 2) keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan, 3)

satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh,

seperti novel, buku atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya.

Hal yang sama diungkapkan oleh Harimurti Kridalaksana (2008:259)

mengenai pengertian wacana (discourse) yaitu satuan bahasa terlengkap, dalam

hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana

ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri

ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa

amanat yang lengkap; teks dalam wacana.

Menurut Abdul Chaer (2003:267) wacana merupakan satuan bahasa yang

lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal

tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana

itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa

dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana

lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar,

berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi

commitkewacanaan
persyaratan gramatikal, dan persyaratan to user lainnya.

9
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

Fatimah Djajasudarma mengungkapkan dalam bukunya Wacana

Pemahaman dan Hubungan Antarunsur (1994:2) bahwa para ahli bahasa

umumnya berpendapat sama tentang wacana dalam hal satuan bahasa yang

terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. Perbedaannya terletak

pada wacana sebagai unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk

karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi serta kohesi

tinggi. Sebenarnya, wacana utuh harus dipertimbangkan dari segi isi (informasi)

yang koheren, sedangkan kohesif dipertimbangkan dari keruntutan unsur

pendukung (bentuk).

David Nunan (1993:5) mengungkapkan tentang wacana yaitu “discourse

can be defined as a stretch of language consisting of several sentences which are

perceived as being related in some way” ‘wacana bisa didefinisikan sebagai

sebuah perluasan dari bahasa yang terdiri dari beberapa kalimat yang mana dilihat

sebagaimana dihubungkan dalam suatu cara.’

Menurut Sumarlam (2010:30) wacana adalah satuan bahasa terlengkap

yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau

secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang

dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan

dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.

Henry Guntur Tarigan (1987:27) berpendapat bahwa wacana adalah satuan

bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa

dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai

awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud dengan wacana adalah suatu kesatuan bahasa terlengkap

yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh baik secara lisan seperti

pada pidato, khotbah, dan ceramah maupun secara tertulis seperti pada cerpen,

novel, buku, dan sebagainya yang saling terkait atau bersifat kohesif apabila

dilihat dari segi bentuknya dan terpadu atau bersifat koheren apabila dilihat dari

segi maknanya.

B. Jenis-Jenis Wacana

Menurut dasar pengklasifikasiannya, wacana dapat diklasifikasikan

menjadi beberapa jenis. Pengklasifikasian itu berdasarkan dari bahasa yang

dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkannya, media yang dipakai untuk

mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk, serta cara dan tujuan pemaparannya.

1. Berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkannya,

wacana dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Wacana bahasa nasional (Indonesia),

b. Wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan

sebagainya),

c. Wacana bahasa internasional (Inggris),

d. Wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan

sebagainya (Sumarlam, 2010:30).

Wacana bahasa Indonesia ialah wacana yang diungkapkan dengan

menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarananya; wacana bahasa Jawa adalah


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

wacana yang diungkapkan dengan menggunakan sarana bahasa Jawa; wacana

bahasa Inggris merupakan wacana yang dinyatakan dengan menggunakan bahasa

Inggris, dan seterusnya. Apabila dilihat dari ragam bahasa yang digunakannya,

maka wacana tersebut dapat berupa wacana bahasa Indonesia ragam baku dan

wacana bahasa Indonesia ragam tak baku; wacana bahasa Jawa ragam ngoko

(ragam bahasa Jawa yang kurang halus, ragam rendah), krama (ragam bahasa

Jawa halus, ragam tinggi, dan campuran antara kedua ragam tersebut).

2. Berdasarkan media yang digunakannya maka wacana dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu:

a. Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau

melalui media tulis,

b. Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau

media lisan.

3. Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya, wacana dapat dibedakan menjadi

dua macam, yaitu:

a. Wacana monolog (monologue discourse) artinya wacana yang

disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk ikut

berpartisipasi secara langsung. Contohnya yaitu orasi ilmiah, penyampaian

visi dan misi, khotbah, dan sebagainya.

b. Wacana dialog (dialogue discourse) artinya wacana atau percakapan yang

dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Contohnya yaitu

diskusi, seminar, musyawarah, dan kampanye dialogis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

4. Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk,

yaitu:

a. Wacana prosa ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa (Jawa:

gancaran). Dapat berupa wacana tulis atau lisan. Contoh wacana tulis

yaitu cerpen, cerbung, novel, artikel dan undang-undang; sedangkan

contoh wacana lisan misalnya pidato, khotbah dan lain sebagainya.

b. Wacana puisi ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi (Jawa:

geguritan). Dapat berupa wacana tulis atau lisan. Contoh jenis wacana

puisi lisan yaitu puisi dan syair; sedangkan puitisasi atau puisi yang

dideklamasikan dan lagu-lagu merupakan contoh jenis wacana puisi lisan.

c. Wacana drama ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama,

dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan.

Contohnya yaitu naskah drama atau naskah sandiwara dan pemakaian

bahasa dalam peristiwa pementasan drama, yakni percakapan antarpelaku

dalam drama tersebut.

5. Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya, wacana diklasifikasikan menjadi

lima macam, yaitu:

a. Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan

yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona

pertama atau ketiga dalam waktu tertentu.

b. Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan,

menggambarkan atau memerikan sesuatu menurut apa adanya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

c. Wacana eksposisi atau wacana pembeberan yaitu wacana yang tidak

mementingkan waktu dan pelaku.

d. Wacana argumentasi yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang

dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan

pembaca akan kebenaran ide atau gagasannya.

e. Wacana persuasi yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat,

biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk mempengaruhi secara

kuat pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan

tersebut (Sumarlam, 2010:31-36).

Di samping jenis wacana di atas, ada pula ahli yang mengklasifikasikan

wacana menurut cara penyusunan, isi dan sifatnya. Misalnya Llamzon dalam

Sumarlam (2010:37-38) menyebutkan wacana ada yang bersifat naratif,

prosedural, hortatorik, ekspositorik dan deskriptif.

a. Wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau

menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh atau pelaku

(orang pertama atau ketiga) dengan maksud memperluas pengetahuan

pendengar atau pembaca.

b. Wacana prosedural adalah rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu

secara berurutan yang tidak boleh dibolak-balik unsur-unsurnya karena

urgensi unsur terdahulu menjadi landasan unsur yang berikutnya.

c. Wacana hortatorik adalah tuturan yang isinya bersifat ajakan atau nasihat,

kadang-kadang tuturan itu bersifat memperkuat keputusan agar lebih

meyakinkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

d. Wacana ekspositorik adalah rangkaian tuturan yang bersifat memaparkan

suatu pokok pikiran.

e. Wacana deskriptif adalah rangkaian tuturan yang memaparkan atau

melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan

penuturnya.

Fatimah Djajasudarma (1994:12-13) menambahkan tiga jenis wacana yang

lain yaitu wacana dramatik, epistolari dan seremonial.

a. Wacana dramatik menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan

sedikit bagian naratif. Pentas drama merupakan wacana dramatik.

b. Wacana epistolari digunakan di dalam surat-surat, dengan sistem dan

bentuk tertentu. Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi dan alinea

penutup.

c. Wacana seremonial berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di

masyarakat bahasa. Wacana seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada

upacara perkawinan, upacara kematian, upacara syukuran dan lain

sebagainya.

Dengan melihat jenis-jenis wacana di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa crita cekak merupakan jenis wacana tulis yang menggunakan bahasa

daerah yaitu bahasa Jawa sebagai sarana pengungkapannya. Crita cekak

berbentuk prosa dengan kategori wacana prosa tulis dan merupakan wacana narasi

atau wacana penceritaan karena crita cekak adalah wacana yang mementingkan

urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

C. Sarana Keutuhan Wacana

Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan bukan merupakan

kumpulan kalimat yang berdiri sendiri atau terlepas. Kalimat-kalimat dalam

wacana merupakan gabungan antara pertautan bentuk (kohesi) dan perpaduan

makna (koherensi). Dengan demikian, wacana yang padu adalah wacana yang

apabila dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif, dan

dilihat dari segi hubungan makna atau struktur batinnya bersifat koheren

(Sumarlam, 2010:40).

1. Kohesi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:475), kohesi diartikan

sebagai perpaduan yang erat. Menurut Mulyana (2005:26) kohesi dalam wacana

diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan

sintaktikal. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk.

Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun

suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi

termasuk dalam aspek internal struktur wacana.

Fatimah Djajasudarma (1994:46) mengungkapkan bahwa kohesi adalah

keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana

sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren. Kohesi merujuk pada

pertautan bentuk, sedangkan koherensi pada pertautan makna.

Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kohesi

merupakan perpaduan bentuk yang erat antara unsur yang satu dengan unsur yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

lain dalam sebuah wacana sehingga menciptakan suatu wacana yang enak

didengar ataupun dibaca.

a. Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal merupakan segi bentuk atau struktur lahir wacana.

Unsur kohesi gramatikal terdiri dari: (1) pengacuan (reference), (2) penyulihan

(substitution), (3) pelesapan (ellipsis), (4) perangkaian (conjunction).

(Sumarlam, 2010:40).

1) Pengacuan (referensi)

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau

suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Satuan lingual tertentu

yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa persona (kata ganti

orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual

yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan unsur

lainnya).

a) Pengacuan Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata

ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona

II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak. Pronomina

persona I tunggal, II tunggal, dan III tunggal ada yang berupa bentuk

bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat).

Selanjutnya yang berupa bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kiri

(lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Dengan demikian, satuan lingual aku, kamu, dan dia, misalnya, masing-

masing merupakan pronomina persona I, II, dan III tunggal bentuk

bebas. Adapun bentuk terikatnya adalah ku- (misalnya pada kutulis)¸

kau- (pada kautulis), dan di- (pada ditulis) masing-masing adalah

bentuk terikat lekat kiri; atau –ku (misalnya pada istriku), -mu (pada

istrimu), dan –nya (pada istrinya) yang masing-masing merupakan

bentuk terikat lekat kanan.

a. Kata ganti orang I di antaranya aku ‘aku’, kula ‘saya’, hamba

‘saya’

b. Kata ganti orang II di antaranya kowe ‘kamu’, panjenengan ‘anda’

c. Kata ganti orang III di antaranya dheweke ‘ia’, dheweke ‘dia’,

piyambakipun ‘beliau’

Salah satu contoh pengacuan persona adalah sebagai berikut.

(1) Krungu tembung-tembung kang asipat ndhesek mau aku dadi kaya
wong bingung [...] (CWS/01/11/2012/VIII).
‘Mendengar kata-kata yang bersifat mendesak itu membuat saya jadi
seperti orang bingung [...]’

Data di atas terdapat pengacuan persona yaitu pada kata aku ‘saya’ yang

merupakan persona I tunggal bentuk bebas yang mengacu kepada si

pengarang crita cekak.

b) Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina

demonstratif tempat (lokasional).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

a. Pengacuan demonstratif waktu : saiki ‘kini’, dekwingi ‘kemarin’,

sesuk ‘besok’, esuk ‘pagi’, awan ‘siang’, sore ‘sore’.

b. Pengacuan demonstratif tempat : kene ‘sini’, iki ‘ini’, kono ‘situ’,

kuwi ‘itu’, kana ‘sana’.

Salah satu contoh pengacuan demonstratif adalah sebagai berikut.

(2) Wah jan nggemeske tenan priyayi siji iki [...] (CWS/ 01/ 11/ 2012/
VIII).
‘Wah memang menggemaskan sekali orang satu ini [...]’

Data di atas terdapat pengacuan demontratif tempat (lokasional) yaitu pada

kata iki ‘ini’.

c) Pengacuan Komparatif (Perbandingan)

Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi

gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang

mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap,

sifat, watak, perilaku dan sebagainya.

Salah satu contoh pengacuan komparatif adalah sebagai berikut.

(3) [...] Nganti dheweke mbengok-mbengok kaya bocah cilik dijamoni


(KM/ 08/11/2012/VIII).
‘[...] Sampai dia berteriak seperti anak kecil diobati’

Pada data di atas mengacu pada perbandingan persamaan antara sikap atau

perilaku mbengok-mbengok ‘orang yang teriak-teriak’ dengan sikap atau

perilaku bocah cilik dijamoni ‘anak kecil diobati’.

2) Penyulihan (Substitusi)

Penyulihan atau substitusi ialah satu satu jenis kohesi gramatikal yang

berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda.

Dilihat dari satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi

substitusi nominal, verbal, frasal dan klausal.

a) Substitusi Nominal

Substitusi Nominal ialah penggantian satuan lingual yang berkategori

nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori

nomina.

b) Substitusi Verbal

Substitusi Verbal ialah penggantian satuan lingual yang berkategori

verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori

verba.

c) Substitusi Frasal

Substitusi Frasal ialah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa

kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa.

d) Substitusi Klausal

Substitusi Klausal ialah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa

klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau

frasa.

Substitusi yang ditemukan adalah substitusi nominal, frasal, dan

klausal.

3) Pelesapan (Elipsis)

Pelesapan (elipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa

penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa

kata, frasa, klausa, atau kalimat (Sumarlam, 2010:41-50), sedangkan

elipsasi yaitu proses penghilangan atau tidak diucapkannya bagian tertentu

karena dipandang berlebihan (Sudaryanto, 1985:299).

Salah satu contoh pelesapan (elipsis) adalah sebagai berikut.

(4) Aku ora mangsuli, mlebu kolah sakprelu wudu. Bubar wudu terus
njupuk rukuh lan salat [...] (N/ 20/ 12/ 2012/ VIII).
‘Aku tidak menjawab, masuk kamar mandi hendak berwudhu. Setelah
berwudhu kemudian mengambil mukena dan sholat [...]’

Data di atas terdapat pelesapan (elipsis) satuan lingual yang berupa kata,

yaitu kata aku yang berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan pada

tuturan tersebut. Subjek yang sama itu dilesapkan sebanyak dua kali, yaitu

sebelum kata mlebu kolah „masuk kamar mandi’ pada klausa kedua dan

sebelum kata terus „terus’ pada klausa ketiga.

4) Perangkaian (Konjungsi)

Menurut Mulyana (2005:29) konjungsi disebut juga sarana perangkaian

unsur-unsur kewacanaan. Konjungsi mudah dikenali karena

keberadaannya terlihat sebagai pemarkah formal. Beberapa jenis konjungsi

antara lain: a) konjungsi adversatif (namun, tetapi), b) konjungsi kausal

(sebab, karena), c) konjungsi korelatif (apalagi, demikian juga), d)

konjungsi subordinatif (meskipun, kalau), dan e) konjungsi temporal

(sebelumnya, sesudahnya, lalu, kemudian).

Menurut Sumarlam (2010:52), konjungsi adalah salah satu jenis kohesi

gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu

dengan unsur yang lain commit


dalam towacana.
user Dilihat dari segi maknanya,
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna.

Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat dikemukakan di sini

antara lain sebagai berikut.

a) Sebab-akibat (kausalitas) : sabab ‘sebab’, amarga ‘karena’, pramila

‘maka’

b) Pertentangan : ananging ‘tetapi’, ‘namun’

c) Kelebihan (eksesif) : malah ‘malah’

d) Perkecualian (ekseptif) : kajaba ‘kecuali’

e) Konsesif : ewadene ‘walaupun’

f) Tujuan : supaya ‘supaya’

g) Penambahan (aditif) : lan ‘dan’, uga ‘juga’, sarta ‘serta’

h) Pilihan (alternatif) : utawa ‘atau’, apa ‘apa’

i) Harapan (optatif) : muga-muga ‘moga-moga’

j) Urutan (sekuensial) : sabanjure ‘lalu’, terus ‘terus’

k) Perlawanan : sewalike ‘sebaliknya’

l) Waktu (temporal) : sawise ‘sesudah’

m) Syarat : menawa ‘apabila’

n) Cara : kanthi (cara) mangkono ‘dengan (cara)

begitu’ (Sumarlam, 2010:53)

Salah satu contoh perangkaian (konjungsi) adalah sebagai berikut.

(5) Lik Bari bungah nanging uga susah [...](AM/ 22/ 11/ 2012/ VIII).
‘Lik Bari senang namun juga susah [...]’

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

Pada data di atas terdapat konjungsi pertentangan yang menyatakan

pertentangan antara kata bungah „senang’ dengan kata uga susah „juga

susah’.

b. Kohesi Leksikal

Mulyana (2005:29) menyatakan bahwa kohesi leksikal atau perpaduan

leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk

mendapatkan keserasian struktur secara kohesif.

Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam,

yaitu 1) repetisi (pengulangan), 2) sinonimi (padan kata), 3) kolokasi (sanding

kata), 4) hiponimi (hubungan atas-bawah), 5) antonimi (lawan kata), dan 6)

ekuivalensi (kesepadanan).

1) Repetisi (Pengulangan)

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau

bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam

sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang

diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi

sembilan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa,

simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, dan repetisi utuh atau

penuh.

Berikut merupakan salah satu contoh repetisi yaitu sebagai berikut.

(6) Kanca nyambut gawe, kanca sekolah, sedulur waris lan kabeh
warga desa diundang supaya ngrawuhi pahargyan mentenan [...]
(AM/ 22/ 11/ 2012/ VIII)
‘Teman kerja, teman sekolah, saudara dan seluruh warga desa
diundang supaya datang pada pesta pernikahan [...]’.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

Pada data di atas terdapat repetisi (pengulangan) epizeuksis yaitu kata

kanca ‘teman’ yang diulang sebanyak dua kali pada kalimat pertama dan

kalimat kedua yang berfungsi untuk menegaskan pentingnya makna satuan

lingual yang diulang.

2) Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang

sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan

lain (Abdul Chaer, 2003:85). Sinonim merupakan kohesi leksikal yang

terjadi karena diksi yang secara semantis hampir sama atau bersamaan

dengan maknanya dengan kata yang telah digunakan sebelumnya (Fatimah

Djajasudarma, 1994:73). Menurut Kridalaksana (2001:198) sinonim

adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain,

kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun

umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Chaedar

Alwasilah (1987:149) berpendapat bahwa sinonimi adalah beberapa kata

yang berbeda mempunyai arti sama. Dengan kata lain beberapa leksim

mengacu pada satu unit semantik yang sama.

Salah satu contoh sinonim adalah sebagai berikut.

(7) Aku nuju kamar paturonku [...](TS/ 29/ 11/ 2012/ VIII)
‘Saya menuju kamar tidurku [...]’

Pada data di atas morfem (bebas) aku ‘saya’ bersinonim dengan morfem

(terikat) –ku.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

3) Antonimi (Oposisi Makna)

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang

lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan

satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Menurut

Harimurti Kridalaksana (2001:15) antonim merupakan oposisi makna

dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan. Chaedar Alwasilah

(1987:150) mengungkapkan bahwa antonimi adalah beberapa pasangan

kata mempunyai arti yang berlawanan.

Salah satu contoh antonimi (oposisi makna) adalah sebagai berikut.

(8) Lapangan sing biyasane sepi kuwi dumadakan rame dening


mahasiswa anyar kang dijejer kaya gereh ing besek [...] (KK/ 06/
12/ 2012/ VIII)
‘Lapangan yang biasanya sepi itu tiba-tiba ramai oleh mahasiswa
baru yang ditata seperti ikan di wadah [...]’

Data di atas terdapat antonimi (oposisi makna) jenis oposisi kutub yaitu

pada kata sepi ‘sepi’ yang berantonim dengan kata rame ‘ramai’.

4) Kolokasi (Sanding Makna)

Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan

pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan.

Salah satu contoh kolokasi (sanding makna) adalah sebagai berikut.

(9) Anggonku kuliyah sansaya mempeng, sanajan dadi mahasiswa


sastra Jawa ora ana pangarep-arep kang muluk-muluk, [...] (CWS/
01/ 11/ 2012/ VIII)
‘Saya semakin rajin di dalam kuliah, meskipun menjadi mahasiswa
sastra Jawa tidak ada harapan yang muluk-muluk, [...]’

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Data di atas terdapat kolokasi (sanding kata) yaitu pada kata kuliyah

„kuliah’ dan kata mahasiswa ‘mahasiswa’ yang mendukung kepaduan

kalimat tersebut.

5) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)

Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang

maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang

lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau

satuan lingual yang berhiponim itu disebut ‘hipernim’ atau ‘superordinat’.

Salah satu contoh hiponimi (hubungan atas-bawah) adalah sebagai

berikut.

(10) Katon kembang kertas kang wernane rada aeng. Lagi pisan iki aku
meruhi kembang kertas kanthi werna putih, oranye lan ungu
mekrok tunggal uwit [...](KK/ 06/ 12/ 2012/ VIII)
‘Kelihatan bunga kertas yang warnanya agak aneh. Baru sekali ini
saya melihat bunga kertas dengan warna putih, oranye dan ungu
mekar dalam satu pohon [...]’

Pada data di atas yang merupakan hipernim atau superordinatnya adalah

kata wernane „warnanya’, sedangkan warna-warna yang merupakan

hiponim adalah warna putih, oranye dan ungu.

6) Ekuivalensi (Kesepadanan)

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu

dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. (Sumarlam,

2010:55-70).

Salah satu contoh ekuivalensi (kesepadanan) adalah sebagai berikut.

(11) Yen dietung kanthi petungan kang njlimet iya lumayan entuk-
entukane dhuwit [...](SB/13/12/2012/VIII).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

‘Bila dihitung dengan hitungan yang rumit iya lumayan pendapatan


uangnya [...]’.

Data di atas terdapat kata dietung ‘dihitung’ dan kata petungan ‘hitungan’

yang merupakan kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yaitu kata

etung ‘hitung’ yang menunjukkan adanya hubungan kesepadanan.

2. Koherensi

Sumbangan yang penting terhadap koherensi berasal dari kohesi, yaitu

perangkat sumber-sumber kebahasaan yang dimiliki setiap bahasa (sebagai bagian

dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian

lainnya) (Halliday dan Hasan, 1992:65).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:475) koherensi diartikan

sebagai hubungan logis antara bagian-bagian karangan atau antara kalimat-

kalimat dalam satu paragraf.

Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan

gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara

implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan

interpretasi. Di samping itu, pemahaman ihwal hubungan koherensi dapat

ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh

wacana itu (Mulyana, 2005:31).

M. Ramlan (Mulyana, 2005:32) merinci hubungan antarbagian dalam

wacana yang bersifat koheren, yakni sebagai berikut. a. hubungan penjumlahan; b.

hubungan perturutan; c. hubungan perlawanan; d. hubungan lebih; e. hubungan

sebab-akibat; f. hubungan waktu; g. hubungan syarat; h. hubungan cara; i.


commit to user
hubungan kegunaan; j. hubungan penjelasan.
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

Menurut F.J. D’ Angelo (Tarigan:1987) aneka sarana koherensi paragraf

meliputi: a. penambahan, adisi; b. seri, rentetan; c. pronomina; d. pengulangan,

repetisi; e. padan kata, sinonim; f. keseluruhan bagian; g. kelas anggota; h.

penekanan; i. komparasi, perbandingan; j. kontras, pertentangan; k. simpulan,

hasil; l. contoh, misal; m. kesejajaran, paralel; n. lokasi, tempat; o. kala, waktu.

Salah satu contoh koherensi adalah sebagai berikut.

(12) [...] Sanadyan Ibu lan Bapak Ngadiman diparingi putra telu,
nanging namung Mas Rochman sing saged diemong (TS/ 29/ 11/
2012/ VIII)
‘[...] Meskipun Ibu dan Bapak Ngadiman dikaruniai tiga orang
putra, namun hanya Mas Rochman yang panjang umur’

Data di atas terdapat hubungan perlawanan antara klausa pertama dan

klausa kedua dengan konjungsi nanging ‘tetapi’ yang membuat kalimat tersebut

menjadi koheren.

D. Pengertian Cerpen/Crita Cekak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:186-187), cerpen diartikan

sebagai kisahan pendek atau kurang dari 10.000 kata yang memberikan kesan

tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi

(pada suatu ketika).

Si Bapak Cerpen, Edgar Allan Poe (Afifah Afra, 2007:112) mengatakan

bahwa prose tale (cerpen dalam sebutan Poe), adalah narasi yang bisa dibaca

dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah hingga dua jam.

Menurut Jacob Sumardjo (2001:184) cerpen adalah fiksi pendek yang

selesai dibaca dalam ‘sekali duduk’. Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

krisis dan satu efek untuk pembacanya. Pengarang cerpen hanya ingin

mengemukakan suatu hal secara tajam.

Cerpen yang baik adalah cerpen yang merupakan suatu kesatuan bentuk,

utuh, manunggal, tak ada bagian-bagian yang tak perlu, tetapi juga tak ada sesuatu

yang terlalu banyak, semuanya pas, integral dan mengandung suatu arti (Jacob

Sumardjo, 2001:91).

Menurut The Liang Gie dan A. Widyamartaya (Korrie Layun Rampan,

1995:10) cerpen adalah cerita khayali berbentuk prosa yang pendek, biasanya di

bawah 10.000 kata, bertujuan menghasilkan kesan kuat dan mengandung unsur-

unsur drama; oleh sebab itu alurnya pun disebut konflik dramatik.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen/crita

cekak adalah kisahan pendek yang selesai dibaca ‘sekali duduk’ dan mengandung

satu arti serta bertujuan menghasilkan kesan kuat yang di dalamnya terdapat

dialog antarpelaku.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

E. Kerangka Pikir

WACANA CRITA CEKAK DALAM


RUBRIK JAGAD SASTRA SOLOPOS

SARANA KEUTUHAN
WACANA

KOHESI KOHERENSI

1.seri, rentetan
2.keseluruhan
Gramatikal Leksikal ->bagian
3.penekanan
4.simpulan/
hasil
pengacuan/referensi repetisi/pengulangan 5.contoh/misal
penyulihan/substitusi sinonim/padan kata 6. kesejajaran
pelesapan/elipsis antonim/lawan kata
perangkaian/konjungsi kolokasi/sanding kata
hiponim/hubungan atas-
bawah
ekuivalensi/kesepadanan

KARAKTERISTIK WACANA CRITA CEKAK


DALAM RUBRIK JAGAD SASTRA SOLOPOS

Bagan 1. Kerangka Pikir

Wacana Crita Cekak dalam Rubrik Jagad Sastra Solopos


commit to user

Anda mungkin juga menyukai