Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah kesehatan jiwa dewasa ini masih kurang mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Adanya kemajuan tehnologi,
kerasnya persaingan ekonomi, kondisi politik dan keamanan serta perubahan budaya di era sekarang ini membuat potensi munculnya
masalah kesehatan jiwa menjadi semakin besar. Disisi lain Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap bencana, sering
munculnya kasus perilaku kekerasan dalam hubungan interpersonal dan maraknya penyalahgunaan zat psikoaktif di masyarakat.
Berbagai hal ini menyebabkan kesehatan jiwa perlumenjadi perhatian dalam pembangunan di Indonesia.

Banyak penyebab yang membuat masalah kesehatan jiwa belum menjadi perhatian oleh semua pihak. Adanya pemahaman yang
salah, masih banyaknya sikap negatif atau stigma dan diskriminasi termasuk beberapa penyebab terpinggirkannya masalah kesehatan
jiwa. Yang menjadi persoalan ternyata pemahaman yang salah ini ternyata tidak hanya ditemukan pada masyarakat saja tetapi juga pada
pengambil kebijakan dan para penyedia layanan kesehatan. Hal inilah yang mengakibatkan masih maraknya ditemukan perlakuan salah
bagi penderita masalah kejiwaan. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah adanya penanganan yang salah terhadap orang
dengan masalah kejiwaan dengan alasan penertiban kota. Masih ditemukannya kasus penelantaran, pemasungan dan tindak kekerasan
terhadap orang dengan masalah kejiwaan juga merupakan bukti masyarakat kita

memiliki persepsi yang salah terhadap masalah kesehatan jiwa. Yang patut disayangkan masalah ini terjadi tidak hanya pada keluarga
dan masyarakat saja tetapi juga ditemukan pada penyedia layanan kesehatan baik di sektor formal maupun informal. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Divisi Psikiatri Komunitas Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, Dharmono, dkk (2006) menunjukkan bahwa 61,7%
orang dengan gangguan jiwa yang dirawat di 4 unit perawatan di Bogor dan Jakarta pernah mengalami berbagai jenis penanganan salah
seperti kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan penelantaran. Tindakan kekerasan tersebut
terutama dilakukan oleh keluarga (50,6%), selebihnya oleh tetangga, perawat RS, teman, orang lain, polisi, petugas sosial dan oleh
dokter RS.

Perkiraan kasus pemasungan di Indonesia berada pada angka 1% dari sekitar 77.280 orang dengan gangguan jiwa berat di
Indonesia. Prediksi ini sebenarnya diperkirakan masih belum mencerminkan jumlah sebenarnya terutama apabila dikaitkan dengan
jumlah kasus skizofrenia. Yang dimaksudkan pemasungan disini adalah segala tindakan yang dapat mengakibatkan kehilangan
kebebasan seseorang akibat tindakan pengikatan dan pengekangan fisik. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota di
Jawa Timur sampai tahun 2021 diperoleh data 300 kasus pasung yang berada di 38 Kabupaten/Kota Jumlah itu terus bertambah akibat
pemasungan ulang. Dan pada kasus ini di derah jember pada tahun 2018 tercatat ada 25 korban pasung khususnya Desa Lojejer terdapat
2 kasus pasung, dan 44 yang tercatat sebagai ODGJ dalam pengawasan dan perawatan puskesmas Lojejer.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur memberikan dukungan penuh terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pasung. Gubernur Jawa Timur pada peringatan Hari Kesehatan Nasional Tahun 2013 telah
mencanangkan dimulainya Program Jawa Timur Bebas Pasung Tahun 2014. Pelaksanaan Program Jawa Timur Bebas Pasung Tahun
2014 ternyata tidak mudah. Selain dibutuhkan kerja sama lintas sektor dalam penanganan penderita pemasungan, peningkatan
ketrampilan petugas kesehatan terutama di Puskesmas perlu juga menjadi perhatian.

Pedoman Teknis Pembebasan Pemasungan ini disusun untuk memudahkan petugas kesehatan terutama di Puskesmas
melaksanakan Program Jawa Timur Bebas Pasung 2014. Diharapkan dengan adanya pedoman teknis ini tenaga kesehatan terutama di
Puskesmas tidak ragu-ragu dalam melaksanakan pembebasan pasung terhadap orang dengan masalah kejiwaan. Selain itu diharapkan
juga peran keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat, perangkat desa dan lintas sektor lain nya menjadi lebih optimal.

B. Tujuan

Pedoman ini disusun dengan tujuan untuk:

1. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang teknis pelaksanaan pembebasan orang dengan masalah kejiwaan yang
dipasung.

2. Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang proses pembebasan, penanganan dan perawatan orang dengan masalah kejiwaan yang
dipasung.

3. Meningkatkan pengetahuan tokoh agama/tokoh masyarakat/perangkat desa tentang proses pembebasan, penanganan dan perawatan
orang dengan masalah kejiwaan yang dipasung.

4. Meningkatkan pengetahuan sektor terkait tentang dukungan terhadap proses pembebasan, penanganan dan perawatan orang dengan
masalah kejiwaan yang dipasung.

C. Sasaran

Sasaran dari pedoman ini adalah semua pemangku kepentingan terkait masalah kesehatan jiwa baik dari sektor kesehatan maupun non
kesehatan. Pemangku kepentingan tersebut yaitu:

1. Orang dengan gangguan jiwa dan keluarga

2. Tenaga kesehatan baik di tingkat layanan primer, sekunder, maupun tersier

3. Tokoh agama

4. Tokoh masyarakat

5. Perangkat Desa

6. Lintas sektor terkait


BAB II
PENGERTIAN

A. Kesehatan Jiwa

Kesehatan jiwa adalah keadaan sehat sejahtera mampu menghadapi tantangan hidup dan mampu menerima
keadaan diri sendiri dan orang lain.

Kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan manusia seutuhnya kedudukannya sangat menentukan
kemampuan manusia untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk
menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.

B. Kesehatan Jiwa Komunitas

Adalah suatu pendekatan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, dimana seluruh potensi yang ada di
masyarakat dilibatkan secara aktif. Paradigma baru dalam kesehatan jiwa komunitas adalah konsep penanganan
masalah kesehatan jiwa di bidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Dalam penanganan gangguan jiwa, terutama terhadap penderita gangguan jiwa berat, dilakukan secara
manusiawi tanpa mengabaikan hak-hak asasi mereka. Pendekatan yang dilakukan beralih dari klinis- individual
ke produktif-sosial sesuai dengan berkembangnya konsep kesehatan jiwa komunitas.

C. Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah kelompok gejala atau perilaku yang ditemukan secara klinis yang disertai dengan
penderitaan (distress) dan terganggunya fungsi sosial dan aktivitas sehari-hari (disabilitas).

Individu yang mengalami gangguan jiwa disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa.

D. Pemasungan

Pemasungan adalah suatu tindakan yang menggunakan cara pengikatan atau pengisolasian. Pengikatan merupakan
semua metode manual yang menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh
dan membuat tidak dapat bergerak dengan mudah atau yan membatasi kebebasan dalam menggerakan tangan, kaki
atau kepala. Pengisolasian merupakan tindakan mengurung sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa, dalam
suatu ruangan atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar atau meninggalkan ruangan/area tersebut.

E. Penelantaran

Adalah bentuk pengabaian secara fisik dan emosional yang mengakibatkan gangguan nyata dan potensial terhadap
perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup atau martabatnya. Bentuk penelantaran dan dampak
penelantaran pada orang dengan gangguan jiwa misalnya tidak diberikan pengobatan yang layak,seperti kebutuhan
dasar hidupnya seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan.

F. Stigmatisasi

Mendeskriditkan (memberi tanda negatif) seseorang secara sosial berdasarkan karakteristik personalnya yang
mengakibatkan dampak social yang negatif. Tanda yang diberikan dan melekat pada diri seseorang yang
mengalami gangguan jiwa, misalnya kata “orang gila”.

G. Diskriminasi

Setiap pembedaan yang dibuat berdasarkan tingkatan kesehatan jiwa seseorang, khususnya pada penderita
gangguan jiwa berat.

H. Penanganan salah

Segala bentuk perlakuan yang tidak sesuai dengan etika, norma, hukum yang berlaku yang diberikan pada orang
dengan gangguan jiwa.
BAB III

PELAKSANAAN PEMBEBASAN PASIEN PASUNG

I. PERSIAPAN

A. Masyarakat

1. Keluarga

i. Memahami dan menerima anjuran petugas kesehatan untuk mendukung


proses pembebasan pasung.

ii. Bersedia memberikan perawatan pada anggota keluarga pasca pembebasan


pasung sesuai anjuran petugas kesehatan.

iii. Mendampingi pasien pasung bila harus dirujuk.

2. Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat (TOGA/TOMA)

i. Membantu menurunkan kecemasan keluarga dan lingkungan selama


proses dan pasca pembebasan pasung.

ii. Membantu menghapus stigma dan dukungan sosial terhadap keluarga


dan lingkungan

iii. Memberikan informasi yang proporsional tentang pasung.

iv. Melaporkan kepada kader kesehatan jiwa maupun tenaga kesehatan


terdekat bila menemukan orang dengan gangguan jiwa di wilayahnya
yang mengalami hal-hal di bawah ini:

1) Diikat atau dibatasi pergerakannya dengan benda apapun pada


bagian-bagian tubuh tertentu (misalnya dengan tali, rantai, kayu
pasung)

2) Dikurung pada ruangan atau tempat tertentu.

v. Membantu mempersiapkan dan melengkapi persyaratan administratif


yang berkaitan dengan sistem rujukan kesehatan.

vi. Mendampingi keluarga bila dibutuhkan.

3. Kader kesehatan jiwa

i. Melakukan deteksi dan melaporkan kasus pasung di wilayahnya ke


Puskesmas.
ii. Melakukan kunjungan rumah untuk menurunkan kecemasan keluarga dan
memberikan motivasi agar keluarga bersedia untuk dilakukan pembebasan
pasung.

iii. Melakukan penggerakan masyarakat untuk mendukung


proses dan pasca pembebasan pasung.

iv. Menghapus stigma keluarga dan dukungan sosial terhadap keluarga dan
lingkungan

v. Melakukan dokumentasi kasus pasung di


wilayahnya.

vi. Mendampingi pasien bila dibutuhkan.

B. Tenaga Kesehatan di Puskesmas (Dokter dan atau perawat)

a. Melakukan deteksi, pemetaan dan identifikasi kasus pasung di wilayah kerja puskesmas
(dengan mencantumkan nama,  jenis kelamin, umur, alamat dan foto waktu di pasung).

b. Melaporkan temuan kasus kepada Kepala Puskesmas setempat.

c. Melakukan pendekatan dan memberikan edukasi Kesehatan  jiwa kepada keluarga


dan lingkungan sekitar pasien pasung.

d. Memotivasi keluarga untuk bersedia dilakukan pembebasan pasung.

e. Memberikan tindakan perawatan sesuai dengan kondisi kesehatan pasien pasung


sebelum dilakukan pembebasan pasung.

f. Melatih keluarga untuk dapat merawat pasien di rumah pasca pembebasan pasung.

g. Melakukan koordinasi dengan pihak terkait (keluarga, kader, TOGA, TOMA, perangkat
desa dan kepolisian/babinsa) untuk mendukung proses pembebasan pasung.
II. PELAKSANAAN

No. Dokter Perawat

1 Melakukan pendekatan ke perangkat desa dan atau tokoh masyarakat setempat sehingga
mereka ikut membantu meyakinkan keluarga untuk melepas pasien pasung.

2 Menjelaskan proses pembebasan pasung kepada keluarga dan lingkungan.

3 Identifikasi jenis pemasungan (tali, rantai, balok kayu, isolasi).

4 Melakukan pemeriksaan keadaan klinis pasien


Melakukan pengkajian keperawatan
pasung dengan menggunakan panduan
(jiwa dan fisik) pada pasien pasung.
pemeriksaan pasien gangguan

 jiwa di puskesmas (Buku Pedoman Umum


Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Dasar).

5 Menegakkan diagnosis utama gangguan jiwa


beserta komorbid dan komplikasi yang terjadi.
Menggunakan Pedoman
Penanganan dan Diagnosa Gangguan Jiwa
(PPDGJ) III atau

 International Classification

 Disease (ICD) X.

Menegakkan diagnosa keperawatan (jiwa


dan fisik) menggunakan
panduan diagnose
Keperawatan.
6 Menyusun langkah-langkah prioritas
Menyusun intervensi
yang akan dilakukan dari aspek fisik dan jiwanya
keperawatan berdasarkan masalah yang
lalu menginformasikan hal tersebut kepada keluarga
ditemukan.
terkait langkah- langkah yang akan dilakukan.

7 Meminta persetujuan tertulis (information for consent ) kepada keluarga untuk melakukan
tindakan medis dan keperawatan. Jika setuju masuk langkah 8 Jika menolak masuk langkah 9.

8 Melakukan proses pembebasan pasung. Jika pasien kooperatif (tidak agresif, dapat berkomunikasi)
maka lanjut ke langkah 8.a. Jika pasien tidak kooperatif dan agresif maka lanjut ke langkah
8.b.1-8.b.5.

8.a. Pasien dibebaskan dari alat pemasungan (tali, kayu, rantai, kurungan, isolasi) dengan disaksikan
keluarga, perangkat desa dan instansi terkait.

8.a.1 Memberikan terapi psikofarmaka. Bila pasien


Memberikan asuhan
keadaan fisiknya lemah maka kondisi fisiknya
keperawatan fisik (mandi, makan,
diperbaiki terlebih dahulu. Penanganan selanjutnya
berhias, kebutuhan dasar) dan jiwa.
dikonsultasikan ke RS Rujukan.

8.a.2 Koordinasi dengan keluarga untuk melakukan pengobatan dan perawatan lanjutan di rumah.
8.b.1 Mendelegasikan perawat agar memberikan
Melakukan observasi.
suntikan haloperidol 5 mg/ml im, 1-2x / hari selama
3- 5 hari berturut-turut (atau obat lain yang Tanda-tanda vital,
tersedia dan sesuai indikasi medis). kemajuan terapi dan efek samping obat

8.b.2 Jika pasien masih tetap untuk dilaporkan kepada dokter.

tidak kooperatif dan agresif, lanjutkan


pemberian suntikan haloperidol 5 mg/ml 1-2x / hari
im ditambah suntikan diazepam 5 mg/ml 1-2x / hari Perawat melatih keluarga dalam
im selama 3 hari berurutan (atau obat lain yang pemenuhan
tersedia dan sesuai indikasi medis) kebutuhan personal pasien (kebutuhan
dengan melakukan nutrisi, perawatan
konsultasi ke psikiater. diri dan kebersihan lingkungan) dan
melatih keluarga meminumkan obat sesuai
dengan resep dokter (menciptakan suasana
terapeutik).

8.b.3 Jika pasien masih tetap agresif dan tidak kooperatif, ada kegawatdaruratan psikiatri dan atau
terdapat penyakit penyerta maka dilakukan rujukan ke sarana pelayanan rujukan. (Sesuai dengan
pedoman merujuk masuk langkah 9).

8.b.4 Jika kondisi pasien sudah memungkinkan (tidak agresif, dapat berkomunikasi) maka dilakukan
pembebasan pasung.
8.b.5 Pasien dibebaskan dari alat pemasungan (tali, kayu, rantai, kurungan, isolasi) dengan disaksikan
keluarga, perangkat desa dan instansi terkait.

8.b.6 Melanjutkan terapi psikofarmaka. Melanjutkan asuhan

keperawatan fisik (mandi, makan,


berhias, kebutuhan dasar) dan jiwa.

8.b.7 Koordinasi dengan keluarga untuk melakukan pengobatan dan perawatan lanjutan di rumah.

9.a. Meminta persetujuan tertulis (information for consent ) kepada keluarga pasien.

9.b. Mengajak keluarga menghubungi perangkat desa untuk melengkapi persyaratan


administratif rujukan (foto kopi KTP, KK, SKTM).

9.c. Bila sudah ada persetujuan dan kelengkapan


administrasi, dokter puskesmas menghubungi
kembali psikiater untuk siap menerima rujukan
pasien pasung.

9.d. Mempersiapkan keluarga ikut serta saat merujuk pasien ke Rumah Sakit Jiwa.

9.e. Mengisi cek list kelengkapan form pelepasan pasien pasung (terlampir).

9.f. 30 menit –  60 menit sebelum di rujuk pasien diberikan suntikan


haloperidol 5mg im dan diazepam 10mg im.

9.g. Selama dalam perjalanan rujukan dokter/perawat dapat mempertimbangkan untuk melakukan
fiksasi kepada pasien.

9.h. Bila dalam perjalanan pasien menjadi gelisah dan agresif maka dokter/perawat dapat
memberikan suntikan ulang diazepam 10mg im.

9.i. Setiba di Rumah Sakit Rujukan dokter/perawat melakukan serah terima pasien dan
menyerahkan Surat Pengantar Rujukan dan kelengkapan administrasi yang lain.

9.j. Dokter/Perawat dan pendamping pasien diijinkan pulang setelah mendapat persetujuan tertulis
dari Rumah Sakit Rujukan.

10 Apabila keluarga tidak memberikan persetujuan maka keluarga diminta menandatangani surat
penolakan. (Format terlampir)

10.a. Dokter/perawat tetap melakukan psiko edukasi kepada keluarga agar pasien diijinkan untuk
dirujuk.

10.b. Bila tetap tidak diijinkan oleh keluarga, maka dokter/perawat meminta ijin kepada keluarga
untuk memberikan injeksi haldol decanoas 50mg/ml im / 30 hari (atau obat lain yang tersedia
sesuai indikasi medis).

10.c. Dokter/Perawat melakukan kunjungan rutin untuk 


mengevaluasi kondisi pasien dan asuhan keperawatan minimal 2 minggu sekali.

10.d. Dokter/Perawat melaporkan dan mendiskusikan hasil


kunjungan kepada Kepala Puskesmas.
10.e. Bila dipandang perlu maka dokter
puskesmas dapat mengkonsulkan
ulang kepada psikiater melalui IGD-
RS Rujukan. Konsultasi bisa
dilakukan pertelepon dengan
terlebih dahulu menginformasikan
lewat sms (short messaging system)
tentang identitas dokter puskesmas
dan masalah yang akan
dikonsultasikan.

III. Keluarga :

- Keluarga diwajibkan menemani pasien selama dirawat di RS.

- Keluarga yang menemani pasien adalah anggota keluarga yang bersedia merawat pasien pasca
keluar dari RS.

- Selama keluarga menemani pasien di RS maka keluarga wajib dilatih dan diedukasi tentang
perawatan pasien.

Konsul pertelepon ke rumah sakit rujukan (RSJ) tentang kondisi medis pasien :

RS Jiwa Menur : 031 - 5023952 (IGD)

RS J iwa L
awang : 0341 – 423444
(IGD)

RSUD dr. Soetomo : 031-34819112 (HP dokter jaga psikiatri) RSUD Saiful
Anwar : 0341 – 362101 (IGD) ext 1051-1053
III. PENANGANAN PASCA PERAWATAN DI RUMAH SAKIT

Yang terlibat dalam penanganan pasca perawatan di Rumah Sakit adalah :

III.1 Rumah Sakit

III.2 Puskesmas

III.3 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

III.4 Dinas Sosial Kabupaten/Kota

III.5 Keluarga

III.6 Kader Kesehatan Jiwa

III.7 Pihak Perangkat Desa Penjelasan :

III.1 Rumah Sakit :

a. Dokter yang merawat berkoordinasi dengan manajemen RS untuk persiapan pemulangan pasien
pasca pasung.

b. Dokter yang merawat melengkapi form rujukan balik dan saran

 – saran terapi untuk pasien yang telah diijinkan rawat jalan.

c. Manajemen RS (diwakili oleh kepala ruang rawat inap) menghubungi pihak puskesmas untuk
menyiapkan penjemputan pasien yang telah diijinkan rawat jalan dan rehabilitasi.

III.2 Puskesmas :

a. Pihak puskesmas menghubungi keluarga untuk ikut menjemput pasien di rumah sakit rujukan.

b. Puskesmas menunjuk kader yang ditugaskan mendampingi pasien pasca perawatan.


c. Puskesmas berkoordinasi dengan perangkat Desa, Dinas Kesehatan / Dinas Sosial Kab/Kota
untuk tindak lanjut pasca perawatan di rumah sakit rujukan.

d. Semua pasien yang telah diijinkan rawat jalan, diperiksa ulang oleh dokter puskesmas sebelum
dipulangkan ke rumah atau panti sosial.

e. Dokter puskesmas mengecek saran terapi dan obat  –  obat yang digunakan pasien.

f. Dokter puskesmas dapat melakukan konsul ulang pertelepon ke rumah sakit rujukan bila
dipandang perlu.

g. Perawat penanggung jawab melakukan kunjungan rumah secara rutin minimal 2 minggu sekali
khususnya dalam 3 bulan pertama setelah pasien kembali.

h. Perawat melakukan asuhan keperawatan.

i. Perawat mengevaluasi kondisi pasien dan keluarga.

 j. Perawat mengevaluasi obat yang diminum oleh pasien.

k. Perawat mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah diberikan di RS.

l. Perawat melanjutkan asuhan keperawatan fisik dan jiwa yang dibutuhkan oleh pasien : terapi
individu, terapi kelompok dan okupasi.

m. Perawat mengindentifikasi tanda-tanda kambuh.

n. Perawat mengingatkan jadwal kontrol selanjutnya.

o. Perawat mendiskusikan hasil kunjungan rumah dengan dokter puskesmas.


III.3 Dinas Kesehatan Kab/Kota

a. Meminta laporan Puskesmas tentang perkembangan penanganan pasung.

b. Membantu Puskesmas dalam berkoordinasi dengan RS dan lintas sektor lainnya tentang penanganan
pasung.

III.4 Dinas Sosial Kab/Kota

a. Membantu Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam rehabilitasi penanganan pasien pasung.

III. 5 Keluarga
a. Merawat pasien sesuai dengan informasi yang diberikan oleh dokter dan perawat puskesmas.

b. Memberikan obat kepada pasien secara teratur dan benar.

c. Membawa pasien untuk kontrol secara teratur dan mencegah terjadinya putus obat.

d. Memberikan perhatian, dukungan dan kasih sayang kepada pasien.

e. Melatih dan memotivasi pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara teratur.

f. Melaporkan kepada kader atau tenaga kesehatan terdekat bila terjadi gejala kekambuhan.

g. Membawa pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat bila terjadi kekambuhan.


III. 6 Kader Kesehatan Jiwa
a. Melakukan kunjungan rumah secara rutin minimal 1 kali per minggu, setelah pasien kembali
dari perawatan di rumah sakit rujukan atau selama menjalani rawat jalan.

b. Melakukan hal-hal berikut saat melakukan kunjungan rumah:

1. Memantau obat yang diminum oleh pasien (nama obat, dosis, obat yang tersisa).

2. Memantau aktivitas sehari-hari yang harus dilakukan oleh pasien.

3. Memantau kemampuan keluarga dalam merawat pasien.

4. Mengidentifikasi tanda-tanda kambuh.

5. Mengingatkan keluarga tentang jadwal kontrol selanjutnya.

c. Melaporkan hasil kunjungan rumah ke dokter atau perawat puskesmas.

III. 7 Perangkat desa


a. Membantu memotivasi keluarga agar tetap melakukan
perawatan pasien sesuai dengan petunjuk petugas kesehatan.

b. Membantu mengedukasi lingkungan sekitar pasien agar


mendukung perawatan dan rehabilitasi pasien.
BAB IV BIMBINGAN
DAN EVALUASI

Pelaksanaan bimbingan dan evaluasi pedoman teknis ini dilakukan oleh pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota berdasarkan kewenangan, tugas dan fungsi masing-masing.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan bimbingan dan
evaluasi terhadap pelaksanaan program Jawa Timur Bebas Pasung dengan melibatkan sektor terkait lainnya
sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Pelaksanaan bimbingan dan evaluasi pedoman teknis ini dapat dilakukan melalui:

a. sosialisasi dan koordinasi b.


konsultasi

c. monitoring dan evaluasi dan d. reward dan punishment 


B
A
B

P
E
N
U
T
U
P

Buku Pedoman Teknis Pembebasan Pemasungan ini disusun secara


praktis dengan harapan dapat langsung digunakan oleh tenaga kesehatan
terutama di Puskesmas untuk melaksanakan kegiatan pembebasan pasung yang
ada diwilayahnya.

Buku Pedoman ini tentu jauh dari sempurna sehingga diharapkan


masukan dan saran untuk penyempurnaannya. Sehingga nantinya materi
pedoman benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Tim penyusun berharap pedoman ini dapat bermanfaat dalam


memudahkan semua pihak unutk menjalankan fungsi dan tugasnya masing-
masing.

Anda mungkin juga menyukai