DINAS KESEHATAN
2014
DAFTAR ISI
v
DAFTAR ISI
v
KATA PENGANTAR
Dr. Harsono
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kesehatan jiwa dewasa ini masih kurang
mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Adanya kemajuan
tehnologi, kerasnya persaingan ekonomi, kondisi politik dan
keamanan serta perubahan budaya di era sekarang ini membuat
potensi munculnya masalah kesehatan jiwa menjadi semakin besar.
Disisi lain Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap
bencana, sering munculnya kasus perilaku kekerasan dalam
hubungan interpersonal dan maraknya penyalahgunaan zat psikoaktif di
masyarakat. Berbagai hal ini menyebabkan kesehatan jiwa perlu
menjadi perhatian dalam pembangunan di Indonesia.
Banyak penyebab yang membuat masalah kesehatan jiwa
belum menjadi perhatian oleh semua pihak. Adanya pemahaman
yang salah, masih banyaknya sikap negatif atau stigma dan
diskriminasi termasuk beberapa penyebab terpinggirkannya masalah
kesehatan jiwa. Yang menjadi persoalan ternyata pemahaman yang
salah ini ternyata tidak hanya ditemukan pada masyarakat saja tetapi
juga pada pengambil kebijakan dan para penyedia layanan kesehatan.
Hal inilah yang mengakibatkan masih maraknya ditemukan
perlakuan salah bagi penderita masalah kejiwaan.
Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah adanya
penanganan yang salah terhadap orang dengan masalah kejiwaan
dengan alasan penertiban kota. Masih ditemukannya kasus
penelantaran, pemasungan dan tindak kekerasan terhadap orang
dengan masalah kejiwaan juga merupakan bukti masyarakat kita
memiliki persepsi yang salah terhadap masalah kesehatan jiwa. Yang
patut disayangkan masalah ini terjadi tidak hanya pada keluarga dan
masyarakat saja tetapi juga ditemukan pada penyedia layanan
kesehatan baik di sektor formal maupun informal. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Divisi Psikiatri Komunitas Departemen Psikiatri
FKUI/RSCM, Dharmono, dkk (2006) menunjukkan bahwa 61,7%
orang dengan gangguan jiwa yang dirawat di 4 unit perawatan di
Bogor dan Jakarta pernah mengalami berbagai jenis penanganan
salah seperti kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan
seksual, kekerasan ekonomi, dan penelantaran. Tindakan kekerasan
1
tersebut terutama dilakukan oleh keluarga (50,6%), selebihnya oleh
tetangga, perawat RS, teman, orang lain, polisi, petugas sosial dan
oleh dokter RS.
Perkiraan kasus pemasungan di Indonesia berada pada
angka 1% dari sekitar 77.280 orang dengan gangguan jiwa berat di
Indonesia. Prediksi ini sebenarnya diperkirakan masih belum
mencerminkan jumlah sebenarnya terutama apabila dikaitkan dengan
jumlah kasus skizofrenia. Yang dimaksudkan pemasungan disini
adalah segala tindakan yang dapat mengakibatkan kehilangan
kebebasan seseorang akibat tindakan pengikatan dan pengekangan
fisik. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota di
Jawa Timur sampai bulan Mei 2014 diperoleh data 764 kasus pasung
yang berada di 35 Kabupaten/Kota.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur memberikan dukungan
penuh terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pasung.
Gubernur Jawa Timur pada peringatan Hari Kesehatan Nasional
Tahun 2013 telah mencanangkan dimulainya Program Jawa Timur
Bebas Pasung Tahun 2014. Pelaksanaan Program Jawa Timur Bebas
Pasung Tahun 2014 ternyata tidak mudah. Selain dibutuhkan kerja
sama lintas sektor dalam penanganan penderita
pemasungan, peningkatan ketrampilan petugas
kesehatan terutama di Puskesmas perlu juga menjadi perhatian.
Pedoman Teknis Pembebasan Pemasungan ini disusun
untuk memudahkan petugas kesehatan terutama di Puskesmas
melaksanakan Program Jawa Timur Bebas Pasung 2014. Diharapkan
dengan adanya pedoman teknis ini tenaga kesehatan terutama di
Puskesmas tidak ragu-ragu dalam melaksanakan pembebasan pasung
terhadap orang dengan masalah kejiwaan. Selain itu diharapkan juga
peran keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat, perangkat desa dan
lintas sektor lainnya menjadi lebih optimal.
B. Tujuan
Pedoman ini disusun dengan tujuan untuk:
1. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang teknis
pelaksanaan pembebasan orang dengan masalah kejiwaan yang
dipasung.
2
2. Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang proses
pembebasan, penanganan dan perawatan orang dengan masalah
kejiwaan yang dipasung.
3. Meningkatkan pengetahuan tokoh agama/tokoh
masyarakat/perangkat desa tentang proses pembebasan,
penanganan dan perawatan orang dengan masalah kejiwaan
yang dipasung.
4. Meningkatkan pengetahuan sektor terkait tentang dukungan
terhadap proses pembebasan, penanganan dan perawatan orang
dengan masalah kejiwaan yang dipasung.
C. Sasaran
Sasaran dari pedoman ini adalah semua pemangku kepentingan terkait
masalah kesehatan jiwa baik dari sektor kesehatan maupun non
kesehatan. Pemangku kepentingan tersebut yaitu:
1. Orang dengan gangguan jiwa dan keluarga
2. Tenaga kesehatan baik di tingkat layanan primer, sekunder,
maupun tersier
3. Tokoh agama
4. Tokoh masyarakat
5. Perangkat Desa
6. Lintas sektor terkait
D. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 28;
2. Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat;
3. Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia;
4. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235). berurutan setelah UU No.39 ttg HAM;
5. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4419);
3
6. Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
7. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah;
8. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
9. Undang-Undang RI No.12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi
Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik;
10. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara Repubilk Indonesia Tahun 2009
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4967);
11. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
12. Undang-Undang RI No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga;
13. Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem
Kesehatan Nasional;
14. Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2011 Tentang RANHAM
2011- 2014;
15. Permenkes RI No. 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;
16. Permenkes RI No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
4
BAB II
PENGERTIAN
A. Kesehatan Jiwa
Kesehatan jiwa adalah keadaan sehat sejahtera mampu menghadapi
tantangan hidup dan mampu menerima keadaan diri sendiri dan
orang lain.
Kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan manusia
seutuhnya kedudukannya sangat menentukan kemampuan manusia
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Upaya kesehatan
jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.
C. Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah kelompok gejala atau perilaku yang
ditemukan secara klinis yang disertai dengan penderitaan ( distress)
dan terganggunya fungsi sosial dan aktivitas sehari-hari (disabilitas).
Individu yang mengalami gangguan jiwa disebut sebagai orang dengan
gangguan jiwa.
D. Pemasungan
Pemasungan adalah suatu tindakan yang menggunakan cara
pengikatan atau pengisolasian. Pengikatan merupakan semua metode
manual yang menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasang
atau
4
ditempelkan pada tubuh dan membuat tidak dapat bergerak dengan
mudah atau yan membatasi kebebasan dalam menggerakan tangan,
kaki atau kepala. Pengisolasian merupakan tindakan mengurung
sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa, dalam suatu ruangan
atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar atau meninggalkan
ruangan/area tersebut.
E. Penelantaran
Adalah bentuk pengabaian secara fisik dan emosional yang
mengakibatkan gangguan nyata dan potensial terhadap perkembangan,
kesehatan dan kelangsungan hidup atau martabatnya.
Bentuk penelantaran dan dampak penelantaran pada orang dengan
gangguan jiwa misalnya tidak diberikan pengobatan yang layak,
tidak dipenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti kebutuhan sandang,
pangan dan papan.
F. Stigmatisasi
Mendeskriditkan (memberi tanda negatif) seseorang secara sosial
berdasarkan karakteristik personalnya yang mengakibatkan
dampak sosial yang negatif.
Tanda yang diberikan dan melekat pada diri seseorang yang mengalami
gangguan jiwa, misalnya kata “orang gila”.
G. Diskriminasi
Setiap pembedaan yang dibuat berdasarkan tingkatan kesehatan jiwa
seseorang, khususnya pada penderita gangguan jiwa berat.
H. Penanganan salah
Segala bentuk perlakuan yang tidak sesuai dengan etika, norma, hukum
yang berlaku yang diberikan pada orang dengan gangguan jiwa.
5
BAB III
I. PERSIAPAN
A. Masyarakat
1. Keluarga
i. Memahami dan menerima anjuran petugas
kesehatan untuk mendukung proses pembebasan
pasung.
ii. Bersedia memberikan perawatan pada ang ota
keluarga pasca pembebasan pasung sesuai anjuran
petugas kesehatan.
iii. Mendampingi pasien pasung bila harus dirujuk.
2. Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat (TOGA/TOMA)
i. Membantu menurunkan kecemasan keluarga
dan lingkungan selama proses dan pasca
pembebasan pasung.
ii. Membantu menghapus stigma dan dukungan
sosial terhadap keluarga dan lingkungan
iii. Memberikan informasi yang proporsional
tentang pasung.
iv. Melaporkan kepada kader kesehatan jiwa
maupun tenaga kesehatan terdekat bila
menemukan orang dengan gangguan jiwa di
7
wilayahnya yang mengalami hal-hal di bawah
ini:
1) Diikat atau dibatasi pergerakannya dengan
benda apapun pada bagian-bagian tubuh
tertentu (misalnya dengan tali, rantai,
kayu pasung)
2) Dikurung pada ruangan atau tempat
tertentu.
v. Membantu mempersiapkan dan melengkapi
persyaratan administratif yang berkaitan
dengan sistem rujukan kesehatan.
vi. Mendampingi keluarga bila dibutuhkan.
3. Kader kesehatan jiwa
i. Melakukan deteksi dan melaporkan kasus pasung
di wilayahnya ke Puskesmas.
ii. Melakukan kunjungan rumah untuk menurunkan
kecemasan keluarga dan memberikan motivasi agar
keluarga bersedia untuk dilakukan pembebasan
pasung.
iii. Melakukan penggerakan masyarakat untuk
mendukung proses dan pasca pembebasan pasung.
iv. Menghapus stigma keluarga dan dukungan sosial
terhadap keluarga dan lingkungan
v. Melakukan dokumentasi kasus pasung di
wilayahnya.
8
vi. Mendampingi pasien bila dibutuhkan.
B. Tenaga Kesehatan di Puskesmas (Dokter dan atau perawat)
a. Melakukan deteksi, pemetaan dan identifikasi kasus pasung
di wilayah kerja puskesmas (dengan mencantumkan nama,
jenis kelamin, umur, alamat dan foto waktu di pasung).
b. Melaporkan temuan kasus kepada Kepala Puskesmas
setempat.
c. Melakukan pendekatan dan memberikan edukasi kesehatan
jiwa kepada keluarga dan lingkungan sekitar pasien
pasung.
d. Memotivasi keluarga untuk bersedia dilakukan
pembebasan pasung.
e. Memberikan tindakan perawatan sesuai dengan kondisi
kesehatan pasien pasung sebelum dilakukan pembebasan
pasung.
f. Melatih keluarga untuk dapat merawat pasien di rumah
pasca pembebasan pasung.
g. Melakukan koordinasi dengan pihak terkait (keluarga,
kader, TOGA, TOMA, perangkat desa dan
kepolisian/babinsa) untuk mendukung proses pembebasan
pasung.
9
II. PELAKSANAAN
11
8.b.1 Mendelegasikan perawat agar Melakukan observasi.
memberikan suntikan haloperidol Tanda-tanda vital,
5 mg/ml im, 1-2x / hari selama 3- kemajuan terapi dan
5 hari berturut-turut (atau obat efek samping obat
lain yang tersedia dan sesuai untuk dilaporkan kepada
indikasi medis). dokter.
8.b.2 Jika pasien masih tetap
tidak kooperatif dan agresif, Perawat melatih keluarga
lanjutkan pemberian suntikan dalam pemenuhan
haloperidol 5 mg/ml 1-2x / hari im kebutuhan personal pasien
ditambah suntikan diazepam 5 (kebutuhan nutrisi,
mg/ml 1-2x / hari im selama 3 hari perawatan diri dan
berurutan (atau obat lain yang kebersihan lingkungan)
tersedia dan sesuai dan melatih keluarga
indikasi medis) dengan meminumkan obat sesuai
melakukan konsultasi ke dengan resep dokter
psikiater. (menciptakan suasana
terapeutik).
8.b.3 Jika pasien masih tetap agresif dan tidak kooperatif, ada
kegawatdaruratan psikiatri dan atau terdapat penyakit penyerta
maka dilakukan rujukan ke sarana pelayanan rujukan. (Sesuai
dengan pedoman merujuk masuk langkah 9).
8.b.4 Jika kondisi pasien sudah memungkinkan (tidak agresif, dapat
berkomunikasi) maka dilakukan pembebasan pasung.
12
8.b.5 Pasien dibebaskan dari alat pemasungan (tali, kayu, rantai,
kurungan, isolasi) dengan disaksikan keluarga, perangkat desa
dan instansi terkait.
13
haloperidol 5mg im dan diazepam 10mg im.
9.g. Selama dalam perjalanan rujukan dokter/perawat dapat
mempertimbangkan untuk melakukan fiksasi kepada pasien.
9.h. Bila dalam perjalanan pasien menjadi gelisah dan agresif maka
dokter/perawat dapat memberikan suntikan ulang diazepam
10mg im.
9.i. Setiba di Rumah Sakit Rujukan dokter/perawat melakukan
serah terima pasien dan menyerahkan Surat Pengantar Rujukan
dan kelengkapan administrasi yang lain.
9.j. Dokter/Perawat dan pendamping pasien diijinkan pulang
setelah mendapat persetujuan tertulis dari Rumah Sakit
Rujukan.
10 Apabila keluarga tidak memberikan persetujuan maka keluarga
diminta menandatangani surat penolakan. (Format terlampir)
10.a. Dokter/perawat tetap melakukan psiko edukasi kepada
keluarga agar pasien diijinkan untuk dirujuk.
10.b. Bila tetap tidak diijinkan oleh keluarga, maka dokter/perawat
meminta ijin kepada keluarga untuk memberikan injeksi haldol
decanoas 50mg/ml im / 30 hari (atau obat lain yang tersedia
sesuai indikasi medis).
10.c. Dokter/Perawat melakukan kunjungan rutin untuk
mengevaluasi kondisi pasien dan asuhan keperawatan
minimal 2 minggu sekali.
10.d. Dokter/Perawat melaporkan dan mendiskusikan hasil
14
kunjungan kepada Kepala Puskesmas.
10.e. Bila dipandang perlu maka dokter
puskesmas dapat mengkonsulkan ulang kepada psikiater melalui IGD-RS Rujukan
III. Keluarga :
- Keluarga diwajibkan menemani pasien selama dirawat di RS.
- Keluarga yang menemani pasien adalah anggota keluarga yang
bersedia merawat pasien pasca keluar dari RS.
- Selama keluarga menemani pasien di RS maka keluarga wajib
dilatih dan diedukasi tentang perawatan pasien.
Konsul pertelepon ke rumah sakit rujukan (RSJ) tentang kondisi medis
pasien :
RS Jiwa Menur : 031 - 5023952 (IGD)
RS J iwa awang : 0341 – 423444 (IGD)
L
RSUD dr. Soetomo : 031-34819112 (HP dokter jaga
psikiatri) RSUD Saiful Anwar : 0341 – 362101 (IGD) ext
1051-1053
15
III. PENANGANAN PASCA PERAWATAN DI RUMAH SAKIT
16
c. Puskesmas berkoordinasi dengan perangkat Desa, Dinas
Kesehatan / Dinas Sosial Kab/Kota untuk tindak lanjut pasca
perawatan di rumah sakit rujukan.
d. Semua pasien yang telah diijinkan rawat jalan, diperiksa ulang
oleh dokter puskesmas sebelum dipulangkan ke rumah atau
panti sosial.
e. Dokter puskesmas mengecek saran terapi dan obat – obat
yang digunakan pasien.
f. Dokter puskesmas dapat melakukan konsul ulang pertelepon
ke rumah sakit rujukan bila dipandang perlu.
g. Perawat penanggung jawab melakukan kunjungan rumah
secara rutin minimal 2 minggu sekali khususnya dalam 3 bulan
pertama setelah pasien kembali.
h. Perawat melakukan asuhan keperawatan.
i. Perawat mengevaluasi kondisi pasien dan keluarga.
j. Perawat mengevaluasi obat yang diminum oleh pasien.
k. Perawat mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah
diberikan di RS.
l. Perawat melanjutkan asuhan keperawatan fisik dan jiwa yang
dibutuhkan oleh pasien : terapi individu, terapi kelompok dan
okupasi.
m. Perawat mengindentifikasi tanda-tanda kambuh.
n. Perawat mengingatkan jadwal kontrol selanjutnya.
o. Perawat mendiskusikan hasil kunjungan rumah dengan dokter
puskesmas.
17
III.3 Dinas Kesehatan Kab/Kota
a. Meminta laporan Puskesmas tentang perkembangan penanganan
pasung.
b. Membantu Puskesmas dalam berkoordinasi dengan RS dan lintas
sektor lainnya tentang penanganan pasung.
III.4 Dinas Sosial Kab/Kota
a. Membantu Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam rehabilitasi
penanganan pasien pasung.
III. 5 Keluarga
18
III. 6 Kader Kesehatan Jiwa
a. Melakukan kunjungan rumah secara rutin minimal 1 kali per
minggu, setelah pasien kembali dari perawatan di rumah sakit
rujukan atau selama menjalani rawat jalan.
b. Melakukan hal-hal berikut saat melakukan kunjungan rumah:
1. Memantau obat yang diminum oleh pasien (nama obat,
dosis, obat yang tersisa).
2. Memantau aktivitas sehari-hari yang harus dilakukan oleh
pasien.
3. Memantau kemampuan keluarga dalam merawat pasien.
4. Mengidentifikasi tanda-tanda kambuh.
5. Mengingatkan keluarga tentang jadwal kontrol selanjutnya.
c. Melaporkan hasil kunjungan rumah ke dokter atau perawat
puskesmas.
III. 7 Perangkat desa
19
BAB IV
BIMBINGAN DAN EVALUASI
20
BAB V
PENUTUP
21
LAMPIRAN I
SISTEM REGIONALISASI RUJUKAN JIWA PROVINSI JAWAIMUR
22
LAMPIRAN II
PANDUAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN PASIEN GANGGUAN JIWA
2
Pasien mengatakan 1) Wajah memerah dan tegang RISIKO PERILAKU
1) Ungkapan berupa ancaman 2) Pandangan tajam KEKERASAN
2) Ungkapan kata-kata kasar 3) Mengatupkan rahang dengan
3) Ungkapan ingin memukul/ kuat
melukai 4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau
berteriak
7) Mondar mandir
8) Melempar atau memukul
benda/orang lain
Pasien mengungkapkan tentang: 1) Penurunan produktivitas HARGA DIRI RENDAH
1) Hal negatif diri sendiri atau orang 2) Tidak berani menatap lawan
lain bicara
2) Perasaan tidak mampu 3) Lebih banyak menundukkan
3) Pandangan hidup yang pesimis kepala saat berinteraksi
4) Penolakan terhadap kemampuan 4) Bicara lambat dengan nada
diri suara lemah
24
Pasien mengatakan tentang : dan minum saat makan dan 1) Badan bau, kotor, berdaki,
1) Malas mandi rambut kotor, gigi kotor,
2) Tidak mau menyisir rambut kuku panjang,
3) Tidak mau menggosok gigi tidak menggunakan alat-
4) Tidak mau memotong kuku alat mandi,tidak mandi
5) Tidak mau berhias/ berdandan dengan benar
6) Tidak bisa / tidak mau 2) Rambut kusut,
menggunakan alat mandi berantakan, kumis dan
/ kebersihan diri jenggot tidak
7) Tidak menggunakan alat makan
2
rapi,pakaian tidak rapi, tidak mampu DEFISIT PERAWATAN DIRI:
berdandan, memilih, mengambil, MANDI, BERHIAS, MAKAN,
dan memakai TOILETING
2
3) Perasan bosan dan waktu terasa 4) Tidak mau berinteraksi
lambat 5) Tampak sedih
4) Ketidakmampun berkonsentrasi 6) Ekspresi datar dan dangkal
5) Perasaan ditolak 7) Kontak mata kurang
2
minum pakaian, memakai sandal,
8) BAB dan BAK sembarangan sepatu, memakai resleting,
9) Tidak membersihkan diri dan memakai barang-barang
tempat BAB dan BAK setelah yang perlu dalam berpakaian,
BAB dan BAK melepas barang-barang yang
10) Tidak mengetahui cara perawatan perlu dalam berpakaian.
diri yang benar 3) Makan dan minum
sembarangan, berceceran ,
tidak menggunakan alat
makan, tidak mampu
( menyiapkan makanan ,
memindahkan makanan ke
alat makan, memegang alat
makan, membawa makanan
dari piring ke mulut,
mengunyah, menelan
makanan secara aman ,
menyelesaikan makan).
4) BAB dan BAK tidak pada
tempatnya, tidak
membersihkan diri setelah
BAB dan
26
FORMULIR ISIAN
INFORMED CONSENT
(SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN TINDAKAN/RAWAT)
............................, / / Saksi:
LAMPIRAN III Persetujuan Tindakan Medik
FORMULIR ISIAN
INFORMED CONSENT
(SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN TINDAKAN/RAWAT)
............................, / / Saksi:
1. Nama dan tanda tangan
keluarga/ Kader/TOGA/TOMA
(………………………... )
Nama ODGJ/Wali
27
LAMPIRAN IV FORMULIR RUJUKAN PASIEN
Nama Saryankes FORM RUJUKAN Asli / copy
Tanggal merujuk :
EMERGENCY / rawat jalan
Fasilitas Kesehatan
yang dituju :
Nama & alamat
Nama Pasien
Alamat Pasien
Anamnesis
Pemeriksaan Fisisk
Terapi diberikan
Alasan merujuk
Dokumen yang
disertakan
Tanda tangan :
Catatan untuk receiving facility : setelah memberi pelayanan kepada pasien mohon
mengisi form rujukan balik dan kirimkan kembali bersama pasien atau dikirim
melalui surat / fax
Formulir surat rujukan di atas dapat berubah sesuai dengan ketentuan / kebijakan
yang berlaku
28
LAMPIRAN V
CONTACT PERSON
Konsul pertelepon ke rumah sakit rujukan (RSJ) tentang kondisi medis pasien :
- RS J iwa enur : 031 – 5023952 (IGD)
M
- RS J iwa L awang : 0341 – 423444 (IGD)
- RSUD Dr. Soetomo : 031-34819112 (HP dokter jaga
psikiatri)
- RSUD Dr. Saiful Anwar : 0341 – 362101 (IGD) ext 1051-1053
29
TIM PENYUSUN
iii