NUSANTARA
Disusun Oleh:
FAKULTAS SYARIAH
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Politik Islam
Indonesia Periode Kerajaan Nusantara”. Kami berterima kasih kepada Bapak Rudi Santoso,
S.H.I., M.H.I., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Politik Islam yang telah
memberikan tugas ini.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai apa yang dibahas dalam makalah ini. Kami berharap pula makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah
disusun ini dapat berguna bagi kami maupun yang membacanya.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .................................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam dan politik adalah sebuah keterpaduan yang saling mengikat dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Para pakar politik Barat mengakui tentang integrasi keduanya,
seperti Dr. V. Fitzgerald, ia berkata, “Islam bukanlah semata agama (a religion), namun
juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun dekadedekade
terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan
modernis, yang berusaha memisahkan sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam
dibangun di atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”
Hal inilah yang pada akhirnya turut mempengaruhi proses pertumbuhan dan
perkembangan politik Islam di Nusantara. Indonesia yang mula-mula merupakan basis
dari kekuatan Hindu-Budha lambat laun menjadi pusat perkembangan dari teritori
kekuasaan Islam, hal ini ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam sebagai
manifestasi atas pembasisan kekuatan politik, selain itu berdirinya kerajaan tersebut dapat
mengungguli kawasan dunia lainnya yang selama berabad-abad menjadi patronase
kesuksesan ekspansi Islam. Kekuatan politik Islam Nusantara mengalami masa suram
saat kehadiran para penjajah dari Barat. Dimulai dengan munculnya Portugis, Inggris,
dan Belanda semuanya menutup akses institusi politik Islam untuk mengembangkan diri,
meskipun banyak terjadi perlawananperlawanan baik dari para sultan, kaum bangsawan,
ulama hingga rakyat jelata. Akan tetapi tetap saja institusi politik Islam terbelenggu
dalam jerat kolonialism.
Pada masa kemerdekaan (tepatnya masa Orde Lama dan Orde Baru) sepertinya
tidak terlalu berpengaruh terhadap perkembangan Islam politik. Paham nasionalis mampu
mengalahkan ide keislaman, sehingga pada masa ini Islam menjadi lemah di tengah
jumlah penganutnya yang mayoritas. Sentralnya kepemimpinan Indonesia dengan
menjadikan militer sebagai basis kekuatan politik membuat posisi Islam terjepit untuk
mengembangkan peradabannya, masa ini hanya terjadi sedikit resistensi dari kekuatan
1
Islam politik. Masa reformasi yang dianggap sebagai titik kebangkitan politik di
Indonesia ternyata tidak mampu diterjemahkan oleh umat Islam untuk merebut
kepemimpinan politik Indonesia yang sempat hilang pasca lengsernya Soeharto. Fase ini
justru hanya melahirkan partai-partai oportunis yang hanya menjadikan bias-nya dalam
kekuatan Islam politik. Terbukti, partai-partai Islam pada masa ini secara elektabilitas
tidak memperoleh dukungan suara mayoritas dari umat Islam sendiri.
Masalah utama yang akan dibahas dalam artikel ini berhubungan dengan
kekuasaan, sistem dan proses politik yang dibangun umat Islam Indonesia sejak masa
kerajaan-kerajaan, kolonialisme hingga masa kemerdekaan yang terbagi menjadi tiga
masa yaitu, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Mungkin artikel ini menjadi
pembahasan yang tidak mengenal unlimited, karena pembahasannya sangat kompleks
deskriptifhistoris yang dipadu-seragamkan dengan perkembangan dan pertumbuhan
Islam politik di Indonesia. 1
B. Rumusan Masalah
1
Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 5
2
BAB II
PEMBAHASAN
Islam Nusantara telah membentuk institusi politik paling awal pada abad XIII.
Namun, institusi politik di beberapa daerah tidaklah sama. Di Sumatera, ada beberapa di
antaranya yang telah mengalami perkembangan dalam abad XIV atau abad XV. Abad ke
XVI telah menjadi saksi munculnya kerajaan-kerajaan baru di medan sejarah, terutama di
Jawa. Sebagian besar kerajaan-kerajaan itu lazim disebut kerajaan Islam, sedangkan
beberapa daerah di pedalaman masih bersifat Hindu. Perkembangan kerajaan Islam di
daerah Maluku, Sulawesi Selatan, dan di daerah lain mulai juga tampak pada abad ke
XVI. Sementara itu masih terdapat kerajaan-kerajaan yang terus eksis dengan memakai
sistem tradisional pra-Islam,2 seperti kerajaan Mataram di Jawa.
Dalam hal ini kerajaan Islam umumnya berdiri setelah jatuhnya kerajaan Hindu-
Budha. Sehingga membuat Islam pada saat itu menjadi satu-satunya basis kekuatan
politik. Kekuatan pertama kekuasaan Islam terletak di kota Samudera. Daerah ini
kemudian terkenal dengan sebutan Pasai. Kota ini tidak berapa lama menjadi sebuah
kerajaan yang kuat setelah Islam dapat diterima oleh penduduk setempat dan menemukan
pijakannya yang kokoh dikota itu. Samudera Pasai selanjutnya merupakan bagian dari
wilayah Aceh. Aceh sendiri menerima pengislaman dari Pasai pada pertengahan abad
XVI, kerajaan Aceh bermula dari penggabungan dua negeri kecil, Lamuri dan Aceh Dar
al-Kamal pada abad ke-10 H/XVI M.3
Di Jawa, kerajaan Demak (1518-1550 M) dipandang sebagai kerajaan Islam
pertama dan terbesar di Jawa. Kerajaan ini berdiri setelah kerajaan Majapahit mengalami
keruntuhan pada 1527 M. Menurut tradisi Jawa Barat (sejarah Banten), konfrontasi antara
Demak dan Majapahit berlangsung beberapa tahun. Dua kekuatan yang berhadapan
2
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Jilid I, (Jakarta: Gramedia Pustaka,
1992), hlm. 45
3
Nor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007), hlm. 65
3
adalah antara barisan Islam Demak, yaitu para ulama dari Kudus, imam Masjid Demak,
di bawah pimpinan Pangeran Ngudung, melawan Majapahit yang dibantu vasal-vasalnya
dari Klungkung, Pengging, dan Terung.
Reposisi perubahan pusat kekuasaan Islam terjadi setelah berdirinya kerajaan
Pajang pada akhir abad XVI. Di mana, pusat kekuasaannya terletak di daerah pedalaman
dan lebih bersifat agraris. Dengan berdirinya kerajaan Pajang ini maka berakhirlah
dominasi kerajaan-kerajaan pantai dalam politik Islam di Jawa. Daerah pedalaman ini
kurang begitu terlibat dalam perdagangan laut dan tidak begitu mudah ditembus oleh
pengaruh Islam dari luar.
Di wilayah Indonesia Timur muncul kerajaan-kerajaan di Maluku, Makasar,
Banjarmasin, dan sebagainya. Pada permulaan abad ke XVI, kerajaan Ternate mulai maju
karena berkembangnya perdagangan rempah-rempah. Aktivitas perdagangan ini
dijalankan oleh orang-orang Jawa dan Melayu yang datang ke Maluku, khususnya
Ternate dan Tidore, perdagangan ini bertambah ramai setelah kedatangan para pedagang
Arab.4
4
Nor Huda, Ibid, hlm. 67
4
sultan dan penduduk di Samudera Pasai adalah Mazhab Syafi’i. Di Samudera Pasai
juga diberlakukan lembaga-lembaga keagaamaan seperti qadhi dan mufti.
Pelaksanaan jihad, jizyah, dan pemisahan wilayah Islam dan bukan-Islam di
Kesultanan Samudera Pasai berkait dengan pemikiran dan aturan hukum Islam.5
5
Ayang Utriza Yakin, “Islamisasi dan Syariatisasi..., hlm. 281-288.
6
Ahmad R, “Peradilan Agama di Indonesia”, Yudisia, Volume. 6, No. 2, Desember 2015, hlm. 315.
5
mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat
kerajaan.
Pada masa pemerintahan Sultan Fatah di Demak adalah awal berlakunya syariat
Islam di Jawa. Untuk pelaksanaannya di seluruh wilayah yuridiksi Kerajaan Demak,
Sultan Fatah telah mengambil sumber dari beberapa kitab fikih Madzhab Syafi’i,
seperti: Kitab Tuhfah al-Muhtaj, Kitab Muharrar, Kitab Taqrib dan masih banyak
lainnya.
Sultan Fatah bahkan memulai pelaksanaan syariat Islam di tanah Jawa dengan
menyusun karya besar yang terkenal dengan kitab Jugul Muda. Kitab ini merupakan
kodifikasi hukum syariat Islam yang diambil dari beberapa kitab fikih, terutama kitab
Muharrar, Taqrib dan Tuhfah sebagai kitab Undan-undang kesultanan Demak.
Dilengkapi salokantara yang berisi 1044 contoh kasus hukum.7
7
Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 345-346.
6
adalah Oeloebalang. Jika keputusan Oeloebalang tidak memuaskan, dapat dimintakan
banding di peradilan ketiga yaitu Panglima Sagi. Keputusan Panglima Sagi bisa
dimintakan banding kepada sultan pengadilan tertinggi. Pelaksanaannya dilakukan
oleh Mahkamah Agung yang terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya, Sri Paduka Tuan,
Orang Kaya Raja Bandahara, dan Faqih (Ulama).
8
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam..., hlm. 28.
7
kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Sultan Adam, yang mana dalam undang-
undang tersebut terlihat jelas bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah hukum
Islam.30 Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang
kekuasaan dalam kerajaan, tetapi lebih dari itu ia diakui sebagai ‘ulil amri kaum
muslimin di seluruh kerajaan.
9
Ahmad R, “Peradilan Agama..., hlm. 316.
8
Pada saat awal berdirinya, ajaran yang berkembang adalah ajaran Hindu yang
kemudian mempengaruhi sistem peradilan saat itu. Ketika itu perkara dibagi menjadi
dua bagian, yaitu 1) perkara yang menjadi urusan negara (perkaranya disebut Pradata)
dan 2) perkara yang bukan urusan pengadilan raja (perkaranya disebut Padu).
Dengan munculnya Mataram menjadi kerajaan Islam, di bawah pemerintahan
Sultan Agung mulai diadakan perubahan dalam sistem peradilan. Beliau memasukkan
unsur-unsur hukum dan ajaran agama Islam dalam Peradilan Pradata dengan
mengorbitkan orang-orang yang berkompeten dalam bidang hukum Islam di lembaga
peradilan. Sultan Agung mengambil kebijakan politik hukumnya dengan mengisi
lembaga yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan prinsip ke-
Islam-an. Namun, setelah kondisi masyarakat dianggap siap dan paham, maka
Peradilan Pradata yang ada diubah menjadi Peradilan Surambi. Dinamakan Peradilan
Surambi karena diselenggarakan di Serambi Masjid Agung.
9
zakat fitrah, zakat harta, sedekah Idul Fitri dan Idul Adha, kendurui kerajaan,
penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat
pemerintah raja Gowa XV (1637-1653) ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya
raja Gowa sendiri yang menjadi hakim agama Islam.10
10
Ahmad R, “Peradilan Agama..., hlm. 316.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Islam, istilah politik hukum disebut dengan as-Siyasah as-Syar’iyyah yang
merupakan aplikasi dari al-maslahah al-mursalah, yaitu mengatur kesejahteraan manusia dengan
hukum yang ketentuanketentuannya tidak termuat dalam syara’.
11
DAFTAR PUSTAKA
Nor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007).
Yakin, Ayang Utriza, “Islamisasi dan Syariatisasi Samudera-Pasai Abad Ke-14 Masehi”,
ISLAMICA, Volume 9, No. 1, September 2014.
Suadi, Amran dan Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana
Islam serta Ekonomi Syariah, Jakarta: Prenadamedia Group: 2016.
12