Anda di halaman 1dari 31

12

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PENDEKATAN MASALAH

2.1 Kajian Pustaka


2.1.1 Pengertian Implementasi

Secara sederhana implementasi bias diartikan pelaksanaan atau

penerapan ( kamus besar Bahasa Indonesia : 508 ). Majon dan Widavsky

(dalam Nurdin dan Usman 2002 ) mengemukakan implementasi sebagai

evaluasi. Browne dan Widavsky ( dalam Nurdin dan Usman 2004 : 70 )

mengemukakan bahwa “implementasi adalah perluasan aktifitas yang

saling menyesuaikan”. Penegrtian implementasi sebagai aktifitas yang

saling menyesuaikan juga dikemukan oleh Mclaughin ( dalam Nurdin dan

Usman 2004). Adapun Schubert mengemukakan bahwa “implentasi adalah

system rekayasa” ( dalam Nurdin dan Usman 2002:70).

Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata

implementasi bermuara pada aktivtas, adanya aksi, tindakan, atau

mekanisme suatu system. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa

implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana

dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu

untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak berdiri

sendiri tetapi dipengaruhi oleh obyek berikutnya.

Implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi

kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan.

Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang

12
13

begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya

intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam

proses implementasi tersebut dapar dilihat pada pernyataan yang

dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Eugene Bardach (1 991:3),

yaitu:

Cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang


kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya
dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan
bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya.
Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang
memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien.”

Pendapat di atas menunjukkan bahwa kebijakan umum terlihat baik

di atas kertas, namun sulit untuk dikerjakannya. Hal ini sebagaimana

dikemukakan Mazmanian dan Sabatier (1983:61) mendefinisikan

Implementasi Kebijakan sebagai:

Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk


undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan
masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau
sasaran yang ingin dicapai, dari berbagai cara untuk menstrukturkan
atau mengatur proses implementasinya.

Dengan demikian maka pada proses pelaksanaan kebijakan

tersebut diperlukan keputusan-keputusan yang jelas. Sebagaimana

dikemukakan Meter dan Horn (1975:54), mendefinisikan implementasi,

sebagai:

Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau


pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta
yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijaksanaan.
14

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan

menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2)

adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil

kegiatan.

Berdasar uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi

merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan

melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan

mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan

itu sendiri. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester

dan Stewart Jr. (2000:104) dimana mereka katakan bahwa: Implementasi

sebagai suatu proses dan suatu hasil (outpul). Keberhasilan suatu

implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan

pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-

tujuan yang ingin diraih.

Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Merrile

Grindle (1980) sebagai berikut:

Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya,


dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan
yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dan individual
projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai

2.1.2 Standar Nasional Pendidikan

2.1.2.1 Konsep Standar Nasional Pendidikan

Standar Nasional Pendidikan merupakan relisasi dari kepedulian

pemerintah tentang mutu pendidikan. Pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang diselaraskan dengan dinamika


15

perkembangan masyarakat, lokal, nasional, dan global guna mewujudkan

fungsi dan tujuan pendidikan nasional, dengan keluarnya Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan (Pasal 3 dan 4), dinyatakan bahwa:

Standar Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan,


pelaksanaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan
pendidikan nasional yang bermutu yang bertujuan untuk menjamin
mutu pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang

system pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia (Pasal 1 PP No. 32 Tahun 2013) untuk meningkatkan mutu

sumber daya manusia dan pengukuran kualitas pendidikan. Standar tersebut

bukan merupakan ukuran yang statis yang tidak berubah, tetapi semakin

lama semakin ditingkatkan. Selain itu standar pendidikan juga berfungsi

sebagai pemetaan pendidikan yang bermutu.

Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (3), yang menyatakan

bahwa:

Perlunya pemerintah mengusahakan suatu sistem pendidikan nasional


yang mengarah kepada peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri,
maka disusun Undang-Undang yang khusus mengatur masalah
pendidikan. Pada zaman Orde Baru UU pendidikan disusun pada tahun
1989 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
pendidikan, kemudian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang
merupakan perbaikan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Tahun
1989.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 merupakan Undang-Undang

yang mengatur tentang penyelenggaraan Pendidikan Nasional yang terdiri


16

dari 22 Bab dan 77 Pasal. Di dalamnya mencakup dari mulai dasar dan

tujuan, penyelenggaraan pendidikan termasuk Wajib Belajar, Penjamin

kualitas pendidikan serta peran serta masyarakat dalam sistem pendidikan

nasional.

Dalam undang-undang ini secara tegas disebutkan bahwa pendidikan

nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ini berarti

bahwa:

Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengaturan pendidikan dalam


tataran praktis harus mengacu pada dua landasan tersebut. Adapun
fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, yaitu: Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Pasal
3).

Dengan memperhatikan pasal tersebut nampak jelas bahwa segala

upaya pendidikan harus merupakan kegiatan yang dapat mencapai tujuan

tersebut, sudah tentu hal itu memerlukan ketentuan-ketentuan lainnya yang

dapat menjadikan pencapaian tersebut dapat berjalan dengan baik dan

efektif.

Dalam rangka melaksanakan dan menjabarkan Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pemerintah

mengeluarkan peraturan ini agar penyelenggaraan pendidikan dapat sesuai

dengan yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 yakni pendidikan yang

baik dan berkualitas. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu menentukan


17

standar yang harus menjadi acuan pelaksanaan kegiatan pendidikan pada

tataran messo dan mikro, dalam hubungan ini Peraturan Pemerintah Nomor

19 Tahun 2005 dapat dipandang sebagai upaya ke arah pencapaian hal

tersebut. Suatu hal yang cukup penting dalam PP ini adalah perlunya

dibentuk suatu Badan yang bernama Badan Standar Nasional Pendidikan

(BSNP) sebagai badan yang menentukan standar dan kriteria pencapaian

dalam penyelenggaraan pendidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pada dasarnya hanya

merupakan standar umum penyelenggaraan pendidikan, sehingga

diperlukan operasionalisasi dalam berbagai aspek pendidikan. Hal ini

tercantum dalam PP tersebut tentang lingkup standar yang harus ada seperti

standar isi, standar proses, standar lulusan dan standar lainnya, di samping

masalah standarisasi penyelenggaraan pendidikan yang harus dipenuhi oleh

penyelenggara pendidikan. Adapun secara lebih jelas, standar-standar yang

harus menjadi dasar bagi penyelenggaraan pendidikan sebagaimana

tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005,

mencakup: 1) Standar isi, 2) Standar proses, 3) Standar kompetensi lulusan,

4) Standar pendidik pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar

kompetensi lulusan.

2.1.2.2 Fungsi dan Tujuan Standar Nasional Pendidikan

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), telah merumuskan

fungsi dan tujuan standar nasional pendidikan yaitu : Standar Nasional

Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan


18

pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional

bermutu; Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu

pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat; Standar

Nasional Pendidikan disempurnakan secara terarah, dan berkelanjutan

sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

2.1.2.2 Ruang Lingkup Standar Nasional Pendidikan

Mengingat profil pendidikan pada satuan pendidikan antar daerah di

seluruh wilayah negara kesatuan republik Indonesia beragam karena

terdapat perbedaan yang mencolok dalam beberapa aspek , maka untuk

menyeimbangkan kondisi ini diperlukan upaya standarisasi pendidikan

secara nasional dengan Delapan Standar Nasional Pendidikan agar terjadi

kesetaraan mutu pendidikan. Dengan demikian diharapkan seluruh satuan

pendidikan pada berbagai jenjang satuan pendidikan di seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia akan mencapai standar mutu nasional.

Adapun ruang lingkup standar nasional pendidikan telah tercantum

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar

Nasional Pendidikan, Bab II pasal 2, disebutkan bahwa Lingkup Standar

Nasional Pendidikan meliputi : (a) standar Isi, (b) standar proses, (c)

standar kompetensi lulusan, (d) standar pendidik dan tenaga kependidikan,

(e) standar sarana prasarana, (f) standar pengelolaan, (g) standar

pembiayaan, dan (h) standar penilaian .


19

a. Standar Isi

1) Pengertian dan Ruang Lingkup

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2006, tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan. Standar isi

merupakan materi dari tingkat kompetensi yang harus dikuasai oleh

setiap peserta didik dalam berjenis tingkat dan jenis pendidikan (H.A.R.

Tilaar, 2006:169). Standar isi sebagaimana yang dimaksud oleh

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pasal 5 ayat 1 mencakup

materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai lulusan pada jenjang

dan jenis pendidikan tertentu. Ayat (2) standar isi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang secara keseluruhan mencakup : (a)

kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman

dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan, (b) beban

belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah,

(c) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang akan

dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan panduan

penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari standar isi,

(d) kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan

pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah.

2) Fungsi Standar Isi

Standar isi sebagai salah satu bagian dari Delapan Standar Nasional

Pendidikan, sebagai acuan dasar (benchmark) oleh setiap

penyelenggara satuan pendidikan yang antara lain meliputi kriteria


20

minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan

pendidikan. Acuan dasar tersebut merupakan standar nasional

pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola,

penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan

kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas.

3) Pengembangan Standar Isi

Sebagai Badan yang bertanggung jawab menggarap Standar Nasional

Pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan telah mengembangkan

standar isi sebagai berikut : (a) Kerangka dasar kurikulum pendidikan

umum ( SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA), pendidikan khusus ( SDLB,

SMPLB, dan SMALB), dan pendidikan kejuruan (SMK/MAK).

Kerangka dasar ini meliputi tiga hal, yaitu : kelompok mata pelajaran

dan cakupannya, prinsip pengembangan kurikulum, dan prinsip

pelaksanaan kurikulum. Peraturan Pemerintah Nomor 19, pasal 6, ayat

1, untuk kelompok mata pelajaran dan cakupannya, dinyatakan bahwa

kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada

jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri dari : kelompok mata

pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran

kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran ilmu

pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga

dan kesehatan, (b) struktur kurikulum merupakan pola dan susunan

mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan

pembelajaran. Struktur yang telah disusun adalah : struktur kurikulum


21

pendidikan umum (SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/M), Struktur

kurikulum pendidikan kejuruan (SMK/MAK), dan struktur kurikulum

pendidikan khusus (SDLB, SMPLB, SMALB), (c) beban belajar untuk

jenjang pendidikan SD/MI/SDLB; SMP/MTs/SMPLB;

SMA/MA/SMALB; dan SMK/MAK. Beban belajar pada ketentuan ini

adalah beban belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar dan

menengah. Menurut Mulyasa (2006: 83) bahwa beban paket yaitu

sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya

diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar

yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur

kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan.

b. Standar Proses

Mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan

karakteristik peserta didik, serta tuntutan untuk menghasilkan lulusan

yang bermutu, proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran harus

fleksibel, variatif, dan memenuhi standar. Pasal 19 ayat (1) : Proses

pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus

interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi

peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang

cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,

minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Dalam hal

ini guru hendaknya dapat merubah pola belajar siswa yang selama ini

cendrung pasif menjadi pembelajaran kreatif, sehingga siswa dapat


22

memecahkan masalahnya sendiri, guru hanya berfungsi sebagai

fasilitator dan evaluator ( Maisah dan Yamin, 2012: 132).

Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun

2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, salah satu standar

yang harus dikembangkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 41 Tahun 2007 adalah standar proses. Standar proses

adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan

pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi

lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran

pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum

Negara kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk

jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada

sistem paket maupun pada system kredit semester.

Standar proses meliputi ; (a) perencanaan proses pembelajaran,

(b) pelaksanaan proses pembelajaran, (c) penilaian hasil pembelajaran,

dan (d) pengawasan proses pembelajaran agar terlaksana pembelajaran

yang efektif dan efisien.

c. Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan

lulusan yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pasal 25

ayat (1) standar kompetensi digunakan sebagai pedoman penilaian

dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, ayat

(2) standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


23

tersebut meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau

kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah.

Adanya SKL dapat dijadikan sebagai patokan mutu ( bench-

mark) baik bersifat evaluasi mikro seperti kualitas proses dan kualitas

produk, maupun bersifat evaluasi makro seperti keefektifan dan

efisiensi suatu program pendidikan, sehingga ke depannya pendidikan

akan melahirkan standar mutu yang dapat dipertanggung jawabkan

pada setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. SKL mencakup Standar

Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP), Standar Kompetensi

Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP), dan Standar Kompetensi Mata

Pelajaran (SK-MP). Standar Kompetensi Lulusan mempunyai tiga

fungsi utama, yaitu : (a) kriteria dalam menentukan kelulusan peserta

didik pada setiap satuan pendidikan, (b) sebagai rujukan untuk

menyusun standar pendidikan lainnya, dan (c) arah peningkatan kualitas

pendidikan. Standar kompetensi kelulusan yang selama ini

disamaratakan antara sekolah yang berada di pusat dan berada di

daerah. Sebenarnya standar kompetensi kelulusan dapat dibedakan

sesuai dengan kompetensi siswa yang berbeda tempat belajarnya

(Maisah dan Yamin, 2012: 132).

d. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pasal 28 ayat (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik

dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani,

serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan


24

nasional. Ayat (2) kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh

seorang pendidik.

Terdapat beberapa permendiknas yang mengatur dan menetapkan

Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan : (a) Permendiknas Nomor

13 Tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, (b)

Permendiknas Nomor 16 tahun 2007, tentang Standar Kualifikasi

Akademik dan Kompetensi Guru, (c) Permendiknas Nomor 24 Tahun

2008, tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah, (d)

Permendiknas Nomor 25 Tahun 2008, tentang Standar Tenaga

Perpustakaan, (e) Permendiknas Nomor 26 Tahun 2008, tentang

Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah, (f) Permendiknas

Nomor 27 Tahun 2008, tentang Standar Kualifikasi Akademik dan

Kompetensi Konselor.

e. Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar


dan Menengah
Pasal 49 ayat (1) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis

sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi,

keterbukaan, dan akuntabilitas. Standar pengelolaan pendidikan oleh

satuan pendidikan dasar menengah meliputi: a) Perencanaan Program,

b)Pelaksanaan Rencana Kerja, c) Pengawasan dan Evaluasi, d)

Kepemimpinan Sekolah/Madrasah , e) Sistem Informasi Manajemen, f)

Penilaian Khusus
25

f. Standar Sarana dan Prasarana

Pasal 42 ayat (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana

yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku

dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta kelengkapan lain

yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan

berkelanjutan. Ayat (2) setiap satuan pendidikan wajib memiliki

prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan

pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan,

ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang

kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah,

tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang

diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan

berkelanjutan.

Standar sarana dan prasarana mayoritas hanya dapat dicapai oleh

sekolah yang berstatus negeri saja, akan tetapi sekolah berstatus swasta

mayoritas masih di bawah standar sarana dan prasarana. Sementara

sekolah yang berstatus swasta di Indonesia lebih besar jumlahnya

ketimbang sekolah yang berstatusn negeri. Maka hendaknya pemerintah

dapat memberikan perhatian yang sama terhadap sekolah swasta.

g. Standar Pembiayaan Pendidikan

Menurut Mulyasa (2007: 47) pembiayaan merupakan salah satu

sumber daya yang secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi

pengelolaan pendidikan. Menurut Anwar (2004: 158), mengatakan


26

bahwa biaya pendidikan memiliki pengertian yang luas, hampir segala

pengeluaran yang bersangkutan dengan penyelenggaraan pendidikan

dianggap sebagai biaya. Menurut Supriadi (2003 : 3): Biaya pendidikan

merupakan salah satu komponen masukan Instrumental (Instrumental

Input) yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Pasal 62 ayat (1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi,

biaya operasi, dan biaya personal. Ayat (2) biaya investasi satuan

pendidikan, meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana,

pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Ayat (3)

biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi biaya

pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik. Ayat (4) biaya

operasi satuan pendidikan meliputi : (a) gaji pendidik dan tenaga

kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, (b) bahan

atau peralatan pendidikan habis pakai, dan (c) biaya operasi pendidikan

tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana

dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi,

dan lain-lain.

Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen

dan besarnya biaya operasional satuan pendidikan yang berlaku selama

satu tahun. Standar ini disusun dan dikembangkann oleh BSNP dan

ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikann Nasional. Biaya

operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang

diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar


27

dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional

pendidikan secara teratur dan berkelanjutan. Pembiayaan pendidikan

terdiri dari biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya

investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan

prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap.

Spesifikasi dalam standar pembiayaan meliputi : (a) Anggaran

dirumuskan merujuk peraturan pemerintah pusat dan daerah, (b)

pengelolaan keuangan sekolah/madrasah transparan, efisien, dan

akuntabel, (c) sekolah membuat laporan keuangan kepada pemerintah

dan pemangku kepentingan.

Untuk mendapatkan biaya tambahan, maka sekolah/madrasah

harus memiliki standar kapasitas untuk mencari dana dengan inisiatif

sendiri antara lain: memiliki donatur, ada kantin, memiliki koperasi,

dan lain-lain.

h. Standar Penilaian Pendidikan

Menurut Hamalik (1992: 203), penilaian menempati dan

merupakan aspek yang penting karena berkenaan dengan tercapainya

tujuan pelajaran, kelancaran dan efisiensi program instruksional, dan

penentuan tingkat keberhasilan yang telah dicapai. Dengan demikian,

aspek penilaian dapat ditempatkan sebagai titik sentral dalam proses

belajar mengajar. Mehrens dan Lehman dalam Purwanto (2006: 3)

menjelaskan bahwa evaluasi adalah suatu proses merencanakan,


28

memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk

membuat alternatif-alternatif keputusan.

Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan

yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian

hasil belajar peserta didik. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh

BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional.

Standar penilaian pendidikan meliputi : (a) Prinsip-prinsip Penilaian;

(b) Teknik dan Instrumen Penilaian. Penilaian hasil belajar oleh

pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi,

penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai

dengan karakteristik dan tingkat perkembangan peserta didik; (c)

Mekanisme dan Prosedur Penilaian. Penilaian hasil belajar pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan

pendidikan, dan pemerintah; (d) Penilaian oleh Pendidik. Penilaian

hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan,

bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik

serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran; (e)

Penilaian oleh Satuan Pendidikan. Penilaian hasil belajar oleh satuan

pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta

didik pada semua mata pelajaran; (g) Penilaian oleh Pemerintah.

Penilaian hasil belajar oleh pemerintah dalam bentuk Ujian Nasional

yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara


29

nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran

ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.1.3 Mutu Sekolah

2.1.3.1 Penegrtian Mutu

Menurut Juran dalam Makawimbang (2011:42), mutu sebagai

“tempat untuk pakai” dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah

sekolah adalah “mengembangkan program dan layanan yang memenuhi

kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat”. Sedangkan menurut

ISO 2000 dalam Suhana (2014:77), mutu adalah totalitas karakteristik suatu

produk (barang dan jasa) yang menunjang kemampuannya untuk

memuaskan kebutuhan yang dispesifikan atau ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa mutu adalah sesuatu

kesempatan untuk menempatkan pada posisi kompetitif. Mutu pada

dasarnya merupakan penyesuaian manfaat atau kegunaan. Artinya

harapan sesuai dengan kepuasan pemakai

2.1.3.1 Penjaminan Mutu Dalam  Sekolah

Salah satu upaya untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 35 Ayat (1), yakni “Standar

nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,

tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan

penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan

berkala”. Oleh karena itu pengembangan Sekolah dimaksudkan untuk


30

terwujudnya kedelapan standar tersebut. Agar penyelenggaraan Sekolah

sesuai dengan yang diharapkan, perlu disusun  Penjaminan Mutu Sekolah.

Adapun indikator penjaminan mutu di sekolah adalah 1) Akreditasi, 2)

Kurikulum, 3) Proses Pembelajaran, 4) Penilaian, 5)Pendidik, 6) Tenaga

Kependidikan, 7) Sarana dan Prasarana, 8) Pengelolaan dan 9) Pembiayaan

2.1.4 Teori-Teori Mengukur Mutu Sekolah

Paling tidak ada empat kategori sekolah apabila dilihat dari mutu dan

proses pendidikannya, yaitu: bed school (sekolah yang buruk) , good

school, (sekolah yang baik)  effective school(sekolah yang efektif) 

dan excellence school(sekolah  unggul).  Bed school adalah sekolah yang

memiliki in put yang baik atau sangat baik tetapi proses pendidikannya

tidak baik dan menghasilkan out put yang tidak bermutu. Good school

adalah sekolah yang memiliki in put yang baik, proses baik dan hasilnya

(out put-nya) baik. effective school adalah sekolah yang memiliki in put

baik/kurang baik, proses pendidikannya sangat baik dan menghasilkan out

put baik/sangat baik. Sedang excellence school adalah sekolah yang in put

nya sangat baik, prosesnya sangan baik dan menghasilkan lulusan (out put)

yang sangat baik. 

2.1.4.1 Seputar Konsep Sekolah yang Efektif

Sekolah yang efektif (effective school), adalah sebuah istilah untuk

menggambarkan sekolah yang ideal. Istilah ini (effective school) antara

lain dikemukakan oleh Margaret Preedy dalam bukunya “Managing the

Effective” (1993), Davis and Thomas dalam bukunya “Effective School


31

and Effective Teacher“, (1989), Frymier dkk,dalam bukunya “One

Hundred Good Schools,  (1984) dan Townsend dalam bukunya

“Effective Schooling for The Community” (1994). Istilah-istilah lain

yang berarti sekolah ideal seperti: sekolah yang baik (good

school atau better schools) dikemukakan oleh  John T. Lowel and

Kimbal Wiles, dalam “Supervision for Better Schools” ( 1983) sekolah

favorit (favorite school), sekolah unggulan (excellence school), sekolah

yang sukses (successful school), sekolah bermutu (quality school),

sekolah percontohan, sekolah model, sekolah elite, sekolah pujaan,

sekolah mahal, sekolah harapan dan lain sebagainya. Berikut ini

dikemukakan pendapat para ahli tentang sekolah yang efektif.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sekolah

dikatakan baik apabila memiliki delapan kriteria: (1) siswa yang masuk

terseleksi dengan ketat dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan

prestasi akademik, psikotes dan tes fisik; (2) sarana dan prasarana

pendidikan terpenuhi dan kondusif bagi proses pembelajaran,

(3) iklim dan suasana mendukung untuk kegiatan belajar, (4) guru dan

tenaga kependidikan memiliki profesionalisme yang tinggi dan tingkat

kesejahteraan yang memadai, (5) melakukan improvisasi kurikulum

sehingga memenuhi kebutuhan siswa yang pada umumnya memiliki

motivasi belajar yang tinggi dibandingkan dengan siswa seusianya,

(6) jam belajar siswa umumnya lebih lama karena tuntutan kurikulum

dan kebutuhan belajar siswa, (7) proses pembelajaran lebih berkualitas


32

dan dapat dipertanggung jawabkan kepada siswa maupun wali siswa,

dan (8) sekolah unggul bermanfaat bagi lingkungannya  (Depdikbud, 

Pengembangan Sekolah Unggul, 1994).

Sejalan dengan kriteria Depdiknas di atas, menurut Lipsitz dalam

bukunya “Successful Schools for Young Adolescent” mengemukakan, 

sekolah dikatakan baik apabila memiliki kriteria kebaikan (goodness)

yang banyak: (1) Aspek murid; kualitas lulusan diakui institusi lain

yang dengan indikasi: skor tes murid di atas rata-rata kelompok murid

lain yang sejenjang; guru dan muridnya sama-sama bekerja keras untuk

sukses; para murid puas dengan sekolahnya; para murid yang dirujuk

untuk layanan kesehatan mental rendah bahkan dibanding dengan

sekolah lain; para murid memenangkan lomba-lomba olah raga dan

kegiatan ekstra lainnya; banyak murid yang menstudi bahasa asing, seni

dan fisik. (2) Aspek guru: para guru merencanakan pelajaran secara

memadai: anggota guru cukup memadai bagi murid; anggota guru

bekerjasama, membagi ide, dan saling membantu di antara mereka;

pergantian guru rendah; konflik guru rendah. (3) Aktivitas

kelembagaan: sekolah mempunyai program perayaan hari besar

nasional dan keagamaan; program ekstrakurikuler yang menarik bagi

murid; moral lembaga tinggi. (4) Orangtua menerima hasil studi

anaknya secara baik; para orangtua mempunyai pilihan untuk

mengirimkan anaknya pada sekolah favorit dibanding sekolah lain (J.

Lipsitz, 1983).
33

Fantini dalam “Regaining Excellence in Education”

mengemukakan untuk menilai kualitas pendidikan, paling tidak ada

empat dimensi yang harus diperhatikan: aspek individu murid,

kurikulum, guru dan lulusan dari suatu proses pendidikan (M. Fantini,

1986). Sementara itu Davis dan Thomas dalam bukunya “Effective

Schools and Effective Teacher” setelah  mengutip pendapat para pakar

dan berdasarkan hasil berbagai penelitian menyimpulkan lima

karateristik sekolah yang efektif: (1) praktek pengelolaan kelas yang

baik; (2) kemampuan akademik yang tinggi; (3) monitoring kemajuan

siswa; (4) peningkatan kualitas pengajaran menjadi prioritas sekolah;

(5) kejelasan arah dan tujuan (Gary A. Davis & Margaret A. Thomas,

1989).

Dari berbagai pendapat tersebut, penulis membedakan antara

antara sekolah yang efektif (effective school) dan sekolah unggul.

Sekolah yang efektif menggambarkan adanya keefektifan dalam proses

pendidikan sehingga hasilnya maksimal. Sebagai gambaran, walaupun

keadaan input siswa, guru dan fasilitas tidak nomor satu akan tetapi

menghasilkan lulusan nomor satu atau hasil rata-ratanya sangat

signifikan. Sementara itu yang disebut sekolah unggul adalah sekolah

yang memang unggul dalam berbagai hal: siswa dan guru pilihan,

bangunan fisik megah dan fasilitas lengkap, dan unggul pula dalam

biaya pendidikannya. Apakah sekolah unggul ini pasti efektif?

Jawabannya belum tentu dan tidak ada jaminan. Namun demikian,


34

dengan keunggulannya itu tentunya memiliki peluang lebih besar untuk

menjadi sekolah yang efekif atau seklah yang baik.

Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia banyak bermunculan

sekolah unggul dengan sistem full day school dengan fasilitas plus plus

mulai antar jemput, gedung dan fasilitas sekolah  layaknya hotel

berbintang, sistem pembelajaran e-learning, dan berbagai bentuk

kegiatan ekstra kurikuler seperti berenang, menembak, berkuda dan lain

sebagainya.  Lembaga pendidikan unggul ini banyak disponsori oleh

para konglomerat, pengusaha besar dan perwakilan Negara asing.

2.1.4.2 Ragam Perspektif atas Keefektifan Sekolah

Townsend secara metodologis mengemukakan  framework 

(kerangka kerja) untuk melakukan penilaian terhadap efektifitas

sekolah yang meliputi delapan aspek: tujuan sekolah, implementasi

kurikulum, kepemimpinan kepala sekolah, pengambilan keputusan,

alokasi sumber daya, lingkungan sekolah, komunikasi dan keterlibatan

komunitas sekolah (Tony Townsend, 1994).

Terdapat beberapa pendekatan untuk menilai kualitas sebuah

sekolah. Pendekatan-pendekatan itu terkait dengan perspektif yang

digunakan dalam memahami hakekat sekolah. Ahli filsafat pendidikan

akan mengkajinya dari aspek kefilsafatannya, yaitu sejauh mana

sekolah mampu merumuskan tujuan dan nilai-nilai yang mampu

menjadi arah dan menjiwai visi, misi, dan proses penyelenggaraan

pendidikan, utamanya tercermin dalam sistem kurikulumnya.


35

Gibson dkk dan juga Robins  dan juga Robin (Gibson1992,

Robins, 1983) berpendapat efektifitas organisasi termasuk di dalamnya

organisasi sekolah dilihat dari tiga kriteria: pertama diukur dengan

sejauhmana sekolah dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Model ini disebut model pendekatan tujuan. Kedua, diukur dari kualitas

atau efektifitas proses pembelajaran. Model ini disebut model proses

atau model sistem. Dan yang ketiga diukur dengan kelangsungan

organisasi sekolah. Model ini disebut model respons lingkungan

menurut Robins.

Menurut Postman & Weingartner “The School Book: For People

Who want to Know What All the Hollering is About” (1979), sekolah

sebagai institusi memiliki 8 (delapan) fungsi esensial yang apabila

masing-masing fungsi esensial dijabarkan kesemuanya menjadi 35 (tiga

puluh lima) indikator  sekolah yang efektif:

a. Dilihat dari penstrukturan waktu,

Sekolah dikatakan baik apabila memenuhi: (1) pengaturan waktu

didasarkan atas ketentuan yang ada secara konsisten; (2) antara

murid tidak diharuskan mengerjakan tugas yang sama dalam rentang

waktu yang sama; (3) murid-murid tidak disyaratkan semata-mata

mematuhi waktu dalam pelajaran, melainkan pada perolehan hasil

proses pembelajaran; dan (4) murid-murid diarahkan untuk

mengorganisasi dan memanfaatkan waktu mereka sendiri dalam

belajar.
36

b. Dilihat dari penstrukturan aktivitasnya,

Sekolah yang efektif adalah: (1) aktivitas-aktivitasnya disesuaikan

dengan kebutuhan murid secara individual; (2) antara murid satu

dengan lainnya tidak dituntut mengikuti aktivitas yang sama; (3)

sekolah melibatkan sepenuhnya partisipasi murid; (4) murid sebagai

subyek dalam setiap aktivitasnya; (5) aktivitas murid tidak terbatas

pada gedung sekolah, melainkan mencakup semua sumber dalam

masyarakat; (6) pengembangan aktivitas berdasarkan pada perbedaan

latar belakang dan kemampuan murid.

c. Ditinjau dari pendefinisian kecerdasan,

Pengetahuan atau perilakunya, sekolah dikatakan baik apabila: (1)

Proses pembelajaran lebih menekankan pada penemuan, pemecahan

masalah dan penelitian dari pada memorisasi; (2) murid dihindarkan

dari kebiasaan menerima pelajaran secara pasip; (3) berbagai

keterampilan komunikasi dilatihkan kepada murid;  (4)

meningkatkan penghargaan terhadap ilmu untuk praktek kegiatan

sehari-hari; (5) menyadari perkembangan ilmu pengetahuan di

berbagai bidang dan tidak membakukan pengetahuan yang ada; (6)

pengetahuan diri sendiri merupakan bagian dari definisi

pengetahuannya.

d. Ditinjau pelaksanaan evaluasi,

sekolah dikatakan efektif apabila: (1) menekan upaya balikan dan

mendorong belajar murid; (2) digunakan pendekatan yang


37

humanistik dan perorangan; (3) mencakup aspek yang komprehensif;

(4) macam perilaku yang dikehendaki dinyatakan secara eksplisit;

(5) hati-hati menggunakan tes standar; (6) untuk mengevaluasi guru

dan administrator digunakan prosedur yang konstruktif dan tidak

bersifat menghukum.

e. Ditinjau dari pelaksanaan supervisi,

Sekolah yang efektif apabila: (1) menghindari permusuhan guru-

murid, sebaliknya lebih menyuburkan kerjasama antar keduanya; (2)

murid diberi peluang untuk mensupervisi dirinya sendiri; dan (3)

memecahkan masalah murid secara tuntas.

f. Ditinjau dari perbedaan peran,

Sekolah dikatakan efektif apabila: (1) sekolah diciptakan sebagai

masyarakat belajar dan guru berperan sebagai koordinator dan 

fasilitator; (2) aktor proses pembelajaran tidak didiminasi oleh guru;

(3) peran mengajar diorganisasikan dan kemudian ditugaskan sesuai

dengan kemampuan guru; (4) murid tidak dijadikan obyek,

melainkan didorong untuk aktif membentuk pengalamannya sendiri;

(5) hubungan sesama murid tidak ditempatkan sebagai kompetitor

semata, melainkan juga sebagai kolaborator.

g. Ditinjau dari pertanggungjawaban terhadap masyarakat,

Sekolah yang efektif apabila personelnya: (1) hubungan sekolah-

masyarakat lebih menekankan pada pola partisipasi dari pada pola

paternalisme-birokratik; (2) Mengembangkan diversifikasi program


38

kepada masyarakat; (3) tidak kuatir mempertanggungjawabkan

performansi sekolah.

h. Ditinjau dari pertanggungjawaban kepada masa depan,

Sekolah yang efektif apabila: (1) proses pembelajaran berorientasi

pada masa depan berdasarkan analisis kondisi sekarang dan masa

lalu; (2) menginterpretasikan tanggungjawabnya kepada masa depan,

khususnya kepada murid dan stake-holder.

Analisis tentang sekolah efektif di atas, menurut peneliti

berangkat dari paradigma sekolah sebagai lembaga pendidikan dan

pengajaran dan dalam perspektif administrasi pendidikan. Ketiga

pendekatan tersebut sangat fungsional.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Sebagai perbandingan, berikut ini penulis sajikan beberapa hasil penelitian

yang membahas permasalahan yang sama. Hal ini dimaksudkan agar dapat

memberikan gambaran dan tolok ukur yang jelas bagi penelitian ini. Adapun

penelitian tersebut sebagaimana tampak pada deskripsi berikut.

Penelitian yang dilakukan oleh Heni Herawati (2014) dengan judul

“Studi Terhadap Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Pada Smp Negeri 1

Ciamis” diperoleh gambaran bahwa: Manajemen Pemenuhan Standar Nasional

Pendidikan pada SMP N 1 Ciamis baik dilihat dari aspek perencanaan,

pengorganisasian, penerapan dan pengawasan telah dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan. Perencanaan yang dilaksanakan terhadap pemenuhan standar isi,


39

pemenuhan standar proses, pemenuhan standar kompetensi lulusan, pemenuhan

standar penilaian, pemenuhan standar pendidik dan tenaga kependidikan,

pemenuhan standar sarana dan prasarana, pemenuhan standar pengelolaan, dan

pemenuhan standar pembiayaan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.

Pengorganisasian dilaksanakan pengorganisasian terhadap pemenuhan standar

Isi, pemenuhan standar Proses, pemenuhan standar kompetensi lulusan

pemenuhan standar kompetensi lulusan, pemenuhan standar penilaian,

pemenuhan standar pendidik dan tenaga kependidikan, pemenuhan standar

sarana dan prasarana, pemenuhan standar pengelolaan, dan pemenuhan standar

pembiayaan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Penerapan pemenuhan

standar Isi, pemenuhan standar proses, pemenuhan standar kompetensi lulusan,

pemenuhan standar penilaian, pemenuhan standar pendidik dan tenaga

kependidikan, pemenuhan standar sarana dan prasarana, pemenuhan standar

pengelolaan, dan pemenuhan standar pembiayaan telah dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan. Pengawasan terhadap pemenuhan standar isi, pemenuhan

standar proses, pemenuhan standar kompetensi lulusan, pemenuhan standar

penilaian, pemenuhan standar pendidik dan tenaga kependidikan, pemenuhan

standar sarana dan prasarana, pemenuhan standar pengelolaan, dan pemenuhan

standar pembiayaan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.

Kendala yang dihadapi dalam pencapaian pemenuhan Standar Nasional

Pendidikan pada SMP N 1 Ciamis adalah sebagai berikut: Sumber pendukung

seperti pengetahuan tambahan yang harus dimiliki oleh guru dalam

mengimplementasikan standar isi, pengetahuan terhadap pelaksanaan standar


40

proses yang baik dan benar belum sepenuhnya dikuasai. Kompetensi peserta

didik yang tidak merata, sehingga masih ada peserta didik yang tidak memenuhi

standar kelulusan.Pengetahuan tenaga pendidik dan kependidikan dalam

melaksanakan SNP, masih lemah, ruang lingkup sarana dan prasarana yang

tersedia perlu ditambah dan diperbaiki.Pelaksana pengelolaan perlu pengetahuan

tambahan tentang proses pengelolaan standar nasional pendidikan.Sumberdana

yang tersedia kurang mencukupi ketercapaian standar nasional pendidikan.

Sistem penilaian yang banyak sekali. Penilaian tersebut antara lain adalah

penilaian sikap sosial dan ritual yang didalamnya mencakup penilaian antar

teman, diri, dan jurnal guru. Belum penilaian keterampilan yang mencakup

penilaian project, fortofolio, dan proses. Penilaian proses, guru harus tetap ada di

kelas. Hal tersebut menjadi kendala hampir semua guru yang baru mengenal

kurikulum 2013.

Upaya yang dilaksanakan untuk mengatasi kendala dalam pencapaian

pemenuhan Standar Nasional Pendidikan di SMP Negeri 1 Ciamis adalah

sebagai berikut. Upaya pemenuhan standar isi, standar proses, standar

kompetensi lulusan dan Standar Nasional Pendidikan dan kependidikan adalah

dengan peningkatan sumber pendukung dimana semua stakeholders pendidikan

yang berada di SMP negeri 1 Ciamis dituntut nuntuk memiliki kualifikasi

pendidikan seperti halnya S-1 dan S-2. Dan sampai sekarang dari 51 orang

tenaga guru dengan tingkat pendidikan S-2 sebanyak 7 orang dan S-1 sebanyak

39 orang serta D-3 sebanyak 4 orang dan D-1 sebanyak 1 orang, sedangkan

tenaga kependidikan sebanyak 23 orang yang terdiri dari tata usaha 9 orang,
41

masing-masing berpendidikan SMA, perpustakaan 1 orang, komputer 2 orang

dan kantin serta penjaga sekolah, serta terus ditekankan adanya peningkatan

pengetahuan melalui jalur pendidikan, sehingga guru diberikan kebebasan

untuk melanjutkan ke S-2 bagi yang belum. Upaya pemenuhan standar

kompetensi lulusan adalah dengan cara menambah jam pelajaran melalui

pengayaan dan ekstra kurikuler. Upaya pemenuhan standar Sarana dan

Prasarana, yaitu dengan cara perbaikan ruang lingkup sarana dan prasarana yang

rusak dan penambahahan sarana yang belum ada. Upaya pemenuhan standar

pengelolaan adalah dengan cara peningkatan pengetahuan pelaksana

pengelolaan, sehingga langkah kerja yang dilaksanakannya sesuai dengan

standar. Upaya pemenuhan standar pembiayaan adalah dengan cara penambahan

sumberdana yang tersedia melalui komite dan orang tua siswa. Upaya

pemenuhan standar penilaian adalah dengan cara pengayaan, remedial, ataupun

tugas yang lainnya sehingga siswa bisa menuntaskan nilai KKM.

Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian itu memiliki permasalahan

yang sama dengan penelitian yang dilaksanakan sekarang, yaitu sama-sama

meneliti tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Adapun perbedaannya,

penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar, sedangkan penelitian terdahulu

dilaksanakan pada tingkat Sekolah Menengah.

2.3 Pendekatan Masalah

Penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa salah satu upaya untuk

menyelenggarakan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan oleh


42

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

pada Pasal 35 Ayat (1), yakni “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar

isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,

pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan

secara berencana dan berkala”.

Mutu satuan pendidikan dan tenaga kependidikan dinilai berdasarkan

delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang dikembangkan oleh Badan

Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Kebijakan pemerintah menetapkan Delapan Standar Nasional Pendidikan

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005/32 tahun 2013, merupakan

langkah yang strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional.

Apabila kedelapan standar nasional pendidikan tersebut diimplementasikan

secara totalitas, maka akan berimplikasi pada peningkatan kualitas pendidikan

pada semua jenjang satuan pendidikan.

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

IMPLEMENTASI DELAPAN STANDAR


NASIONAL PENDIDIKAN

STANDAR STANDAR STANDAR STANDAR


KURIKULUM PROSES KOMPETENSI PENILAIAN
LULUSAN

STANDAR STANDAR
PENDIDIK DAN SARANA DAN STANDAR STANDAR
TENAGA PRASARANA PENGELOLAAN PEMBIAYAAN
KEPENDIDIKAN

Anda mungkin juga menyukai