Anda di halaman 1dari 19

-

-
www.lib.umtas.ac.id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Impetigo

1. Definisi

Impetigo merupakan infeksi bakteri kulit yang paling sering

ditemukan dan disebabkan oleh Streptococcus B. hemolyticus dan

Staphylococcus aureus. Infeksi ini sering berpindah antar manusia

melalui kontak, terutama pada anak-anak. Faktor predisposisi penyakit

ini adalah suhu yang panas, lembab dan higiene yang kurang baik.

Impetigo dimulai sebagai sebagai vesikel purulen, bila lesi menyebar

maka akan mengalami erosi dibagian dasarnya dan pada permukaannya

terbentuk krusta berwarna keemasan. Predileksi di muka, yakni sekitar

lubang hidung dan mulut karena dianggap sebagai sumber infeksi dari

daerah tersebut. (Sutisna, 2011)

Secara klinis impetigo didefinisikan sebagai penyakit infeksi kulit

yang menular pada daerah superfisial yaitu hanya pada bagian epidermis

kulit, yang menyebabkan terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi

nanah (pustula) seperti tersundut rokok/api. Di bagian Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin, penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma

yang sering dijumpai. Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo bulosa

atau impetigo vesikobulosa yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus

dan non-bulosa atau impetigo krustosa yang disebabkan oleh

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
9

Streptococcus pyogenes. Dasar infeksinya adalah kurangnya hygiene dan

terganggunya fungsi kulit (Craft et al., 2008). Penyakit ini dapat berasal

dari proses primer karena memang terjadi kerusakan pada kulit yang

intak (utuh) atau terjadi karena proses infeksi sekunder yang disebabkan

karena infeksi sebelumnya atau karena penyakit sistemik (Ratz, 2010).

Impetigo sering menyerang anak-anak terutama di tempat beriklim panas

dan lembap. Ditandai dengan lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan

dengan dinding tegang, terkadang tampak hypopyon (Djuanda, 2011

Beberapa cara bisa dilakukan untuk mencegah penularan adalah

dengan menghindari kontak terhadap cairan yang berasal dari lepuhan di

kulit, menghindari pemakaian bersama handuk, pakaian, dan barang-

barang lainnya dengan penderita, dan selalu mencuci tangan setelah

mengobati lesi di kulit (Maharani, 2015).

2. Epidemiologi

Laporan kasus impetigo yang diamati kurang lebih 10% dari

masalah kulit di klinik pediatrik. Impetigo juga merupakan infeksi

bakteri kulit yang paling umum dan penyakit kulit yang paling umum

ketiga pada anak (Lewis, 2016). Insiden impetigo terjadi di seluruh

negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke

tahun. Impetigo nonbulosa yang murni disebabkan oleh Staphylococcus

relatif lebih sering terjadi dan mewabah di dunia dibandingkan dengan

yang disebabkan oleh bakteri streptokokus. Di daerah yang lebih hangat

dan lembab, contohnya Amerika Serikat bagian selatan, impetigo karena

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

bakteri streptokokus lebih dominan dan endemik. Puncak insidensi

musiman terjadi pada akhir musim panas (Barakbah, 2011).

Insidensi impetigo di Belanda terjadi antara 0,017 dan 0,021

kejadian tiap orang pertahun, di Norwegia 0,017 tiap orang pertahun

(Rortveit dkk, 2011). Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa insiden

tahunan impetigo adalah 2,8% terjadi pada anakanak usia di bawah 4

tahun dan 1,6% pada anak-anak usia 5-15 tahun.8 Impetigo nonbulosa

(krustosa) adalah bentuk yang paling sering dari impetigo dan terjadi

sekitar 70% pada anak usia dibawah 15 tahun. Agen penyebab impetigo

nonbulosa adalah Staphylococcus aureus untuk 50%-60% dari kasus.

Selain itu, sekitar 20-45% kasus disebabkan kombinasi S. aureus dan S.

pyogenes. Sedangkan, bentuk dari impetigo bulosa merupakan kondisi

yang lebih jarang terjadi dibandingkan bentuk nonbulosa (Muttaqin dan

Sari, 2011).

Impetigo dapat mengenai semua ras. Secara keseluruhan, insiden

pada lakilaki dan perempuan sama, namun pada orang dewasa impetigo

lebih sering terjadi pada laki-laki. Impetigo terjadi pada individu-individu

dari segala usia, tetapi paling sering terjadi pada anak-anak usia 2-5

tahun. Penyebaran cepat dapat terjadi melalui keluarga, pusat penitipan

anak, dan sekolah (Pereira, 2014)

3. Etiologi

Penyebab peyakit impetigo ini adalah Streptococcus pyogenes dan

Staphylococcus aureus, atau kombinasi keduanya (Craft et al.,2008).

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

Kedua bakteri tersebut diketahui dapat menyebabkan pembelahan dan

menyebar luas ke dalam jaringan melalui produksi beberapa bahan

ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang

lainnya berupa toksin. Toksin tersebut menyerang protein yang

membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein rusak, bakteri dengan

cepat menyebar. Sementara enzim yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut

akan merusak struktur kulit dan menimbulkan rasa gatal yang

menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit (Hamzah & Mahmudah,

2014).

4. Patofisiologi

Impetigo krustosa atau non bulosa merupakan jenis impetigo yang

paling sering dijumpai dan hampir 70% terjadi pada anak-anak dibawah

usia 15 tahun dengan infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus β

Hemolyticus Grup A (GABHS) atau yang biasa dikenal dengan nama

Streptococcus pyogenes. Telah dilaporkan bahwa sebanyak 50-60%

kasus disebabkan Staphylococcus aureus yang merupakan patogen utama

penyebab impetigo krustosa. Namun pada kenyataanya, hampir 20-45%

kasus disebabkan oleh kombinasi antara keduanya. Bakteri

Staphylococcus aureus memproduksi racun bakteriotoksin pada

streptococcus. Racun inilah yang menjadi alasan mengapa hanya

Staphylococcus aureus yang terisolasi pada lesi walaupun penyebabnya

adalah Streptococcus pyogenes. Jika seorang individu mengadakan

kontak dengan penderita impetigo, maka individu dengan kulit normal

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

dapat terkontaminasi oleh bakteri ini. Pada kulit yang terkolonisasi oleh

bakteri ini, maka pada luka kecil seperti lecet atau tergigit serangga akan

timbul lesi antara 1-2 minggu (Andryani dkk, 2013).

Streptococcus pyogenes dapat ditemukan pada tenggorokan dan

hidung pada beberapa individu sekitar 2-3 minggu setelah timbulnya lesi,

meskipun tidak ada gejala faringitis streptococcal. Hal ini dikarenakan

adanya perbedaan rantai pada bakterinya. Biasanya impetigo disebabkan

oleh rantai D, sedangkan faringitis disebabkan rantai A, B, dan C

(Andryani dkk, 2013).

5. Jenis impetigo

a. Impetigo Krustosa

Impetigo Krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling

sederhana. Menyerang epidermis, gambaran yang dominan ialah

krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan seperti madu yang

berlapis-lapis. Penyebab paling sering disebabkan oleh grup

streptococcus yang menyerang terutama pada anak-anak. Faktor-

faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit adalah musim panas

atau cuaca panas yang lembab, kebersihan yang kurang dan higiene

yang buruk, bisa juga disebabkan oleh anemia dan malnutrisi.

Keluhan utama adalah rasa gatal, lesi awal berupa makula eritematosa

berukuran 1-2 mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena

dinding vesikel tipis, mudah pecah dan mengeluarkan secret

seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering dan

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

membentuk krusta berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah

krusta terdapat daerah erosif yang mengeluarkan secret sehingga

krusta kembali menebal. Predileksi sering ditemukan pada wajah atau

ekstremitas setelah trauma. Patogenesis dimana kulit yang intak

resisten terhadap kolonisasi atau impetigenisasi, kemungkinan tidak

adanya reseptor fibronektin untuk asam teichoic moieties pada

Staphyloccocus aureus dan streptococcus yang menyebabkan lesi.

Pemeriksaan Fisik dilihat dari lokalisasi yaitu daerah yang terpajan,

terutama wajah (sekitar hidung dan mulut), tangan, leher, dan

ekstremitas. Dilihat dari Efloresensi/sifat-sifatnya terdapat makula

eritematosa miliar sampai lentikular, difus, pustul miliar sampai

lenticular, krusta kuning kecoklatan, berlapis-lapis, mudah diangkat.

Gambaran histopatologi berupa peradangan superfisial folikel

pilosebasea bagian atas, terbentuk bula atau vesikopustula subkornea

yang berisi kokus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis. Pada

lapisan dermis didapatkan reaksi peradangan ringan berupa dilatasi

pembuluh darah, edema dan infiltrasi PMN. Pemeriksaan

pembantu/laboratorium menggunakan biakan bakteriologis eksudat

lesi; biakan secret dalam media agar darah, dilanjutkan dengan tes

resistensi. Penatalaksanaan dengan menjaga kebersihan kulit dengan

mandi pakai sabun 2 kali sehari. Jika krusta banyak, dikeluarkan

dengan mencuci dengan H2O2 dalam air, lalu diberi salep antibiotik

seperti kloramfenikol 2%, teramisin 3%, dan mupirosin. Jika lesi

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

banyak dan disertai gejala konstitusi (demam, dll), berikan antibiotik

sistemik misalnya penisilin, kloksasilin, atau sefalosporin. Prognosis

baik, namun, dapat timbul komplikasi sistemik seperti

glomerulonefritis, dan lain-lain (Craft, 2008).

b. Impetigo Bulosa

Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama

berupa bula berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang,

terkadang tampak hipopion. Penyebab terutama disebabkan oleh

staphylococcus, biasanya menyerang anak-anak dan dewasa. Faktor-

faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti pada daerah

yang lebih banyak pada daerah tropis dengan udara panas, musim

panas, higiene yang kurang, keadaan kurang gizi, dan pada

lingkungan yang kotor dan berdebu akan lebih sering dan lebih hebat.

Gejala klinik berupa vesikel sampai bula yang timbul mendadak pada

kulit sehat, bervariasi mulai miliar hingga lentikular, dapat bertahan 2-

3 hari. Berdinding tebal dan ada hipopion. Jika pecah menimbulkan

krusta yang coklat datar dan tipis. Pemeriksaan kulit dengan melihat

lokalisasi pada ketiak, dada, punggung, ekstremitas atas dan bawah.

Dari efloresensi/sifat-sifatnya akan tampak bula dengan dinding tebal

dan tipis, miliar hingga lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan

peradangan, kadang-kadang tampak hipopion. Pada gambaran

histopatologi epidermis, tampak vesikel subkornea berisi sel-sel

radang yaitu leukosit, pada dermis tampak sebukan sel-sel radang

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh darah. Pemeriksaan

pembantu/laboratorium dengan preparat mikroskopik langsung dari

cairan bula untuk mencari staphylococcus. Dan melalui biakan cairan

bula dan uji resistensi. Penatalaksanaan dengan menjaga kebersihan

dan menghilangkan faktor-faktor predisposisi. Jika bula besar dan

banyak, sebaiknya dipecahkan, selanjutnya dibersihkan dengan

antiseptik (betadine) dan diberi salep antibiotik (kloramfenikol 2%

atau eritromisin 3%). Jika Pada dewasa dengan gejala ekstensif atau

bula diberikan diberikan antibiotik sistemik seperti amoksisilin +

asam klavulanat 25 mg/kg BB, cephalexin (40-50 mg/kg/hr),

dicloxacin 250-500 mg 4 kali sehari, eritromisin 250-500 mg.

Prognosis baik (Turabelidze, 2012).

6. Gejala Klinis

Gejala dari impetigo krustosa adalah awalnya berupa warna

kemerahan pada kulit (makula) atau papul yaitu penonjolan padat dengan

diameter < 0,5 cm berukuran 2-1 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel

atau pustul yaitu papula yang berwarna keruh atau mengandung nanah

yang mudah pecah dan menjadi papul dengan keropeng atau koreng

berwarna kulit madu dan lengket. Kira-kira berukuran < 2 cm dengan

kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan sama sekali disekitarnya.

Lesi bisa muncul di kulit akibat trauma sebelumnya atau bahkan di kulit

yang normal sekaligus dan penyebarannya pun cepat. Lesi berada

disekitar mulut, hidung, dan daerah tubuh yang serong terbuka yaitu

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

tangan dan kaki. Jika tidak segera diobati, maka lesi akan menyebar terus

karena tindakan sendiri karena impetigo menyebar melalui kontak

langsung dengan daerah kulit yang terinfeksi (lesi). Kelenjar getah

bening juga dapat mengalami pembesaran dan terasa nyeri. Selain itu

juga akan terjadi pembengkakan dan tekanan darah yang tinggi dapat

ditemukkan pada orang dengan impetigo krustosa sebagai tanda

glomerulonefritis akibat reaksi tubuh terhadap infeksi oleh kuman

penyebab impetigo (Maharani, 2015).

Impetigo dapat terjadi secara primer atau komplikasi dari kelainan

lain (sekunder) baik penyakit kulit (herpes simpleks, varisela, skabies,

gigitan serangga) atau penyakit sistemik (HIV, diabetes melitus). Pasien

sering mengeluh gatal atau rasa sakit pada lesi.

a. Impetigo bulosa

Pada semua umur. Tempat predileksi pada umumnya terdapat

pada ketiak, leher, dan tempat yang lembab, meskipun di daerah

kulit yang lain seperti telapak tangan dan telapak kaki juga dapat

terinfeksi. Diawali dengan terbentuknya vesikel sampai timbul

menjadi bula yang diameternya sekitar 2 cm. Pada awalnya vesikel

berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi keruh. Atap dari bula

pecah dan sering meninggalkan skuama kolaret pada pinggirnya.

Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika di

singkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bula yang

utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh. Biasanya tidak disertai

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

pembengkakan kelenjar getah bening. Paling sering terjadi pada

neonatus, biasanya diawali setelah usia minggu, meskipun dapat juga

terjadi pada kasus ruptur membran prematur sewaktu kelahiran

(Barakbah, 2018 dan Goodheart, 2013)

Gambar 2.1
Impetigo bulosa

Sumber (Andryani dkk, 2013)

Eritema multiforme bulosa yaitu vesikel atau bula yang timbul dari plak merah, berdiamet

Herpes simpleks adalah vesikel berkelompok dengan dasar

kemerahan yang pecah menjadi lecet dan tertutup krusta, biasanya

pada bibir dan kulit. Gigitan serangga yang mempunyai bula terlihat

seperti sekumpulan papul yang gatal di daerah gigitan tersebut.

Terakhir adalah pemfigus vulgaris yang memiliki bula yang tidak

gatal, ukuran bervariasi dari 1 sampai beberapa sentimeter, muncul

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

bertahap dan menjadi menyeluruh, lecet muncul seminggu sebelum

penyembuhan dengan hiperpigmentasi, tidak ada jaringan parut

(Cole dan Gazewood, 2017).

b. Impetigo krustosa

Tersering pada anak-anak. Tempat predileksi di muka, yakni

disekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi

dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang

cepat memecah sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat

ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu (honey-colored) dan

lengket yang berukuran kurang lebih 2 cm. Sering krusta menyebar

ke perifer dan sembuh dibagian tengah. Dapat terjadi pada kulit yang

normal atau mengikuti kelainan kulit sebelumnya (dermatitis atopik,

dermatitis kontak, gigitan serangga, pedikulosis dan skabies). Lesi

dapat menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi)

dan tidak disertai gejala konstitusi (demam, malaise, mual), kecuali

bila kelainan kulitnya berat (Barakbah2018 dan Goodheart, 2013).

Diagnosis banding lainnya dari impetigo krustosa Dermatitis

atopi yaitu adanya keluhan gatal yang berulang atau berlangsung

lama dan kulit yang kering, penebalan pada lipatan kulit terutama

pada dewasa, pada anak sering kali melibatkan daerah wajah.

Kandidiasis yang memiliki papul merah, basah, umumnya di daerah

selaput lendir atau daerah lipatan. Ektima yaitu suatu kelainan

dengan lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus dapat menetap

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
1

selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila

infeksi sampai jaringan kulit dalam. Skabies memiliki vesikel yang

menyebar, kecil, terdapat terowongan, pada sela-sela jari, gatal pada

malam hari. Terakhir adalah varisela yang memiliki vesikel pada

dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ketangan kaki dan

wajah, vesikel pecah dan membentuk krusta, lesi terdapat pada beberapa tahap pada
Gambar 2.2 Impetigo krustosa

Sumber (Andryani dkk, 2013)

7. Diagnosis

a. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari

lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan

terapi standar. Biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnosa dari

impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboraturium. Namun

demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes

mikrobiologi pasti akan sangat menolong.

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
2

b. Laboraturium rutin pada pemeriksaan darah rutin, lekositosit ringan

hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo.

Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah telah

terjadi Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS), yang

ditandai dengan hematuria dan proteinuria.

c. Pemeriksaan imunologis pada impetigo yang disebabkan oleh

streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti

deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.

d. Pemeriksaan mikrobiologis eksudat yang diambil dibagian bawah

krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan

tes sensitivitas. Hasil kultur bisa memperlihatkan Streptococcus

pyogenes, Staphylococcus aureus atau keduanya. Tes sensitivitas

antibiotik dilakukan untuk mengisolasi Metisilin Resister

Staphylococcus Aureus (MRSA) serta membantu dalam pemberian

antibiotik yang sesuai (Ningsih, 2013).

8. Komplikasi

GNAPS atau Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus adalah

suatu peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan

proliferasi dam Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-

hemolytic Streptococcus (GABHS) yang biasa dikenal dengan

Streptococcus pyogenes dan ditandai dengan gejala nefritik seperti

hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut (Albar dkk,

2012).

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
2

GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan

jarang pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS

melalui Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) atau infeksi kulit

(pioderma) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu

pada pioderma. Penelitian multisenter di negara Indonesia menunjukkan

bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui

kulit sebesar 31,6%. Gejala klinik GNAPS sangat

bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas.

Bentuk asimtomatik lebih banyak dibandingkan dengan bentuk simtomatik

baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila

terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang

disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik (Albar dkk,

2012).

Seperti pada penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit

kompleks imunologik. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS

termasuk penyakit imunologik adalah:

c. Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik.

d. Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.

e. Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.

f. Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.

g. Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah.

Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin

swab) tidak selalu ditemukan GABHS. Hal ini mungkin terjadi karena

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
2

penderita telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit. Juga

lamanya periode laten menyebabkan sukarnya ditemukan kuman

streptococcus. Seperti telah disebutkan sebelumnya, organisme tersering

yang berhubungan dengan GNAPS ialah Group A β-hemolytic

Streptococci. Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi saluran napas

atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (pioderma), baik secara sporadik atau

epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan

penyakit ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS (Albar dkk, 2012).

B. Karakteristik Impetigo

1. Usia

Dalam penelitian Wardhani, Ira (2017)didapatkan bahwa kelompok

usia yang paling banyak menderita impetigo adalah kelompok anak usia 0-

5 tahun yaitu sebanyak 30 orang (45.5%), dan golongan usia ini termasuk

yang rentan terhadap infeksi impetigo. Pada penelitian lain yang dilakukan

oleh Steer dkk (2009), didapatkan bahwa prevalensi impetigo paling tinggi

pada usia 9-11 tahun yaitu sebanyak 329 orang (37,2%), usia 5-8 tahun

sebanyak 268 orang (30,3%), dan usia 12-15 tahun sebanyak 288 orang

(32,5%).

Penelitian oleh Bowen dkk. (2015) tentang epidemiologi global

dari impetigo dilaporkan bahwa rata-rata prevalensi impetigo pada usia 0-4

tahun sekitar 19%, usia 5-9 tahun sekitar 19%, dan usia 10-14 tahun

sebanyak 10%. Laporan dari 89 studi selama 45 tahun yaitu mulai tahun

1970-2014 menuliskan bahwa prevalensi impetigo tahun 2012 pada anak-

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
2

anak di bawah umur 15 tahun paling tinggi berasal dari Oceania (

Australia dan New Zealand) yaitu 29,7%, rata-rata prevalensi impetigo di

Afrika 7%, Asia 7,3%, Amerika Utara 13,3%, Amerika Latin dan Karibia

(15,5 %) (Bowen, Mahe, Hay, dkk, 2015). Penelitian oleh Daniel S.M dkk.

tahun 2014 di Solomon Island usia 5-14 tahun merupakan prevalensi

tertinggi yaitu 60,7%. Usia 1-4 tahun sekitar 20,2%, usia >25 tahun adalah

14,%. Usia 15-24 tahun sekitar 4,6% dan usia <1 tahun sebanyak 0,5%. 23

Penelitian oleh Marks dkk. (2015) usia yang paling sering terinfeksi

impetigo adalah usia <12 tahun yaitu sebanyak 12,4%, usia 13-18 tahun

sebanyak 9,1% dan usia >19 tahun sebanyak 5,2 % .

2. Jenis kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Wardhani, Ira (2017) karakteristik

jenis kelamin didapatkan bahwa perempuan memiliki prevalensi tertinggi

yaitu sebanyak 38 orang (57,6%), sedangkan laki-laki hanya sebanyak 28

orang (42,4%). Pada penelitian yang dilakukan pada 21 sekolah dasar di

Fiji, didapatkan bahwa prevalensi impetigo pada perempuan lebih tinggi

yaitu sebanyak 532 orang (60,1%), dan pada laki-laki sebanyak 353 orang

(39,9%) (Steer, Jenney, Kado, dkk, 2009). Hal yang sama juga dilaporkan

pada penelitian oleh Mason dkk. (2014), proporsi perempuan adalah yang

terbanyak yaitu 352 orang (56,5%) sedangkan laki-laki adalah 271 orang

(43,5%).

Penelitian oleh Marks M (2015) proporsi laki-laki adalah yang

terbanyak juga yaitu 12% sedangkan perempuan hanya 6,3 %.24 Hasil yang

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
2

berbeda diperoleh dari penelitian Rizani dkk. di RS Al-Islam Bandung

(2013), terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada pasien

impetigo dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 23 pasien (53,5%)

dan pada pasien dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 20 pasien

(46,5%).

3. Lokasi impetigo

Lokasi impetigo berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan dari

impetigo. Impetigo krustosa adalah awalnya berupa warna kemerahan

pada kulit (makula) atau papul yaitu penonjolan padat dengan diameter <

0,5 cm berukuran 2-1 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul

yaitu papula yang berwarna keruh atau mengandung nanah yang mudah

pecah dan menjadi papul dengan keropeng atau koreng berwarna kulit

madu dan lengket. Kira-kira berukuran < 2 cm dengan kemerahan minimal

atau tidak ada kemerahan sama sekali disekitarnya. Lesi bisa muncul di

kulit akibat trauma sebelumnya atau bahkan di kulit yang normal sekaligus

dan penyebarannya pun cepat (Maharani, 2015).

Hasil penelitian Wardhani, Ira (2017) lokasi lesi impetigo

didapatkan bahwa predileksi lesi impetigo terbanyak terdapat pada

ekstremitas bawah yaitu sebanyak 38 kali (32,2%). Menurut penelitian lain

bagian tubuh yang paling sering terinfeksi impetigo adalah wajah

(khususnya sekitar hidung dan mulut) dan tungkai (Beheshti dan Ghotbi,

2017). Berdasarkan penelitian oleh Steer, Jenney, Kado, dkk, (2009)

menyatakan bahwa distribusi lesi impetigo lebih umum timbul di

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
2

ekstremitas bawah yaitu sekitar 56%, impetigo di ekstremitas atas 11,9%,

dan gabungan antara ekstemitas atas dan bawah sekitar 32,1%. Hal yang

sama juga dilaporkan pada penelitian Bowen dkk (2014) bahwa menurut

21 studi, distribusi lesi impetigo yang paling banyak berada di tungkai

bawah yaitu dengan rata-rata 58%, distribusi lesi di tungkai atas yaitu

18%, dan distribusi lesi impetigo di bagian tubuh yang lain seperti kulit

kepala, wajah, leher, dan batang tubuh sekitar 38%. 20 Hasil yang berbeda

diperoleh dari penelitian Rizani dkk (2013), wajah merupakan tempat

predileksi tertinggi pada anak-anak yaitu sebanyak 9 pasien (20,9%) dan

untuk predileksi yang lain tidak ada perbedaan yang terlampau jauh yaitu

sekitar 2,3%-7%

4. Jenis impetigo

Jenis impetigo terbagi menjadi dua yaitu Impetigo Krustosa dan

Impetigo bulosa. Impetigo Krustosa merupakan bentuk pioderma yang

paling sederhana. Menyerang epidermis, gambaran yang dominan ialah

krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan seperti madu yang berlapis-

lapis. Penyebab paling sering disebabkan oleh grup streptococcus yang

menyerang terutama pada anak-anak. Impetigo bulosa adalah suatu bentuk

impetigo dengan gejala utama berupa bula berisi cairan kekuningan

dengan dinding tegang, terkadang tampak hipopion. Penyebab terutama

disebabkan oleh staphylococcus, biasanya menyerang anak-anak dan

dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti

pada daerah yang lebih banyak pada daerah tropis dengan udara panas,

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020
-
-
www.lib.umtas.ac.i
2

musim panas, higiene yang kurang, keadaan kurang gizi, dan pada

lingkungan yang kotor dan berdebu akan lebih sering dan lebih hebat

(Craft, 2008 dan Turabelidze, 2012).

Angka kejadian impetigo krustosa lebih sering terjadi

dibandingkan impetigo bulosa walaupun tidak terlampau jauh

perbedaannya. Dalam penelitian Wardhani, Ira (2017) didapatkan bahwa

impetigo krustosa lebih banyak dijumpai yaitu 39 orang (59,1%)

sedangkan impetigo bulosa hanya sebanyak 27 orang (40,9%). Pada

penelitian lain oleh Rizani dkk. (2013) di RS Al-Islam Bandung ditemukan

jumlah pasien impetigo krustosa sebanyak 23 pasien (53,5%) dan

impetigo bulosa hanya sebanyak 20 pasien (47,5%). Setiawan S. (2005-

2006) dan Harahap (2009-2010) di RSU Prof. Dr. R.D. Kandou Manado

menyebutkan bahwa impetigo krustosa lebih banyak ditemukan

dibandingkan dengan impetigo bulosa. Hal ini sesuai dengan penelitian

Morelli yang menyatakan bahwa jenis impetigo yang sering terjadi adalah

jenis impetigo kontagiosa (krustosa) yaitu sebanyak 70% kasus. Hasil yang

berbeda didapat dari penelitian oleh Setiawan S (2012) di RSU Prof. Dr.

R.D. Kandou Manado, bahwa jenis impetigo bulosa yaitu sebanyak 16

pasien (30,2%), dan impetigo krustosa sebanyak 15 pasien (28,3%)

walaupun tidak ada perbedaan yang besar (Pangow CC, Pandaleke HJ,

Kandou, 2015).

Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


2020

Anda mungkin juga menyukai