Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………….…. i

Daftar isi ……………………………………………………………………………….…ii

BAB 1

Pendahuluan ………………………………………………………………………….….1

BAB II

Pembahasan

1. Pengertian Hukum Humaniter ..……………………………………………..…….2

2. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter ………..…………………………….............4

3. Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter dari The Sumerrians sampai

dengan Hague Convention 1949 ………………………………………………….8

BAB III

Kesimpulan …………………………………………………………………………..….12

Daftar Pustaka ……………………………………………………………….……….... 13


BAB I

PENDAHULUAN

Hukum perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya
dengan perang itu sendiri yang biasa dulu disebut Hukum Humaniter Internasional. Pada abad
ke-18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The Social Contract mengajarkan bahwa perang
harus berlandaskan pada moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter
Internasional. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral
dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata
dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua Negara atau peradaban di dunia. Dalam
peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu
itu meliputi penduduk sipil, anak-anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan
tawanan perang.

Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan


keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru
dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan
praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum
humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan
militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah
negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter
internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum
yang benar-benar universal.

BAB II

PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER

Istilah hukum humaniter istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang
(laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms
conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah hukum humaniter
sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini
lahir sekitar tahun 1970-andengan diadakannya Conference of Government Expert on the
Reaffirmation and Development in ArmedConflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam
hukuminternasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter:

· Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional


legalprovision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his
wellbeing.”

· Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-


ketentuanperlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu
sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”

· Panitia Tetap hukum humaniter, Departemen hukum dan perundang-undangan


merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan
ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan
hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
seseorang.” Dengan demikian bahwa hukum humaniter merupakan instrument dari ketentuan,
asas dan kaedah internasional yang dapat menjamin hak asasi manusia.

Menurut Haryomataram, ia membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu :

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang
(Hukum Den Haag/The Hague Laws);

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari
akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).

Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok,
yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa. Pada tahun 1982, Pantap Hukum Humaniter
Departemen Kehakiman memberi makna hukum humaniter dalam arti sempit dan luas. Dalam
arti sempit hukum humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan hukum yang
mengatur tentang perlindungan korban perang sengketa bersenjata, sebagaimana diatur dalam
Konvensi Jenewa 1948. Dalam arti luas hukum humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan
ketentuan hukum internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang
dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
pribadi seseorang.

Di dalam buku Pengantar Hukum Humaniter, Arlina Permanasari menjelaskan bahwa ruang
lingkup hukum humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran
tengah dan aliran sempit. Menurut Jean Pictet pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian
yang luas, yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan
Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana menurutnya
hukum humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan Haryomataram
menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas Hukum Jenewa
dan Hukum Den Haag. Dari aliran-aliran tersebut bahwa hukum humaniter merupakan hukum-
hukum yang menjamin akan harkat dan martabat seseorang dan dapat merubah derajat
seseorang.

2. SEJARAH LAHIRNYA HUKUM HUMANITER

Hukum Humaniter Internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam
rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk
memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan
perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari
pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Tahapan-tahapan perkembangan hukum perkembangan
hukum humaniter sebagai berikut:

A. Zaman Kuno

Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk
menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera
setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan
senjata seperti ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang
ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan
mereka untuk menyelamatkan musuh mereka yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan
baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka
pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan
baik. Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan
sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleeh Pictet,
antara lain sebagai berikut:

1. Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini
ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan
utusan musuh dan perjanjian damai.

2. Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works of true mercy”,
yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan
perlindungan kepada musuh, juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang
mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, “anda juga harus memberikan makanan kepada
musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.

3. Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat
manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka
menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari
kota, tidak diganggu. Kota dimana penduduk-penduduknya melakukan perlawanan, akan
ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan
penduduknya dibantai dan dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa
Assiria yang menang, dan dengan kekejaman.

4. Di India, sebagaiamana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-


undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka
harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran
menusuk ke hati atau senjata beracun dan api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-
syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan
tempat tinggal dilarang.

B. Abad Pertengahan

Pada Abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen,
Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap
konsep “perang yang adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam
Al-Quran Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat al Taubah ayat 5, dan surat al Haj
ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan
keemungkinan. Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya
mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.
C. Zaman Modern

Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-
19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru
dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak
tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan
ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip
umum pernghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang
menentukan dengan pendirian palang merah internasional di medan perang, dimana dalam
konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka,
baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenwa untuk perbaikan anggota
angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat, mempunyai sejarah yang
tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu
Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara
Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino”
(1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang sakit di medan pertempuran
Solferino. B uku ini sangat menggugah penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang
tergabung dalam “societe d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk
sebuah panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan
yang dinamakan “comite international et permanent de secours aux militaries blesses”.

Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan
sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan
kesehatan tentara di medan pertempuran di darat. Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara
berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963.
Karena merupakan konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-
keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian konferensi menyarankan
dalam suatu annex yang dilampirkan pada resolusi-resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan
yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”.

Pada tahun 1894, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu
konferensi internasional yang dihadiri oleeh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara
yang mengikuti konferensi internasional yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini
menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi 1864, yaitu
konvensi untuk perbaikan keadaan yang luka di medan perang darat, dipandang sebagai
konvensi-konvensi yang mengawali konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan
perlindungan korban perang.

Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat.
Berdasarkan konvensi ini, maka personil kesehatan bersifat netral dengan perlindungan korban
perang, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan
mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum konvensi memperkenalkan tanda Palang
Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang sebelumnya
bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa owang
warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863. Peristiwa penting lainnya adalah rancangan
Kode Leiber (Instruction for Government of Armies of the United States, 1863), di Amerika
Serikat, yang mencantumkan instrumen-instrumen panjang dengan serba lengkat dari semua
hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang
tak begitu jelas sebelumnya.

Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang
yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang
tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb. Dengan demikian, tidak seperti pada
masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini
perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan
melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritasa negara-negara setelah tahun 1850.
3. Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter dari The Sumerrians sampai dengan Hague
Convention 1949

Sejarah perkembangan hukum humaniter tersusun atas berbagai lembaga hukum dan aturan
hukum yang berkaitan dengan hukum perang atau sekarang yang lebih dikenal dengan hukum
humaniter. Usaha menafsirkan sejarah perkembangan hukum humaniter berarti suatu upaya
menginterpretasikan lebih lanjut mengenai wawasan kita terhadap persoalan masa lalu yang
mempengaruhi perkembangan hukum perang. Sejarah hukum perang demikian penting sebagai
upaya manusia memahami perkembangan lembaga-lembaga hukum yang menguasai kehidupan
manusia di masa lalu untuk lebih dapat memahami hukum yang berlaku sekarang.( Nugroho
Notosusanto , hakikat Sejarah serta asas dan metode sejarah). Mengkaji sejarah berarti mengkaji
kehidupan masa lalu yang lebih bagi masa sekarang (Zurcher Arnold J, 1951, Constitutions and
constitutional trends since world war II , New York University Press).

Menurut Friedman dikatakan bahwa perang adalah suatu perkembangan sejarah panjang yang
pada tahap awalnya hanya memiliki kesamaan dalam taraf yang kecil dengan international
humanitarian law. Dari abad pertengahan sampai kepada abad ke 17 diskusi-diskusi mengenai
perang didominasi oleh pertimbangan teleologis sedangkan pengkodifikasian belum terjadi
sebelum abad ke 19. Hukum perang tertua adalah The Summerians yang dipandang sebagai
perang yang dilakukan negara yang diawali dengan pernyataan perang dan diakhiri dengan
perjanjian damai. Menurut Singh (Swinarski,1984:531) dikatakan bahwa perang yang menganut
tindakan sengketa telah diorganisasikan dalam banyak sekali kebudayaan dikatakan olehnya :

“ The law regulating the conduct of hostilities were recognized in many early cultures. theory
that humanitarian is essentially “Eurocentric” is in reality more a criticism of most literature on
the subject than a reflection of historical fact.”

Bahkan hukum perang pun dapat ditemui dalam berbagai literature keagaamaan, seperti
dikatakan Khadurri : “Islam is also acknowledge the essential requirement of humanity. In his
order to his commanders, the first caliph, Abu Bakar Stipulated for instance the following : The
Blood of women, children and old people shall not stain your victory. Do not destroy a palm tree,
nore burns houses and cornfield with fire and do not cut any fruitful tree, You must not slay any
flocks or herds, save your subsistence.”
Hal ini menunjukan bahwa prinsip-prinsip humaniter telah dikenal oleh Agama Islam bahkan
menurut Khadduri dalam The law of war and Peace in Islam (1955) dikatakan bahwa: “Several
studies have now shown that many of the central principles of humanitarian law were deeply
rooted in Islamic tradition, Although Salladin was unusual amongst both muslim and Christian
during the crusaders in his humane treatment of prisoners and the wounded, he was by no means
alone in regarding warfare as subject of principle to law. These centuries after saladin, the
Turkish Sultan Mehmet extended to the population of Constantinople a greater degree of mercy
than might have been expected given the city had been taken by storm.”

Dalam literature Kristen dapatlah diketahui misalnya melalui St. Agustine yang mengespoused
beberapa prinsip yang sangat keras menyangkut perlindungan terhadap wanita, anak-anak dan
penegakan atas tersedianya tempat yang damai menghasilkan suatu pemikiran mengenai hak
kekebalan atau hak untuk mengungsi. Menurut St. Agustine keterlibatan kaum Kristiani untuk
terlibat dalam perang yang adil dan maksud yang benar dimungkinkan (Russel,The Just war in
middle ages,1975).

Dalam tulisannya yang berjudul De iure belli ac pacis tahun 1625 Hugo Goritus menyiratkan
perilaku dalam berperang. Pada abad ke 18 pendapat Rousseau adalah sebuah landmark bagi
pembangunan hukum humaniter dinyatakan olehnya bahwa diakui suatu prinsip bagi tujuan
penggunaan kekerasan untuk mengalahkan Negara lawan dan tindakan-tindakan yang membuat
musuh tidak dapat bertahan, pembedaan antara combatan dan cilivilians diperlukan dan harus
diperlakukan secara humanis. Dari sinilah pilar hukum humaniter modern dimulai. Pada abad ke
19 telah ditunjukan bahwa praktek pada abad 18 akhir telah diterima sebagai sesuatu yang
praktis. Sejumlah besar perjanjian internasional beberapa diantaranya diadopsikan, kodifikasi
beberapa dari aturan hukum kebiasaan dalam berperang. Insiatif tersebut terlihat dari organisasi
privat internasional ICRC (International Commite of the Red Cross), yang telah memainkan
peranan sentral dalam pembangunan dan penerapan hukum humaniter (Wolfrum, United Nations
: law, Policies and Practice,1995:814). Pada tahun 1861 seorang professor dari Jerman telah
mempersiapkan suatu manual yang berdasarkan hukum internasional yang dikenal dengan Lieber
Code. Lieber Code berisi 10 section (Schindler,1981:3) dimana tiap section mengatur secara
khusus bagian-bagian yang menyangkut perilaku berperang dan perlindungan bagi korban
perang. Isi dari Lieber Code tersebut berturut-turut adalah :

· Section I Martial law-military jurisdiction-military necessity

· Section II Public and private property of the enemy, protection of persons, religion, art and
sciences, punishment of crimes

· section III Deserters- Prisoners of war, hostages, booty on the battlefield.

· Section IV Partisants- armed enemies not belonging to the hostile army

· Section V Safe conduct , spies, war traitors, captured messenger, abuce of the flag of truce
· Section VI Exchange of prisoners-Flags of truce-flags of protection

· Section VII The Parole

· Section VIII Armistis-Capitulation

· Section IX Assasination

· Section X Inssurrection –civil war- Rebellion

Lieber code dikenal sebagai the origin of what has come to known as Hague Law.Melalui
beberapa pengaturan yang terbagi kedalam section-section tersebut telah ditunjukan bahwa
Lieber code adalah sebuah pandangan filosofis seperti misalnya sipil tidak bersenjata harus
dihormati. Melalui inspirasi dari Lieber code menurut Schindler dilakukanlah Brussels
Declaration dengan inisiatif yang berasal dari Rusia.Deklarasi itu sendiri memiliki banyak
kesamaan degan The Oxford manual 1880, walaupun keduanya bukanlah suatu ketentuan yang
mengikat namun demikian banyak ketentuan dalam hukum perang yang mengacu kepada
keduanya.

Pada tahun 1907 Hague Convention mengikat tidak hanya bagi para pihak tetapi telah secara luas
dikenal sebagai suatu hukum kebiasaaan internasional. Beberapa dokumen yang terkait dengan
Hague Convention tersebut adalah :

· Hague Convention III Concerning the Opening of Hostilities

· Hague convention IV concerning the laws ad customs of war on land and annex to the
convention:Regulations concerning the laws and custom of war and land.

· Hague Convention V concerning the rights and duties of neutral powers and person in case
of war on land

· Hague Convention VI Concerning the status of enemy merchant ships at the outbreak of
hostilities.

· Hague Convention VII concerning the conversion of merchanc ships into warships

· Hgue Convention VIII concerning the laying of automatic submarine contact mines

· Hague Conventions IX concerning the bombarmendt by naval force in timies of war

· Hague Convention XI concerning certain restriction with regard to the exercise of the right
of capture in naval war.

Pada tahun 1923 The Hague Rules Of Aerial Warfare (HRAW 1923) diformulasikan berikut
peraturan mengenai radio komunikasi dalam perang. HRAW ini mrmiliki arti penting dalam
mencapai keseimbangan antara kepentingan militer dan perlindungan rakyat sipil (Spaight,Air
power and war rights 3rd,1947).

Pada tahun 1929 convention for the amelioration of the condition of the wounded and sick
armies in the field and the convention relative to the treatment of prisoner of war
ditandatanganidi Genewa. menurut Baxter dalam United States v vonleeb 15, annual digest
dikemukakan bahwa : “The 1929 Geneve conventions were influenced by the experience of
world war I and contained more detailed regulations for the treatment of the wounded and
prisoners of war than their predecessors.”

Konvensi genewa tahun 1929 lebih memfokuskan diri kepada para pihak dalam perang yang
terluka dan juga termasuk didalamnya para tawanan perang. Pada tahun 1949 Konvensi Genewa
telah mencapai paritispiasi pada level yang lebih universal. Pada tahun 1949 terdapat dua
konvensi yaitu Geneva Convention I for the amelioration of the wounded , sick and shipwrecked
embers of armed forces at sea dan Geneva convention III concerning the treatment of prisoners
of war.

BAB III

KESIMPULAN

Hukum Humaniter Internasional dibentuk bukan melarang terjadinya perang, namun membentuk
aturan bagaimana selama perang terjadi sebagai pilihan terakhir agar tidak terjadi kerusakan
yang berlebihan di segala aspek baik fisik maupun psikis, yang pada dasarnya imbas dari akibat
perang itu sendiri adalah rakyat sipil. Dengan adanya perkembangan Hukum Humaniter
Internasional yang membentuk berbagai konvensi merupakan wujud dari kesadaran memahami
buruknya efek sebuah perang.
DAFTAR PUSTAKA

Frits Kalshoven. Constraint on the Waging of War. ICRC. 1991.

Mochtar Kusumaatmadja. Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan


Penerapannya di Indonesia. 1980.

Jean Pictet. Development and Principles of International Humanitarian Law. Martinus Nijhoff
Publisher: 1985.

Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi. Pengantar dan Dasar-dasar Hukum
Internasional. IKIP Malang: 1995.

id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_kemanusiaan_internasional

http://usupress.usu.ac.id/files/Pengantar%20Hukum%20Humaniter%20InternasionalNormal_bab
%201.pdf

Anda mungkin juga menyukai