Anda di halaman 1dari 27

TINJAUAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF

KRIMINOLOGI

A. Pendahuluan
Peraturan Perundang – Undangan merupakan wujud dari politik hukum
institusi Negara dirancang dan disahkan senabagai Undang-Undang pemberantasan
tindak pidana korupsi. Tebah pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan
pengamat hukum terdapat gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi Akhir-
akhir ini.
Para pejabat Negara menjadikan kasus korupsi dijadikan senjata ampuh dalam
pidatonya, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas
pun  tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia.
Lemahnya hukum di Indonesia dijadikan senjata ampuh para koruptor untuk
menghindar dari tuntutan. Kasus korupsi mantan Presiden Suharto, contoh kasus
korupsi yang yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Padahal penyelesaian
kasus-kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi
besar lainnya akan mampu mentimulus program pembangunan ekonomi di
Indonesia.
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi
maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Sementara itu, Okokrim sebagaimana dikutip Petter Gottschalk berpendapat


bahwa :
Corruption is defined as the giving, requesting, receiving, or accepting of an
improper advantage related to a position , office, or assignment. The improper
advantage does not have to be connected to a specific action or not-doing this
action. It will be sufficient if the advantage can be linked to a person’s position,
office, or assignment.

1
Corruption is to destroy or pervert the integrity or fidelity of a person in his
discharge of duty, it is to induce to act dishonestly or unfaithfully, it is to make venal,
and it is to bribe. (Petter Gottschalk, 2010: 443)

Indonesia telah memiliki landasan hukum dan membuat lembaga untuk


menanggulangi korupsi. Landasan hukum yan telah dibuat ialah:
- Undang-undang No. 3 Tahun 1971
- Undang-undang No. 31 Tahun 1999
- Undang-undang No. 20 Tahun 2001
- Undang-undang No. 30 Tahun 2002,

Sedangkan Lembaga yang telah didirikan antara lain Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK). Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 2002, kewenangan Komisi
Pemberantas Korupsi meliputi tindak pidana yang meliputi :
a. Melibatkan aparat penega hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara,
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Selanjutnya dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2002, Komisi


Pemberantasan Korupsi
1) Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan
institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
2) Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan
3) Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism)
4) Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dan
dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan,

2
penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh
kepolisian dan/atau kejaksaan.

Masih ingat pendapat para hali, salah satunya adalah : “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Ungkapan usang ini adalah
semacam postulat yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung
untuk korupsi. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu
dalam le Esprit Des lois yang diterjemahkan sebagai The Spirit of law bahwa
terhadap orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan
untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar
kekuasaan. (Montesqieu, 1993: 27). Ketiga adalah kecenderungan untuk
memanfaatkan kekuasaan. Dalam kaitannya dengan memanfaatkan kekuasaan inilah
maka sering terjadi apa yang disebut abuse of power yang acap kali memperkaya diri
sendiri atau memperkaya orang lain.
Beberapa tahun silam, sekitar pertengahan tahun 90-an penayangan buronasn
koruptor di layer televise sempat menimbulkan pro dan kontra. Bagi mereka yang
pro dengan penayangan tersebut berpendapat agar tersangka buronan kasus korupsi
yang ditayangkan dapat segera ditemukan dan diadili sesuai hukum yang berlaku.
Sementara terhadap mereka yang kontra berpendapat bahwa penayangan tersebut
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Bahkan ada terobosan baru oleh
KPK, bahwa Tahan KPK dalam menggunakan baju seragam yang dirancang dan
dimaksudkan juga untuk memberikan efek jera bagi para koruptor.
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting: The Elemen of National Integrity
System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus
menjadi keprihatianan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep
pemerintahan totaliter, dictator yang meletakakan kekuasaan di tangan segelintir
orang. Namun, tidak berarti dalam system social politik yang demokratis tidak ada
korupsi bahkan bisa lebih parah berarti dalam system social politiknya teleransi
bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga
tindakan pelanggran hak asasi manusia, lanjut Pope.

3
Menurut Dleter Frish, mantan Direktur Jendral Pembangunan Eropa.
Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa,
memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang.
Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alas an keterlibatan modal besar,
bukan pada urgensi kepentingan public, korupsi selalu menyebabkan situasi social
ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidakpastian ini tidak asimetris informasi dalam
kegiatan ekonomi dan bisnis. Sector swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar
yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of
investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat
praktek korupsi juga sulit diprediksi, Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan
bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
pasal 1 menjelaskan bahwa tidak pidana korupsi sebagaimana Maksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan
korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat Ekonomi Pancasila,
dalamdalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar
berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakan menjadi “KKN”.
Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barang kali beralasan karena praktek
korusi korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal
bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata
tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingakan dengan penggunaan
kata korupsi secara gambling dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.

B. Permasalahan
Dalam makalah singkat ini, penulis mencoaba memaparkan sebuah fakta tentang
korupsi di lihat dari sisi kriminologi. Mengingat hingga saat ini berbagai kasus korupsi
belum dapat dituntaskan sampai keakar-akarnya di pengadilan atau dengan kata lain
apakah yang menyebabkan para koruptor tersebut belum juga dijerat oleh ketentuan

4
hukum yang berlaku? Apakah karena konstruksi hukum kita yang tidak sempurna?
Ataukah karena law enforcement yang buruk oleh para aparat penegak hukum?.

C. Pembahasan
1. Kriminologi dari Pandangan Sosiologis – Kriminologi Kritikal
Selama ini, untuk menangani korupsi, Kita melakukan pendekatan hukum
pidana yang hanya berkutat pada pertanyaan “ apakah Nazaruddin melakukan
Korupsi ? (Who). Jika Kita melakukan pendekatan kriminologi, maka bunyi
pertanyaannya akan berubah dan lebih proaktif, mengapa Nazaruddin melakukan
korupsi ? (Why). Kita mencari tahu sebab terjadinya kejahatan (etiologi kriminal).
Karena jika kita mencari siapa pelakunya, maka pelakunya bisa siapa saja, bisa
bertambah banyak, tidak berkurang dan bahkan si pelaku akan di intervensi oleh
tangan-tangan tersembunyi.
Ada beberapa teori yang mengelaborasi sebab-sebab terjadinya kejahatan
(korupsi). Teori Anomie dari Emile Durkheim memaparkan bahwa anomie terjadi
karena hancurnya keteraturan sosial sebagai hilangnya patokan-patokan dan nilai-
nilai. Dekadensi moral mengakibatkan koruptor merasa bahwa korupsi itu lumrah
karena banyak yang telah melakukannya. Ada pula teori Psikoanalisis dari
Sigmun Freud, yang menyatakan bahwa perilaku kejahatan didorong oleh hati
nurani yang lemah hingga tak mampu menahan kuatnya desakan nafsu. Nafsu
untuk memiliki harta, kekayaaan dan kemewahan, meskipun diperoleh dari cara-
cara yang tidak halal. Lain halnya dengan teori radikal, yang berpendapat bahwa
kapitalisme merupakan kausa kriminalitas. 
Merunut pada sebab-sebab realitas kekinian, maka Kita mendapati
jawaban-jawaban seperti gaji yang rendah, karena proses korupsi yang instan,
maksudnya sekali keruk langsung dapat banyak tanpa menunggu gaji yang rendah
tersebut. Serta bisa pula disebabkan oleh kwalitas sumber daya manusia bangsa
Kita yang sangat rendah, khususnya pada penegakan hukum. Maka benarlah Jusuf
Kalla saat berkata : “ Korupsi sekarang mulai menurun, menurun ke anak cucu “.
Setidaknya Kita telah mengetahui  faktor penyebab korupsi. Sekarang mari Kita
kaji ;

5
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan
perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat
dan perbuatan tercela itu. Wolfgang, Savitz dan Johnston sebagaimana dikutip
Topo Santoso memberikan definisi kriminologi sebagai :
kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan
jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan,
keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor kausal yang berhubungan
dengan kejahatan, pelaku kejahatanserta reaksi masyarakat terhadap
keduanya (Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, 2010 : 12).
Objek studi kriminologi meliputi :
a. Perbuatan yang disebut kejahatan
b. Pelaku kejahatan
c. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap
pelakunya.
Dalam khasanah kriminologi, terdapat beberapa aliran yang memiliki
pendapat berbeda terhadap kriminologi. Selain aliran Yuridis (Hukum), terdapat
aliran non Yuridis yang lebih dikenal dengan aliran Sosiologis. Salah seorang
sarjana aliran Sosiologis ialah Thorsten Sellin sebagaimana dikutip Topo Santoso,
mengemukakan bahwa suatu dasar yang lebih baik bagi perkembangan kategori-
kategori ilmiah adalah dengan memberikan dasar yang lebih baik dengan
mempelajari norma-norma kelakuan (conduct norms), karena konsep norma-norma
perilaku yang mencakup setiap kelompok atau lembaga seperti negara serta
merupakan ciptaan kelompok-kelompok normatif manapun, serta tidak terkurung
oleh batasan-batasan politik dan tidak selalu harus terkandung dalam hukum. (Topo
Santoso & Eva Achjani Zulfa, 2010 : 79).
Kriminologi Kritikal
Menurut pendapat aliran kriminologi kritikal, antara lain Ian Taylor, Paul
Walton dan Jack Young menyatakan bahwa adalah kelas bawah, “kekuatan buruh
dari masyarakat industri”, yang dikontrol melalui hukum pidana dan para

6
penegaknya, sementara “pemilik buruh-buruh” hanya terikat oleh hukum perdata
yang mengatur persaingan antar mereka. Institusi ekonomi, kemudian merupakan
sumber dari semua konflik, pertarungan antar kelas selalu berhubungan dengan
distribusi sumberdaya dan kekuasaan, dan hanya apabila kapitalisme dimusnahkan
maka kejahatan akan hilang. (Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, 2010 : 109).
Pendekatan kriminologi kritikal lebih comprehensif dibandingkan dengan
pendekatan klasik yang lebih menekankan pada aspek yuridis. Pendekatan kritikal
yang meliputi akar masalah kejahatan dan melibatkan para penguasa seperti pemilik
buruh-buruh dipandang memiliki relevansi dalam penanggulangan kejahatan
(korupsi) di Indonesia.

2. Kriminologi Dan Hukum Pidana


Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa berbicara tentang suatu
kejahatan dari perspektif kriminologi jauh lebih luas bila dibandingkan dengan
sudut pandang ilmu hukum pidana. Kendatipun demikian antara kriminologi dan
hukum pidana ibarat dua sisi dari satu mata uang meskipun berbeda objek dan
tujuan. Ilmu hukum pidana berobjekan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan
pidana dan bertujuan untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya.
Sedangkan kriminologi mempunyai objek orang yang melakukan kejahatan
dan bertujuan memahami mengapa seseorang berbuat kejahatan. Selain itu
pandangan tentang suatu kejahatan dari ilmu hukum pidana hanyalah sebatas legal
definitions of crime, artinya suatu perbuatan yang oleh Negara telah diberi lebel
sebagai suatu kejahatan. ( Moeljatno, 1987: 13). Sebagaimana yang dikatakan oleh
W.A.bonger bahwa kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang secara sadar
mendapat reaksi Negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai raksi
terhadap rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan. ( Soerjono Soekanto, 1981:
21).
Terhadap kejahatan dalam pandangan hukum pidana, Thosten Sellin
memberikan kritikan bahwa hukum pidana tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan
ilmuwan dan suatu dasar yang lebih baik bagi perkembangan kategori-kategori

7
ilmiah adalah dengan mempelajari conduct norms, karena konsep norma-norma
perilaku yang mencakup setiap kelompok atau lembaga seperti Negara serta tidak
merupakan ciptaan kelompok-kelompok normative manapun, serta juga tidak
terkurung oleh batasan-batasan politik dan tidak selalu harus terkandung di dalam
hukum. (Soerjono Soekanto, 1981: 22).
Seiring dengan kritikan Sellin, maka suatu kejahatan dari aspek kriminologi
tidak hanya menyangkut legal definition of crime tetapi juga menyangkut social
definition of crime, artinya suatu perbuatan meskipun belum diberi label oleh
Negara sebagai suatu kejahatan namun oleh masyarakat telah diberi label sebagai
suatu kejahatan apabila perbuatan tersebut dianggap menyimpang dair norma-
norma atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.
Oleh sebab itu tidaklah berlebihan apa yang pernah dilontarkan Sellin yang
dikutip oleh H. Mannhein bahwa kriminologi adalah “a king without a country”,
hanya dalam perkembangannya kriminologi harus memperhatikan disiplin ilmu
lainnya seperti psikologi, psikiatri, politik, sosiologi, hukum dan ekonomi. (Romli
Atmasasmita, 1992: 9).
Dalam kaitannya dengan korupsi, tinjauan dari aspek kriminologi menjadi
sangat penting untuk mengetahui lebih jauh apa penyebab utama seseorang
melakukan korupsi untuk kemudian dicari pemecahannya. Sedangkan apabila
korupsi hanya dilihat dari sudut hukum pidana, maka kita hanya akan terpaku pada
konstruksi undang-undang yang memberi definisi terhadap perbuatan yang
dikategorikan sebagai korupsi dalam batasan-batasan tertentu. Padahal apabila kita
cermati dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui dengan Undang-Undang
No. 20 tahun 2001, sifat melawan hukum dalam rumusan delik korupsi tidak
sebatas pada pengertian dalam undang-undang semata. Hal ini akan dibahas
selanjutnya dalam bagian lagi dari tulisan ini.
Selain itu pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
politik, ekonomi dan sosiologi, maka Pierce Beirne dan James massesrchmidt, dua
orang kriminologi dari Southern maine University mencoba memtakkan jenis-jenis
korupsi yang selanjutnya akan juga dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.

8
3. Korupsi dan Studi Kejahatan

Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan
kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi
kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya
tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya
dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh
Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute
power corrupt absolutely.

Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti


watak kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang
sentralistik maupun desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah
sentralistik, korupsi juga akan bersifat sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu
tersentral, semakin besar pula terjadi kasus korupsi di kekuasaan pusat tersebut.
Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya, jika pemerintahan
suatu negara adalah desentralistik, misalnya dengan Otonomi Daerah, tindakan
korupsi akan tersebar pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik tersebut.
Dengan kata lain, praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah.
Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat
kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat
kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa
sekarang di Indonesia.

Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang


merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh
seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan
oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila
seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk
melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang
tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi
adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi

9
semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah
seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku
hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap
kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan
tersebut untuk kepentingannya sendiri.

Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi


kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat
banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para
pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk
melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang
pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis
memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai
dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah
laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat
bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan
yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai
dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk
terjadinya tindakan korupsi besar sekali.

Menurut Don.C. Gibbons, studi mengenai kejahatan dan penjahat


menyangkut begitu banyak topic atau pertanyaan-pertanyaan, antara lain tentang
rumusan kejahatan serta perilaku menyimpang. (Soerjono Soekanto, 1981: 19).
Oleh sebab itu sebelum menentukan definisi dari suatu kejahatan penentuan
perspektif dan paradifma suatu kejahatan menjadi sangat penting. Seperti yang
diungkapkan oleh Michalowsky dalam Meier, yang dikutip Romli Atamsasmita,
bahwa perspektif dan paradigma mengenai suatu kejadian di sekitar kita
dipergunakan untuk mengamati dan menganalisis semua kejadian sebagai suatu
dwi tunggal. Pemahaman kritis terhadap setiap teori kriminologi seharusnya
dimulai dengan menyelidiki perspektif dan paradigma dasar yang menghasilkan
teori tersebut. (Romli Atmasasmita, 1995: 55).

10
Pada dasarnya antara perspektif dan paradigma mempunyait ujuan yang
sama, yakni menetapkan masalah yang harus diselidiki dan jalan keluar yang
harus ditempuh. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Perspektif
adalah cara pandang yang dapat dilihat dari berbagai segi terhadap suatu makna
dan penghayatan atas makna tersebut, sedangkan paradigma jauh lebih sempit
karena merupakan cara pandang yang bersifat khusus tentang suatu gejala. (W.J.S.
Purwadarminta, 1990: 642).
Kembali kepada studi tentang suatu kejahatan, para ahli kriminologi
biasanya menggunakan model paradigma trikhotomi. Pertama, paradigma
positivis yang mengacu pada perspektif consensus. Perspektif ini memiliki
landasan pemikiran terhadap hukum sebagai suatu kehendak masyarakat.
Pelanggaran hukum mencerminkan keunikan dalam masyarakat dan mereka yang
melanggar hukum mewakili kelompok yang unik.
Kedua, paradigma interaksionis mengacu kepada perspektif pluralis.
Perspektif ini memandang hukum sebagai suatu hasil ketidaksepakatan mengenai
perbedaan kepentingan dan nilai-nilai diantara anggota masyarakat. Paradigma
melahirkan labeling theory yang memandang setiap tindakan yang disebut
kejahatan dan mereka yang disebut penjahat adalah hasil dari kualitas reaksi
masyarakat terhadap keduanya.
Sedangkan paradigma yang ketiga adalah paradigma sosialis yang juga
mengacu pada perspektif pluralis tentang heterogenitas masyarakat dan
ketidaksepakatan yang terjadi di dalam masyarakat. Akan tetapi terdapat
perbedaan yang mendasar mengenai cara penyelesaian yang terbaik untuk
mengatasi ketidaksepakatan tersebut. Perspektif ini justru menegaskan bahwa cara
penyelesaian ketidaksepakatan adalah adanya pemaksaan kehendak melalui
hukum.
Dalam kaitannya dengan korupsi, paradigma positive dan perspektif
konsensus, memandang korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari
consensus yang telah disepakati bersama masyarakat yang diwakili parlemen dan
Negara yang diwakili pemerintah. Consensus tersebut dalam bentuk undang-

11
undang dan si koruptor adalah orang yang mewakili kelompok masyarakat yang
unik dan melanggar consensus tersebut.
Terhadap paradigma interaksionis dan perspektif pluralis, memandang
korupsi sebagai suatu kualitas reaksi masyarakat terhadap pebuatan yang
dikategorikan sebagai korupsi. Hanya saja disini tidak semua kualitas reaksi
masyarakat tersebut dapat dituangkan dalam rumusan yang lengkap dalam suatu
undang-undang. Dengan kata lain stigmatisasi masyarakat terhadap suatu
perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi tidak dapat dipenuhi seluruhnya
oleh Negara yang memberi label terhadap perbuatan tersebut dalam suatu undang-
undang.
Dalam konteks yang demikian terhadap kasus korupsi muncullah
konsepsi “Victim participation”, yakni suatu konsepsi yang menjelaskan bahwa
pada umumnya di dalam setiap kasus korupsi terkandung unsure keikutsertaan
korban di dalam membantu terjadinya korupsi. Dalam hal ini, Negara sebagai
korban dari perbuatan korupsi secara tidak langsung memberikan peluang bagi
orang untuk melakukan korupsi.
Sebagai contoh yang paling baik dalam menjelaskan victim presipitation
ini adalah “korupsi” (dalam tanda petik) yang dilakukan oleh mantan Presiden
Soeharto. Pengumpulan uang Negara yang dilakukan melalui berbagai yayasan,
kemudian bermacam-macam fasilitas yang digunakan untuk mempermudah bisnis
keluarga dan para kroninya dilakukan dalam bentuk aturan hukum. Biasanya
aturan tersebut dalam format peraturan pemerintah atau keputusan presiden yang
secara legal wajar bila dilakukan oleh seorang presiden. Dengan kata lain
“korupsi” yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto adalah “korupsi” secara
structural.
Masih dalam paradigma interaksionis dan perspektif pluralis yang
memandang kejahatan sebagai suatu kualitas reaksi msayarakat, sebenarnya
dalam undang-undang korupsi hal ini sudah diantisipasi. Dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 disebutkan:”Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

12
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara, dipidana………….”.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut
menyatakan, “Yang dimaksud dengan “Secara melawan hukum” dalam pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.
Secara teori sifat melawan hukum adalah satu kata yang mempunyai
empat makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hukum umum, sifat
melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum
materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum untuk dapat
dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana. Sedangkan
sifat melawan hukum khusus ada kalanya kata “bersifat melawan hukum’
tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Artinya, sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dipidana.
Sementara sifat melawan hukum formal berarti semua bagian yang ditulis
dari rumusan delik telah dipenuhi dan sifat melawan hukum materiil berarti
melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh
pembentuk undang-undang. Dengan dicantumkan kata “Melawan hukum” dalam
rumusan pasal 2 ayat (1) undang-undang korupsi di atas, artinya tidak hanya sifat
melawan hukum materiil saja yang tercakup sebagaimana dituangkan dalam
penjelasan, namun juga sifat melawan hukum khusus.
Perbuatan pidana korupsi dalam pengertian tersebut diatas mempunyai
unsure “materiele wederechtelijkheid” pada penentuan segi positif dengan
pertimbangan ukuran “maatschappelijk onbetamelijk”. (Bambang Purnomo,
1984: 76). Putusan pengadilan yang menyangkut penerapan unsure melawan
hukum yang materiil sudah dapat dipastikan sukar sekali dilaksanakan dalam
perkara korupsi. Oleh karena itu, secara teori dalam delik materiil sebagaimana

13
rumusan pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut sifat melawan hukum materiil
termasuk dalam bukti dari realisasi rumusan delik.
Kembali kepada paradigma interaksionis dan perspektif pluralis, dengan
adanya sifat melawan hukum materiil dalam undang-undang korupsi, sebenarnya
memberi peluang kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan
menggunakan interprestasi sosilogis terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi kendatipunt idak tercantum secara eksplisit dalam
undang-undang. Interprestasi sosilogis ini dilakukan dengan menggali norma-
norma yang senantiasa tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat mengenai
sifat tercelanya suatu perbuatan.
Selanjutnya, terhadap paradigma yang terakhir yakni paradigma sosialis
dan perspektif pluralis tentang heterogenitas masyarakat, korupsi dipandang
sebagai suatu ketidaksepakatan dan untuk menyelesaikannya diperlukan
pemaksaan kehendak oleh pemegang kekuasaan melalui hukum. Dari paradigma
dan perpektif ini yang amat sangat dibutuhkan adalah law enforcement dari aparat
penegak hukum termasuk di dalamnya adalah kesiapan sarana dan prasarana.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, semakin jelas bagi kita bahwa tidak
terungkapnya berbagai kasus korupsi secara tuntas tidak semata disebabkan
kontruksi hukum kita yang kurang lengkap tetapi lebih pada law enforcement dari
aparat penegak hukum. Dikatakan demikian, sebab pada hakekatnya hukum
adalah suatu whole structure (system) yang terdiri dari sub-sub system. Apabila
terjadi kekurangan pada suatu sub system, maka akan dilengkapi oleh sub system
lainnya.
Konstruksi hukum dalam bentuk aturan perundang-undangan hanya
merupakan suatu sub system yang adalah benda mati. Sedangkan law enforcement
yang lebih dititikberatkan pada aparat penegak hukum adalah makhluk hidup
yang selalu dinamis dalam mengikuti perkembangan zaman termasuk
perkembangan norma-norma dalam masyarakat beserta tuntutannya. Terhadap hal
terakhir yang disebut, baik pengacara, polisi, jaksa maupun hakim sebagai suatu
integrated criminal justice system dalam peradilan pidana harus lebih peka,

14
sehingga setiap kasus korupsi yang terjadi di Negara ini dapat dituntaskan sampai
ke akar-akarnya, jika ingin mengedepankan hukum sebagai panglima.

4. Berbagai Tipe Korupsi Dalam Kriminologi

Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghamabt


pengembangan system pemerintahan demokratis. Korusi Memupuk tradisi
perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau Kelompok, yang
mengesampingkan kepentingan public. Dengan begitu korupsi menutup rapat-
rapat kesempatan rakyat lemah menikmati pembangunan ekonomi dan kualitas
hidup yang lebih baik.

Para ahli di bidang kriminologi selalu menempatkan pembahasan tentang


kejahatan korupsi dalam hubungannya dengan kegiatan lembaga pemerintah,
sebagai factor proses politik yang menentukan perkembangan tingkah laku
criminal. Pendapat ini dikutip oleh Bambang Pornomo dari E.M.Lemert,
E.Kefauver, dan Sutherland.

Masih menurut Bambang Purnomo berbagai dugaan yang memungkinkan


terjadinya kejahatan korupsi berhubungan dengan kegiatan-kegiatan:
1. Kelemahan dalam kegiatan penegakan hukum.
2. mekanisme kegiatan dewan legislative.
3. Sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha.
4. Sistem koneksi yang bersifat perorangan maupun kelompok di bidang
perbankan.
5. Penyelenggaraan pemilihan umum.
Sedangkan pendapat Benson yang dikutip oleh Pierce Beirne dan James
messesrchmidt, dua orang hali kriminologi dari Southern University, secara lebih
gambling menjelaskan sebagai berikut: “State corruption exist at city, state and
national levels and consisit of a wide range of state – directed activities – such as
purchasing goods ang services, regulation of commercials activity, zoning ang
land use, law enforcement ang so on (Simon and Eitzen, 1986) “Dengan kata lain

15
bila disikapi lebih arif dinyatakan “state corruption is illegal or un ethical use of
state authority for personal or political gain)”.
Masih menurut Pierce Beirne dan James Messesrchmidt, secara garis besar
membagi korupsi dalam dua bagian besar yaitu korupsi dalam bidang politik
(formal) dan korupsi dalam bidang ekonomi (materiil). Korupsi dalam bidang
politik seperti penggunaan fasilitas Negara bagi pribadi, kelompok atau kerabat,
kecurangan dalam pemilihan umum, intimidasi dan penjahatan bersuara dalam
badan legislative dan berbagai manipulasi yang menyangkut hajat hidup orang
banyak.
Sementara korupsi di bidang ekonomi seperti yang dikutip oleh
Encyklopedia Americana, halaman 22 adalah kegiatan pemberian hadiah,
penyuapan, manipulasi usaha yang menyangkut perekonomian dan keuangan
dengan akibat merugikan kepentingan umum atau Negara.
Berdasarkan kualifikasi berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan
kejahatan korupsi, semakin jelas bagi kita bahwa korupsi selalu dan akan tetap
mempunyai hubungan dengan lembaga pemerintah dan kondisi politik. Bahkan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan. Dari berbagai kegiatan
tersebut di atas, korupsi kemudian dibagi ke dalam empat tipe. Keempat tipe
tersebut adalah political bribery, political kickbacks, election fraund dan corrupt
compaign practices.
Political bribery adalah termasuk kegiatan di bidang legislative sebagai
badan pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh
suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap
anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan
mereka.
Sebagai contoh adalah kasus Mantan Menteri Tenaga Kerja RI, Drs. Abdul
Latief mengenai pembuatan undang-undang ketenagakerjaan yang menggunakan
dana Jamsostek untuk “menyuap” anggota DPR. Undang-undang tersebut
terkesan berpihak kepada pengusaha sebagai imbalan atas dana kampanye yang
diberikan kepada partai tertentu dalam pemilihan umum 1997.

16
Akan tetapi political bribery juga menyangkut kegiatan pegawai-pegawai
pemerintah lainnya (state officials) sebagaimana yang diungkapkan Coleman :
“State officials, other than politician, are also in positions to accept bribes. The
police, for example, have a long history of involment in corruption at least 1980s,
alegion of investigative committees has consistenly unearthed susbstansial and
wide range forms of police bribery”.
Demikian juga yang dikemukakan oleh Boston Herald dengan mengutip
pendapat Shenon “ In the 1980s bribery in law enforcement once again came to
attentional. In 1988, for example seven Boston police detectives were convicted
on 57 counts of bribery totaling $ 18,000 over an eight – year period. More over,
according to The New York Times, over law enforcement drug related bribery
cases before state and federal courts each year”.
Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan system
kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang
memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang
bersangkutan termasuk di dalam korupsi tipe ini adalah pemberian kredit kepada
pengusaha, penarikan pajak dan lain sebagainya.
Election fraud adalah tipe korupsi yang bertalian langsung dengan
kecurangan-kecurangan dalam pemilihan umum. Kecurangan tersebut seperti
pemalsuan administrasi calon anggota legislative, kecurangan pada saat
perhitungan suara, memberikan sesuatu untuk mempengaruhi pelaksanaan hak
pilih yang semuanya itu berkaitan dengan uang atau sesuatu imbalan, termasuk di
dalamnya menjanjikan atau mengiming-imingi sesuatu. Perumpamaan kasus yang
termasuk dalam “korupsi” tipe ini adalah isu penerimaan uang 1,8 milliar Rupiah
oleh Menteri Hukum dan Perundang-Undangan, Prof. Fr. Yusril Ihza Mahendra
yang juga adalah ketua umum partai Bulan Bintang. Uang tersebut diberikan oleh
Habibie yang saat itu menjabat sebagai presiden tentunya dengan harapan agar
dalam sidang umum MPR nanti, partai yang dipimpin oleh Yusril dapat
mencalonkan kembali Habibie sebagai Presiden.
Corrupt compaign practices adalah praktek-praktek kampanye dengan
menggunakan fasilitas Negara maupun uang Negara. Dalam tipe ini biasanya

17
berkaitan langsung dengan si calon anggota legislative agar dapat terpilih melalui
daerah pemilihannya. Tidak jarang si calon tersebut mengadakan kolusi dengan
perusahaan-perusahaan setempat untuk membiayai berkampanye dengan suatu
imbalan manakala ia terpilih.
Dari keempat tipe korupsi tersebut, dalam pandangan masyarakat awam,
electional fraud dan corrupt campaign practices biasanya dikenal dengan istilah
“money politics”. Padahal money politics sebenarnya dalam istilah politik,
sedangkan money politics dalam perspektif hukum pada hakekatnya adalah
korupsi. Inti dari keempat tipe korupsi ini adalah seluruh kegiatan yang dilakukan
oleh para politikus, pejabat Negara maupun pengusaha untuk menerima ataupun
memberikan sesuatu kepada pihak lain dengan menggunakan uang yang tidak sah
secara procedural ataupun menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Pemberantasan Korupsi di Indonesia


Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa korupsi Indonesia sudah
melibatkan Legislatif, Eksekutif, Judikatif dan para pengusaha baik lokal maupun
transnasional. Dengan cakupan yang sangat luas, korupsi di Indonesia sudah
merupakan persoalan sosial, bukan lagi hanya persoalan legalistik semata.
Korupsi bermula dari kondisi sosial masyarakat dan berdampak negatif terhadap
masyarakat itu sendiri.

a. Korupsi dan Kekuasaan


Korupsi di Indonesia tidak terlepas dari kekuasaan. Sejak Indonesia
merdeka, kekuasaan menjadi suatu yang berharga dan prestise. Hal ini tidak
mengherankan karena selama dijajah kolonial selama 350 tahun, rakyat
Indonesia hidup di bawah tekanan (powerless).
Kemerdekaan membuka cakrawala baru sehingga hampir semua elemen
bangsa masuk dalam kegembiraan sebagai orang merdeka. Kemerdekaan yang
tersedia dengan latar belakang pendidikan yang rendah menjadi hambatan
besar bagi seseorang untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan. Salah satu jalur
yang bisa menjadi pilihan adalah melalui karir tentara. Tentara menjadi

18
kebutuhan sebagai perangkat negara. Menjadi tentara tidak mensyaratkan
tingkat akademik yang tinggi. Syarat tentara lebih diprioritaskan pada fisik.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun Indonesia sudah merdeka
tahun 1945, namun masih terdapat perang lokal baik yang ditunggangi NICA
(Sekutu) maupun oleh sempalan di daerah-daerah. Kondisi inilah yang
menuntut negara baru membutuhkan putera-puteri untuk menjadi tentara,
pasukan pembela negara.
Dalam perjalanannya, tentara menjadi elemen masyarakat yang
dibanggakan karena terbukti setia membela negara. Hal ini menjadikan tentara
sebagai warga kelas utama sampai pada pemerintahan orde baru.
Kekuasaan di masa orde baru relatif milik tentara sehingga rakyat sipil
merasa tidak memiliki kesempatan untuk menjadi penguasa. Pandangan ini
tidak seratus persen benar adanya karena banyak kalangan sipil yang masuk
lingkaran kekuasaan. Namun mereka adalah putera-puteri bangsa yang
memiliki prestasi akademik yang gemilang, terutama para alumni dari sekolah
luar negeri. Kenyataan ini membuat masyarakat memiliki satu pandangan
(opini publik) bahwa untuk menjadi lurah saja, harus melalui jalur tentara.
Reformasi bergulir dan berhasil menggulingkan penguasa order baru.
Lahirlah sebuah harapan bagi siapapun melalui bendera demokrasi. Demokrasi
yang diusung reformasi cenderung bebas melakukan apa yang mereka
inginkan. Hal yang paling diinginkan dalam era reformasi tidak lain dari era
sebelumnya, kekuasaan (power). Sayangnya, dalam era reformasi tidak
berhasil melakukan perubahan terhadap akar masalah sejak era kemerdekaan
dan era orde baru yaitu kekuasaan dapat diperoleh dengan jalur khusus. Dalam
era reformasi, jalur yang dipakai memang tidak lagi tentara, tetapi wakil
rakyat. Siapapun bisa menjadi wakil rakyat. Hal ini didukung pula oleh
kelahiran otonomi daerah tahun 1999. Kekuasaan menjadi rebutan, sehingga
banyak partai lahir.
Partai baru lahir memerlukan dana yang besar. Siapa yang punya dana
dialah yang bisa masuk partai. Kembali seperti masa orde lama dan orde baru,
rakyat selalu memilih jalan pintas yang tersedia untuk memasuki lingkaran

19
kekuasaan, kali ini lewat jalur partai. Menjadi anggota partai menjadi trend.
Siapa penyumbang partai yang paling besar, akan dijamin menjadi calon jadi
sebagai wakil rakyat baik di tingkat Pusat maupun di daerah. Hasilnya, wakil
rakyat terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki wawasan kebangsaan dan
kenegaraan yang cukup. Namun karena mereka memiliki kekuasaan (super
power), mereka berlindung di balik jas dan simbol negara, mereka lupa bahwa
mereka sedang berada di tempat yang berbeda (salah).
Era reformasi melahirkan kelompok elit baru bahkan menggantikan elit
lama. Elit lama berlindung di balik seragam tentara, sekarang mereka
berlindung di balik sebutan “anggota dewan yang terhormat”. Tidak bisa
dipungkiri sebagian mereka yang berkuasa di era sebelumnya masuk menjadi
wakil rakyat.
Kegagalan era reformasi yang paling fundamental ialah tidak adanya
persyaratan yang handal untuk dapat menduduki suatu kekuasaan
pemerintahan khususnya Eksekutif dan Legislatif. Semuanya tergantung partai.
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kekuasaan bisa dibeli dengan uang.
Uang yang dipakai untuk membeli kekuasaan inilah yang menjadi faktor utama
orang melakukan korupsi.
Korupsi dilakukan semula untuk merebut kekuasaan. Selanjutnya,
untuk mempertahankan kekuasaan. Setelah berkuasa, hasil korupsi diperlukan
untuk membeli keamanan dari kekuasaan baru (suksesi). Hal inilah yang
menyebabkan pemberantasan korupsi melalui lembaga yang terkait dengan
kekuasaan relatif tumpul.
Mengapa orang ambisi merebut kekuasaan? Secara ekonomi hal ini
dapat dilihat dari jatah kue yang disediakan dalam negara ini. Indonesia kaya
akan sumber daya alam yang nota bene secara konstitusi menjadi milik negara.
Sejak Indonesia merdeka, otomatis negara memiliki kekayaan alam yang luar
biasa melimpah. Kekayaan negara itu ditampilkan dalam wujud Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN dalam bentuk program
pembangunan dan anggaran rutin merupakan sumber utama untuk mengisi
kantong pribadi baik lewat jalur yang halal maupun jalur yang tidak halal.

20
Siapa yang memiliki kekuasaan, merekalah yang paling memiliki
otoritas dan kewenangan untuk menentukan ke mana anggaran tersebut untuk
dibelanjakan. Tentu saja, bagi seseorang yang sudah mengeluarkan uang untuk
mendapatkan kekuasaan dia ingin agar uangnya kembali dengan jumlah yang
berlipat.
Kekuasaan yang dibeli tentu tidak memiliki visi dan misi kenegaraan.
Untuk menutupi kelemahan ini, penguasa menutupi dengan membeli gelar
akademik. Tidak jarang para pejabat khususnya pemerintah daerah memiliki
gelar akademik sarjana bahkan Pascasarjana.
Gejala ini menyebabkan persoalan baru karena dunia pendidikan jatuh
ke tangan orang-orang yang mau membeli gelar. Lagi-lagi hal ini terjadi karena
belum adanya persyaratan yang ketat bagi pejabat publik. Semua seolah-olah
bisa dilakukan dengan uang.
Persoalan gelar ini merupakan hal klasik, karena sejak merdeka,
Indonesia membangun suatu kebudayaan bahwa memiliki gelar lebih penting
dan berbobot dibandingkan dengan memiliki kompetensi. Jadi meskipun setiap
tahun banyak gelar yang diberikan, namun kompetensi yang diharapkan dalam
persaingan global masih ketinggalan.
Pemberantasan korupsi menurut pengalaman para penegak hukum yang
menanganinya, ternyata merupakan tindak pidana yang perlu diprioritaskan
pemberantasannya. Hal tersebut didasari oleh pemikiran bahwa korupsi
merupakan tindak kejahatan yang membawa kerugian bagi oran gbanyak dan
akibatnya sangat berpengaruh dalam strukutr masyarakat, sebagaimana
terkandung dalam konsep tentang korupsi yang dirumuskan masing-masing.
Akan tetapi, kerugian ini tidak selalu dirasakan masyarakat karena pelakunya
biasanya menggunakan beragam cara untuk menutupi hal tesebut. Pemberian
hadiah, tawaran kesempatan, melibatkan pihak ketiga yang dapat melakukan
intimidasi dilakukan pelaku untuk menutupi perbuatannya. Cara
penanggulangan korupsi harus holistik, mencakup tindakan preventif, represif
dan preemtif. Pembuatan aturan tidak cukup. Pemberantasan korupsi harus

21
melibatkan semua unsur dalam masyarakat. (Lidwina Inge M, Robertur De
Deo; Sugeng W, 2009: 73)

b. Rekruitmen Sumber Daya Aparatur Negara


Persoalan yang paling klasik dalam negara Indonesia ini adalah proses
rekruitmen bagi sumber daya aparat negara. Aparatur negara yang handal
merupakan jaminan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik.
Aparatur negara yang bernaung di bawah Korps Pegawai Republik
Indonesia (KORPRI) belum merupakan lingkaran kekuasaan pada saat proses
rekruitmen. Jalur karir mereka yang akan menentukan apakah mereka dianggap
mampu untuk masuk dalam kekuasaan. Namun sayang, sejak proses
rekruitmen sudah terjadi transaksi alias pungutan liar. Setelah masuk menjadi
aparat, penempatan di departemen atau divisi bahkan daerah juga sudah
terkontaminasi dengan transaksi (pungutan liar). Untuk menapaki jalur karir,
juga tidak terlepas dari transaksi (pungutan liar). Herannya, hampir semua
orang tidak akan keberatan melakukan hal-hal itu sepanjang memenuhi dan
terjamin keinginannya. Kondisi inilah yang menyebabkan istilah “setiap kursi
di pemerintahan ada harganya”. Dampak dari hal ini, semua urusan
administrasi akan berbeda harganya dari tarif yang sudah ditetapkan (regulasi).
Kita lihat dari hal yang sederhana, urusan KTP, Passpor, SIM, dan surat-surat
pengantar dari RT, Kelurahan, Kecamatan semua harus mengeluarkan biaya
ekstra.
Untuk mengatasi persoalan korupsi tersebut, perlu komitmen pimpinan
nasional seperti dilakukan pemerintah Singapura. Selain menegakkan hukum
dalam pemberantasan korupsi, perlu juga dilakukan perbaikan kualitas
(quality) melalui proses rekruitmen yang jelas dan terukur baik untuk
Legislatif, Eksekutif dan Judikatif. Setiap jabatan negara diberikan reward
bertaraf international. Singapura pada saat memberlakukan Program Anti

22
Korupsi, pemerintah menaikkan gaji pejabat publik setara dengan dua kali
pejabat di Amerika Serikat. Kenaikan gaji diberikan kepada yang profesional
bukan kepada jabatan (ex-officio).
Untuk mencegah merebaknya korupsi, harus dimulai dari hal-hal
sederhana di tingkat bawah seperti kelurahan. Harus ada jaminan bahwa dalam
pelayanan publik benar-benar tidak ada biaya ekstra di luar tarif yang
ditentukan. Pencantuman tarif juga dilakukan dengan kalkulasi yang sehat.
Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia.
Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan melalui
konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan
system tanggung gugat dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas
dengan batas-batas undang-undang, yang juga harus mendukung terciptanya
tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi.
Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan merupakan bagian dari
tata pemerintahan, yudikatip tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun
memiliki ruang kebebasan menegakan kedaulkatan hukum dan peraturan
dengan Demikian akan terbentuk lingkaran perbaikan yang memungkin
seluruh pihak untuk melalukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun,
konsep ini sangat mudah dituliskan atau dikatakan dari pada dilaksanakan.
Setidaknya dibutuhkan waktui yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar.
Bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugas yang efektif
dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai prilaku beresiko yang sangat
tinggi dengan hati yang sedikit. Kedua, hal yang paling sulit dan punda mental
dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun
kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan
sekedar kemauan para politis dan orang-orang yang berkecimbung dalam ranah
politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan
politik yang termanisfestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh
kecerdasan sasial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen
atau sastra social. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah
untuk memperkaya diri, namun sebagai tanggung jawabuntuk mengelola dan

23
bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa
dan bernegara yang baik. Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para
politis dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya
kecerdasan social politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi
dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek korupsi.
Masyarakat sipil yang cerdas secara social politik akan memilih
pimpinan (politis) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang
mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah
pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas
secara social politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat di awasi
sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi. Ketika kontrusi
integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasar social politik
masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan
efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk menciptakan ruang
pembangunan ekonomi yang potensial.
Edukasi anti korupsi juga perlu diprogramkan. Masa orde baru, hampir
semua pelajar mengetahui Pedomana Penghayatan Pengamalan Pancasial (P4).
Program ini merupakan pendekatan sosial yang sebetulnya berhasil. Namun
menjadi tidak efektif manakala kenyataan di lapangan bahwa masih terjadi
pungutan liar dan pembelian kursi baik dalam memasuki dunia kerja di
pemerintahan.
Program edukasi anti korupsi dengan mengacu pada program P4 bisa
dipertimbangkan. Namun prioritas bukan pada jam terbang mengikuti
penataran, tapi seberapa banyak kelompok yang dibangun dalam masyarakat
untuk memiliki komitmen tidak melakukan korupsi. Pembentukan kelompok
dalam masyarakat relatif lebih mudah dan biaya murah. Mereka dibangun
dalam satu kelompok dan dilakukan pembelajaran. Setelah mereka memahami
dan menjadi teladan dalam program itu, mereka diminta untuk membangun
kelompok yang baru. Membangun jaringan ini mudah dilakukan karena hampir
semua masyakarat sudah mengenal istilah multilevel marketing atua member
get member.

24
Untuk mendorong kegiatan tersebut, pemerintah dapat melakukan
kerjasama dengan dunia usaha dalam membangun kelompok dan jaringan
terutama untuk mendukung sarana dan prasarana edukasi.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas penulis mencoba untuk menyimpulkan bahqwa
untuk menanggulangi berbagai tipe kejahatan korupsi tersebut, syarat mutlak yang
harus dipenuhi adalah transparansi di segala bidang kehidupan Negara.
Transparansi ini dibutuhkan guna masyarakat dapat mengadakan social control
terhadap penyelenggaraan Negara dalam menjalankan fungsinya masing-masing.
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi
kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar
bagi negara dan masyarakat. Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan
di mana saja, menyentuh semua kalangan  di dalam masyarakat. Korupsi muncul
bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana
seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang
dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi
merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan
yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan  baik sebagai
kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi
(dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan
keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling
melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan
cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas
birokrasi publik. Selain itu untuk memberantas kejahatan korupsi yang sudah
membudaya di Indonesia, kita dapat belajar dari Amerika Serikat yang ketika
memberantas korupsi di negaranya melibatkan seluruh komponen Negara, baik
rakyat maupun pemerintahnya. Pemerintah di sini tidak hanya para petugas
hukum saja, melainkan para petugas Negara di luar aparat hukum dan tentunya

25
kesadaran hukum masyarakt yang sangat dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam
memberantas korupsi.

2. Saran

Adanya beberapa factor yang sangat mempengaruhi diri individu untuk


melakukan kejahatan: korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan
pentingnya tanggung jawab moral bagi mereka yang memiliki jabatan dan
kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang
muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung
jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan
menghentikan korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman
adalah metode yang mesti ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang
memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum


Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984.

D. Schaffmeister, N.Keijzer, E.PH. Sutorius diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy,


Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995.

J. Robert Lilly, Francis T. Cullen, Richard A. Ball, Criminological Theory Context


And Consequences, Sage Publications, London, 1995.

Lidwina Inge M, Robertur De Deo; Sugeng W, 2009, Kisah Orang Dalam: Sisi
Empirik Pemberantasan Korupsi; Dalam Antonius Cahyadi & Donny
Danardono (Ed.): Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia,

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Montesquieu, Membatasi Kekuasaan : Telaah Kritis Mengenai Jiwa Undang-


Undang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Petter Gottschalk, Categories of Financial Crime, 2010, Journal of Financial Crime,


Vol. 17. No. 4,

Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco, Bandung,
1992.

Romli Atmasasmita, Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual dalam Perspektif


Kriminologi Dan Victimologi, Dalam Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum
UII, Yogyakarta, 1995.

Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah, Kriminologi Suatu


Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, 2010, Kriminologi, Jakarta, Rajawali Pers,

W.J.S. Purwadarminta, Kamus BEsar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


1990.

27

Anda mungkin juga menyukai