Oleh :
NIM. 22041420320002
Pembimbing :
Dibacakan di:
BAGIAN / SMF NEUROLOGI
FK UNIVERSITAS DIPONEGORO / RSUP DR KARIADI
SEMARANG
TINJAUAN PUSTAKA
Oleh:
NIM. 22041420320002
Mengetahui:
dr. Hexanto Muhartomo, Sp.S(K), M.Kes dr. Maria Belladonna Rahmawati, Sp.S, M.Si.Med
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-
Nya, maka Tinjauan Pustaka ini dapat terselesaikan. Adapun Tinjauan Pustaka yang
akan saya sampaikan dengan judul: Terapi Latihan Pada Parkinson sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan tugas stase PPDS I Program Studi Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr Kariadi Semarang.
1. dr. Hexanto Muhartomo, Sp.S (K), M.Kes sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Penyakit Saraf FK UNDIP/RSUP dr. Kariadi Semarang yang telah memberikan
bimbingan serta tambahan ilmu pengetahuan selama stase.
2. dr. Aris Catur Bintoro, Sp.S (K) selaku Kepala KSM Ilmu Penyakit Saraf RSUP
Dr. Kariadi Semarang yang telah memberikan bimbingan serta tambahan ilmu
pengetahuan selama stase.
4. dr. Robby Tjandra, Sp.KFR sebagai pembimbing selama stase di bagian Ilmu
Penyakit Saraf FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Semarang.
5. Seluruh staf medis dan residen di Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNDIP/RSUP
Dr. Kariadi Semarang.
Saya menyadari bahwa tulisan ini kurang dari sempurna. Oleh karenanya, kritik dan
saran yang membangun saya terima dengan senang hati. Harapan saya semoga
tinjauan pustaka ini dapat berguna bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
2.1 Definisi.................................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi ......................................................................................... 2
2.3 Etiologi.................................................................................................. 2
2.4 Patofisiologi .......................................................................................... 3
2.5 Manifestasi klinis .................................................................................. 6
2.6 Klasifikasi ........................................................................................... 10
2.7 Diagnosis ............................................................................................ 11
2.8 Manajemen.......................................................................................... 13
BAB III TERAPI LATIHAN PADA PARKINSON............................................. 17
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan Skala Hoehn dan Yahr dengan Modifikasi Hoehn dan Yahn
............................................................................................................................... 12
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronik dan progresif,
yang umumnya muncul pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun dengan karakteristik gejala
yang khas meliputi bradikinesia, tremor saat istirahat, rigiditas dan instabilitas postur.(1)
Penyakit ini menempati urutan kedua sebagai penyakit neurodegeneratif yang paling sering
dijumpai setelah penyakit Alzheimer. Penyakit Parkinson mempengaruhi neuron-neuron
penghasil dopamin di area substansia nigra di dalam otak dan menimbulkan gejala yang
bervariasi, mulai dari gejala motorik, keluhan neuropsikiatrik, disfungsi otonom, gangguan tidur,
hingga kondisi demensia.(2)
Disabilitas dapat terjadi pada semua tingkatan penyakit Parkinson yang mengakibatkan
penurunan kemandirian, inaktivitas, masalah sosial dan penurunan kualitas hidup. Manajemen
penyakit Parkinson meliputi pemberian obat-obatan dengan levodopa sebagai terapi baku
emas(3) dan pendekatan pembedahan (Deep Brain Stimulation, DBS). Sebagian besar gejala
motorik memberikan respon yang baik terhadap terapi dopaminergik pada fase awal penyakit.
Namun, seiring dengan progresivitas penyakit yang terus berjalan, kompleksitas gejala motorik,
gangguan psikiatrik, dan gangguan kognitif akan terus semakin menonjol. Oleh karena itu,
rehabilitasi memiliki peran penting untuk mendukung terapi farmakologi ataupun terapi bedah
pada pasien Parkinson.(4)
Rehabilitasi pada penyakit Parkinson bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan
fungsional penderita Parkinson dan meminimalkan komplikasi sekunder.(5) Latihan yang
diberikan memiliki fokus untuk memperbaiki keseimbangan, postur, cara berjalan, fungsi
anggota gerak atas, kapasitas kemampuan fisik, meningkatkan kemampuan kogntif, dan
mencegah jatuh. Bila dilakukan secara komprehensif, program rehabilitasi pada penyakit
Parkinson dapat mengoptimalkan kemandirian pasien dan juga meningkatkan kualitas hidup
penderita Parkinson.(6)
1
BAB II
PENYAKIT PARKINSON
2.1 Definisi
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan erat dengan
usia, yang yang secara patologis ditandai oleh adanya degenerasi ganglia basalis terutama di
substansia nigra pars kompakta (SNC) (7). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh James
Parkinson pada tahun 1800 dan disebut sebagai “Shaking Palsy”(2). Sedangkan Parkinsonism
atau Sindroma Parkinson adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor saat istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibat penurunan dopamin dengan berbagai macam
sebab (7,8).
2.2 Epidemologi
Berdasarkan data dari Global Burden of Disease, Injuries, and Risk Factors Study (GBD)
2015, Parkinson merupakan penyakit dengan prevalensi, disabilitas dan kematian yang
peningkatannya paling cepat di antara penyakit neurologi lainnya. Sebuah studi analisis
sistematik menyebutkan bahwa terdapat 6,1 juta orang dengan penyakit Parkinson di seluruh
dunia pada tahun 2016. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 2,4 kali lipat dibandingkan
tahun 1990 di mana penderita Parkinson berjumlah 2,5 juta orang di seluruh dunia (9). Risiko
berkembangnya penyakit Parkinson dua kali lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita, akan
tetapi wanita memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dan progresivitas penyakit yang lebih
cepat (10).
Pada tahun 2002, WHO memperkirakan penyakit Parkinson di Indonesia menyerang
876.665 orang dari seluruh total penduduk yang berjumah 238.452.952. Berdasarkan hasil studi
di 6 negara Asia, yaitu China, India, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan Jepang, terdapat 2,57
juta penderita penyakit Parkinson pada tahun 2005. Jumlah ini diperkirakan akan terus
meningkat menjadi 6,17 juta orang pada tahun 2030 (11). Berdasarkan data WHO tahun 2018,
tingkat mortalitas penyakit Parkinson di Indonesia mencapai 0.25% dari total kematian dengan
rerata 2.92 per 100.000 penduduk (12).
2.3 Etiologi
Etiologi Penyakit Parkinson masih belum dapat diketahui secara pasti.Namun, beberapa
2
faktor risiko telah diidentifikasi berhubungan erat dengan terjadinya penyakit Parkinson,
yaitu:
a. Usia
Penyakit Parkinson meningkat pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia dibawah 30
tahun.
b. Genetik
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari penyakit Parkinson, secara garis besar dijelaskan menjadi 3
pendekatan teori, yaitu: (13,14)
a. Teori keseimbangan saraf dopaminergik dan saraf kolinergik
Selain menerima persarafan dopaminergik dari substansia nigra, striatum juga dipersarafi
oleh saraf kolinergik dengan asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Fungsi motorik
korteks yang terjadi ditentukan oleh keseimbangan kedua saraf tersebut. Bila kerja saraf
dopaminergic meningkat dan atau kerja saraf kolinergik menurun, maka saraf
dopaminergik akan dominan sehingga timbul gejala hiperkinesia. Sebaliknya, bila kerja
saraf dopaminergik menurun dan atau kerja saraf kolinergik meningkat maka akan terjadi
dominasi saraf kolinergik yang menimbulkan hipokinesia.
b. Teori ketidakseimbangan jalur langsung dan jalur tidak langsung
Dalam kondisi fisiologis normal, pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan
merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada di dendrit
output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus palidus segmen interna atau
substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur langsung pada reseptor D1 dan
3
jalur tidak langsung pada reseptor D2. Bila kedua jalur ini seimbang, maka gerakan dapat
terkontrol dengan baik (Gambar 1).
Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi atau kerusakan pada substansia nigra
pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak muncul rangsangan
terhadap reseptor D1 maupun D2. Bila reseptor D1 eksitatorik tidak terangsang maka jalur
langsung yang mengaktifkan neurotransmiter GABA sebagai inhibitorik gerakan tidak
dapat teraktivasi. Sedangkan bila reseptor D2 inhibitorik tidak terangsang, jalur tidak
langsung dari putamen ke globus palidus segmen eksterna GABAergik tidak akan ada yang
menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna
berlebihan (Gambar 2). Kondisi ini akan menyebabkan penderita Parkinson sulit untuk
menginisiasi gerakan.
4
Gambar 2 Patofisiologi penyakit Parkinson (15)
c. Degenerasi substansia nigra
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama penyakit Parkinson adalah
proses degenerasi dari kelompok inti di substansia nigra. Degenerasi substansia nigra pada
penyakit parkinson ditandai dengan peningkatan jumlah radikal bebas dan berkurangnya
bahan antioksidan di dalam sel.
5
Gambar 3. Degenerasi substansia nigra (16)
Pada awalnya penderita Parkinson memiliki gejala non spesifik (pre-motor) sebelum
muncul gejala motoric. Gejala non-spesifik tersebut seperti kelemahan, kekakuan, pegal-
pegal atau kram otot, distonia fokal, gangguan keterampilan, kegelisahan, gangguan
sensorik (parestesia) dan gejala psikiatrik (kecemasan atau depresi). Setelah lebih dari 50%
sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%, gejala sindrom Parkinson mulai
muncul. Tanda dan gejala utama penyakit Parkinson meliputi gejala motoric dan gejala
non-motorik. Gejala motoric utama penderita Parkinson antara lain: (17,18)
a. Tremor
Tremor biasanya dimulai dari bagian distal berupa gerakan oposisi berulang ibu jari dan
telunjuk yang bersifat ritmis, kasar dengan frekuensi3-5 x/detik (tremor pill rolling).
Tremor timbul saat istirahat (resting tremor) dan bertahan pada posisi tertentu. Tremor
di lengan akan bertambah hebat saat penderita Parkinson sedang berjalan, mengalami
stres, atau dalam kondisi cemas. Semakin lama, tremor akan menuju ke arah proksimal
lengan dan mulai melibatkan tungkai hingga pada akhirnya ke sisi kontralateral dan
mengenai wajah.
b. Rigiditas / kekakuan
6
Rigiditas terjadi karena peningkatan tonus otot mengenai semua kelompok otot-otot
aksial dan tungkai, baik fleksor maupun ekstensor. Saat digerakkan secara pasif, tahanan
otot akan terasa pada seluruh lingkup gerap baik saat fleksi maupun ekstensi. Tahanan
dapat dirasakan mulus (lead pipe) atau terputus-putus (cogwheel phenomenon).
Rigiditas yang terjadi pada kedua tungkai mengakibatkan penderita Parkinson memiliki
cara berjalan tampak seperti diseret.
c. Bradikinesia (18)
Penderita Parkinson akan mengalami gerakan volunter yang menjadi lambat sehingga
gerak asosiatif menjadi berkurang misalnya: sulit bangun dari kursi, sulit mulai berjalan,
lambat saat mengambil suatu obyek, dan gerak bibir serta lidah juga menjadi lambat.
Bradikinesia juga menyebabkan berkurangnya ekspresi muka atau mimik wajah
sehingga wajah menyerupai topeng. Kedipan mata berkurang dan kemampuan menelan
ludah juga berkurang sehingga ludah keluar dari mulut (drooling).
Dysautonomia yang sering muncul antara lain keluar keringat berlebihan, air ludah
berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia uri, hipotensi ortostatik, kulit
berminyak dan infeksi kulit seboroik, serta melemahnya hasrat seksual. Pada organ
gastrointestinal, gejala dapat berupa sembelit, disfagia, mual, muntah, buang air
besar tidak lampias atau inkontinensia alvi.
b. Sikap Parkinson
c. Bicara
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan bibir
mengakibatkan cara bicara atau pengucapan kata-kata yang monoton dengan
volume yang kecil.
Selain gejala motorik, disfungsi kognitif sering dijumpai pada penderita Penyakit
Parkinson (sebanyak 25%), yang sering disebut sebagai Mild Cognitive Impairment
(MCI). Diagnosis MCI pada penyakit Parkinson dibuat berdasarkan kriteria Petersen
yang meliputi penurunan kemampuan kognitif secara bertahap, defisit kognitif pada
test neuropsikologis formal, dan defisit kognitif yang tidak begitu mengganggu
8
kemandirian fungsional tetapi menimbulkan kesulitan pada saat mengerjakan tugas
fungsional yang kompleks. Selanjutnya, MCI pada Penyakit Parkinson dapat
berkembang menjadi demensia, dengan ciri penurunan gejala kognitif yang
melibatkan minimal pada 2 domain, yaitu memori dan fungsi eksekutif. Kondisi ini
dapat mengganggu aktivitas kegiatan sehari-hari. Pemeriksaan neuropsikologi untuk
penyakit Parkinson demensia dapat dilakukan mengguanakan beberapa skala antara
lain: Scopa-COG, Parkinson Disease-Cognitif Rating Scale (PD- CRS), dan
Parkinson Neuropsychometric Demensia Assessment (PANDA).
g. Disfagia
Secara klinis, disfagia pada penyakit Parkinson muncul pada tahap akhir penyakit.
Lebih dari 50% pasien Parkinson memiliki masalah disfagia orofaring dengan gejala
kesulitan menelan, termasuk ketidakmampuan untuk mengenali makanan,
kesukaran meletakkan makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk mengontrol
makanan dan air liur di dalam mulut, kesulitan untuk mulai menelan, batuk dan
tersedak saat menelan, perubahan suara (suara basah), dan regurgitasi nasal. Keluhan
disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau stres yang berat.
Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.
9
2.6 Klasifikasi
1. Idiopatik (primer)
• Penyakit Parkinson
• Juvenile Parkinsonism
2. Simtomatik
• Infeksi dan pasca infeksi
• Pasca-ensefalitis (ensefalitis letargika)
• Toksin: 1-methyl-4-phennyl-1,2,3,6-trihydoxypyridine (MPTP), CO, Mn,
Mg,CS2, metanol, etanol, sianid
• Obat: neuroleptik (antipsikotik), antiemetik, reserpin, tetrabenazine, alfa-
metil-dopa, lithium, flunarisin, sinarisin.
• Vaskular: Multiinfark serebral.
• Trauma kranioserebral (Pugilistic encephalopathy)
• Lain-lain : hipoparatiroid, degenerasi hepatoserebral, tumor otak,
siringomielia
3. Parkinsonism plus (multiple system degeneration)
• Progresif supranuklear palsi
• Atrofi multi sistem : degenerasi striatonigral, sindroma Shy-Drager,
degenerasiolivopontosereberal, sindroma Parkinsonism-amiotrofi
• Degenerasi ganglionik kortikobasal
• Sindroma Demensia : kompleks parkinsonism-dementia-ALS
(Guam),penyakit Lewy bodies difus, penyakit jacob Creutzfeldt, penyakit
Alzheimer.
10
4. Penyakit heredodegeneratif:
• Seroid-lipofusinosis
• Penyakit Gerstmann-Strausler-Scheinker
• Penyakit Hallervorden-Spatz
• Penyakit Huntington
• Lubag (Filipino X-linked dystonia-parkinson)
• Penyakit Machado-Joseph
• Nekrosis striatal dan sitopati mitokhondria (mitochondrial cytopathies
with striatal necrosis)
• Neuroakantosis
• Atrofi familial olivopontoserebelar
• Sindroma talamik demensia
• Penyakit Wilson
11
alis), pasien Parkinson akan memiliki sensitifitas yang berlebihan sehingga selalu
berkedip setiap kali ketukan dilakukan.
Tabel 1 Perbandingan Skala Hoehn dan Yahr dengan Modifikasi Hoehn dan
Yahr.(22)
Stadium Skala Hoehn dan Yahr (1967) Stadium Modifikasi Skala Hoehn dan Yahr
1 Gejala unilateral dengan 1 Gejala unilateral
disabilitas minimal atau tanpa
disabilitas
1.5 Gejala unilateral dan ada
- -
keterlibatan aksial
2 Gejala bilateral atau tepat di 2 Gejala bilateral tanpa gangguan
tengah tanpa gangguan keseimbangan
keseimbangan
2.5 Gejala bilateral ringan hingga
- -
sedang dengan perbaikan pada
pull test
3 Gejala bilateral, disabilitas 3 Gejala bilateral ringan hingga
ringan hingga sedang disertai sedang, terdapat instabilitas
gangguan reflex postural, postural, tetapi masih mandiri
tetapi masih mandiri
4 Disabilitas berat, tetapi masih 4 Disabilitas berat, tetapi masih
dapat berdiri atau berjalan dapat berdiri atau berjalan tanpa
tanpa dibantu dibantu
5 Hanya dapat di tempat tidur 5 Hanya dapat di tempat tidur atau
atau kursi roda kecuali dibantu kursi roda kecuali dibantu
2.8 Manajemen
a. Levodopa
Levodopa adalah standar baku emas untuk pengobatan penyakit Parkinson ketika
gejala motorik berdampak pada kualitas hidup. Namun, setelah 7-10 tahun perjalanan
13
penyakit, respon levodopa dapat berfluktuasi sehingga kurang efektif dalam
mengendalikan gejala motorik. Di dalam otak levodopa akan diubah menjadi dopamin
pada neuron dopaminergik oleh L-aromatik asam amino dekarboksilase (dopa
dekarboksilase). Meskipun demikian, hanya 1-5% dari L-Dopa memasuki neuron
dopaminergik, sisanya akan dimetabolisme di tempat lain sehingga mengakibatkan efek
samping yang luas. Efek samping levodopa dapat berupa: mual, muntah, distress
abdominal, hipotensi postural, dan aritmia jantung terutama pada penderita Parkinson usia
lanjut.
b. Antikolinergik
Ada dua preparat antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit Parkinson,
yaitu thrihexyphenidyl (artane) dan benztropin (congentin). Obat ini menghambat sistem
kolinergik di ganglia basal dan aksi asetilkolin otak sehingga dapat membantu mengoreksi
keseimbangan antara dopamin dan asetilkolin untuk mengurangi gejala tremor. Preparat
lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah biperidon (akineton), orphenadrine
(disipal) dan procyclidine (kamadrin). Efek samping dari antikolinergik yaitu mulut
kering dan pandangan kabur. Sebaiknya obat jenis ini tidak diberikan pada penderita
penyakit Parkinson usia diatas 70 tahun, karena dapat menyebabkan penurunan daya
ingat.
d. Amantadin
14
kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamin. Efek samping dari obat ini yaitu
mengakibatkan mengantuk.
Obat ini berfungsi menghambat degradasi dopamin oleh enzim COMT dan
memperbaiki transfer levodopa ke otak dan dapat dipakai sebagai kombinasi dengan
levodopa saat efektivitas levodopa mulai menurun. COMT inhibitor dapat memperbaiki
fenomena on-off dan memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari.
DBS adalah prosedur pembedahan paling umum untuk memperbaiki gejala motorik
penyakit Parkinson dengan cara memasukkan elektroda yang memancarkan impuls listrik
frekuensi tinggi terus- menerus ke dalam otak. Tindakan minimal invasif ini dioperasikan
melalui panduan komputer untuk mencangkokkan neurostimulator pada wilayah target di
dalam otak yang terlibat dalam pengendalian gerakan. DBS dapat mengurangi terjadinya
episode "off" yang biasanya terjadi pada stadium lanjut penyakit Parkinson. Dua target
paling umum untuk DBS yaiti nucleus subtalamikus (STN) dan globus palidus interna
(GPi). Selain kedua target ini, beberapa penelitian mencoba menargetkan DBS ada
nukleus pedunculopontine dan hasilnya intervensi ini dapat memperbaiki ketidakstabilan
gaya berjalan dan gejala freezing gait.
Intervensi ini digunakan untuk mengobati tremor dan dilakukan pada penderita
Parkinson yang kontraindikatif terhadap DBS.
Baru-baru ini penggunaan talamotomi FUS untuk tremor mulai banyak diminati
karena tidak memerlukan kraniotomi dan intervensi bedah ke dalam otak. Talamotomi
FUS berhasil digunakan untuk meredakan tremor pada penderita penyakit Parkinson dan
subtalamotomi FUS dilakukan untuk gejala penyakit Parkinson yang asimetris. Namun,
prosedur ini memiliki kekuarangan yaitu tidak efektif untuk proses penyakit Parkinson
yang bersifat bilateral.
15
2.8.3 Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik pada penyakit Parkinson merupakan sebuah manajemen yang
penting untuk mendukung terapi farmakologi ataupun terapi intervensi yang telah
dijalani oleh pasien Parkinson. Program rehabilitasi yang diberikan mengacu pada
gangguan (impairment) apa saja yang ditemukan pada penderita penyakit Parkinson.
Gangguan yang dapat muncul pada penyakit Parkinson yaitu:(13)
a. ganggguan motorik, meliputi bradikinesia, rigiditas, instabilitas postural, tremor,
gangguan cara berjalan, serta inisiasi dan eksekusi gerakan
b. ganggguan sensorik, dapat berupa rasa nyeri
c. disfungsi otonom, misalnya hipotensi ortosatik
d. gangguan kognitif, misalnya kesulitan beralih dari satu tugas ke tugas yang lain
e. gangguan perilaku, seperti muncul kecemasan, depresi, dan bahkan muncu tanda
psikotik seperti halusinasi
f. gangguan gastrointestinal mulai dari disfagia hingga konstipasi
g. disfungsi berkemih
h. disfungsi seksual.
Program rehabilitasi medik yang diberikan untuk mengatasi gangguan gejala
motorik yang muncul pada penderita Parkinson dapat berupa fisioterapi / terapi latihan
yang dapat dikombinasikan dengan terapi okupasi dan penggunaan ortosis.
16
BAB III
TERAPI LATIHAN PADA PARKINSON
18
Pasien duduk tegak di atas bola kemudian bungkukkan badan ke depan, ke samping
kanan dan ke samping kiri masing-masing tahan selama 5 detik. Saat badan
dibungkukkan ke satu sisi, posisikan kedua tangan sejajar menyentuh lantai sesuai
arah badan. Ulangi sebanyak 5 kali. Gerakan ini berfungsi untuk melenturkan otot
punggung, mencegah kekakuan pada punggung dan panggul serta membuat gerakan
lebih fleksibel.
g. Peregangan otot dada
Peregangan otot dada dilakukan untuk meningkatkan ekspansi rongga dada sehingga
perfusi oksigen dapat berlangsung lebih baik. Caranya dilakukan dengan posisi
pasien berlutut dengan bola di depan badan. Kemudian dorong bola ke depan dengan
kedua tangan. Dorong hingga tulang punggung dan tangan dalam posisi lurus.
3.2 Latihan resistensi dan penguatan otot
Dalam dua dekade terakhir, olahraga, seperti latihan ketahanan, terbukti
bermanfaat untuk perbaikan tanda dan gejala motorik dan non motorik dengan cara
meningkatkan kekuatan otot dan memberikan efek neuroprotektif pada penderita
penyakit Parkinson. Mekanisme ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan respirasi
mitokondria dan neuroplastisitas yang meningkatkan perekrutan unit motorik dan
menghasilkan aktivasi selektif otot.(30) Namun, belum ada konsensus tentang parameter
resep pelatihan yang khusus untuk penyakit Parkinson.(31)
Beberapa studi menunjukkan bahwa latihan resistensi intensitas rendah (2 kali
seminggu selama 12 minggu) hingga sedang (2-3 kali seminggu selama 8-10 minggu)
cukup efektif bagi penderita penyakit Parkinson stadium ringan hingga sedang. Latihan
ini dapat meningkatkan kekuatan otot, keseimbangan, memperbaiki gejala motorik dan
memperbaiki kualitas hidup.
Secara umum, gerakan latihan resistensi dan penguatan otot pada penderita
penyakit Parkinson mirip dengan latihan terapi pada penyakit lainnya. Namun, yang
sedikit membedakan yaitu latihan penguatan otot difokuskan pada penguatan otot
punggung, otot ekstensor leher, otot pinggul, dan otot perut untuk menstimulasi postur
yang lebih tegak. Selain itu, penguatan dan peregangan otot fleksor batang tubuh, paha
belakang (hamstring), dan tumit juga diperlukan untuk dapat meningkatkan
keseimbangan postur.
Latihan penguatan otot dapat juga dilakukan dengan senam Parkinson yang
memiliki gerakan khusus untuk menguatkan kerja otot, membangun keseimbangan
tubuh, dan meningkatkan kesiagaan tubuh atau body awareness sehingga pasien
19
Parkinson memiliki refleks menahan saat akan terjatuh. Gerakan senam Parkinson
simultan berkesinambungan seperti menari dan dalam pola gerakan yang lambat dan
berulang. Senam Parkinson dapat dilakukan maksimal lima kali seminggu dengan jeda
istirahat total selama dua hari untuk proses pemulihan otot-otot yang telah dilenturkan.(3)
Gerakan yang dapat dilakukan untuk penguatan otot meliputi:
a. Penguatan otot pelvis
i. Pasien diminita untuk duduk tegak di atas bola besar dengan kedua kaki sedikit
terbuka selama 10 detik kemudian rileks dan diulangi sebanyak 10x. Hal ini
ditujukan untuk memfiksasi panggul supaya tidak mudah jatuh.
ii. Pada saat posisi duduk tegak di atas bola, sangga badan dengan kedua tangan
kemudian gerakkan bola dengan pantat ke kanan sedangkan badan digerakkan ke
kiri (arah berlawanan). Ulangi 10 kali kemudian lanjutkan dengan mengganti dari
sisi kiri. Gerakan ini untuk melatih sendi panggul dan otot-ototnya agar siap
menghadapi perubahan posisi.
b. Penguatan otot pinggang, perut, dan paha
i. Posisi berdiri tegak dengan bola di belakang punggung kemudian turunkan bola
dengan menggunakan tubuh bagian belakang. Turunkan hingga posisi kaki
menekuk 90 derajat seperti mau duduk. Saat posisi turun tahan 5 detik kemudian
naik ke posisi semula dan ulangi lagi sebanyak 10 kali.
ii. Duduk tegak di atas bola dan angkat satu kaki ke depan hingga lurus sejajar paha,
tahan 5 detik kemudian ganti dengan sisi kaki yang lain. Ulangi sebanyak 10x.
3.3 Latihan Aerobik (32,33)
Selain untuk meningkatkan kebugaran dan kapasitas fungsional, latihan aerobik
juga dapat mengurangi inflamasi, menurunkan stress oksidatif dan menstabilkan
homeostasis tubuh. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tikus, menunjukkan bahwa
latihan aerobik dapat memicu perubahan plastisitas otak, termasuk sinaptogenesis,
peningkatan utilisasi glukosa, angiogenesis dan neurogenesis. Penelitian lain
menunjukkan bahwa latihan aerobik juga dapat memperbaiki keseimbangan, gaya
berjalan, fungsi fisik dan kualitas hidup penderita penyakit Parkinson.
Hingga saat ini belum ada latihan aerobik yang spesifik untuk penderita penyakit
Parkinson. Namun, prinsip latihan aerobik pada penderita penyakit Parkinson bukanlah
intensitas latihan yang tinggi, tetapi pola atau ritme yang berulang. Selain itu, latihan
yang dilakukan harus mempertimbangkan faktor keamanan bagi penderita penyakit
Parkinson yang mengalami gangguan postur, keseimbangan, dan mudah jatuh. Sebagai
20
contoh latihan aerobik menggunakan treadmill harus dilengkapi dengan tali pengaman
yang melekat ke badan untuk menyokong berat badan (Gambar 4). Selain treadmill
latihan aerobik juga dapat menggunakan sepeda statis atau berjalan dengan alat bantu
yang sesuai.
21
Pasien berdiri dengan tumpuan setinggi 10 cm, lalu terapis menggerakkan badan pasien
ke depan, belakang, samping kanan dan samping kiri sambil pasien diminta untuk
menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh.
Latihan koordinasi dilakukan untuk meningkatkan koordinasi tubuh. Latihan ini dapat
dilakukan dengan cara:
a. Latihan koordinasi mata tangan
i. Gerakan pertama: pasien diminta saling menyatukan kelima ujung jari
tangannya.
ii. Gerakan kedua: pasien diminta untuk menyentuh ujung hidungnya dengan
jari telunjuk kemudian ke jari tangan terapis.
iii. Gerakan ketiga: pasien duduk dengan kedua lengan ke depan (fleksi sendi
bahu 90ᵒ) sehingga ke dua jari telunjuk pasien dan terapis saling
bersentuhan, lalu pasien diminta untuk mengikuti gerakan tangan terapis
dengan jari tangan masih saling bersentuhan selama gerakan.
b. Frenkel’s exercise(35)
Frenkel’s exercise merupakan suatu bentuk latihan koordinasi yang didesain
untuk membantu mengkompensasi ketidakmampuan dari lengan dan tungkai
untuk melakukan gerakan yang terkoordinasi saat terjadi gangguan
propiosepsi. Pada mulanya latihan ini diberikan pada pasien ataksia yang
mengalami gangguan koordinasi dengan prinsip latihan meliputi repetisi,
presisi, konsentrasi, progresi, dan kecepatan. Oleh karena itu, latihan ini
banyak digunakan pada penderita penyakit Parkinson. Gerakan latihan yang
dilakukan meliputi :
i. Posisi tidur terlentang
Posisi awal tidur terlentang dengan posisi kepala lebih tinggi disangga
bantal supaya pasien dapat melihat dengan jelas setiap gerakan yang
dilakukan.
• Gerakan heel slide: tekuk lutut pertahan dengan menggeser tumit di
sepanjang tempat tidur kemudia luruskan kembali keposisi awal. Ulangi
gerakan pada tungkai yang lain.
• Lakukan heel slide kemudian geser ke samping, kembali ketengah
kemudian luruskan tungkai kembali ke posisi awal. Ulangi gerakan pada
tungkai yang lain.
22
• Tekuk lutut kemudian letakkan tumit pada lutut tungkai yang lain,
kemudian geser kebawah sepanjang tulang kering kearah pergelangan kaki
dan kembali keatas kearah lutut, kembali keposisi awal. Ulangi pada tungkai
yang lainnya.
• Lakukan heel slide kedua kaki secara bersamaan dengan posisi kedua
tungkai rapat.
23
Posisi awal pasien berdiri tegak dengan jarak kedua kaki 10- 15cm,
kemudian melakukan gerakan:
• Latihan transfer beban dari sisi tubuh yang sat uke sisi tubuh yang lain.
- Hitungan pertama: pindahkan berat badan pada kaki kiri
- Hitungan kedua: letakkan kaki kanan 30cm ke kanan
- Hitungan ketiga: pindahkan berat badan kekaki kanan.
- Hitungan keempat: Angkat kaki kiri melewati kaki kanan.
- Ulangi pada tungkai yang lainnya.
• Berjalan lurus ke depan mengikuti garis / pola yang dibuat.
• Berjalan ke samping mengikuti garis yang dibuat
• Berjalan naik dan turun tangga.
3.5 Latihan Berjalan(36)
Fokus latihan berjalan tidak pada kecepatan berjalan, tetapi kepada besar langkah
pasien di mana pasien Parkinson harus berusaha mempertahankan jarak langkah yang
sama setiap berjalan. Untuk memfasilitasi pola berjalan yang lebih baik dan mengatasi
kekakuan, pasien dengan penyakit Parkinson dapat menggunakan strategi kompensatorik
yang dikenal sebagai isyarat atensi atau attentional cues. Isyarat ini meningkatkan
kesadaran pasien dalam berjalan sehingga mengesampingkan gerakan yang otomatis
misal dengan membayangkan bahwa dirinya melangkahi suatu objek atau berjalan
mengikuti irama musik untuk meningkatkan kecepatan dan panjang jarak langkah.
Selain itu, penggunaan alat bantu berjalan / ortosis juga dapat digunakan untuk
latihan berjalan. Ortosis yang dipilih disesuaikan dengan kelainan gaya berjalan yang
dominan pada penderita penyakit Parkinson. Tongkat atau alat bantu jalan lainnya dapat
memberikan stabilitas dan mengoptimalkan gaya berjalan yang alami dan halus. Walker
adalah alat bantu berjalan yang paling sering digunakan pada penderita penyakit
Parkinson tahap lanjut. Alat bantu ini dapat dimodifikasi dengan memberikan sinar laser
yang menonjol di bagian tengah untuk membimbing langkah pasien Parkinson. Stimulasi
visual ini terbukti dapat menjadi isyarat bagi penderita penyakit Parkinson untuk dapat
membantu mengatasi gejala freezing.
3.6 Terapi Akuatik(37)
Terapi akuatik adalah terapi fisik yang menggunakan air sebagai media terapinya
dengan memanfaatkan sifat air yang meliputi konduktivitas, daya apung, resistensi, dan
tekanan hidrostatik untuk meningkatkan efektivitas terapi latihan. Daya apung dapat
digunakan untuk melatih otot, keseimbangan dan memperbaiki postur pasien Parkinson.
24
Selain itu daya apung juga dapat meringankan kerja sendi akibat berkurangnya berat
badan pasien, sehingga mobiltas pasien dapat meningkat.
Resistensi air dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
dalam melakukan gerakan. Perubahan kecepatan, arah gerakan air dan kecepatan gerakan
pasien, dapat mengubah efek klinis latihan di air. Apabila pasien bergerak lebih cepat ke
arah berlawanan dengan arah air maka resistensi yang dialami pasien akan lebih besar
sehingga efek penguatan otot akan lebih besar pula. Intensitas latihan dapat dinaikkan
bertahap dengan memodifikasi kecepatan gerak air dalam kolam atau dengan mengubah
kecepatan gerak pasien saat latihan. Arus air juga dapat dibuat menjadi searah dengan
gerakan pasien sehingga resistensi air dapat berkurang. Hal ini bermanfaat untuk
membantu melatih gerakan pada otot yang lemah.
Efek fisiologis dan efek klinis tekanan hidrostatik air bervariasi sesuai dengan
posisi pasien. Efek paling besar akan terjadi pada posisi berdiri. Tekanan hidrostatik
dapat meningkatkan aliran darah otot yang diam sekitar 100%-225% selama perendaman
tubuh hingga setinggi leher. Hal ini terjadi karena adanya penurunan vasokonstriksi
perifer atau peningkatan aliran darah balik yang dihasilkan dari kompresi eksternal air.
Dengan adanya peningkatan aliran darah, suplai oksigen akan meningka sehingga dapat
meningkatkan performa otot.
Selain bermanfaat langsung untuk kondisi fisik, terapi akuatik juga memiliki
manfaat terhadap kondisi psikologis pasien. Suhu yang hangat dapat memberikan kondisi
rileks sedangkan suhu dingin akan terasa menyegarkan. Terapi akuatik yang dilakukan
dalam kelompok juga memberikan dukungan psikologis yang positif bagi penderita
penyakit Parkinson. Meskipun demikian, belum ada yang merumuskan bentuk latihan
akuatik yang spesifik bagi penderita penyakit Parkinson.
3.7 Edukasi dan Latihan di Rumah(38)
Program latihan di rumah dapat dilakukan oleh keluarga dan penderita penyakit
Parkinson untuk menunjang pemulihan kemampuan gerak dan fungsi motorik yang lebih
baik. Belum ada program latihan di rumah yang spesifik untuk penderita penyakit
Parkinson, meskipun demikian home programme pada umumnya dapat diberikan pada
penderita penyakit Parkinson. Program yang dianjurkan meliputi:
a. Mengatur posisi tubuh yang tepat di tempat tidur
Pada umumnya penderita penyakit Parkinson akan mengalami imobilisasi karena
menurunnya kemampuan mobilisasi, ambulasi, dan fungsional. Pengaturan posisi
yang tepat di tempat tidur dapat mengurangi terjadinya komplikasi yang tidak
25
diharapkan, seperti trombosis vena, dekubitus, kontraktur otot, kekakuan sendi, dan
pneumonia. Mengelevasikan tungkai dapat mencegah timbulnya DVT. Penggunaan
Kasur dekubitus dan alih baring setiap 2 jam direkomendasikan untuk mencegah
munculnya ulkus decubitus.
b. Pijatan pada Lengan
Pijatan yang diberikan pada penderita Parkinson bertujuan untuk meningkatkan
sirkulasi darah lokal pada area yang dipijat. Pada area lengan pijatan dapat diberikan
dari arah distal ke proksimal.
c. Latihan Mandiri (self exercise)
Penderita Parkinson dianjurkan untuk melakukan latihan mandiri untuk membantu
proses pembelajaran motorik. Setiap gerakan dilakukan secara perlahan dan
berkelanjutan dan anggota gerak yang mengalami gangguan ikut aktif melakukan
gerakan seoptimal mungkin.
d. Latihan Fungsional Tangan
Salah satu gejala khas penderita penyakit Parkinson yaitu tremor tangan pada saat
istirahat. Latihan fungsional tangan dapat berupa:
• Membuka tangan.
• Menutup jari-jari untuk menggenggam objek.
• Menggeser engsel kunci pintu atau lemari.
• Membuka menutup kran air
• Membuka dan mengancingkan baju, dan lain sebagainya.
e. Latihan pada Wajah dan Mulut
Salah satu masalah yang sering muncul pada penderita penyakit Parkinson yaitu
menurunnya kemampuan bicara dan ekspresi wajah. Oleh karena itu, pasien diminta
untuk melakukan latihan pada wajah dan mulut antara lain dengan latihan tersenyum,
memembentuk bibir menjadi huruf “O”, mengerutkan dahi, dan lain sebagainya.
26
BAB IV
SIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
30