Anda di halaman 1dari 36

Referat Neurologi

Terapi Latihan Pada Parkinson

Oleh :

dr. Nura Eky Vikawati

NIM. 22041420320002

Pembimbing :

dr. Maria Belladonna Rahmawati, Sp.S, M.Si.Med

Dibacakan di:
BAGIAN / SMF NEUROLOGI
FK UNIVERSITAS DIPONEGORO / RSUP DR KARIADI
SEMARANG

PROGRAM STUDI / SMF


ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

TINJAUAN PUSTAKA

REFERAT STASE NEUROLOGI

Terapi Latihan Pada Parkinson

Oleh:

Nura Eky Vikawati

NIM. 22041420320002

Telah dibacakan pada tanggal ................................... 2022, untuk memenuhi


salah satu tugas selama stase Program Pendidikan Dokter Spesialis I Program
Studi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Mengetahui:

Ketua Program Studi PPDS I Pembimbing,

dr. Hexanto Muhartomo, Sp.S(K), M.Kes dr. Maria Belladonna Rahmawati, Sp.S, M.Si.Med
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-
Nya, maka Tinjauan Pustaka ini dapat terselesaikan. Adapun Tinjauan Pustaka yang
akan saya sampaikan dengan judul: Terapi Latihan Pada Parkinson sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan tugas stase PPDS I Program Studi Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr Kariadi Semarang.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan


terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan dan fasilitas stase, serta
bimbingan dan tambahan ilmu selama stase, kepada:

1. dr. Hexanto Muhartomo, Sp.S (K), M.Kes sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Penyakit Saraf FK UNDIP/RSUP dr. Kariadi Semarang yang telah memberikan
bimbingan serta tambahan ilmu pengetahuan selama stase.

2. dr. Aris Catur Bintoro, Sp.S (K) selaku Kepala KSM Ilmu Penyakit Saraf RSUP
Dr. Kariadi Semarang yang telah memberikan bimbingan serta tambahan ilmu
pengetahuan selama stase.

3. dr. Maria Belladonna Rahmawati, Sp.S, M.Si.Med selaku pembimbing Tinjauan


Pustaka selama stase di bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang.

4. dr. Robby Tjandra, Sp.KFR sebagai pembimbing selama stase di bagian Ilmu
Penyakit Saraf FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Semarang.

5. Seluruh staf medis dan residen di Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNDIP/RSUP
Dr. Kariadi Semarang.

Saya menyadari bahwa tulisan ini kurang dari sempurna. Oleh karenanya, kritik dan
saran yang membangun saya terima dengan senang hati. Harapan saya semoga
tinjauan pustaka ini dapat berguna bagi pembaca.

Semarang, Maret 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2

2.1 Definisi.................................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi ......................................................................................... 2
2.3 Etiologi.................................................................................................. 2
2.4 Patofisiologi .......................................................................................... 3
2.5 Manifestasi klinis .................................................................................. 6
2.6 Klasifikasi ........................................................................................... 10
2.7 Diagnosis ............................................................................................ 11
2.8 Manajemen.......................................................................................... 13
BAB III TERAPI LATIHAN PADA PARKINSON............................................. 17

3.1. Latihan lingkup gerak sendi dan peregangan otot ............................. 17


3.2. Latihan resistensi dan penguatan otot ................................................. 19
3.3. Latihan aerobik ................................................................................... 20
3.4. Latihan keseimbangan, koordinasi dan kelincahan ............................ 21
3.5. Latihan berjalan .................................................................................. 24
3.6. Terapi akuatik ..................................................................................... 24
3.7. Edukasi dan latihan di rumah.............................................................. 25
BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 28

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Skala Hoehn dan Yahr dengan Modifikasi Hoehn dan Yahn
............................................................................................................................... 12

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kontrol gerakan motorik volunter yang normal ..................................... 4

Gambar 2 Patofisiologi penyakit Parkinson ............................................................ 5

Gambar 3 Degenerasi substansia nigra .................................................................... 6

Gambar 4 Sikap dan gejala pada penyakit Parkinson .............................................. 8

Gambar 5 Treadmill yang dilengkapi tali pengaman............................................. 21

Gambar 6 Heel slide tungkai pada Frenkel exercise.............................................. 23

Gambar 7 Latihan koordinasi ekstremitas bawah pada Frenkel exercise .............. 23

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronik dan progresif,
yang umumnya muncul pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun dengan karakteristik gejala
yang khas meliputi bradikinesia, tremor saat istirahat, rigiditas dan instabilitas postur.(1)
Penyakit ini menempati urutan kedua sebagai penyakit neurodegeneratif yang paling sering
dijumpai setelah penyakit Alzheimer. Penyakit Parkinson mempengaruhi neuron-neuron
penghasil dopamin di area substansia nigra di dalam otak dan menimbulkan gejala yang
bervariasi, mulai dari gejala motorik, keluhan neuropsikiatrik, disfungsi otonom, gangguan tidur,
hingga kondisi demensia.(2)
Disabilitas dapat terjadi pada semua tingkatan penyakit Parkinson yang mengakibatkan
penurunan kemandirian, inaktivitas, masalah sosial dan penurunan kualitas hidup. Manajemen
penyakit Parkinson meliputi pemberian obat-obatan dengan levodopa sebagai terapi baku
emas(3) dan pendekatan pembedahan (Deep Brain Stimulation, DBS). Sebagian besar gejala
motorik memberikan respon yang baik terhadap terapi dopaminergik pada fase awal penyakit.
Namun, seiring dengan progresivitas penyakit yang terus berjalan, kompleksitas gejala motorik,
gangguan psikiatrik, dan gangguan kognitif akan terus semakin menonjol. Oleh karena itu,
rehabilitasi memiliki peran penting untuk mendukung terapi farmakologi ataupun terapi bedah
pada pasien Parkinson.(4)
Rehabilitasi pada penyakit Parkinson bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan
fungsional penderita Parkinson dan meminimalkan komplikasi sekunder.(5) Latihan yang
diberikan memiliki fokus untuk memperbaiki keseimbangan, postur, cara berjalan, fungsi
anggota gerak atas, kapasitas kemampuan fisik, meningkatkan kemampuan kogntif, dan
mencegah jatuh. Bila dilakukan secara komprehensif, program rehabilitasi pada penyakit
Parkinson dapat mengoptimalkan kemandirian pasien dan juga meningkatkan kualitas hidup
penderita Parkinson.(6)

1
BAB II
PENYAKIT PARKINSON

2.1 Definisi
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan erat dengan
usia, yang yang secara patologis ditandai oleh adanya degenerasi ganglia basalis terutama di
substansia nigra pars kompakta (SNC) (7). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh James
Parkinson pada tahun 1800 dan disebut sebagai “Shaking Palsy”(2). Sedangkan Parkinsonism
atau Sindroma Parkinson adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor saat istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibat penurunan dopamin dengan berbagai macam
sebab (7,8).

2.2 Epidemologi
Berdasarkan data dari Global Burden of Disease, Injuries, and Risk Factors Study (GBD)
2015, Parkinson merupakan penyakit dengan prevalensi, disabilitas dan kematian yang
peningkatannya paling cepat di antara penyakit neurologi lainnya. Sebuah studi analisis
sistematik menyebutkan bahwa terdapat 6,1 juta orang dengan penyakit Parkinson di seluruh
dunia pada tahun 2016. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 2,4 kali lipat dibandingkan
tahun 1990 di mana penderita Parkinson berjumlah 2,5 juta orang di seluruh dunia (9). Risiko
berkembangnya penyakit Parkinson dua kali lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita, akan
tetapi wanita memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dan progresivitas penyakit yang lebih
cepat (10).
Pada tahun 2002, WHO memperkirakan penyakit Parkinson di Indonesia menyerang
876.665 orang dari seluruh total penduduk yang berjumah 238.452.952. Berdasarkan hasil studi
di 6 negara Asia, yaitu China, India, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan Jepang, terdapat 2,57
juta penderita penyakit Parkinson pada tahun 2005. Jumlah ini diperkirakan akan terus
meningkat menjadi 6,17 juta orang pada tahun 2030 (11). Berdasarkan data WHO tahun 2018,
tingkat mortalitas penyakit Parkinson di Indonesia mencapai 0.25% dari total kematian dengan
rerata 2.92 per 100.000 penduduk (12).

2.3 Etiologi

Etiologi Penyakit Parkinson masih belum dapat diketahui secara pasti.Namun, beberapa
2
faktor risiko telah diidentifikasi berhubungan erat dengan terjadinya penyakit Parkinson,
yaitu:
a. Usia

Penyakit Parkinson meningkat pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia dibawah 30
tahun.
b. Genetik

Faktor genetik diduga memiliki peranan dalam berkembangnya penyakit Parkinson,


yaitu mutase α-synuclein a537, yang berhasil diisolasi pada penyakit Parkinson autosomal
dominan.
c. Lingkungan

Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan penyakit Parkinson meliputi paparan


terhadap toksin, misal MPTP (1-methyl-4phenyl-1,2,3,6- tetrahydro-pyridine), penggunaan
herbesida, dan pestisida.
d. Infeksi
e. Cedera kranioserebral

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari penyakit Parkinson, secara garis besar dijelaskan menjadi 3
pendekatan teori, yaitu: (13,14)
a. Teori keseimbangan saraf dopaminergik dan saraf kolinergik
Selain menerima persarafan dopaminergik dari substansia nigra, striatum juga dipersarafi
oleh saraf kolinergik dengan asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Fungsi motorik
korteks yang terjadi ditentukan oleh keseimbangan kedua saraf tersebut. Bila kerja saraf
dopaminergic meningkat dan atau kerja saraf kolinergik menurun, maka saraf
dopaminergik akan dominan sehingga timbul gejala hiperkinesia. Sebaliknya, bila kerja
saraf dopaminergik menurun dan atau kerja saraf kolinergik meningkat maka akan terjadi
dominasi saraf kolinergik yang menimbulkan hipokinesia.
b. Teori ketidakseimbangan jalur langsung dan jalur tidak langsung
Dalam kondisi fisiologis normal, pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan
merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada di dendrit
output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus palidus segmen interna atau
substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur langsung pada reseptor D1 dan
3
jalur tidak langsung pada reseptor D2. Bila kedua jalur ini seimbang, maka gerakan dapat
terkontrol dengan baik (Gambar 1).

Gambar 1. Kontrol gerakan motorik volunter yang normal (15)

Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi atau kerusakan pada substansia nigra
pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak muncul rangsangan
terhadap reseptor D1 maupun D2. Bila reseptor D1 eksitatorik tidak terangsang maka jalur
langsung yang mengaktifkan neurotransmiter GABA sebagai inhibitorik gerakan tidak
dapat teraktivasi. Sedangkan bila reseptor D2 inhibitorik tidak terangsang, jalur tidak
langsung dari putamen ke globus palidus segmen eksterna GABAergik tidak akan ada yang
menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna
berlebihan (Gambar 2). Kondisi ini akan menyebabkan penderita Parkinson sulit untuk
menginisiasi gerakan.

4
Gambar 2 Patofisiologi penyakit Parkinson (15)
c. Degenerasi substansia nigra
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama penyakit Parkinson adalah
proses degenerasi dari kelompok inti di substansia nigra. Degenerasi substansia nigra pada
penyakit parkinson ditandai dengan peningkatan jumlah radikal bebas dan berkurangnya
bahan antioksidan di dalam sel.

5
Gambar 3. Degenerasi substansia nigra (16)

2.5 Manifestasi Klinis

Pada awalnya penderita Parkinson memiliki gejala non spesifik (pre-motor) sebelum
muncul gejala motoric. Gejala non-spesifik tersebut seperti kelemahan, kekakuan, pegal-
pegal atau kram otot, distonia fokal, gangguan keterampilan, kegelisahan, gangguan
sensorik (parestesia) dan gejala psikiatrik (kecemasan atau depresi). Setelah lebih dari 50%
sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%, gejala sindrom Parkinson mulai
muncul. Tanda dan gejala utama penyakit Parkinson meliputi gejala motoric dan gejala
non-motorik. Gejala motoric utama penderita Parkinson antara lain: (17,18)

a. Tremor
Tremor biasanya dimulai dari bagian distal berupa gerakan oposisi berulang ibu jari dan
telunjuk yang bersifat ritmis, kasar dengan frekuensi3-5 x/detik (tremor pill rolling).
Tremor timbul saat istirahat (resting tremor) dan bertahan pada posisi tertentu. Tremor
di lengan akan bertambah hebat saat penderita Parkinson sedang berjalan, mengalami
stres, atau dalam kondisi cemas. Semakin lama, tremor akan menuju ke arah proksimal
lengan dan mulai melibatkan tungkai hingga pada akhirnya ke sisi kontralateral dan
mengenai wajah.

b. Rigiditas / kekakuan

6
Rigiditas terjadi karena peningkatan tonus otot mengenai semua kelompok otot-otot
aksial dan tungkai, baik fleksor maupun ekstensor. Saat digerakkan secara pasif, tahanan
otot akan terasa pada seluruh lingkup gerap baik saat fleksi maupun ekstensi. Tahanan
dapat dirasakan mulus (lead pipe) atau terputus-putus (cogwheel phenomenon).
Rigiditas yang terjadi pada kedua tungkai mengakibatkan penderita Parkinson memiliki
cara berjalan tampak seperti diseret.

c. Bradikinesia (18)
Penderita Parkinson akan mengalami gerakan volunter yang menjadi lambat sehingga
gerak asosiatif menjadi berkurang misalnya: sulit bangun dari kursi, sulit mulai berjalan,
lambat saat mengambil suatu obyek, dan gerak bibir serta lidah juga menjadi lambat.
Bradikinesia juga menyebabkan berkurangnya ekspresi muka atau mimik wajah
sehingga wajah menyerupai topeng. Kedipan mata berkurang dan kemampuan menelan
ludah juga berkurang sehingga ludah keluar dari mulut (drooling).

d. Instabilitas postural / hilangnya refleks postural (18)


Kondisi instabilitas postural disebabkan karena adanya kegagalan integrasi dari saraf
propioseptif, labirin dan sebagian kecil impuls dari mata pada level talamus dan ganglia
basalis, yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini mengakibatkan
penderita mudah jatuh.

Sedangkan gejala non-motorik Parkinson antara lain:

a. Gangguan otonom (Dysautonomia)

Dysautonomia yang sering muncul antara lain keluar keringat berlebihan, air ludah
berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia uri, hipotensi ortostatik, kulit
berminyak dan infeksi kulit seboroik, serta melemahnya hasrat seksual. Pada organ
gastrointestinal, gejala dapat berupa sembelit, disfagia, mual, muntah, buang air
besar tidak lampias atau inkontinensia alvi.

b. Sikap Parkinson

Bradikinesia yang dialami penderita penyakit Parkinson menyebabkan langkah


menjadi kecil. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita akan berada dalam
posisi kepala difleksikan ke dada, bahu condong ke depan, punggung kifosis, dan
lengan tidak melenggang bila berjalan.
7
Gambar 4. Sikap dan gejala pada penyakit Parkinson

c. Bicara

Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan bibir
mengakibatkan cara bicara atau pengucapan kata-kata yang monoton dengan
volume yang kecil.

d. Depresi dan cemas

Gangguan neuropsikiatri seperti depresi dan kecemasan sering ditemukan yaitu


sekitar 40% pada pasien Parkinson. Gambaran yang muncul umumnya
menunjukkan kecemasan terkait depresi atau gabungan psikopatologi.

e. Penurunan kognitif dan demensia (18)

Selain gejala motorik, disfungsi kognitif sering dijumpai pada penderita Penyakit
Parkinson (sebanyak 25%), yang sering disebut sebagai Mild Cognitive Impairment
(MCI). Diagnosis MCI pada penyakit Parkinson dibuat berdasarkan kriteria Petersen
yang meliputi penurunan kemampuan kognitif secara bertahap, defisit kognitif pada
test neuropsikologis formal, dan defisit kognitif yang tidak begitu mengganggu
8
kemandirian fungsional tetapi menimbulkan kesulitan pada saat mengerjakan tugas
fungsional yang kompleks. Selanjutnya, MCI pada Penyakit Parkinson dapat
berkembang menjadi demensia, dengan ciri penurunan gejala kognitif yang
melibatkan minimal pada 2 domain, yaitu memori dan fungsi eksekutif. Kondisi ini
dapat mengganggu aktivitas kegiatan sehari-hari. Pemeriksaan neuropsikologi untuk
penyakit Parkinson demensia dapat dilakukan mengguanakan beberapa skala antara
lain: Scopa-COG, Parkinson Disease-Cognitif Rating Scale (PD- CRS), dan
Parkinson Neuropsychometric Demensia Assessment (PANDA).

f. Gangguan perilaku tidur

Gangguan tidur dapat muncul bertahun-tahun sebelum diagnosis penyakit Parkinson


ditegakkan. Gangguan ini ditandai dengan peningkatan aktivitas motorik selama
tidur REM (rapid eye movement), yang dapat mengakibatkan vokalisasi dan gerakan
anggota badan yang kuat. Gangguan tidur dan kaki gelisah merupakan gejala yang
paling mengganggu bagi pasien. Selain itu, 50% pasien Parkinson mengeluh kantuk
di siang hari yang berlebihan.

g. Disfagia

Secara klinis, disfagia pada penyakit Parkinson muncul pada tahap akhir penyakit.
Lebih dari 50% pasien Parkinson memiliki masalah disfagia orofaring dengan gejala
kesulitan menelan, termasuk ketidakmampuan untuk mengenali makanan,
kesukaran meletakkan makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk mengontrol
makanan dan air liur di dalam mulut, kesulitan untuk mulai menelan, batuk dan
tersedak saat menelan, perubahan suara (suara basah), dan regurgitasi nasal. Keluhan
disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau stres yang berat.
Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.

9
2.6 Klasifikasi

Umumnya diagnosis Penyakit Parkinson mudah ditegakkan, namun harus


diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapatkan gambaran mengenai penyebab,
prognosis, serta pelaksanaannya Parkinson diklasifikasikan menjadi: (19)

1. Idiopatik (primer)

• Penyakit Parkinson
• Juvenile Parkinsonism
2. Simtomatik
• Infeksi dan pasca infeksi
• Pasca-ensefalitis (ensefalitis letargika)
• Toksin: 1-methyl-4-phennyl-1,2,3,6-trihydoxypyridine (MPTP), CO, Mn,
Mg,CS2, metanol, etanol, sianid
• Obat: neuroleptik (antipsikotik), antiemetik, reserpin, tetrabenazine, alfa-
metil-dopa, lithium, flunarisin, sinarisin.
• Vaskular: Multiinfark serebral.
• Trauma kranioserebral (Pugilistic encephalopathy)
• Lain-lain : hipoparatiroid, degenerasi hepatoserebral, tumor otak,
siringomielia
3. Parkinsonism plus (multiple system degeneration)
• Progresif supranuklear palsi
• Atrofi multi sistem : degenerasi striatonigral, sindroma Shy-Drager,
degenerasiolivopontosereberal, sindroma Parkinsonism-amiotrofi
• Degenerasi ganglionik kortikobasal
• Sindroma Demensia : kompleks parkinsonism-dementia-ALS
(Guam),penyakit Lewy bodies difus, penyakit jacob Creutzfeldt, penyakit
Alzheimer.

• Hidrosefalus tekanan normal

• Kelainan herediter : penyakit Wilson, Penyakit Hallervorden-Spatz,


Penyakit Huntington, Neuroakantositosis, Kalsifikasi ganglia basal familial,
Parkinsonism familial dengan neuropati perifer

10
4. Penyakit heredodegeneratif:
• Seroid-lipofusinosis
• Penyakit Gerstmann-Strausler-Scheinker
• Penyakit Hallervorden-Spatz
• Penyakit Huntington
• Lubag (Filipino X-linked dystonia-parkinson)
• Penyakit Machado-Joseph
• Nekrosis striatal dan sitopati mitokhondria (mitochondrial cytopathies
with striatal necrosis)
• Neuroakantosis
• Atrofi familial olivopontoserebelar
• Sindroma talamik demensia
• Penyakit Wilson

2.7 Diagnosis (11,20,21)

Penegakan diagnosis penyakit Parkinson didapatkan dari anamesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan klinisnya, diagnosis
penyakit Parkinson dapat ditegakkan dengan ditemukannya tanda dan gejala
utama yaitu tremor pada waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya
refleks postural. Kriteria diagnosis yang dipakai di Indonesia yaitu kriteria
Hughes (1992) dengan pembagian sebagai berikut:
a. Possible : bila didapatkan 1 dari tanda dan gejala utama
b. Probable : bila didapatkan 2 dari tanda dan gejala utama
c. Definite : bila didapatkan 3 dari tanda dan gejala utama
Sedangkan untuk kepentingan klinisnya, penyakit Parkinson dibagi ke
dalam kriteria Hoehn dan Yahr (1967) untuk menilai progresivitaspenyakit mulai
dari stadium 1 hingga stadium 5 (Tabel 1). Dalam perkembangannya, kriteria
Hoehn dan Yahr mengalami modifikasi dengan ditambahkan stadium 1.5 dan 2.5
untuk dapat menilai tingkat keparahan penyakit Parkinson dengan lebih spesifik.
Selain melihat tanda dan gejala yang muncul pada penderita penyakit
Parkinson, terdapat pemeriksaan fisik yang khas pada penderita Parkinson yaitu
adanya refleks glabelar hiperaktif atau yang juga disebut sebagai tanda Myerson.
Ketika pemeriksa mengetukkan jari di area glabela (di atas hidungdan di antara

11
alis), pasien Parkinson akan memiliki sensitifitas yang berlebihan sehingga selalu
berkedip setiap kali ketukan dilakukan.

Tabel 1 Perbandingan Skala Hoehn dan Yahr dengan Modifikasi Hoehn dan
Yahr.(22)
Stadium Skala Hoehn dan Yahr (1967) Stadium Modifikasi Skala Hoehn dan Yahr
1 Gejala unilateral dengan 1 Gejala unilateral
disabilitas minimal atau tanpa
disabilitas
1.5 Gejala unilateral dan ada
- -
keterlibatan aksial
2 Gejala bilateral atau tepat di 2 Gejala bilateral tanpa gangguan
tengah tanpa gangguan keseimbangan
keseimbangan
2.5 Gejala bilateral ringan hingga
- -
sedang dengan perbaikan pada
pull test
3 Gejala bilateral, disabilitas 3 Gejala bilateral ringan hingga
ringan hingga sedang disertai sedang, terdapat instabilitas
gangguan reflex postural, postural, tetapi masih mandiri
tetapi masih mandiri
4 Disabilitas berat, tetapi masih 4 Disabilitas berat, tetapi masih
dapat berdiri atau berjalan dapat berdiri atau berjalan tanpa
tanpa dibantu dibantu
5 Hanya dapat di tempat tidur 5 Hanya dapat di tempat tidur atau
atau kursi roda kecuali dibantu kursi roda kecuali dibantu

Selain anamesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang


dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis Parkinson meliputi (23):
a. CT scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
CT scan dan MRI otak dapat membantu mendeteksi kerusakan
serebrovaskular dan kuantitas atrofi otak yang terjadi pada pasien
Parkinson. MRI diperlukan untuk menilai adanya lesi struktuktral yang
menimbulkan gejala Parkinsonism seperti gangguan cara berjalan dan
12
tremor.
b. SPECT (Single-Photon Emission Computed Tomography)
SPECT dilakukan untuk membedakan apakah seseorang yang
mengalami tremor mengalami parkinsonism degeneratif atau
nondegeneratif.
c. PET (Positron Emission Tomography)
Pencitraan PET dapat digunakan untuk membedakan dan
mengidentifikasisub fenotip penyakit Parkinson dan melihat apakah ada
hubungan dengandeficit non dopaminergik
d. Transkranial sonografi / USG transcranial (24)
Transkranial sonografi sangat membantu dalam membedakan penyakit
Parkinson idiopatik dengan gangguan parkinsonian lainnya. Pasien
dengan penyakit Parkinson menunjukkan hiperekogenik yang sangat
tinggi pada substansia nigra yang dapat dideteksi dengan transkranial
sonografi dibandingkan dengan pasien dengan gangguan parkinsonian
lainnya. Sebaliknya, pasien dengan gangguan parkinsonian lain
menunjukkan hiperekogenik pada nukleus lentiformis dan sistem
ventrikel otak yang lebih lebar.

2.8 Manajemen

Manajemen penyakit Parkinson memerlukan pendekatan yang holistik, meliputi


terapi farmakologi dan terapi non farmakologi yang meliputi terapi bedah, deep brain
stimulation (DBS), fisioterapi, terapi okupasi, terapi kognitif, terapi wicara, hingga terapi
nutrisi. Namun, sebelum memulai terapi, penting untuk mendiskusikan dengan pasien
manajemen yang akan diberikan sesuai dengan keadaan klinis masing-masing, misalnya
gejala dan penyakit penyerta yang dimiliki pasien Parkinson. Gaya hidup pasien
Parkinson juga penting untuk digali. Hal ini bertujuan untuk menentukan dosis, frekuensi,
dan terapi yang cocok bagi pasien Parkinson.

2.8.1 Terapi Farmakologi(25,26)

a. Levodopa

Levodopa adalah standar baku emas untuk pengobatan penyakit Parkinson ketika
gejala motorik berdampak pada kualitas hidup. Namun, setelah 7-10 tahun perjalanan

13
penyakit, respon levodopa dapat berfluktuasi sehingga kurang efektif dalam
mengendalikan gejala motorik. Di dalam otak levodopa akan diubah menjadi dopamin
pada neuron dopaminergik oleh L-aromatik asam amino dekarboksilase (dopa
dekarboksilase). Meskipun demikian, hanya 1-5% dari L-Dopa memasuki neuron
dopaminergik, sisanya akan dimetabolisme di tempat lain sehingga mengakibatkan efek
samping yang luas. Efek samping levodopa dapat berupa: mual, muntah, distress
abdominal, hipotensi postural, dan aritmia jantung terutama pada penderita Parkinson usia
lanjut.

b. Antikolinergik

Ada dua preparat antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit Parkinson,
yaitu thrihexyphenidyl (artane) dan benztropin (congentin). Obat ini menghambat sistem
kolinergik di ganglia basal dan aksi asetilkolin otak sehingga dapat membantu mengoreksi
keseimbangan antara dopamin dan asetilkolin untuk mengurangi gejala tremor. Preparat
lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah biperidon (akineton), orphenadrine
(disipal) dan procyclidine (kamadrin). Efek samping dari antikolinergik yaitu mulut
kering dan pandangan kabur. Sebaiknya obat jenis ini tidak diberikan pada penderita
penyakit Parkinson usia diatas 70 tahun, karena dapat menyebabkan penurunan daya
ingat.

c. Monoamin oxidase (MAO) inhibtor

MAO inhibitor dapat mengurangi gejala dengan menginhibisi monoamine oksidase


B (MAO-B), sehingga dapat menghambat perusakan dopamin yang dikeluarkan oleh
neuron dopaminergik. Obat ini biasa dipakai sebagai kombinasi bersama dengan
levodopa-carbidopa. Selain itu obat ini juga berfungsi sebagai antidepresan ringan. Efek
samping MAO inhibitor yang perlu diwaspadai yaitu insomnia, penurunan tekanan darah
dan aritmia.

d. Amantadin

Amantadin berperan sebagai pengganti dopamin yang dapat menurunkan gejala


tremor, bradikinesia, dan kelelahan pada tahap awal penyakit Parkinson. Selain itu, obat
ini juga dapat menghilangkan fluktuasi motorik (fenomena on-off) dan diskinesia pada
penderita Parkinson tahap lanjut. Amantadin dapat dipakai sendirian atau sebagai

14
kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamin. Efek samping dari obat ini yaitu
mengakibatkan mengantuk.

e. Catechol 0-Methyl Transferase (COMT) inhibitor

Obat ini berfungsi menghambat degradasi dopamin oleh enzim COMT dan
memperbaiki transfer levodopa ke otak dan dapat dipakai sebagai kombinasi dengan
levodopa saat efektivitas levodopa mulai menurun. COMT inhibitor dapat memperbaiki
fenomena on-off dan memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari.

2.8.2 Terapi Non Farmakologi

a. Deep Brain Stimulation (DBS) (27,28)

DBS adalah prosedur pembedahan paling umum untuk memperbaiki gejala motorik
penyakit Parkinson dengan cara memasukkan elektroda yang memancarkan impuls listrik
frekuensi tinggi terus- menerus ke dalam otak. Tindakan minimal invasif ini dioperasikan
melalui panduan komputer untuk mencangkokkan neurostimulator pada wilayah target di
dalam otak yang terlibat dalam pengendalian gerakan. DBS dapat mengurangi terjadinya
episode "off" yang biasanya terjadi pada stadium lanjut penyakit Parkinson. Dua target
paling umum untuk DBS yaiti nucleus subtalamikus (STN) dan globus palidus interna
(GPi). Selain kedua target ini, beberapa penelitian mencoba menargetkan DBS ada
nukleus pedunculopontine dan hasilnya intervensi ini dapat memperbaiki ketidakstabilan
gaya berjalan dan gejala freezing gait.

b. Pallidotomi radiofrekuensi dan radiosurgery (27)

Intervensi ini digunakan untuk mengobati tremor dan dilakukan pada penderita
Parkinson yang kontraindikatif terhadap DBS.

c. Focused ultrasound (FUS) thalamotomies

Baru-baru ini penggunaan talamotomi FUS untuk tremor mulai banyak diminati
karena tidak memerlukan kraniotomi dan intervensi bedah ke dalam otak. Talamotomi
FUS berhasil digunakan untuk meredakan tremor pada penderita penyakit Parkinson dan
subtalamotomi FUS dilakukan untuk gejala penyakit Parkinson yang asimetris. Namun,
prosedur ini memiliki kekuarangan yaitu tidak efektif untuk proses penyakit Parkinson
yang bersifat bilateral.

15
2.8.3 Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik pada penyakit Parkinson merupakan sebuah manajemen yang
penting untuk mendukung terapi farmakologi ataupun terapi intervensi yang telah
dijalani oleh pasien Parkinson. Program rehabilitasi yang diberikan mengacu pada
gangguan (impairment) apa saja yang ditemukan pada penderita penyakit Parkinson.
Gangguan yang dapat muncul pada penyakit Parkinson yaitu:(13)
a. ganggguan motorik, meliputi bradikinesia, rigiditas, instabilitas postural, tremor,
gangguan cara berjalan, serta inisiasi dan eksekusi gerakan
b. ganggguan sensorik, dapat berupa rasa nyeri
c. disfungsi otonom, misalnya hipotensi ortosatik
d. gangguan kognitif, misalnya kesulitan beralih dari satu tugas ke tugas yang lain
e. gangguan perilaku, seperti muncul kecemasan, depresi, dan bahkan muncu tanda
psikotik seperti halusinasi
f. gangguan gastrointestinal mulai dari disfagia hingga konstipasi
g. disfungsi berkemih
h. disfungsi seksual.
Program rehabilitasi medik yang diberikan untuk mengatasi gangguan gejala
motorik yang muncul pada penderita Parkinson dapat berupa fisioterapi / terapi latihan
yang dapat dikombinasikan dengan terapi okupasi dan penggunaan ortosis.

16
BAB III
TERAPI LATIHAN PADA PARKINSON

Fisioterapi atau terapi latihan harus mempertimbangkan kondisi pasien Parkinson


secara keseluruhan bukan hanya berdasarkan gejala Parkinson yang muncul, misalnya
apakah pasien tersebut memiliki penyakit penyerta seperti penyakit jantung atau diabetes.
Hal ini berkaitan erat dengan jenis latihan dan dosis yang akan diberikan.
Terapi latihan telah terbukti secara konsisten dapat memperbaiki gejala motorik
dan non-motorik penyakit Parkinson. Pendekatan terapi latihan pada pasien Parkinson
disesuaikan berdasarkan stadium penyakitnya. Pada pasien Parkinson dengan stadium 1-
3 (ringan hingga sedang) di mana pasien masih mandiri, terapi difokuskan pada teaching
of exercise yang dirancang untuk memperlambat atau mencegah kemunduran motorik
pada pasien dan mempertahankan atau meningkatkan kapasitas fungsional pasien
Parkinson. Sedangkan pada pasien dengan penyakit Parkinson stadium 4-5 (berat)
dengan disabilitas yang signifikan dan penurunan tingkat kemandirian, terapi difokuskan
pada teaching of compensation strategies yang bertujuan untuk mempertahanan
kemandirian pasien semaksimal mungkin dan mencegah timbulnya komplikasi
imobilisasi. Macam-macam terapi latihan yang dilakukan, yaitu: (3,5,13)
3.1. Latihan lingkup gerak sendi (LGS) dan peregangan otot
Latihan LGS dan peregangan otot sangat penting untuk mempertahankan fungsi
gerak sendi dan menjaga agar area sendi serta otot tetap fleksibel. Latihan ini dapat
dilakukan untuk mengurangi rigiditas pada penderita Penyakit Parkinson. Jenis latihan
yang diberikan sama dengan latihan lingkup gerak sendi dan peregangan pada umumnya.
Namun, hal yang perlu diperhatikan saat memberikan latihan ini pada penderita penyakit
Parkinson, yaitu:(29)
• Latihan dilakukan pada saat periode on.
• Peregangan di setiap bagian diulangi sebanyak 3 kali
• Peregangan harus terasa seperti tarikan lembut dan jangan meregangkan tubuh
sampai terasa sakit.
• Jangan melakukan gerakan yang menyentak
• Setelah peregangan pada 1 sisi diikuti gerakan perlahan kembali ke posisi
istirahat sebelum memulai peregangan di sisi yang lain.
Gerakan latihan yang dapat dilakukan meliputi:
a. Latihan kepala dan leher
17
• Chin to chest: dagu didekatkan seminimal mungkin dengan dada.
• Head turns: kepala ditengokkan ke kiri dan ke kanan sampai hidung pasien
berada satu garis dengan bahu
• Head tilts: kepala dimiringkan ke kiri dan ke kanan sampai telinga pasien
menyentuh bahu pasien
b. Latihan bahu
• Fleksi: lengan difleksikan di sendi bahu sampai lengan bagian dalam menyentuh
kepala
• Abduksi: lengan dalam posisi fleksi digerakan menjauhi tubuh.
• Rotasi internal dan eksternal: pada posisi lengan lurus, arah telapak tangan
diputar ke dalam dan keluar.
c. Latihan lengan, tangan, dan jari
• Fleksi dan ekstensi: latihan fleksi dan ekstensi dilakukan pada siku dan
pergelangan tangan
• Pronasi dan supinasi: dengan posisi lengan fleksi pada sendi siku, pergelangan
tangan melakukan pronasi dan supinasi.
• Abduksi dan adduksi: lengan bawah digerakan ke kanan dan ke kiri menjauhi
tubuh dan mendekati tubuh
• Finger bends: jari-jari dikepalkan seperti membuat tinju.
• Finger spreads: jari-jari diregangkan.
• Thumb circles: ibu jari digerakan dengan pola gerakan seperti membuat lingkaran
besar.
d. Latihan pinggul
• Fleksi dan ekstensi: Kaki difleksikan dan ekstensikan pada sendi pinggul.
• Abduksi dan adduksi: Kaki dalam posisi lurus digerakan menjauhi dan
mendekati tubuh.
e. Latihan lutut dan kaki
• Fleksi dan ekstensi: tungkai difleksikan dan diekstensikan pada sendi lutut dan
pergelangan kaki
• Inversi dan eversi pergelangan kaki: kaki digerakkan ke kiri dan ke kanan.
• Toe bends: jari-jari kaki ditekuk ke arah plantar
• Toe spreads: jari-jari kaki diregangkan.
f. Peregangan otot punggung

18
Pasien duduk tegak di atas bola kemudian bungkukkan badan ke depan, ke samping
kanan dan ke samping kiri masing-masing tahan selama 5 detik. Saat badan
dibungkukkan ke satu sisi, posisikan kedua tangan sejajar menyentuh lantai sesuai
arah badan. Ulangi sebanyak 5 kali. Gerakan ini berfungsi untuk melenturkan otot
punggung, mencegah kekakuan pada punggung dan panggul serta membuat gerakan
lebih fleksibel.
g. Peregangan otot dada
Peregangan otot dada dilakukan untuk meningkatkan ekspansi rongga dada sehingga
perfusi oksigen dapat berlangsung lebih baik. Caranya dilakukan dengan posisi
pasien berlutut dengan bola di depan badan. Kemudian dorong bola ke depan dengan
kedua tangan. Dorong hingga tulang punggung dan tangan dalam posisi lurus.
3.2 Latihan resistensi dan penguatan otot
Dalam dua dekade terakhir, olahraga, seperti latihan ketahanan, terbukti
bermanfaat untuk perbaikan tanda dan gejala motorik dan non motorik dengan cara
meningkatkan kekuatan otot dan memberikan efek neuroprotektif pada penderita
penyakit Parkinson. Mekanisme ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan respirasi
mitokondria dan neuroplastisitas yang meningkatkan perekrutan unit motorik dan
menghasilkan aktivasi selektif otot.(30) Namun, belum ada konsensus tentang parameter
resep pelatihan yang khusus untuk penyakit Parkinson.(31)
Beberapa studi menunjukkan bahwa latihan resistensi intensitas rendah (2 kali
seminggu selama 12 minggu) hingga sedang (2-3 kali seminggu selama 8-10 minggu)
cukup efektif bagi penderita penyakit Parkinson stadium ringan hingga sedang. Latihan
ini dapat meningkatkan kekuatan otot, keseimbangan, memperbaiki gejala motorik dan
memperbaiki kualitas hidup.
Secara umum, gerakan latihan resistensi dan penguatan otot pada penderita
penyakit Parkinson mirip dengan latihan terapi pada penyakit lainnya. Namun, yang
sedikit membedakan yaitu latihan penguatan otot difokuskan pada penguatan otot
punggung, otot ekstensor leher, otot pinggul, dan otot perut untuk menstimulasi postur
yang lebih tegak. Selain itu, penguatan dan peregangan otot fleksor batang tubuh, paha
belakang (hamstring), dan tumit juga diperlukan untuk dapat meningkatkan
keseimbangan postur.
Latihan penguatan otot dapat juga dilakukan dengan senam Parkinson yang
memiliki gerakan khusus untuk menguatkan kerja otot, membangun keseimbangan
tubuh, dan meningkatkan kesiagaan tubuh atau body awareness sehingga pasien
19
Parkinson memiliki refleks menahan saat akan terjatuh. Gerakan senam Parkinson
simultan berkesinambungan seperti menari dan dalam pola gerakan yang lambat dan
berulang. Senam Parkinson dapat dilakukan maksimal lima kali seminggu dengan jeda
istirahat total selama dua hari untuk proses pemulihan otot-otot yang telah dilenturkan.(3)
Gerakan yang dapat dilakukan untuk penguatan otot meliputi:
a. Penguatan otot pelvis
i. Pasien diminita untuk duduk tegak di atas bola besar dengan kedua kaki sedikit
terbuka selama 10 detik kemudian rileks dan diulangi sebanyak 10x. Hal ini
ditujukan untuk memfiksasi panggul supaya tidak mudah jatuh.
ii. Pada saat posisi duduk tegak di atas bola, sangga badan dengan kedua tangan
kemudian gerakkan bola dengan pantat ke kanan sedangkan badan digerakkan ke
kiri (arah berlawanan). Ulangi 10 kali kemudian lanjutkan dengan mengganti dari
sisi kiri. Gerakan ini untuk melatih sendi panggul dan otot-ototnya agar siap
menghadapi perubahan posisi.
b. Penguatan otot pinggang, perut, dan paha
i. Posisi berdiri tegak dengan bola di belakang punggung kemudian turunkan bola
dengan menggunakan tubuh bagian belakang. Turunkan hingga posisi kaki
menekuk 90 derajat seperti mau duduk. Saat posisi turun tahan 5 detik kemudian
naik ke posisi semula dan ulangi lagi sebanyak 10 kali.
ii. Duduk tegak di atas bola dan angkat satu kaki ke depan hingga lurus sejajar paha,
tahan 5 detik kemudian ganti dengan sisi kaki yang lain. Ulangi sebanyak 10x.
3.3 Latihan Aerobik (32,33)
Selain untuk meningkatkan kebugaran dan kapasitas fungsional, latihan aerobik
juga dapat mengurangi inflamasi, menurunkan stress oksidatif dan menstabilkan
homeostasis tubuh. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tikus, menunjukkan bahwa
latihan aerobik dapat memicu perubahan plastisitas otak, termasuk sinaptogenesis,
peningkatan utilisasi glukosa, angiogenesis dan neurogenesis. Penelitian lain
menunjukkan bahwa latihan aerobik juga dapat memperbaiki keseimbangan, gaya
berjalan, fungsi fisik dan kualitas hidup penderita penyakit Parkinson.
Hingga saat ini belum ada latihan aerobik yang spesifik untuk penderita penyakit
Parkinson. Namun, prinsip latihan aerobik pada penderita penyakit Parkinson bukanlah
intensitas latihan yang tinggi, tetapi pola atau ritme yang berulang. Selain itu, latihan
yang dilakukan harus mempertimbangkan faktor keamanan bagi penderita penyakit
Parkinson yang mengalami gangguan postur, keseimbangan, dan mudah jatuh. Sebagai
20
contoh latihan aerobik menggunakan treadmill harus dilengkapi dengan tali pengaman
yang melekat ke badan untuk menyokong berat badan (Gambar 4). Selain treadmill
latihan aerobik juga dapat menggunakan sepeda statis atau berjalan dengan alat bantu
yang sesuai.

Gambar 5. Treadmill yang dilengkapi tali pengaman


Latihan dimulai dengan dosis kecil kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai kondisi
dan kemampuan pasien. Latihan dianggap intensif jika dilakukan selama 2-4 jam per
minggu selama 6 sampai 14 minggu. Beberapa penelitian bersala besar melaporkan
bahwa latihan intensif dapat memperbaki proliferasi sel dan diferensiasi neuron
sedangkan latihan dengan intensitas yang lebih ringan dapat memperbaiki kecepatan
gerak tubuh pasien.
3.4 Latihan Keseimbangan, Koordinasi, dan Kelincahan(34)
Latihan keseimbangan dapat digabungkan dengan latihan aktivitas kegiatan
sehari-hari, latihan berjalan, atau latihan ketahanan. Latihan keseimbangan yang
umumnya digunakan dan dapat diterapkan pada penderita penyakit Parkinson yaitu:
a. Posisi duduk
Pasien duduk di tepi tempat tidur dan terapis berada di belakang pasien dengan
memegang salah satu tangan pasien dan tangan yang lain memfiksasi pada bahu yang
kontralateral. Secara perlahan tangan pasien ditarik ke arah samping dan pasien diminta
mempertahankan keseimbangan tubuh agar tidak jatuh ke samping, kemudian diulangi
bergantian dengan tangan yangan lain.
b. Posisi berdiri

21
Pasien berdiri dengan tumpuan setinggi 10 cm, lalu terapis menggerakkan badan pasien
ke depan, belakang, samping kanan dan samping kiri sambil pasien diminta untuk
menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh.
Latihan koordinasi dilakukan untuk meningkatkan koordinasi tubuh. Latihan ini dapat
dilakukan dengan cara:
a. Latihan koordinasi mata tangan
i. Gerakan pertama: pasien diminta saling menyatukan kelima ujung jari
tangannya.
ii. Gerakan kedua: pasien diminta untuk menyentuh ujung hidungnya dengan
jari telunjuk kemudian ke jari tangan terapis.
iii. Gerakan ketiga: pasien duduk dengan kedua lengan ke depan (fleksi sendi
bahu 90ᵒ) sehingga ke dua jari telunjuk pasien dan terapis saling
bersentuhan, lalu pasien diminta untuk mengikuti gerakan tangan terapis
dengan jari tangan masih saling bersentuhan selama gerakan.
b. Frenkel’s exercise(35)
Frenkel’s exercise merupakan suatu bentuk latihan koordinasi yang didesain
untuk membantu mengkompensasi ketidakmampuan dari lengan dan tungkai
untuk melakukan gerakan yang terkoordinasi saat terjadi gangguan
propiosepsi. Pada mulanya latihan ini diberikan pada pasien ataksia yang
mengalami gangguan koordinasi dengan prinsip latihan meliputi repetisi,
presisi, konsentrasi, progresi, dan kecepatan. Oleh karena itu, latihan ini
banyak digunakan pada penderita penyakit Parkinson. Gerakan latihan yang
dilakukan meliputi :
i. Posisi tidur terlentang
Posisi awal tidur terlentang dengan posisi kepala lebih tinggi disangga
bantal supaya pasien dapat melihat dengan jelas setiap gerakan yang
dilakukan.
• Gerakan heel slide: tekuk lutut pertahan dengan menggeser tumit di
sepanjang tempat tidur kemudia luruskan kembali keposisi awal. Ulangi
gerakan pada tungkai yang lain.
• Lakukan heel slide kemudian geser ke samping, kembali ketengah
kemudian luruskan tungkai kembali ke posisi awal. Ulangi gerakan pada
tungkai yang lain.

22
• Tekuk lutut kemudian letakkan tumit pada lutut tungkai yang lain,
kemudian geser kebawah sepanjang tulang kering kearah pergelangan kaki
dan kembali keatas kearah lutut, kembali keposisi awal. Ulangi pada tungkai
yang lainnya.
• Lakukan heel slide kedua kaki secara bersamaan dengan posisi kedua
tungkai rapat.

Gambar 6. Heel slide tungkai pada Frenkel exercise


ii. Posisi duduk
Posisi awal pasien duduk tegak pada kursi dengan kedua kaki menapak di
lantai. Gerakan yang dilakukan meliputi:
• Buat tanda di lantai, geser kaki hingga mencapai tanda yang tergambar di
lantai.

Gambar 7. Latihan koordinasi ekstremitas bawah pada Frenkel exercise


• Buat dua garis menyilang dilantai, secara bergantian geser kaki sepanjang
garis ke arah depan, belakang, kiri dan kanan.
• Latihan duduk berdiri dan duduk kembali dengan hitungan gerakan:
- Hitungan kesatu: tekuk kedua lutut geser kebelakang
- Hitungan kedua: condongkan badan kedepan
- Hitungan ketiga: angkat badan dengan meluruskan kedua tungkai dan
luruskan punggung
- Ulangi hitungan untuk ke posisi kembali duduk.
iii. Posisi berjalan

23
Posisi awal pasien berdiri tegak dengan jarak kedua kaki 10- 15cm,
kemudian melakukan gerakan:
• Latihan transfer beban dari sisi tubuh yang sat uke sisi tubuh yang lain.
- Hitungan pertama: pindahkan berat badan pada kaki kiri
- Hitungan kedua: letakkan kaki kanan 30cm ke kanan
- Hitungan ketiga: pindahkan berat badan kekaki kanan.
- Hitungan keempat: Angkat kaki kiri melewati kaki kanan.
- Ulangi pada tungkai yang lainnya.
• Berjalan lurus ke depan mengikuti garis / pola yang dibuat.
• Berjalan ke samping mengikuti garis yang dibuat
• Berjalan naik dan turun tangga.
3.5 Latihan Berjalan(36)
Fokus latihan berjalan tidak pada kecepatan berjalan, tetapi kepada besar langkah
pasien di mana pasien Parkinson harus berusaha mempertahankan jarak langkah yang
sama setiap berjalan. Untuk memfasilitasi pola berjalan yang lebih baik dan mengatasi
kekakuan, pasien dengan penyakit Parkinson dapat menggunakan strategi kompensatorik
yang dikenal sebagai isyarat atensi atau attentional cues. Isyarat ini meningkatkan
kesadaran pasien dalam berjalan sehingga mengesampingkan gerakan yang otomatis
misal dengan membayangkan bahwa dirinya melangkahi suatu objek atau berjalan
mengikuti irama musik untuk meningkatkan kecepatan dan panjang jarak langkah.
Selain itu, penggunaan alat bantu berjalan / ortosis juga dapat digunakan untuk
latihan berjalan. Ortosis yang dipilih disesuaikan dengan kelainan gaya berjalan yang
dominan pada penderita penyakit Parkinson. Tongkat atau alat bantu jalan lainnya dapat
memberikan stabilitas dan mengoptimalkan gaya berjalan yang alami dan halus. Walker
adalah alat bantu berjalan yang paling sering digunakan pada penderita penyakit
Parkinson tahap lanjut. Alat bantu ini dapat dimodifikasi dengan memberikan sinar laser
yang menonjol di bagian tengah untuk membimbing langkah pasien Parkinson. Stimulasi
visual ini terbukti dapat menjadi isyarat bagi penderita penyakit Parkinson untuk dapat
membantu mengatasi gejala freezing.
3.6 Terapi Akuatik(37)
Terapi akuatik adalah terapi fisik yang menggunakan air sebagai media terapinya
dengan memanfaatkan sifat air yang meliputi konduktivitas, daya apung, resistensi, dan
tekanan hidrostatik untuk meningkatkan efektivitas terapi latihan. Daya apung dapat
digunakan untuk melatih otot, keseimbangan dan memperbaiki postur pasien Parkinson.
24
Selain itu daya apung juga dapat meringankan kerja sendi akibat berkurangnya berat
badan pasien, sehingga mobiltas pasien dapat meningkat.
Resistensi air dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
dalam melakukan gerakan. Perubahan kecepatan, arah gerakan air dan kecepatan gerakan
pasien, dapat mengubah efek klinis latihan di air. Apabila pasien bergerak lebih cepat ke
arah berlawanan dengan arah air maka resistensi yang dialami pasien akan lebih besar
sehingga efek penguatan otot akan lebih besar pula. Intensitas latihan dapat dinaikkan
bertahap dengan memodifikasi kecepatan gerak air dalam kolam atau dengan mengubah
kecepatan gerak pasien saat latihan. Arus air juga dapat dibuat menjadi searah dengan
gerakan pasien sehingga resistensi air dapat berkurang. Hal ini bermanfaat untuk
membantu melatih gerakan pada otot yang lemah.
Efek fisiologis dan efek klinis tekanan hidrostatik air bervariasi sesuai dengan
posisi pasien. Efek paling besar akan terjadi pada posisi berdiri. Tekanan hidrostatik
dapat meningkatkan aliran darah otot yang diam sekitar 100%-225% selama perendaman
tubuh hingga setinggi leher. Hal ini terjadi karena adanya penurunan vasokonstriksi
perifer atau peningkatan aliran darah balik yang dihasilkan dari kompresi eksternal air.
Dengan adanya peningkatan aliran darah, suplai oksigen akan meningka sehingga dapat
meningkatkan performa otot.
Selain bermanfaat langsung untuk kondisi fisik, terapi akuatik juga memiliki
manfaat terhadap kondisi psikologis pasien. Suhu yang hangat dapat memberikan kondisi
rileks sedangkan suhu dingin akan terasa menyegarkan. Terapi akuatik yang dilakukan
dalam kelompok juga memberikan dukungan psikologis yang positif bagi penderita
penyakit Parkinson. Meskipun demikian, belum ada yang merumuskan bentuk latihan
akuatik yang spesifik bagi penderita penyakit Parkinson.
3.7 Edukasi dan Latihan di Rumah(38)
Program latihan di rumah dapat dilakukan oleh keluarga dan penderita penyakit
Parkinson untuk menunjang pemulihan kemampuan gerak dan fungsi motorik yang lebih
baik. Belum ada program latihan di rumah yang spesifik untuk penderita penyakit
Parkinson, meskipun demikian home programme pada umumnya dapat diberikan pada
penderita penyakit Parkinson. Program yang dianjurkan meliputi:
a. Mengatur posisi tubuh yang tepat di tempat tidur
Pada umumnya penderita penyakit Parkinson akan mengalami imobilisasi karena
menurunnya kemampuan mobilisasi, ambulasi, dan fungsional. Pengaturan posisi
yang tepat di tempat tidur dapat mengurangi terjadinya komplikasi yang tidak
25
diharapkan, seperti trombosis vena, dekubitus, kontraktur otot, kekakuan sendi, dan
pneumonia. Mengelevasikan tungkai dapat mencegah timbulnya DVT. Penggunaan
Kasur dekubitus dan alih baring setiap 2 jam direkomendasikan untuk mencegah
munculnya ulkus decubitus.
b. Pijatan pada Lengan
Pijatan yang diberikan pada penderita Parkinson bertujuan untuk meningkatkan
sirkulasi darah lokal pada area yang dipijat. Pada area lengan pijatan dapat diberikan
dari arah distal ke proksimal.
c. Latihan Mandiri (self exercise)
Penderita Parkinson dianjurkan untuk melakukan latihan mandiri untuk membantu
proses pembelajaran motorik. Setiap gerakan dilakukan secara perlahan dan
berkelanjutan dan anggota gerak yang mengalami gangguan ikut aktif melakukan
gerakan seoptimal mungkin.
d. Latihan Fungsional Tangan
Salah satu gejala khas penderita penyakit Parkinson yaitu tremor tangan pada saat
istirahat. Latihan fungsional tangan dapat berupa:
• Membuka tangan.
• Menutup jari-jari untuk menggenggam objek.
• Menggeser engsel kunci pintu atau lemari.
• Membuka menutup kran air
• Membuka dan mengancingkan baju, dan lain sebagainya.
e. Latihan pada Wajah dan Mulut
Salah satu masalah yang sering muncul pada penderita penyakit Parkinson yaitu
menurunnya kemampuan bicara dan ekspresi wajah. Oleh karena itu, pasien diminta
untuk melakukan latihan pada wajah dan mulut antara lain dengan latihan tersenyum,
memembentuk bibir menjadi huruf “O”, mengerutkan dahi, dan lain sebagainya.

26
BAB IV
SIMPULAN

Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan


erat dengan usia, yang yang secara patologis ditandai oleh adanya degenerasi ganglia
basalis terutama di substansia nigra pars kompakta. Etiologi penyakit Parkinson masih
belum dapat diketahui secara pasti. Namun, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi
berhubungan erat dengan terjadinya penyakit Parkinson, seperti usia, genetik,
lingkungan, infeksi, dan adanya cedera otak. Tanda dan gejala utama pada penyakit
Parkinson yaitu munculnya tremor saat istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya
refleks postural. Selain itu, gejala lain yang menyertai meliputi gangguan autonom,
disfagia, kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan lain sebagainya.
Dalam menekan munculnya gejala Parkinson, terapi farmakologis dengan
levodopa sebagai standar baku emas telah digunakan. Tindakan invasif seperti DBS juga
dapat dilakukan untuk menyasar langsung pada stimulasi ganglia basalis. Namun, terapi
tersebut belumlah cukup sebagai manajeman penyakit Parkinson karena progresivitas
penyakit Parkinson yang terus berjalan. Oleh karena itu, penanganan secara holistik
meliputi berbagai bidang harus dilakukan, salah satunya dengan menambahkan program
rehabilitasi pada penyakit Parkinson.
Tujuan rehabilitasi medik pada penderita penyakit Parkinson yaitu meningkatkan
kualitas hidup penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit. Program
rehabilitasi yang diberikan disesuaikan dengan gangguan yang muncul dan kondisi
masing-masing penderita penyakit Parkinson, meliputi fisioterapi, terapi okupasi, terapi
wicara, terapi disfagia, penggunaan alat bantu / ortosis, dan edukasi latihan di rumah.
Dengan program rehabilitasi ini diharapkan dapat menekan gejala dan disabilitas yang
muncul, meningkatkan keseimbangan dan koordinasi, meningkatkan fungsional
penderita penyakit Parkinson untuk dapat melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari
dengan lebih mandiri, serta dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Lai J, Ma S, Wang Y, Cai Z, Hu J, Wei N, et al. Factors Associated With Mental


Health Outcomes Among Health Care Workers Exposed to Coronavirus Disease
2019. JAMA Netw open. 2020;3(3):e203976.
2. Mhyre T, Boyd J, Hamill R, Maguire-Zeiss K. Parkinson’s disease. Subcell
Biochem. 2012;65:389–455.
3. Tomlinson C, Herd C, Clarke C, Meek C, Patel S, Stowe R. Physiotherapy for
Parkinson’s disease: a comparison of techniques. Cochrane Database Syst Rev.
2014;6.
4. Goldenberg MM. Medical management of Parkinson’s disease. P T. 2008;33(10).
5. Abbruzzese G, Marchese R, Avanzino L, Pelosin E. Rehabilitation for Parkinson’s
disease: Current outlook and future challenges. Parkinsonism Relat Disord.
2016;22(Suppl 1):S60-4.
6. Tomlinson C, Patel S, Meek C, Clarke C, Stowe R, Shah L. Physiotherapy versus
placebo or no intervention in Parkinson’s disease. Cochrane Database Syst Rev.
2012;8.
7. Jankovic J. Parkinson Disease and Other Movement Disorders. In: In: Daroff R,
editor Bradley’s Neurology in Clinical Practice. 7th ed. London: Elsevier; 2012.
p. 1422–60.
8. Sjahrir H, Nasution D, Gofir A. Parkinson’s Disease & Other Movement
Disorders. Jakarta: Pustaka Cedekia dan Departemen Neurologi FK USU Medan;
2007. 4–53 p.
9. Dorse E, Elbaz A, Nichols E, Abd-Allah F, Abdelalim A, Adsuar J. Global,
regional, and national burden of Parkinson’s disease, 1990–2016: a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. Lancet Neurol. 2018;17.
10. Cerri S, Mus L, Blandini F. Parkinson’s Disease in Women and Men: What’s the
Difference? J Park Dis. 2019;9(3):501–15.
11. Tan L. Epidemiology of Parkinson’s disease. Neurol Asia. 2013;18:231–8.
12. WHO. INDONESIA: PARKINSON’S DISEASE [Internet]. 2018. Available
from: https://www.worldlifeexpectancy.com/indonesia-parkinson-disease.)
13. Francisco GK, Schiess MK. Rehabilitation of Persons with Parkinson’s Disease
and Other Movement Disorders. In: In: Frontera WR, DeLisa JA, DeLisa JA,
editors DeLisa’s Physical medicine & rehabilitation : principles and practice 5th
28
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 645–54.
14. Hauser RA. Parkinson disease. Medscape [Internet]. 2020;June 04:1–14.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1831191-
overview#showall
15. Hasudungan A. Parkinson’s Disease.
16. Neurobank. Nigral dopaminergic cell [Internet]. Neurobank wiki. Available from:
http://neuronbank.org/wiki/index.php/Nigral_dopaminergic_cell
17. Gamble. Parkinsonism. In: in Basic Clinical Rehabilitation Medicine. 4th ed.
Lippincott Williams & Wilkins: Mosby; 2003. p. 233–43.
18. The clinical symptoms of parkinson’s disease. J Neurochem. 2016;139(Suppl.
1):318–324.
19. Sujawan. Rehabilitasi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Parkinson.
In: In: Sujawan, editor Naskah Lengkap Simposium Dimensi Baru
Penatalaksanaan Penyakit Parkinson. Jakarta; 2010. p. 25–7.
20. KSGG. P. Konsensus Tatalaksana Penyakit Parkinson.
21. Harsono. Penyakit Parkinson Buku Ajar Neurologis Klinis. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia dan UGM; 2008. 233–43 p.
22. Goetz C, Poewe W, Rascol O, Sampaio C, Stebbins G, Counsell C. Movement
Disorder Society Task Force report on the Hoehn and Yahr staging scale: Status
and recommendations. Mov Disord Soc Task Force Rat scales Park Dis.
2004;19(9):1020–8.
23. Pagano G, Niccolini F, Politis M. Imaging in Parkinson’s disease. Clin Med.
2016;16(4):371–5.
24. Smajlovic D, Ibrahimagic O. Transcranial Brain Sonography in Parkinson’s
Disease and Other Parkinsonian Disorders: a Hospital Study from Tuzla, Bosnia
and Herzegovina. Med Arch. 2017;71(4):261–4.
25. Barnes J. Parkinson’s disease: management and guidance. Pharm J. 2018;10.
26. Schapira A, Olanow C. Principles Of Treatment In Parkinson’s Disease.
Philadelphia: Elsevier; 2005.
27. Lee D, Dallapiazza R, De Vloo P, Lozano A. Current surgical treatments for
Parkinson’s disease and potential therapeutic targets. Neural Regen Res.
2018;13(8):1342–5.
28. Tai C, Wu R, Lin C, Pan M, Chen Y, Liu H. Deep brain stimulation therapy for
Parkinson’s disease using frameless stereotaxy: comparison with frame-based
29
surgery. Eur J Neurol. 2010;17(11):1377–85.
29. Doshi P. Best Exercise Reducing Rigidity for Parkinson’s People. India:
neurological surgery. 2020.
30. Vasconcelos La. Parkinson’s Disease Rehabilitation: Effectiveness Approaches
and New Perspectives. Phys Ther Eff IntechOpen. 2019;
31. Barbalho M, Monteiro E, Costa R, Raiol R. Effects of Low-Volume Resistance
Training on Muscle Strength and Functionality of People with Parkinson’s
Disease. Int J Exerc Sci. 2019;12(3):567–80.
32. Greve J, Santos-Silva P, Speciali D. Walking economy and aerobic power in
Parkinson’s disease after endurance exercise training: A pilot study. J
MedicalExpress. 2017;4.
33. Uc E, Doerschug K, Magnotta V, Dawson J, Thomsen T, Kline J. Phase I/II
randomized trial of aerobic exercise in Parkinson disease in a community setting.
Neurology. 2014;83(5):413–25.
34. Mak MKY, Wong-Yu ISK. Exercise for Parkinson’s disease [Internet]. 1st ed.
Vol. 147, International Review of Neurobiology. Elsevier Inc.; 2019. 1–44 p.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/bs.irn.2019.06.001
35. K.Bharathi A. A Comparative Study between General Exercise and Frenkel’s
Exercise among Parkinson’s. Int J Res Sci Innov. 2020;VII(III).
36. McCandless PJ, Evans BJ, Janssen J, Selfe J, Churchill A, Richards J. Effect of
three cueing devices for people with Parkinson’s disease with gait initiation
difficulties. Gait Posture. 2016;44(February):7–11.
37. Carroll LM, Volpe D, Morris ME, Saunders J, Clifford AM. Aquatic Exercise
Therapy for People With Parkinson Disease: A Randomized Controlled Trial.
Arch Phys Med Rehabil [Internet]. 2017;98(4):631–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.apmr.2016.12.006
38. King L, Wilhelm J, Chen Y, Blehm R, Nutt J, Chen Z, et al. Does Group,
Individual or Home Exercise Best Improve Mobility for People With Parkinson’s
Disease? J Neurol Phys Ther [Internet]. 2015;39(4):204–12. Available from:
file:///C:/Users/Carla%0ACarolina/Desktop/Artigos%0Apara%0Aacrescentar%0
Ana%0Aqualificação/The%0Aimpact%0Aof%0Abirth%0Aweight%0Aon%0Ac
ardiovascular%0Adisease%0Arisk%0Ain

30

Anda mungkin juga menyukai