NIM : 19407141025
Kelas : Ilmu Sejarah A 2019
UTS Historiografi
3
Sugeng Priyadi, Historiografi Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2015), Hlm. 25.
4
F. Galih Adi Utama. Babad Nitik sebagai Sumber Penulisan Sejarah.
Istoria: Jurnal Pendidikan Sejarah. Vol. 17, No. 2, September 2021. Hlm 2
5
Johan Septian Putra. Historiografi Islam Indonesia Kontemporer (Studi Kajian Buku Api Sejarah
Karya Ahmad Mansur Suryanegara). Tarikhuna: Journal Of History And History Education ISSN:
2777-1105 (PRINT), 2797-3581 (Online) Vol 3, No. 2, November 2021. hlm 127-128
bertujuan untuk menekankan kepribadian yang bertindak sebagai panutan generasi
berikutnya. Naskah sejarah seperti babad dan hikayat ditulis dalam bahasa budaya
lokal dan pada dasarnya bersifat modern. Oleh karena itu, sangat berbahaya jika
fakta sejarah disalahgunakan atau digunakan secara sewenang-wenang oleh para
intelektual dan politisi lainnya.6
3. Apa saja fungsi para pujangga istana dalam kaitannya dengan penulisan
historiografi tradisioal?
Penyair keraton pada dasarnya adalah gelar yang diberikan keraton kepada mereka
yang menulis karya sastra. Pada zaman Jawa Buddha dan Jawa Hindu, pujangga
keraton disebut Emp).7 Empu adalah 1) gelar yang berarti "penguasa", 2) ahli,
khususnya ahli pembuatan keris .Namun, pengertian master dalam uraian ini adalah
master disebut "master". Secara umum, dilihat dari definisi di atas, penyair adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengarang karya sastra Jawa Buddha
dan Hindu Jawa. B. mpu Tantular dan mpu Panuluh. Bahkan, penyair ini dikenal
tidak hanya pada zaman Hindu dan Buddha Jawa, tetapi juga pada zaman Islam
Jawa, seperti R. Ng. Langa Warsita, salah satu penyair atau penulis karya sastra
Jawa yang dikenal pada masa Islam Jawa. Penulis karya sastra di sini bukan satu-
satunya yang kita kenal sekarang. Pujangga, sebagaimana dikemukakan Linus
A.G., adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pengarang karya sastra Jawa
yang disahkan oleh keraton. Seperti di atas. Berkaitan dengan istilah pujangga, ada
yang menyebut pujangga sebatas pujangga, ada pula yang menyebut pujangga pada
dasarnya sama beda istilah, tuan. Lainnya menggambarkan penyair dalam bahasa
lain, "Kaui." Dalam Bao Esastra Jawa), Katakawi dikatakan memiliki makna, salah
satunya adalah Pangalan (penulis) atau penyair. Perhatikan bahwa penyair di istana
biasanya bukan keluarga raja. Seperti yang ditunjukkan Zoetmulder (1983), semua
penulis puisi ini tinggal di istana, sejauh yang kami tahu, tetapi mereka sendiri
bukan anggota keluarga kerajaan atau bangsawan. Mereka adalah salah satu
pejabat, perwira dan pelayan di sekitar raja, banyak dari mereka juga tampaknya
memegang posisi keagamaan. Perlu dicatat bahwa ada beberapa raja yang juga
penyair dalam sastra Jawa (baca: penulis/penulis), yang menghasilkan beberapa
karya sastra Jawa yang masih dikenal masyarakat Jawa. Ia diyakini sebagai pendiri
penyair Jawa Madia (Linus AG, 1995). Namun, raja yang juga sperma penyair
adalah tradisi baru kehidupan Keraton keraton Jawa. Dari konteks sejarah Jawa
Jawa, itu tidak ditantang oleh raja Pujangga (Linus A.G, 1995). Kemudian Klan
Surakarta mengambil tradisi raja ketika Mataram Sultan Agung. Penyair akan
membayar ke kantor, petugas, dan raja, dan Anda memiliki departemen keagamaan.
Koleksi WidyApparwa Darusuprapta Berg Berg (1983).8 Pojangga telah
6
Ong Hok Ham. Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. 2018. Hlm 124
7
Suryadi A.G, Linus. Dari Pujangga ke Penulis Jawa. Yogyakarta: Penerbit PustakaPelajar, 1995,
hlm 20
8
P. J. Zoetmulder. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (terj). Judul Asli Kalangwan.
A Survey of Old Javanese Literature (KITLV, 1974). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983
diterjemahkan oleh Dals Plapara, Pandhitaning Kasusastran Magi Jawa. Ketika
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Magi atau ahli sastra dengan unsur
Magi. Menurut penulis, hal ini terkait dengan pernyataan Zotomalder bahwa
penyair “menempati posisi religius” karena, jika didukung oleh pernyataan Berg, ia
adalah orang yang akrab dengan ilmu sihir.
4. Mengapa mitos kerap hadir di dalam historiografi tradisional?
Fiksi berisi hal-hal mitos dan tidak masuk akal, sedangkan fakta berisi fakta sejarah
yang dapat digunakan sebagai sumber sejarah (Mu’jizah, 2018). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia atau KBBI mitos adalah cerita suatu bangsa tetang dewa
dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semsesta
alam dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan
cara gaib. Mitos lebih banyak berkembang di masa lampau melaui karya-karya
sastra masa kerajaan. Mitos banyak berkembang sejak masa Hindu-Buddha sampai
perkembangan Islam di Nusantara. Penulisan sejarah di masa ini biasa disebut
dengan historiografi tradisional. Historiografi tradisional identik menggunakan
karya sastra misalnya babad atau hikayat. Dalam karya sastra tadi poliglot masih
ada mitos-mitos yang berkembang. Mitos adalah suatu cerita atau sejenisnya yang
bersumber pada sebuah kejadian sejarah tetapi lebih menonjol dan dilebihkan
sebagai suatu hayalan. Mitos dalam historiogradi tradisional memuat kehidupan
masyarakat dan umumnya merogoh dewa dewi untuk menjadi tokohnya. Salah satu
karya sastra yang menarik untuk dikaji pada historiografi tradisional merupakan
babad. Babad bisa diartikan menjadi sebuah dongeng yang sengaja digubah sebagai
sebuah cerita sejarah.9 Dalam tradisi Melayu, karya sastra pada benyuk babad
diklaim menggunakan salasilah, tambo, atau hikayat. Contohnya misalnya Hikayat
Raja-Raja Pasai dan Hikayat Salasilah Perak. Menurut Olthof, babad adalah cerita
klasik yang mengisahkan berdari muasal suatu wilayah atau kerajaan. Seperti
Babad Tanah Jawa yang memuat cikal-bakal mengenai raja-raja Mataram. Raja-
raja yang menguasai Padjajaran, Majapahit, Demak, Pajang, sampai Mataram
Islam. Pujangga yang mempunyai kiprah menulis suatu karya lebih tak jarang
membahas mengenai mitos dan sedikit yang membahas mengenai warta yang
terdapat. 10Pujangga umumnya bukan adalah bagian berdasarkan silsilah keluarga
keraton atau keturunan berdasarkan raja. Mereka adalah pejabat atau hamba yang
mengelilingi oleh raja. Mereka mempunyai kedudukan yang sangat krusial lantaran
dianggap secara pribadi sang raja buat menulis setiap kisah mengenai raja juga
lingkungannya. Dalam historiografi tradisional adanya mitos ditimbulkan sang
unsur gaib atau agama yang sudah dipercayai sang penulis dan nantinya sebagai
suatu legitimasi bagi penguasa dalam waktu itu sebagai akibatnya bisa meyakinkan
warga pada kekuasaannya. Mitos dimunculkan ditujukan buat mengkultuskan
seseorang raja. Selain itu, mitos-mitos yang terdapat bukan semata-mata menjadi
pelipur lara, tetapi adalah cerita yang mengandung sejumlah pesan. Pesan tadi tidak
hanya masih ada pada sebuah mitos namun jua tersimpan pada holistik mitos.
9
Sri Iswidayati. “Fungsi Mitos dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Pendukungnya”.
Harmoni Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. 8 No.2, Mei-Agustus 2007, hlm: 180
10
Yusdani. “Menggali Makna Mitos dalam Sastra dan Budaya Nusantara”. Jurnal Millah, Vol.10
No.1, Agustus 2020, hlm: 178
Mitos-mitos yang masih ada pada cerita misalnya dalam Babad Tanah Jawi
disampaikan sang penulis dalam masa lalu. Sedangkan penerima pesan itu
merupakan pembaca kini atau masa kini. Dengan demikian interaksi pemberi pesan
dan penerima pesan adalah interaksi yang sangat jauh dan bersifat satu arah.
Pembaca sejarah menjadi penerima pesan pada mitos-mitos tadi wajib
menggabungkan pesan-pesan yang terdapat sebagai akibatnya pesan itu
mempunyai makna. Tentunya pada melakukan hal tadi perlu memakai analisis atau
pendekatan-pendekatan yang ada.11
5. Terangkan apa saja unsur-unsur sejarah yang faktual di dalam Babad Tanah
Jawi!
Babad adalah sebuah karya tulis yang menceritakan pendirian sebuah negara atau
kerajaan. Cerita babad bukan hanya mengenai pendirian negara tersebut, melainkan
juga ceritacerita yang terjadi pada kerajaan atau negara tersebut. Didalam Babad
Tanah Jawi sendiri ada unsur mitos ada juga unsur faktual nya, diawal cerita Babad
tanah Jawi terdapat banyak mitos yang dijelaskan, dikarenakan pada masa itu mitos
dan legenda masih erat dengan masyarakat. Dan pada pertegahan isi hingga akhir
Babad tanah jawi berisikan dengan fakta- fakta sejarah Kedua bagian ini membahas
fase sejarah yang lebih kontemporer (dekat dengan zaman ketika manuskrip
tersebut ditulis). Babad Tanah Jawi. Kitab yang meriwayatkan Kerajaan Mataram
di Jawa Tengah (1582 – 1749) dibuka dengan kisah penyatuan genealogi dewadewa
Hindu dan nabinabi dalam Islam, keturunan para dewa di bumi, dan pendirian
beragam tatanan dalam kehidupan. Pengisahan pasangsurut hingga berakhirnya
kekuasaan Majapahit (1293 – 1478)kemudian bergulirnya kekuasaan Demak,
Pajang, dan Mataram pada abad ke16, dalam babad ini dijalin padu sebagai
historiografi Jawa masa Islam. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa didalam
BTJ ini unsur faktualnya tentang meriwayatkannya Kerajaan Mataram, kekuasaan
Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram, Selain itu juga peranan Wali Songo juga
dibahas didalam BTJ, peran Sunan Kalijaga yang membantu raja Mataram dan
banyak memberikan masukan sesuai dengan syariat islam.Muatan Babad Tanah
Jawi mengenai Walisongo merupakan informasi berharga tentang bagaimana
sumber lokal melihat masa lalu tokoh Islam dalam pentas sosialpolitik. Jika
sebagian sejarawan meragukan validitas Babad, namun dalam sudut pandang sastra,
karya babad memiliki nilai penting. Sebagian sejarawan bahkan mempergunakan
babad sebagai sumber informasi mumpuni ketimbang sumbersumber kolonial.
12
Babad Tanah Jawi ada sebagai karya sastra sejarah, bukan hanya sebuah dokumen
historis semata, melainkan sebagai sarana legitimasi bagi kekuasaan. Babad Tanah
Jawi ditulis sejak masa Mataram untuk menyambungkan penguasa Mataram
dengan penguasa Majapahit dan Demak. Dengan cara tersebut, Dinasti penguasa
Mataram mendapatkan pengesahan sebagai raja berkat silsilah yang
menghubungkan mereka dengan penguasa sebelumnya. Walisongo dalam Babad
11
Muhammad Iqbal Birsyada. “Budaya Keraton pada Babad Tanah Jawi dalam Perspektif
Pedagogi Kritis”. Jurnal Sejarah dan Budaya, tahun kesepuluh,Nomor 2, Desember 2016, hlm: 182
12
Bakir dan Achamd Fawaid. “Kontestasi dan Genealogi “Kebangkitan” Islam Nusantara: Kajian
Historiografis Babad Tanah Jawi”. Jurnal Islam Nusantara, Vol.1 No.1, Januari-Juni 2017, hlm: 25
Tanah Jawi memenuhi tiga fungsi legitimasi. Pertama, Walisongo menjadi
legitimasi melalui ramalan tentang tokoh yang akan berkuasa, seperti Mas Karebet
yang menjadi Sultan Pajang dan Keturunan Ki Pamahaman yang menjadi penguasa
Jawa. Kedua, Warrisongo menyerahkan atau meratifikasi pusaka , yang kemudian
digunakan oleh penguasa Mataram. Ketiga, pada tahun , Warrisongo bertindak
sebagai juru runding pendirian Mataram untuk memperoleh hak di hadapan mantan
penguasa. Angka Warrisongo direpresentasikan sebagai angka tambahan di ,
memberikan legitimasi moral dan spiritual penguasa Mataram. Ada salah satu dari
sembilang Walisongo yang menjadi pusat pendukung berdirinya Kerajaan Demak.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Mulyana dan Darmiasti, Historiografi Di Indonesia: Dari Magis-Religius
Hingga Strukturis, (Bandung: Refika Aditama, 2009).
Agus Mulyana dan Darmiasti, Historiografi Di Indonesia: Dari Magis-Religius
Hingga Strukturis, (Bandung: Refika Aditama, 2009
Bakir dan Achamd Fawaid. “Kontestasi dan Genealogi “Kebangkitan” Islam
Nusantara: Kajian Historiografis Babad Tanah Jawi”. Jurnal Islam
Nusantara, Vol.1 No.1, Januari-Juni 2017
F. Galih Adi Utama. Babad Nitik sebagai Sumber Penulisan Sejarah. Istoria: Jurnal
Pendidikan Sejarah. Vol. 17, No. 2, September 2021
Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007)
Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007)
Johan Septian Putra. Historiografi Islam Indonesia Kontemporer (Studi Kajian
Buku Api Sejarah Karya Ahmad Mansur Suryanegara). Tarikhuna: Journal
Of History And History Education ISSN: 2777-1105 (PRINT), 2797-3581
(Online) Vol 3, No. 2, November 2021
Muhammad Iqbal Birsyada. “Budaya Keraton pada Babad Tanah Jawi dalam
Perspektif Pedagogi Kritis”. Jurnal Sejarah dan Budaya, tahun
kesepuluh,Nomor 2, Desember 2016
Ong Hok Ham. Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia. 2018
P. J. Zoetmulder. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (terj). Judul Asli
Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature (KITLV, 1974). Jakarta:
Penerbit Djambatan, 1983
Sri Iswidayati. “Fungsi Mitos dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Pendukungnya”. Harmoni Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. 8
No.2, Mei-Agustus 2007
Sugeng Priyadi, Historiografi Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2015)
Suryadi A.G, Linus. Dari Pujangga ke Penulis Jawa. Yogyakarta: Penerbit
PustakaPelajar, 1995,
Yusdani. “Menggali Makna Mitos dalam Sastra dan Budaya Nusantara”. Jurnal
Millah, Vol.10 No.1, Agustus 2020