Anda di halaman 1dari 7

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PENYEDERHANAAN

BIROKRASI PEMERINTAHAN

OLEH:
NAMA : SAGITA HARIATI
NIM : B021201036
KODE SERI : -

PRODI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020/2021
Penyederhanaan birokrasi pemerintah ini tidak serta merta kita hanya merujuk pada pedoman
pelaksanaan dalam artian aspek legitimasi, tetapi kita harus memiliki kerangka berpikir yang
dijadikan sebagai acuan. Tentu hal ini menjadi dorongan penyederhanaan birokrasi yang dilihat
dalam konsep management strategic khususnya dalam konteks organisasi pemerintah. Dalam
mendesign birokrasi seyogyanya mempertimbangkan 3 aspek, yaitu :

- Bagaimana kita melihat lingkungan yang kita hadapi.


- Bagaimana lingkungan itu direspon dalam bentuk strategi-strategi yang sejalan dengan
apa yang menjadi tuntutan lingkungan.
- Struktur birokrasi seperti apa yang akan kita gunakan sehingga lingkungan yang direspon
bisa menjadi penghantar yang baik.

Karena itu, secara konseptual dikatakan bahwa kesuksesan organisasi atau birokrasi sangat
tergantung bagaimana cara menyesuaikan ketiga variabel utama di atas. Ketika dilihat pada
konteks pemerintahan, maka legitimasi dan dukungan itu memang sudah ada dari dasar hukum
yang menjadi landasan dalam cara mendesign birokrasi pemerintah yang bisa berkinerja tinggi
dan dapat mencapai tujuan organisasi, tetap menjaga kepercayaan masyarakat serta kepuasan
masyarakat.

Perintah mengenai pentingnya penyederhanaan struktur organisasi di birokrasi pemerintah baik


kementrian lembaga pusat maupun daerah yaitu dilihat dari arahan Presiden yang disampaikan di
awal dna tentunya harus direspon dengan cepat oleh Kementrian yang memang diberi
kewenangan memimpin proses transformasi. Sehingga apa yang menjadi instruksi presiden dapat
dilaksanakan dengan baik.

Organisasi dengan tata kelola yang baik harapannya akan melahirkan organisasi yang fleksibel
dengan sifat kolaboratif dengan kemampuan teknis oprasional adminsitratif yang terwujud dalam
bentuk akuntabilitas kinerja. Hal ini bisa dicapai jika ditunjang oleh adanya personil ASN yang
memang tepat, baik dari sisi jumlah maupun skill yang ditunjang oleh sarana teknologi dan
infrastruktur yang memadai sehingga apa yang menajadi tujuan daripada penyederhanaan
struktur organisasi yang merupakan arahan Presiden bisa dicapai. Dalam arah kebijakan
reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 18
tahun 2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024 memperlihatkan secara tegas bahwa tata kelola
pemerintahan yang baik itu harus ditunjang oleh 3 pilar yaitu : a) ASN, b) Kelembagaan dan
proses bisnis organisasi, dan c) Akuntabilitas kinerja dan pengawasan. Pilar inilah nanti yang
akan mensupport terciptanya peran pemerintah sebagai pelayan publik yang akan berubah
menjadi pelayan publik yang berkualitas, sehingga akan terwujud pemerintahan yang baik bersih
dan berwibawa yang tentunya berdasar hukum serta birokrasi yang professional dan memiliki
sikap yang netral karena orientasinya hanya pelayanan kepada publik. Tata kelola pemerintahan
yang baik ini memerlukan penataan kelembagaan yang berbasis proritas pembangunan nasional.
Oleh karena itu, diperlukan penataan kelembagaan dan proses bisnis di instansi pemerintah dan
pemerintah yang mampu menerapkan sistem pemerintah berbasis elektronik yang terintegrasi.
Dalam pengembangan design tata kelola pemerintahan yang baik ini yang sesuai dengan visi dan
misi Indonesia 2045 maka secara bertahap melalui 5 tahun ini diharapkan penataan kelembagaan
ini akan mendukung terwujudnya praktik pemerintahan yang dinamis. Untuk menuju ke sana,
akan ada beberapa fase yang akan dilalui dan harus dikembangkan dengan terstruktur dan
sistematis dan akan terwujud praktik pemerintahan yang dinamis yang diterjemahkan kedalam
munculnya smart government. Oleh karena itu dalam kebijakan pengembangan tata kelola yang
dikeluarkan pemerintah, maka pada tahun 2019 telah dilakukan persiapan-persiapan penataan
organisasi baik kementrian, lembaga, maupun pemerintah daerah. Hal ini dipandang sebagai fase
transisi menuju smart government. Dimana pada fase ini telah dilakukan upaya bagaimana setiap
wilayah pemerintahan itu melakukan upaya penciptaan proses bisnis dan tata hubungan kerja
internal baik di kementrian, lembaga dan pemerintah daerah. Karena itu inisiasi proses bisnis
antar sasaran pembangunan lintas bidang maupun sektor sudah harus diupayakan dan bagaimana
cara mendesign layanan publik secara interaktif yang tentu berbasis pada sistem pemerintahan
berbasis elektronik. Kemudian pada tahun 2020 sudah mulai ditetapkan organisasi kementrian,
lembaga, maupun pemerintah daerah yang relevan dengan tujuan grand design tata kelola
pemerintahan untuk mendukung visi Indonesia 2045. Disinilah dapat kita lihat pada tahun 2020
sampai tahun 2021 akan memasuki fase transformasi menuju smart government dan bagaimana
kelengkapan proses bisnis antar sasaran pembangunan lintas bidang dan sektor harus dilakukan.
Dalam hal ini diperlukan koordinasi antara kementrian, lembaga dan daerah dalam isu-isu yang
bersifat tematik dan fokus pada pembangunan lintas bidang atau sektor. Diperlukan juga tata
kelola dan tata laksana inklusif berbasis SPBE. Diharapkan pada tahun 2020 sudah ada optimasi
koordinasi lintas bidang maupun sektor yang kemudian akan menggiring pemerintahan yang
lebih efektif baik dalam melakukan koordinasi terutama pada lintas kemntrian, lembaga dan
daerah yang sudah berbasis SPBE. Sehingga pada tahun 2023-2044 diharapkan sudah muncul
apa yang kita inginkan yaitu smart government, dimana integrasi pada level yang tinggi dan
proses bisnis lintas bidang dan sektor sudah berbasis SPBE. Berarti harus ada optimalisasi SPBE
dalam koordinasi dengan menggunakan siklus planning, do, check, and action bagi isu-isu
sistematik dan pembangunan lintas bidang maupun sektor. Oleh karena itu, pentingnya screen to
screen coordination and server to server coordination karena sudah berbasis pada elektronik.
Sehingga pada tahun 2023-2024 ini, penerapan penuh terhadap SPBE dengan typology 3.0
sebagai pendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional sudah terwujud.

Ada beberapa inisiatif yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka mentransformasi
kelembagaan tata kelola pemerintahan yang tentunya dilihat pada level makro,messo, dan mikro.
Pada level makro, dilakukan penguatan kebijakan kelembagaan bagi pengembangan tata kelola
pemerintahan yang efektif, inklusif, partisipatif, dan saling menunjang antar sektor. Di level
messo, pengembangan tata kelola pemerintahan yang adaptif terhadap dinamika dan konteks
tentunya diarahkan pada isu-isu yang khusus dan tematik terkait dengan pembangunan lintas
sektor dan dilakukan upaya harmonisasi dan penyederhanaan proses bisnis dengan pola tematik
untuk mewujudkan layanan terintegrasi inter dan antar organisasi kementrian, lembaga maupun
daerah dan pentingnya pengembangan tata kelola pemerintahan yang berbasis struktur SPBE
sebagai bagian dari transformasi digital. Di level mikro, penguatan koordinasi inter antar
organisasi dalam siklus yang penuh sejak dimulainya perencanaan sampai dengan pelaksanaan
pembangunan lintas sektor dan upaya peningkatan efektivitas dan penguatan kapasitas
kelembagaan mengenai orangnya, prosesnya, teknologi dan infrastruktur. Pada level makro ini
perlu dilakukan beberapa hal yang sangat urgent tentunya yang berkaitan dengan pengembangan
grand design tata kelola pemerintahan untuk mendukung pencapaian visi Indonesia 2045 dengan
melihat prinsip 3 hal yaitu : Pertama, pentingnya mendesign pemerintahan kolaboratif atau
collaborative government, pentingnya mendesign pemerintahan yang adaptif dan terkait dengan
lingkungan bagaimana respon pemerintah atau lembaga agar bisa merespon dnegan cepat isu-isu
yang berkaitan dengan sisi internal maupun internasional. Kedua, bagaimana mengembangkan
kelembagaan birokrasi yang fleksibel dan adaptebel dalam rangka optimalisasi pelaksanaan dan
pencapaian sasaran pembangunan nasional secara sinergis antara kementrian, lembaga, dan
daerah. Serta yang ketiga, penataan kerangka kebijakan kelembagaan untuk mewujudkan
birokrasi pemerintahan yang simple atau sederhana, responsif, adaptif, dan kolaboratif. 3 hal
inilah yang merupakan aspek yang harus diberi penguatan terkait dengan kebijakan kelembagaan
bagi pengembangan tata pemerintahan yang efektif, inklusif, partisipatif, dan saling menunjang
antar sektor. Dalam mendesin tata kelola pemerintahan seperti yang diharapkan dalam grand
design pemrintahan di era 2045 maka ada 3 aspek yang penting untuk diperhatikan yaitu : a) hal-
hal yang memungkinkan design kelembagaan responsif dengan kondisi yang ingin dicapai pada
saatnya yang disebut dengan faktor enabler. Dalam hal ini ada aspek yang harus diperhatikan
yaitu teknologi informasi sebagai penggerak dari seluruh aspek pemerintahan yang akan
mengintegrasikan setiap unsur birokrasi untuk beroperasi sebagai satu kesatuan pemerintahan. b)
pentingnya kebijakan sebagai sistem dasar yang terintegrasi untuk menghasilkan data yang
akurat, mutakhir, dan terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. c) aspek driver yang
harus di design untuk melahirkan kelembagaan yang gesit, adaptif, fleksibel, dan kolaboratif.
Penyusunan proses bisnis dan tata kelola yang sederhana, tematif, dan terintegrasi tentu berbasis
teknologi komunikasi dan informasi dan SDM aparatur yang professional dengan open karya
sistem dan management talenta serta pelayanan publik yang prima.

Insiatif pada level messo tentu berbicara tentang pengembangan proses bisnis yang bersifat
holistik dan integratif sebagai proses bonding antar kementrian, lembaga dan daerah yang
berbasis tematik dalam pencapaian sasaran pembangunan lintas sektor dan menjadi dasar
koordinasi sinergitas inter dan antar kementrian, lembaga, dan daerah. Selanjutnya, bagaimana
melakukan pengembangan kelembagaan pada forum koordinasi lintas kementrian, lembaga dan
daerah yang berbasis pada teknolog informasi dan komunikasi dalam pelaksaan pembangunan
lintas sektoral secara sinergis. Inisiatif strategi yang penting juga pada level messo ini adalah
bagaimana penataan kerangka regulasi dan kerangka kelembagaan untuk mewujudkna birokrasi
baik kementrian, lembaga, maupun daerah sebagai organisasi yang efektif, inklusif, partisipatif,
dan slaing menunjang antar sektor.

Pada level mikro, inisiatif strateginya adalah pentingnya dilakukan penguatan kapasitas
kelembagaan baik orangnya, prosesnya, teknologi dan infrastrukturnya dengan berfokus pada
penyelenggaraan mandate dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Pada pengembangan
proses bisnis diperlukan crush functions of value creation baik kementrian, lembaga maupun
daerah yang selaras dengan upaya pencapaian sasaran pembangunan lintas sektor dan
menjadikan dasar bagi koordinasi sinergis antara kementrian, lembaga maupun daerah. Harus
diupayakan bagaiamana menjaga tata kelola organisasi baik di kementrian, lembaga maupun
daerah dalam kerangka logis elemen peraturan kelembagaan yang memang harus diperhatikan
baik dari aspek tugas, fungsi, wewenang, resiko, tata laksana dan anggaran. Kemudian
bagaimana mewujudkan praktik birokrasi inter organisasi baik di kementrian, lembaga maupun
daerah yang eketif, inklusif, partisipatif, dan saling menunjang lintas sektor serta bagaimana
mewujudkan tata kelola sistem pemerintahan berbasis elektronik baik pada level kementrian,
lembaga dan daerah yang sudah terpadu. Akibatnya , hal ini menghendaki adanya model struktur
organisasi yang sudah harus berbasis fungsional dengan mengambil pilihan apakah bersifat flat
dan struktur yang bersifat kolaboratif. Struktur organisasi yang berbasi fungsional tentunya
berbasis pada kinerja dan lebih mengedepankan output daripada keahlian. Mengedepankan
jabatan fungsional yang professional dan berkomitmen pada jabatan fungsionalnya yang betul-
betul disebut sebagai ASN yang professional lalu dilakukan perubahan management kerja, pola
kerja, tanggungjawab , dan tanggung gugat di dalam organisasi. Ke depan akan diperlukan
adanya tim yang terbentuk dalam organisasi tentu sesuai dengan program-program yang menjadi
tanggung jawab dari setiap organisasi yang akan melahirkan kelompok-kelompok jabatan
fungsional . kelompok-kelompok jabatan fungsional ini bersifat fleksibel, changeable atau bisa
diubah-ubah dan sangat moveable atau bisa berpindah-pindah karena mengutamakan
terselesainya berbagai macam target-target yang harus dicapai lewat tim yang berisi orang yang
memiliki jabatan fungsional yang dibutuhkan di semua tim yang dibentuk. Indikator
penyelenggaraan instansi pemerintahan itu kemudian menjadi dasar bagi pengorganisasian lintas
unit kerja dalam sebuah instansi dengan berbasis pada pentingnya tugas dan fungsi organisasi
dan tugas fungsi jabatan fungsional. SDM tersebut bekerja dalam tim-tim sesuai sasaran dan
pengelolaannya yang tentu sangat bersifat fleksibel dan dapat dipertukarkan namun tetap dalam
konteks akuntabel.

Oleh karena itu, perintah Presiden tersbeut bisa dimaknai dalam tiga tahapan penyederhanaan
birokrasi. Pertama, melakukan penyederhanaan struktur organisasi yang masih tertunda sampai
Desember 2021. Kedua, penyetaraan jabatan yang berarti para pejabat sebelumnya harus
dipassing ke dalam jabatan fungsional yang relevan dengan latar belakang jabatan maupun latar
belakang keahlian dari para pejabat yang disetarakan. Ketiga, bagaimana menyesuaikan sistem
kerja yang tidak lagi berbasis pada strukturan tetapi berbasis pada fungsional. Dalam hal ini
tentunya dibutuhkan penyederhanaan kelembagaan sesuai dengan konteks orientasi orang
bekerja sehingga diperlukan adanya perubahan dari sisi, model maupun struktur organisasi.
Design kerangka kerja penyederhanaan struktur organisasi di instansi daerah tentunya akan lebih
rumit. Penetapan pola susunan organisasi perangkat daerah dapat dilihat dari dua unsur variabel
baik yang bersifat variabel umum maupun yang bersifat teknis. Lalu kemudian melahirkan
pemetaan intensitas urusan pemerintahan dan penentuan beban kerja perangkat daerah sehingga
melahirkan tipologi perangkat daerah yang terbagi dalam tipologi yang sama antar urusan
kemudian maksimalisasi struktur dan dominasi struktur. Kondisi yang ada sekarang ini harus
dikendaliakn oleh kementrian yang terkait dengan pembinaan dan pengendalian yaitu
Kemendagri sedangkan pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh Kemendagri dan Kemenpanrb.
Ini merupakan dasar kebijakan untuk merubah pola organisasi yang sebelumnya menggunakan
pola struktural kemudian merubah kondisinya yang dikehendaki oleh Presiden. Berarti harus ada
perubahan atau transformasi karena transformais ini merupakan perintah Presiden yang
kemudian dituangkan dalam Perpres RPJMN 2020-2024 yang melahirkan kebijakan
penyederhanaan birokrasi. Penyederhanaan birokrasi ini menghendaki organisasi pada dua level
saja dan mengehendaki konsekuensi penguatan peran jabatan fungsional sehingga di daerah
perlu dilakukan akomodasi karakteristik daerah yang berbeda antar setiap daerah. Sehingga perlu
pemetaan fungsi inti urusan pemerintah dan pengklasifikasian organisasi yang berbasis urusan
pemerintahan dan melakukan validasi kriteria kuantitatif sehingga akan melahirkan basis kriteria
baik karena karakteristik tugas dan fungsi, sifat pekerjaan dan kebutuhan managerial maupun
kompleksitas sumberdaya sehingga akan melahirkan model organisasi pemerintah daerah yang
berbasis fungsional.

Anda mungkin juga menyukai