Anda di halaman 1dari 3

Harga Kedelai Naik, Siapa yang diuntungkan?

Tahu dan tempe dijadikan sebagai makanan pokok orang Indonesia karena merupakan
salah satu sumber protein yang paling terjangkau. Selain itu, dalam menghadapi masa pandemi,
asupan protein memegang peranan penting untuk menjaga imunitas tubuh. Namun, Kementerian
Perdagangan (Kemendag) kembali menyampaikan kabar buruk tentang kenaikan harga kedelai
sebagai imbas naiknya harga kedelai dunia.

Pemerintah berdalih, mahalnya harga kedelai ini disebabkan berkurangnya suplai.


Negara-negara produsen seperti Argentina mengalami gagal panen akibat La Nina. Sementara
permintaan kedelai sangat tinggi, khususnya dari Cina. Di sana, kedelai digunakan untuk pakan
babi yang jumlahnya nyaris lima miliar.

Melansir suara.com (14/2/2022), mahalnya harga kedelai dalam beberapa waktu


belakangan membuat Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo angkat suara. Ia
mengklaim pihaknya kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri karena anggaran yang
dipangkas imbas kebijakan refocusing karena pandemi Covid-19. Akibatnya, kebutuhan kedelai
dalam negeri harus terpenuhi dari importasi sebanyak 2,4 juta ton.

Sementara itu, lain alasan Mentan, lain pula alasan Menteri Perdagangan (Mendag).
Melansir kompas.com (19/2/2022), Mendag Muhammad Lutfi menjelaskan dua penyebab harga
kedelai impor mahal di Indonesia. Pertama, cuaca buruk badai El Nina di Argentina, Amerika
Selatan, yang mengakibatkan harga kedelai per gantang naik dari 12 dolar AS menjadi 18 dolar
AS. Kedua, permintaan kedelai tinggi, terutama dari Cina. Menurut Mendag, Cina memiliki lima
miliar babi dan pakannya adalah kedelai.

Tidak jauh berbeda, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) melalui eks Ketua
KPPU Tajuddin Noer Said mengungkapkan melambungnya harga kedelai Indonesia pada
dasarnya disebabkan oleh IMF. Sebelum 1998, Indonesia meminta IMF membantu mengatasi
krisis ekonomi di Indonesia, tetapi ada syaratnya, yakni Indonesia harus membuka pasarnya, dan
di sinilah kita ‘negeri segala impor’.

Sungguh ironis, tahu tempe yang kita konsumsi selama ini ternyata hasil impor kedelai
dari luar negeri. Kementerian Pertanian mencatat sekitar 86,4% kebutuhan kedelai Indonesia
berasal dari impor. Hingga 2020, dalam catatan BPS, terdapat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton
dengan nilai mencapai US$1 miliar. (katadata.co.id).
Ketua Gakoptindo menjelaskan bahwa 1 kg kedelai impor dapat mengembang menjadi
1,6—1,8 kg ketika dimasak. Sementara, 1 kg kedelai lokal hanya dapat mengembang menjadi
1,4—1,5 kg. Kedelai impor dianggap sudah memiliki standar, mulai dari bentuk, ukuran, dan
warna yang seragam karena proses produksinya menggunakan teknologi dan mekanisme
mutakhir, sementara kedelai lokal masih berbasis pertanian tradisional.

Berulangnya kisruh pangan justru membuktikan pemerintah tidak serius mengatur


dan menyolusi persoalan yang terjadi. Artinya, pemerintah telah gagal memenuhi hak dasar
masyarakat atas pangan yang sejatinya menjadi amanat Undang-Undang, termasuk amanat
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan, mulai dari pemetaan wilayah tanam, perbaikan
kebijakan pertanahan, konsolidasi dan pembinaan, subsidi sarana produksi (saprodi)
pertanian, dukungan penuh terhadap penelitian, optimasi fungsi lembaga kuasi semacam
Bulog, penegakan hukum atas segala bentuk kecurangan, dan lain-lain. Semuanya harus
didedikasikan demi kepentingan rakyat dan dilandasi rasa tanggung jawab.

Kedaulatan pangan tentu tidak mungkin bisa diwujudkan jika pemerintah hanya mau
mencari jalan pintas. Harus ada visi besar, niat baik, dan kesungguhan untuk memobilisasi
semua potensi yang ada demi merealisasikan cita-cita. Untuk negara sebesar dan sekaya
Indonesia, hal ini semestinya bisa.

Kapitalisme adalah sistem kehidupan yang menjadikan keuntungan materi sebagai


tujuan utama. Segala kebijakan dipilih yang paling menguntungkan. Alih-alih melakukan
perubahan sistem secara mendasar, negara dengan sistem kapitalisme akan memilih solusi
pragmatis yang lebih praktis. Wajar jika negara lebih memilih membuka keran impor kedelai
ketimbang melakukan perbaikan mendasar sistem pertanian.

Bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak saja diserahkan kepada pihak
asing, ke mana fungsi negara sebagai pemangku tanggung jawab utama kesejahteraan
rakyatnya?Oleh sebab itu, sistem kapitalisme ini telah jelas menimbulkan mudarat bagi umat,
sudah saatnya kita hijrah pada penerapan syariat Islam.

Ketika suatu negara berkesempatan intervensi pangan pada negara lain, besar
kemungkinan regulasi internal negara tersebut akan mengalami karut-marut. Islam sangat
menyadari hal ini. Inilah sebab kebijakan pangan dalam sistem pemerintahan Islam berpijak
pada independensi. Kunci utama ada pada politik pertanian yang mengacu pada peningkatan
produksi pertanian dan adilnya distribusi pangan.

Pemerintah akan menerapkan tiga cara dalam mencapai swasembada pangan.


Pertama, menghentikan aktivitas impor dan memberdayakan sektor pertanian. Sebenarnya,
Indonesia punya lahan pertanian yang cukup luas. Namun, sejak menjamurnya sektor
industri, pertanian seolah dipandang sebelah mata. Lahan pertanian digusur dan disulap
menjadi bisnis perumahan elite. Akibatnya, Indonesia kehilangan banyak lahan pertanian
yang seyogianya sangat cukup mewujudkan swasembada pangan.  

Kedua, menggalakkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.


Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia.
Negara dapat mengupayakan dengan penyebarluasan dan teknologi budidaya terbaru di
kalangan para petani; serta membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul,
pupuk, dan sarana produksi pertanian lainnya.

Selain itu, pengembangan iptek pertanian ini penting agar negara secara mandiri
melakukan produktivitas pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, bukan
meliberalisasi sektor pertanian untuk kepentingan industri asing. Negara tidak boleh
melakukan ekspor pangan sampai kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi dengan baik.

Negara harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu. Negara juga
harus memberikan akses air secara gratis bagi para petani. Ini karena air merupakan
kepemilikan umum yang menjadi faktor penting bagi irigasi pertanian.

Adapun ekstensifikasi dapat dilakukan dengan cara membuka lahan-lahan baru dan
menghidupkan tanah mati, serta memerintahkan setiap orang yang memiliki tanah untuk
mengelola tanahnya secara optimal.

Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang
penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan itu, stabilitas harga
pangan akan terjaga. Negara pun akan memastikan tidak ada kelangkaan barang karena Islam
melarang penimbunan barang.

Demikianlah mekanisme swasembada pangan dalam Islam, yakni menghentikan


impor, menggalakkan produksi pertanian, serta fokus menangani setiap masalah yang
menjadi kewajiban negara.

Anda mungkin juga menyukai