Covid-19 dan Pilpres AS? Adakah Konspirasi didalamnya?
Pada Desember 2019, kasus pneumonia misterius pertama kali laporkan
di Wuhan, provinsi Hubei. Sumber penularan kasus ini masih belum pasti, tetapi kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan. Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat 5 pasien yang dirawat dengan diagnosa Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Sejak 31 Desember 2019 hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan dilaporkannya sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu bulan, penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang hingga Korea Selatan. Coronavirus adalah virus RNA dengan partikel berukuran 120-160nm. Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk diantaranya kelelawar dan unta. Saat ini, penyebaran SARS-Cov-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS- Cov-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin. (Susilo, Adityo, 2020) Ditengah kondisi pandemi yang tak kunjung usai, terdapat beragam informasi di media yang berusaha menggiring opini publik pada ketidakpercayaan terhadap Covid-19 mulai dari penyebaran berita hoax hingga teori konspirasi. Mengenai teori konspirasi covid-19 sendiri, ada cukup banyak yang tersebar di media, namun yang sedang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini adalah teori konspirasi covid-19 dan hubungannya dengan pilpres AS. Penasihat Intelijen Kementrian Pertahanan Indonesia, Mardigu Wowiek, menyebut ada kemungkinan virus corona berkaitan dengan presiden Amerika Serikat yang saat ini menjabat, Donald Trump. Presdien AS periode sebelumnya, yaitu Barack Obama, diketahui merupakan darling-nya dunia farmasi, namun setelah Trump jadi presiden, industri farmasi justru terpuruk. Lebih lanjut, Mardigu juga mengatakan bahwa salah satu penguasa industri farmasi didunia adalah Joe Biden (Demokrat) yang merupakan lawan Donald Trump di Pilpres AS Tahun 2020. Dibelakang Joe Biden inilah terdapat elite global seperti Obama, Hillary Clinton, Bill Gates, dll. Kepentingan pilpres AS inilah yang disebut-sebut menjadi salah satu pemicu virus corona disebar sebagai aksi balas dendam terhadap Trump – atau dengan kata lain, covid-19 hanyalah sebuah konspirasi dan akan selesai seiring dengan terpilihnya Joe Biden sebagai presiden AS yang baru. (Larassaty, Levi, 2020) Terkait dengan teori konspirasi tersebut, penulis tidak setuju dengan kemungkinan yang dipaparkan oleh Mardigu. Hal ini mengacu pada fakta di lapangan bahwa hingga hari ini, angka penderita covid masih terus bertambah. Berdasarkan data yang dihimpun CDC (Centers for Disease Control and Prevention), sepanjang Senin, 10 November 2020, Amerika mencatat 133.819 kasus infeksi baru penyakit virus covid-19 atau tepatnya terhitung 6 hari setelah pilpres. Angka tersebut merupakan rekor baru, sekaligus untuk pertama kalinya jumlah kasus di AS menembus 130 ribu. Lonjakan jumlah kasus ini terhitung mulai Rabu atau sehari setelah berakhirnya Pilpres AS. Berdasarkan statistik kasus covid-19 yang dihimpun oleh Worldometers menunjukkan angka yang masih terus mengalami peningkatan dengan total kasus saat ini sebanyak 52.389.469 kasus di dunia per 12 November 2020. Dengan angka terbanyak adalah kasus covid-19 di Amerika, kemudian India, Brazil dst. Mudahnya seseorang memercayai konspirasi, juga didorong oleh kecemasan dan ketakutan individu terhadap kondisi dunia. Perasaan cemas, paranoid, dan perasaan tidak berdaya yang diekspresikan melalui teori konspirasi untuk menarik perhatian individu (Green & Douglas, 2018). Disamping itu, kecemasan dan rasa tidak aman disebabkan oleh tanggapan negatif terhadap pemerintah sehingga mengarah pada asumsi konspirasi (Georgiou et al, 2020). Padahal, jika ditelaah lebih lanjut, adalah suatu hal yang aneh jika teori tersebut mengatakan covid-19 merupakan konspirasi dan akan berakhir seiring berkahirnya pilpres AS dengan Joe Biden sebagai presiden terpilih, sementara kasus covid-19 di AS sendiri, maupun di dunia justru mengalami peningkatan meskipun Joe Biden telah keluar sebagai pemenang. Konspirasi mengenai pandemi covid-19, akan mengganggu ketahanan informational relations, sociomaterial structures, dan anticipatory practices (Amir & Kant, 2018). Konspirasi mengenai covid-19 ini akan mengganggu ketahanan informational relations sebagai salah satu elemen dalamm sistem teknososial. Padahal, informasi merupakan hal penting untuk mengatasi kondisi krisis. Maka, diperlukan usaha dari masyarakat maupun pemerintah untuk mengembalikan persepsi publik terhadap pandemi. Anggapan bahwa covid-19 hanyalah konspirasi elit global yang tidak berbahaya perlu diberikan wacana tandingan untuk tetap menjaga kewaspadaan publik terhadap pandemi. Wacana tandingan digunakan melalui argumentasi kuat dengan daya tarik yang bersifat pribadi, keyakinan moral, dan menggambarkan suara netral. (Montgomery, 2017). DAFTAR PUSTAKA Susilo, Adityo. Coronavirus Disease 2019: Review of Current Literatures. 2020. Diakses pada 14 November 2020 dari http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/415/ Amir, S., & Kant, V. Sociotechnical Resilience: A Premilinary Concept. 2018. Diakses pada 14 November 2020 dari https://doi.org/10.111/risa.12816/ Green, R., & Douglas, K.M. Anxious Attachment and Belief in Conspiracy Theories. 2017. Diakses pada 14 November 2020 dari https://doi.org/10.1016/j.paid.2017.12.023/ Montgomery, M. Post-truth Politics?Journal of Language and Politics. 2017. Diakses pada 14 November 2020 dari https://doi.org/10.1075/jlp.17023.mon/ Centers for Disease Controls and Prevention. 2020. Diakses pada 14 November 2020 dari https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/index.html/ Larassaty, Levi. 5 Real Konspirasi Virus Korona. 2020. Diakses pada 14 November 2020 dari https://health.grid.id/amp/352164065/5-real- konspirasi-virus-corona-yang-dibocorkan-penasihat-intelijen-kementrian- pertahanan-mardigu-wowiek?page=4/