Etika berusaha memikirkan konsep akhlak atau perilaku manusia, seperti
bagaimana mengetahui dan menilai perbedaan antara perbuatan baik dan
perbuatan buruk, termasuk bagaimana mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Banyak filsuf membicarakan tema ini, termasuk filsuf terkemuka Plato dan Aristoteles. Menurut etika Platon itu intelektual dan rasional, makna dapat dijelaskan secara logis. Baginya tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh kegembiraan hidup dan kegembiraan hidupnya diperoleh dengan ilmu. Meski terlihat sama, namun Aristoteles memiliki pandangan lain menurutnya, moral goodness dapat diartikan sebagai eudaimonia (kebahagiaan) atau yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris with well-being. Kebahagiaan sejati menurut Aristoteles adalah ketika manusia mampu mewujudkan sebaik mungkin sebagai manusia. Artinya, kebah agiaan bisa diraih ketika manusia mewujudkan kebijaksanaan tertinggi berdasarkan akal atau nalar. Berbeda dengan teori filsuf Yunani dalam hal ini Plato dan Aristoteles, Islam tampaknya memberikan perbedaan yang cukup berarti. Perbedaan nyata antara etika Yunani dan etika Islam adalah adanya sistem etika Islam yang mencakup moralitas filosofis, teologis dan eskatologis (dalam hal ini ajaran tauhid) yang tentunya tidak dikenal dalam etika Yunani. Dalam etika Islam terdapat keselarasan antara dimensi akal dan wahyu sebagai rujukan ketuhanan dalam memutuskan baik dan buruk. Jika kita melihat etika Yunani maka suatu kebaikan dilakukan karena mengandung nilai kebajikan sebagai kewajiban moral. Jadi dalam etika Islam lebih dari itu, bukan sekedar kebajikan, tapi berbuat baik adalah membawa kemanfaatan bagi semua orang dan mendapat pahala dari Tuhan dengan pahala pahala. Dalam beberapa konsep etika ini, banyak filsuf Muslim mengaitkan etika ini dengan tujuan mencapai kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.