Anda di halaman 1dari 5

Pengantar Tanggung jawab hukum seorang akuntan publik lazimnya berkenaan dengan perikatan

asurans, khususnya perikatan audit. Namun, KAP yang memberikan jasa nir-asurans seperti konsultasi
perpajakan, juga berpotensi menghadapi tuntutan hukum. Apa penyebab akuntan publik berhadapan
dengan tuntutan hukum? Jawaban singkatnya, ketidakpatuhan atau pelanggaran undang-undang.
Undang-undang yang dilanggar bisa undang-undang negara lain. Contoh, seorang akuntan publik yang
terlibat dalam penyuapan pejabat `ndonesia, dalam “menangani" masalah perpajakan, bisa terkena
FCPA (Foreign Corrupt Practices Act). Perbuatan dilakukan di Indonesia, mengenai urusan pajak
Indonesia, melibatkan pejabat pajak Indonesia, untuk “keuntungan" perseroan Indonesia. Namun,
perseroan Indonesia ini adalah anak perusahaan dari induk perusahaan yang surat berharganya (saham,
obligasi, dan lain-lain) diperdagangkan atau dicatat di pasar modal Amerika. Penyebab lain mengapa
akuntan publik berhadapan dengan tuntutan hukum, adalah karena ia merupakan sasaran-empuk untuk
tuntutan ganti rugi. Khususnya, jaringan kantor akuntan global dan internasional yang melindungi diri
mereka dengan asuransi atau pertanggungan profesional atau professional indemnity insurance (PII).
Bank Dunia mendokumentasikan temuan-temuan PPAJP dalam suatu laporannya mengenai accounting
dan auditing di Indonesia. Laporan ini (ROSC 2010) mengistilahkan temuan-temuan PPAJP, yang
merupakan ketidakpatuhan, setagai compliarce gap. ROSC ini disarikan di bawah. Temuan PPAJP ini
tidak terkesan dahsyat namun mengindikasikan tantangan akuntan publik kita dalam melaksanakan
penugasan Apakah suatu bangsa atau masyarakat lebih litigious dari masyarakat lain? Pertanyaan Ini
dibahas dalam bagian mengenai "litigation culture" (budaya litigasi). Pembahasan ini audit.

menyajikan pendapat pakar-pakar dari Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Dari pembahasan ini
pembaca dapat memikirkan kondisi Indonesia. Akuntan publik atau KAP yang menghadapi tuntutan
hukum, tidak serta-merta berarti ia (akuntan publik atau KAP) pasti bersalah. Apa peranan profesi? Di
pengadilan apa saja ia bisa diadili? Berapa lama? Apakah SRO (self regulating organization) dan SRS (self
regulating systems) yang dimiliki asosiasi profesi bisa membantunya? Setiap tuntutan hukum, apakah
KAP, akuntan publik atau KAP kemudian terbukti bersalah atau tidak, berdampak negatif terhadap
reputasi KAP. Jika kita batasi pada penugasan audit, apa kiranya potensi penyebab tuntutan hukum
terhadap akuntan publik atau KAP di Indonesia? Meskipun belum pernah ada kasus hukum, temuan
PPAJP yang dilaporkan Bank Dunia (ROSC), menarik untuk disimak. Untuk pelengkap bab ini, lihat Bacaan
B ("Profesi dalam Bingkai Perundangan"), Bacaan C ("Uji Materi Dua Pasal di Mahkamah Konstitusi"),
Bacaan D (Organisasi Akuntan dan Pembinanya), Bacaan E ("Tanggung Jawab Auditor: Pergeseran
Paradigma?"), dan Bacaan F ("Tantangan bagi Akuntan Publik") dalam Bacaan Latar Belakang di akhir
buku ini.

ROSC: Temuan PPAJP Laporan Bank Dunia (Report on the Observance of Standards and Codes tahun
2010, disingka ROSC 2010) tentang Accounting and Auditing membuat catatan tentang kualitas akuntan
publik di Indonesia.' ROSC 2012 melibatkan berbagai pemangku kepentingan di bidang akuntansi dan
audit. di Indonesia. ROSC tersebut menyebutkan tingkat kesesuaian dengan standar audit yang berbeda
di antara Kantor Akuntan Publik dengan ukuran yang berbeda. KAP kecil biasanya lebih sulit menerapkan
pengendalian mutu karena keterbatasan sumber daya. KAP besar yang berafiliasi dengan the Big Four,
dianggap mampu memenuhi standar internasional namun ada beberapa kasus di mana pengendalian
mutu juga tidak diterapkan dengan baik karena proses audit lebih banyak dilakukan oleh akuntan junior.
ROSC 2010 tersebut berisi wawancara dengan PPAJP pada Kementerian Keuangan. PPAJP menemukan
bahwa dari KAP yang ada (lebih dari 400), hanya sedikit yang mampu memenuhi standar audit dengan
baik. Ada kesenjangan dalam kepatuhan terhadap standar (compliance gap) seperti berikut ini. a)
Banyak auditor tidak melakukan audit planning dengan baik. b) Banyak dokumentasi yang diperlukan
tidak disiapkan. Bahkan, meskipun proses audit dilakukan benar, dokumentasi yang seharusnya
mendukung hasil audit tersebut, tidak lengkap. c) Banyak auditor tidak berupaya mendeteksi manipulasi
(fraud). d) Banyak auditor tidak memeriksa asumsi going concern yang digunakan oleh manajemen.

el Banyak auditor tidak menerapkan prosedur untuk mengenal, menilai, dan menanggapi risiko salah saji
yang material, misalnya yang timbul akibat h ubungan istimewa (related- party transac:ions). f) Auditor
sering kali menerima begitu saja penilaian manajernen. g) Auditor juga sering menerima begitu saja
penilaian auditor lain. Litigation Culture Tanyakan kepada para sarjana yang bukan sarjana hukum:
"apakah Indonesia mempunyai "budaya' tuntut-menuntut di antara sesama kita?" Yang ditanya :idak
langsung nemahami pertanyaannya. Ketika dijelaskan, ia berusaha mencari contoh dari kehidupan
sehari-harinya. Kemudian menjawab: "Engga tuh, ga ada budaya kayak gitu". Istilah budaya tuntut-
menuntut atau budaya litigasi diterjenmahkan dari bahasa Inggris, "litigation culture". Masyarakat
dengan "budaya" seperti itu disebut litigious society. Meskipun banyak orang tidak setuju dengan istilah
"budaya" dalam frasa "bu daya litigasi" atau "budaya korupsi". Kembali ke pertanyaan di atas, sarjana
yang ditanya, mungkin akan memberi ulasan mengenai negara lzin: "Irdonesia bukan litigious society
seperti masyarakat Amerika Serikat". Besar kemungkinannya yang menjawab pertanyaan itu ialah
akur.tan publik, yang kasus-kasus gagal audit, Sarbanes-Oxley Act, dan lenyapnya Arthur Andersen dari
peta Big Five. Bagian ini akan mengutip pendapat pakar-pakar dari tiga bangsa yang berbeda, mengenai
apakah masyarakatnya litigious society, dan mengapa atau mengapa tidak. Pendapat ketiga pakar tidak
selalu mewakili pandangan masyarakat yang mereka wakili.

Penjelasan pakar Amerika Serikat:? I'm going to gɔ a completely different direction with this. The
American legal system is accessible, predictable, and not corrupt. Second, Americans overwhelmingly
believe that people should obey the rules, and accordingly the rules are fairly reasonable. So if
somebody does not obey :he rules, they are more likely to try to work it out within the legal system
instead of using force, violence, pressure, etc. This is a cultural issue. Just look at the sport of American
football. Each play is preceded by a few minutes oj planning, a few seconds of action, and then a
detailed review of the rules resulting in a decision by the referees about who is entitlea to what.
Americans turn to the law to resolve their disputes, not politics, and not criminals or intimidation. Pakar
ini menekankan empat hal berikut ini. a) Kehebatan sistem hukum di negaranya dengan tiga adjektiva:
2ccessible, predi:table, and not corrupt! Butir ini perlu menjadi cerminan sistem hukum Nusantara. b)
Keyakinan orang Amerika pada umumnya, yaitu: hormati aturan! Mengendarai sepeda motor di kaki
lima, bukan urusan tuntutan hukum di bidang akuntansi dan audit. Namun, perilaku ini memberikan
pencerahan mengenai kurang sadarnya "banyak anggota masyarakat" terhadap aturan.

d) Dalam butir terakhir, ia berbicara tentang tujuan litigasi. Americans turn to the law to c) la
menganggap tuntut-menuntut adalah budaya. This is a cultural issue, katanya. Kemudian resolve their
disputes, not politics, and not criminals or intimidation. Masyarakat merangkul ia memberi ilustrasi dari
permainan sepak-bola Amerika (American football bukan soccer). nukum untuk menyelesaikan masalah
di antara mereka. Ini bukan mempolitasi, mengkriminalisasi, atau mengintimidasi. [apakah pakar ini
pernah berpraktik di Indonesia?] Penjelasan pakar Inggris: In the UK, the balance struck is that, because
losers in a law suit will pay the ocher side's legal fees (in addition to their own), many people who have
been legitimately wronged might be deterred from bringing suits. Maybe the case is tough to make and
there is a high risk of losing, so they don't do it. But then, the UK system also discourages frivolous law
suits, too; no one wants to bring a case they will lose or deserve to Lose

Pakar ini menekankan tiga hal berikut ini. aj Pihak yang kalah wajib membayar fee untuk dirinya dan
untuk pihak yang menang. Singkatnya, legal fee (dan beban terkait) sangat mahal. Ini akan menjadi
penghalang (deterrent) seseorang yang benar sekalipun, untuk menuntut. b) Jika kasusnya berat, dan
ada risiko besar untuk kalah, pihak yang benar sekalipun, memilih untuk tidak menuntut. c) Sistem di UK
itu sendiri tidak mendukung (discourages) tuntutan yang remeh-temeh (frivolous law suits). Penjelasan
pakar Jepang: * Japan is said to be a non-litigious society. Some say this is due to the general nature of
Japanese people, who try to avoid confrontation or do not wish their problems to be exposed to the
public and settled by an Qutsider. This is true not only of individuals but also of companies. Others say
that the non-litigious society exists because of a systematic problem in the Japanese civil and
commercial procedure which has been criticised for its inefficiency in time costs.

Pakar ini menjelaskan sebagai berikut. a) Jepang bukan masyarakat yang suka litigasi. b) Pertama, sifat
orang Jepang pada umumnya, menghindari konfrontasi dan tidak suka masalah internal dibuka kepada
publik dan diselesaikan "orang luar" (pengacara, penuntut umum, hakim, pengadilan). c) Kedua,
masalah sistemis dengan prosedur hukum perdata dan hukum dagang yang dikritik sebagai tidak efisien
dalam artian waktu. Bahkan, dalam bagian lain dari tulisan mereka, mereka menyatakan bahwa
pengacara Jepang sangat kesulitan meyakinkan klien mereka melakukan tuntutan hukum, sekalipun
peluang untuk memenangkan perkaranya sangat tinggi.

Penulis tidak mempunyai referensi dari pakar hukum Ir.donesia mengenai apakah kita berbudaya litigasi
atau tidak. SRS dan Tanggung Jawab Hukum SRO (self-regulating organization) dan SRS (self-regulating
systems) adalah saiah satu ciri organisasi profesional. Dengan SRS profes. mengeluarkan aturan-aturan
internal seperi kode etik, standar pengendalian mutu, standar audit dan asurar.s, pengembangan
prɔfesional berkelanjutan, dan seterusnya. Ini dibahas dalam bab yang lalu. Namun, perikatan KAP, baik
asurans maupun nir-asu-ans, cilakukan dengan pihak lain yang tidak berkaitan dengan profesi. Dalam
melaksanakan per.katan ini, KAP (rekan, partner dan stafnya) berpotensi membuat kekeliruan, baik
dengan sengaja maupun yang tidak disengaja, yang capat merugikan piha«-pihak lain. Pihak-pihak yang
merasa dirugikan, dapat menyere: ke "meja hijau". Rekan KAP yang memimpin penugasan (partner-in
charge); Rekan lain (misalnya yang melakukan concurring review dalam rangka kendali mutu); Staff pada
jenjang yang tinggi (misalnya audit menager); Pimpinan KAP (CEO/managing pariner, umumnya pada
KAP yang tidak terlalu besar); dan/atau KAP itu sendiri (sebagai partnership , biasanya KAP besar)

Istilah "meja hijau" digunakan dalam arti seluas-luasnya, bisa: di dalam pengadilan maupun di luar
pengadilan (misalnya arbitrage), atau d: "pengadilan" profesi; di pengadilan pun bisa bermacam-macam,
seperti pengacilan perdata (dalam tuntutan ganti rugi), pengadilan pidana, pengadilan administratif
(misalnya oleh PPAJP, SEC atau OJK, PCAOB, atau oleh BPK untuk KAP yarg memeriksa untuk dan atas
nam2 BPK); di pengadilan Indonesia atau di luar Indonesia. Contoh di luar Indonesia, kasus- kasus
Foreign Corrupt Practices Act yang ditangani DOJ (Department of Justice) atau SEC di Ame:ika Serikat
berkenaan dengan kasus pajak yang ditangani rekan di bidang perpajakan (tax partner) dari KAP
Indones: a. Atau, jika ada gagal audit pada perusahaan yang menjual atau mencatat su:at betharganya di
bursa di luar negen (misalnya Wall Street). Kasus FCPA yang menyangkut partner Iadonesia, sudah ada.
Kasus di pasar modal luar negeri, belum ada.

Jika ada beberapa pengadilan yang menangani kasus yang dihadapi akuntan publik, pengadilan mana
yang berhak lebih dulu? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada:

• Ketentuan hukum yang berlaku di yurisdiksi yang bersangkutan (misalnya kasus Satyam di pengadilan
profesi di India, pengadilan pidana di India, pengadilan administrasi di U.S. SEC, dan pengadilan perdata
di New York); • Siapa yang menemukan kasus tersebut, misalnya PPAJP di Indonesia, PCAOB untuk
emiten tercatat di pasar modal Amerika Serikat yang berdomisili di mana saja, Atau yang jika manipulasi
terungkap karena pengakuan pimpinan perusahaan, di mana pengakuan dibuat. Dalam kasus Satyam,
pengakuan pimpinan perusahaan dibuat di India, dan Aparat Penegak Hukum dan profesi akuntan di
India yang bergerak lebih dulu; "Kelincahan" pengadilan profesional setempat, yang seringkali
membatasi pemeriksaan sebatas pelanggaran kode etik, üåií dan sanksinya sebatas peringatan, teguran,
larangan praktik dalam jangka waktu tertentu, atau larangan praktik seumur hidup (misalnya sanksi atas
partner PW India dalam kasus Satyam).

Kita jarang sekali mendengar atau melihat (di T) atau membaca di media cetak, kasus- kasus Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh: Kelemahan penegakan hukum (law enforcement) menyebabkan pihak yang
merasa dirugikan lebih suka tidak berurusan dengan hukum (di dalam atau di luar pengadian). Meskipun
penegakan hukum lemah, jika ada budaya litigasi (tuntutan hukum), para penegak hukum akan
memanfaatkan sebesar-besarnya peluang ini, karena fee mereka yang dikaitkan dengan jumlah tuntutan
yang diputuskan pengadilan. Pandangan ini ingin mengatakan bahwa pengusaha Indonesia belum
terkontaminasi dengan budaya litigasi. yang menyangkut pemberi tugas bukan lembaga atau badan
usaha milik negara, tidak diselesaikan melalui jalur hukum. Sekalipun dalam hal ini, pihak yang Kasus-
kasus dirugikan adalah bank-bank BUMN. • Kasus Indonesia yang punya nilai jual untuk dipublikasikan
hanyalah kasus yang diadili di luar Indonesia seperti kasus penyuapan pejabat pajak oleh perusahaan
publik Amerika Serikat. Pemberitaan kasus FCPA seperti ini, tidak terlalu menarik pembaca koran bisnis
di Indonesia.

Kasus-kasus Indonesia yang menarik perhatian publik (melalui media) umumnya: berkenaan dengan
BUMN yang gagal atau kinerjanya di bawah harapan, dalam upaya IPO (initial public offering); kegagalan
atau kekurang berhasilan (misalnya harga penawaran saham yang jauh di bawah harga yang sebelumnya
dipublikasi ke media) menyebabkan Direksi atau pejabat BUMN terkena sanksi jabatan; atau, rencana
IPO ditunda/dibatalkan; • KAP atau partner melakukan perlawanan yang keras, termasuk penggunaan
hak jawab.

Di negara-negara maju, upaya untuk merecam risiko tuntutan dilakukan dengan mengubah persekutuan
perdata (partnership) biasa menjadi LLP (limited-liability partnership) yang dari segi tanggung jawab
para partner lebih mirip perseroan terbatas. Praktik bisnis yang sangat normal di negara maju, ialah
mengasuransikan kerugian dari tuntutan hukum yang mungkin terjadi atas jasa-jasa yang diberikan KAP.
Asuransi ini dikenal sebagai FII (professional-indemnity insurance). LLP dan PII dibahas di Bab 2.

Anda mungkin juga menyukai