Anda di halaman 1dari 3

Perencanaan Pelayanan Kebidanan Komunitas yang Tanggap Gender dan

Partisipatif

1. 1. Modul Pendidikan Jarak Jauh, Pendidikan Tinggi Kesehatan Uraian Materi Anda
diharapkan sudah melakukan analisis masalah, tahap pembelajartan berikutnya adalah
anda anda memasuki tahap perencanaan pelayanan kebidanan. Perencanaan yang akan
disusun berdasarakan kegiatan sebelumnya. Berbagai program kesehatan sudah
dikembangkan dan dijalankan di masyarakat, mulai dari program kesehatan ibu dan
anak (KIA) termasuk imunisasi, kesehatan reproduksi remaja, program pencegahan
Infeksi Saluran Reproduksi dan Penyakit Menular Seksual (ISR)/PMS, termasuk
HIV/AIDS, dll. Namun demikian, sejumlah program dikeluhkan masyarakat karena
dianggap belum menjawab kebutuhan masyarakat/komunitas. Bahkan, program
dinilai belum tanggap/responsif gender karena mengabaikan kecenderungan
dimungkinkan adanya perbedaan kondisi kesehatan antara laki dan perempuan.
Misalnya, remaja perempuan lebih cenderung terkena anemia dibandingkan dengan
remaja laki-laki. Kondisi yang melatarbelakangi adalah adanya praktek budaya yang
mentabukan jenis makanan-makanan tertentu dikonsumsi perempuan, misalnya telur,
ikan, buah, dan lainnya. Padahal, asupan zat maupun kandungan mineral makanan
tersebut justru bermanfaat untuk perempuan, khususnya saat kehamilan dan
menyusui. Hal ini menunjukkan bagaimana praktik budaya makan dapat berdampak
negatif pada kesehatan reproduksi perempuan. Dalam perancangan program,
ketidakmampuan mengindentifikasi masalah dan kebutuhan secara tepat akan
berimplikasi pada ketidakjelasan program. Hal ini terefleksi dari tujuan program,
kelompok sasaran (target group), upaya pencapaian tujuan, indikator capaian, serta
sumber daya yang dibutuhkan. Implikasinya, program kurang berjalan efektif dan
kurang efisien, demikian pula capaian maupun keberlanjutannya (sustainabilitas).
Pendahuluan Uraian Materi Rangkuman Tes Formatif Tugas 2
2. 2. Modul Pendidikan Jarak Jauh, Pendidikan Tinggi Kesehatan Sebab itu, program
yang berdaya-guna (efektif) perlu dirancang dengan pendekatan partisipatif, yakni
pendekatan yang menekankan pentingnya keterlibatan warga/komunitas secara
sukarela dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri
(Mikkelsen, 2005; 54). Dalam konteks ini, masyarakat bukan dipandang sebagai
obyek (penerima) pembangunan, tetapi lebih sebagai subyek (pelaku) aktif di semua
tahapan siklus proyek pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencanaan,
pelaksanaan, sampai pemantauan dan evaluasi program, bahkan keberlanjutannya.1
Dengan demikian, perencanaan yang partisipatif dan juga responsif gender perlu
menerapkan prinsip-prinsip: mengutamakan masyarakat, berbasis pengetahuan
masyarakat, dan melibatkan perempuan. Perencanaan Partisipatif Di dalam era
demokrasi dan desentralisasi seperti saat ini, tuntutan masyarakat untuk terlibat di
dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan menjadi suatu keniscayaan. Ada
beberapa asumsi yang mendorong partisipasi masyarakat, yakni: Pertama, rakyatlah
yang paling tahu kebutuhannya, karena itu rakyat mempunyai hak untuk
mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan pembangunan di wilayah lokalnya.
Kedua, pendekatan partisipatif dapat menjamin kepentingan dan ‘suara’ kelompok-
kelompok yang selama ini tersisih atau marjinal dalam pembangunan. Ketiga,
partisipasi dalam pengawasan/monitoring terhadap proses pembangunan dapat
mengurangi terjadinya berbagai penyimpangan program, termasuk tidak tercapainya
tujuan program. Berangkat dari asumsi di atas, maka partisipasi yang efektif adalah
yang mampu menggerakan perubahan di masyarakat secara kolektif dan institusional,
bukan semata individual. Keberadaan wadah seperti ‘forum warga’ sebagai forum
multistakeholder yang mempertemukan berbagai kelompok warga/ masyarakat (kelas
sosial, umur, gender, dll) menjadi relevan dan signifikan diperkuat kapasitasnya.
Forum ini diharapkan mampu mengakomodir berbagai aspirasi dan kepentingan
warga dalam merancang sekaligus mengambil keputusan tentang program/kebijakan
yang menjadi kebutuhan/kepentingan 1 Tahap perencanaan mencakup: (i) identifikasi
masalah dan akar/penyebabnya (analisis masalah), (ii) identifikasi berbagai pilihan
tindakan guna mengatasi masalah (analisis tujuan dan prioritas), (iii) identifikasi
pihak-pihak yang berkontribusi langsung maupun tidak langsung pada program
(analisis stakeholders), (iv) mengembangan matriks/disain program, termasuk berisi
indikator capaian dan teknik/metode pemantauan-evaluasi program, serta potensi
keberlanjutan program. Pendahuluan Uraian Materi Rangkuman Tes Formatif Tugas 3
3. 3. Modul Pendidikan Jarak Jauh, Pendidikan Tinggi Kesehatan bersama.2 Lebih
spesifiknya, melalui ‘forum warga’ diharapkan akan terbangun: (i) kesadaran
masyarakat akan perlunya mereka ikut terlibat dalam perencanaan pembangunan atau
pengembangan masyarakat; (ii) kesadaran bahwa perlu suatu pengorganisasian sosial
atas berbagai kelompok warga dalam merancang dan menetapkan (memutuskan)
program prioritas masyarakat; (iii) identitas diri sebagai suatu kelompok kepentingan
dan sama-sama terlibat dalam proses perencanaan. Dengan demikian, melalui
perencanaan program yang partisipatif, maka masyarakat didorong bukan hanya
mampu menyuarakan kepentingan/kebutuhannya, tetapi juga mampu mengorganisir
diri secara kolektif untuk terlibat mulai dari penelusuran kebutuhan hingga monitoring
dan evaluasi program. 3 Untuk itu pengembangan program selain membutuhkan
kesiapan pengelola program secara organisasional/institusional, juga penguatan
kapasitas masyarakat sebagai bagian dari stakeholders. Kapasitas masyarakat ini bisa
terindikasi dari tangga ataupun tingkat partisipasinya. Berbagai paparan di atas
menunjukkan bahwa perencanaan program yang partisipatif merupakan upaya
pengembangan masyarakat karena berupaya membangun atau memperkuat struktur
masyarakat atau komunitas agar menjadi suatu entitas yang otonom dan bisa
menyelenggarakan kehidupannya serta melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan
manusia (human needs)”. Artinya, pengembangan masyarakat merupakan upaya
penguatan kapasitas masyarakat sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks ini dilakukan juga upaya pemberdayaan (empowerment) masyarakat
agar mereka dapat melakukan perubahan (transformasi) baik dalam aspek
ekonomi,sosial budaya, bahkan teknologi. Berkenaan dengan pengembangan
kapasitas masyarakat, dapat dilihat dari tiga tingkatan/ dimensi, yakni: 1. Dimensi
Kapasitas Sistem Pengembangan kapasitas sistem bisa merujuk pada perencanaan
berkala yang terpadu dan berkesinambungan, yang dirumuskan secara objektif,
terarah, dan sesuai kebijakan normatif yang menjadi rujukan bersama. 3 Direktorat
Politik dan Komunikasi, BAPPENAS, “Pelembagaan Partisipasi Politik Masyarakat
dalam Penyusunan Kebijakan Publik”, Laporan Penelitian, 2008, hal 1-2.
Pendahuluan Uraian Materi Rangkuman Tes Formatif Tugas 4
4. 4. Modul Pendidikan Jarak Jauh, Pendidikan Tinggi Kesehatan 2. Dimensi Kapasitas
Institusi Pengembangan kapasitas institusi yang mampu memfasilitasi proses
perencanaan secara jelas dan konsisten. Untuk itu perlu struktur pengorganisasian
yang jelas, termasuk penjabaran tugas dan fungsi dari masing-masing pelaku/aktor
yang terlibat, mekanisme koordinasi, serta evaluasi kinerja dan monitoring dampak
untuk menilai efektifitas, efisiensi, dan akuntabilitas (pertanggungjawaban) jalannya
program pelayanan masyarakat 3. Dimensi Kapasitas Individu Pengembangan
kapasitas individu akan mencakup: (a) Keterampilan perencanaan (kemampuan atau
kapasitas melakukan analisis situasi hingga monitoring evaluasi), (b) Keterampilan
manajerial, yakni kapasitas memfasilitasi, memoderasi dan mengkoordinir semua
pelaku dan kepentingan ke dalam suatu proses perencanaan yang teratur (c)
Keterampilan sosial yakni kapasitas dalam membangun proses dialogis yang
konstruktif dalam rangka membangun kebersamaan dalam keberagaman kepentingan
untuk menghasilkan produk perencanaan yang mampu mengakomodir kepentingan
dari bawah. Selain itu, diperlukan kapasitas atau kemampuan mensosialisasikan
peluang, hambatan, keberhasilan dalam implementasi serta faktor-faktor yang
mempengaruhi. Dimensi-dimensi di atas juga bisa mengindikasikan level dan bentuk
perubahan/ dampak dari program. Misalnya program nutrisi ibu Hamil, pada dasarnya
capaian program bukan hanya adanya perubahan pada sikap dan perilaku sehat di
level individual, namun juga diharapkan ada perubahan pada level institusional
(keluarga, agama, dll). Pada konteks tertentu diharapkan terjadi perubahan pada
kebijakan dan strateginya. Berkenaan dengan perencanaan partisipatif, pada dasarnya
tujuannya tidak memberdayakan masyarakat, tetapi juga pengelola program. Artinya,
pengelola program perlu membangun kapasitas organisasional maupun individual
dalam merancang, mengimplementasi, dan memonitor serta mengevaluasi jalannya
program. Lebih dari itu, juga dibutuhkan kemampuan kerjasama/kordinasi antar
Pendahuluan Uraian Materi Rangkuman Tes Formatif Tugas 5
5. 5. Modul Pendidikan Jarak Jauh, Pendidikan Tinggi Kesehatan berbagai
pihak/stakeholders, yang dilandasi kuatnya komitmen masing-masing pihak demi
tujuan yang sama, yakni layanan publik yang berkualitas. Dengan demikian
dibutuhkan tim kerja yang solid diantara pengelola program (misalnya antara kader
posyandu dengan Bidan). Tidak hanya itu, aspek terpenting adalah perlunya
terbangun koordinasi atau kerjasama antara warga dan organisasi/institusi pengelola
program. Berkenaan dengan keberhasilan sinergi atau kerjasama ini, menurut Ostrom
(1996), ada beberapa kondisi yang menjadi prasyarat, yakni: (1) ada tidak kebijakan,
(2) besar kecilnya komitmen stakeholders, dan (3) ada tidaknya pendorong partisipasi
stakeholders baik secara internal dan eksternal, termasuk ada tidaknya sistem
komunikasi dan sistem insentif-disinsentif dalam pengelolaan program. Pendahuluan
Uraian Materi Rangkuman Tes Formatif Tugas 6

Anda mungkin juga menyukai