Anda di halaman 1dari 98

BEBERAPA CATATAN

1800 2005 1

Bunga Rampai
mbangan Air Minum
di onesia
2

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
BEBERAPA CATATAN

1800 2005 3

Bunga ampai
angan Air Minum
di esia
Sekapur Sirih
dari Penyusun

Mengenal sejarah adalah merupakan keniscayaan, sejarah air minum tidak terkecuali. Buku
ini mencoba merangkum sejarah panjang perjalanan pengelolaan air minum di Indonesia,
dimulai dari jaman pra-kemerdekaan, sekitar tahun 1980-an, sampai tahun 2005, dimana
perkembangan pengelolaan air minum sudah jauh berkembang pesat, meskipun masih jauh
dari harapan. Tulisan pengantar ini merupakan rangkuman singkat dari catatan sejarah air
minum di Indonesia, sebagai bahan pembelajaran bagi generasi berikutnya.

Perkembangan air minum di Indonesia ternyata sudah dimulai jauh sebelum Indonesia
merdeka. Pada jaman itu, sekitar tahun 1800-an, Sir Stamford Raffles, Lieutenant-Governor
of British Java (1811–1815), mencatat bahwa penduduk pulau Jawa waktu itu sudah terbiasa
merebus air sebelum diminum untuk menjaga kesehatan, kebiasaan yang kemudian ditiru oleh
penjajah Belanda. Awalnya, orang-orang yang tinggal di Batavia menjadikan air Kali
Ciliwung sebagai sumber air minum yang ditampung di sebuah waduk. Air Sungai Ciliwung
dahulu memang sangat jernih. Walaupun demikian, tidak semua orang Belanda mau minum
air Ciliwung. Khususnya para ambtenaar kelas atas menggunakan air yang didatangkan dari
luar Batavia. Sebagaimana halnya dengan di Batavia, di kota-
4
kota lainnya yang didiami orang Belanda, dibangun pula sarana penyediaan air minum walaupun masih
sederhana, dan umumnya memanfatkan sumber mata air.

Pada akhir masa penjajahan, kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia adalah sekitar
3.000 liter per detik. Yang menarik adalah bahwa sebagian investasi sarana air minum yang
telah dikeluarkan fihak swasta pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimasukkan sebagai
utang pemerintahan Hindia Belanda kepada swasta, yang harus dibayar melalui Pemerintah
Kerajaan Belanda. Melalui Konferensi Meja Bundar, akhirnya utang tersebut, sebesar 4,5
milyar gulden, dibayar lunas oleh Pemerintah Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, pada beberapa tahun pertama boleh dikatakan hampir tidak ada
pembangunan sektor air minum di Indonesia, karena masih disibukkan dengan perang
mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi Belanda dan pemberontakan di berbagai
kawasan. Pembangunan sarana air minum secara lebih sistematis dilakukan sejak tahun 1952,
yang dapat dibagi dalam tiga kurun waktu yang berbeda: (i) era awal kemerdekaan, (ii) era
orde baru dan (iii) era awal orde reformasi. Masa awal kemerdekaan dimulai dengan
rehabilitasi dan peningkatan kapasitas sistem penyediaan air minum untuk kota Jakarta, yang
diikuti oleh kota-kota besar lainnya, dalam kerangka Rencana Pembangunan Nasional
Semesta Berencana. Hasilnya, hingga tahun 1968, kapasitas

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
produksi air minum sudah mencapai 9.000 liter per detik dengan cakupan pelayanan di daerah
perkotaan sebesar 19 persen. Era Orde Baru yang dimulai pada tahun 1969 merupakan peletak
dasar pembangunan sektor air minum yang lebih sistematis dan terencana, dimana
pembangunan dilakukan secara berkala melalui rencana pembangunan lima tahunan atau
Repelita. Era ini berakhir pada Repelita VI dengan tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun
1998 dan dimulainya era orde reformasi.

Perkembangan air minum pada setiap era ditandai dengan beragam perubahan dalam
kebijakan dan pendekatan penanganan yang berdampak pada organisasi dan penyelenggaraan
air minum. Semua ini merupakan pembelajaran yang berharga bagi generasi berikut untuk
pengembangan air minum yang lebih baik di tanah air tercinta. Jaman telah berubah,
tantangan sudah berbeda, tapi pengalaman masa lalu mudah-mudahan dapat dijadikan
inspirasi untuk perbaikan di masa datang.

Buku ‘Beberapa Catatan Sejarah Air Minum Indonesia’ ini pada awalnya diprakarsai oleh Ir.
Budi Yuwono Dipl. SE sewaktu beliau menjabat Direktur Jenderal Cipta Karya (2007-2012),
dan dirangkai kembali oleh sebuah tim yang terdiri dari para pejabat purna tugas di
5
Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Direktorat Teknik Penyehatan, yang namanya kemudian
berubah beberapa kali dan sekarang menjadi Direktorat Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan banyak
masukan dan informasi yang sangat berharga. Ucapan terimakasih terutama ditujukan kepada
Bapak Hidayat Notosugondo yang pernah menjabat sebagai Kepala Jawatan Teknik
Penyehatan tahun 1958 dan Direktur Teknik Penyehatan pada tahun 1970-an, salah seorang
pelaku sejarah perjalanan perkembangan air minum di Indonesia yang paling berperan dalam
periode awal perkembangannya.

Semoga niat baik ini mendapat ridha Allah SWT. Amin.

Jakarta, Juli 2015

Tim Penyusun

Sekapu Sirih
dari Penyusun
Sambutan
Direktur Jenderal Cipta Karya

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nulla justo. Phasellus quis justo in
est hendrerit blandit. Quisque ante lorem, sagittis sagittis, vestibulum vitae, nonummy eget,
turpis. Vestibulum eros urna, malesuada sit amet, vehicula dapibus, rutrum id, diam. Aliquam
nonummy suscipit tellus. Proin lacinia enim in eros.

Nulla facilisi. Duis commodo, tortor nec aliquam aliquam, lectus ipsum cursus enim,
posuere pretium lorem ipsum sed risus. Donec nisl. Mauris metus eros, pharetra sed,
consequat nec, fermentum in, ligula. Aliquam sodales, libero et
sodales tempus, magna nisl rhoncus pede, vitae consectetuer
arcu turpis in nunc. Duis nunc est, varius nec, ornare eu,
6 fermentum a, metus. Pellentesque eu nisi.

Maecenas faucibus. Morbi sed lectus. Curabitur aliquet


posuere lectus. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent
per conubia nostra, per inceptos hymenaeos. Donec magna.
In at elit. Praesent est est, sagittis
ac, lobortis a, tempus et, mi.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Nulla facilisi. Pellentesque sit amet mi. Phasellus mi est, rutrum sagittis, blandit et, molestie
sit amet, diam. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nullam varius dui sit
amet mi. Nulla a risus a nunc pulvinar nonummy. Praesent cursus dignissim orci. Nullam
eleifend mattis magna. Mauris mollis ipsum et nulla. Nam dignissim auctor enim. Praesent vel
ante sit amet nisi eleifend tempor.

Etiam mollis metus vitae tellus. Aliquam erat volutpat. Donec quis nunc. Sed eros eros,
ultricies nec, rutrum ut, pharetra a, purus. Vivamus tincidunt aliquam nibh. Etiam faucibus
imperdiet est. Phasellus eget massa eu pede lobortis pulvinar. Nunc tempus orci id nulla.
Phasellus id justo. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur
ridiculus mus. 7

Nam condimentum augue eget erat. Aenean dignissim augue vitae magna. Fusce dictum.
Quisque gravida, arcu vitae luctus feugiat, urna massa sollicitudin ligula, ac vehicula nisl urna
et lorem. Sed rhoncus. Duis metus elit, iaculis et, tristique vitae, commodo vitae, mi. Fusce
sem. Praesent consequat, erat ut scelerisque lobortis, est purus varius sapien, ut rutrum diam
dui id enim. Quisque vel ligula a odio ullamcorper fringilla.

Sambutan
Direktur Jenderal Cipta Karya
Kata Pengantar
Kepala BPPSPAM

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nulla justo. Phasellus quis justo in
est hendrerit blandit. Quisque ante lorem, sagittis sagittis, vestibulum vitae, nonummy eget,
turpis. Vestibulum eros urna, malesuada sit amet, vehicula dapibus, rutrum id, diam. Aliquam
nonummy suscipit tellus. Proin lacinia enim in eros.

Nulla facilisi. Duis commodo, tortor nec aliquam aliquam, lectus ipsum cursus enim, posuere
pretium lorem ipsum sed risus. Donec nisl. Mauris metus eros, pharetra sed, consequat nec,
fermentum in, ligula. Aliquam sodales, libero et sodales tempus, magna nisl rhoncus pede,
vitae consectetuer arcu turpis in nunc. Duis nunc est, varius nec, ornare eu,

fermentum a, metus. Pellentesque eu nisi.

8 Maecenas faucibus. Morbi sed lectus. Curabitur aliquet posuere lectus. Class
aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos hymenaeos. Donec magna. In

at elit. Praesent est est, sagittis ac, lobortis a, tempus et, mi.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Nulla facilisi. Pellentesque sit amet mi. Phasellus mi est, rutrum sagittis, blandit et, molestie
sit amet, diam. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nullam varius dui sit
amet mi. Nulla a risus a nunc pulvinar nonummy. Praesent cursus dignissim orci. Nullam
eleifend mattis magna. Mauris mollis ipsum et nulla. Nam dignissim auctor enim. Praesent vel
ante sit amet nisi eleifend tempor.

Etiam mollis metus vitae tellus. Aliquam erat volutpat. Donec quis nunc. Sed eros eros,
ultricies nec, rutrum ut, pharetra a, purus. Vivamus tincidunt aliquam nibh. Etiam faucibus
imperdiet est. Phasellus eget massa eu pede lobortis pulvinar. Nunc tempus orci id nulla.
Phasellus id justo. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur
ridiculus mus.

Nam condimentum augue eget erat. Aenean dignissim augue vitae magna. Fusce dictum. 9
Quisque gravida, arcu vitae luctus feugiat, urna massa sollicitudin ligula, ac vehicula nisl urna
et lorem. Sed rhoncus. Duis metus elit, iaculis et, tristique vitae, commodo vitae, mi. Fusce
sem. Praesent consequat, erat ut scelerisque lobortis, est purus varius sapien, ut rutrum diam
dui id enim. Quisque vel ligula a odio ullamcorper fringilla.

Kata Pengantar
Kepala BPPSPAM
Daftar Isi

1 Pendahuluan

Air Minum dan Sanitasi Lingkungan


Sebagai Sarana Dasar Permukiman 3 Pengembangan Air Minum di Awal
Kemerdekaan

Pelayanan Air Minum dan Rencana Pembangunan Nasional


Sanitasi Lingkungan Yang Tidak Layak Semesta Berencana
dan Akibatnya
IPA Pejompongan I, Tonggak Sejarah
Lingkungan Strategis Global dan Pembangunan Air Minum di Indonesia
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Air Minum dan Sanitasi di Tanah Air
10 Menimba Ilmu Teknik Penyehatan
Penulisan Tentang Sejarah Lingkungan di Luar Negeri
Perkembangan Air Minum di Indonesia
Kerjasama Luar Negeri dan
Tata Laksana Proyek

2 Air Minum di Era Pra Kemerdekaan Model Kelembagaan Banyak


Mengadopsi Bentuk Peninggalan
Prasarana Air Minum Diutamakan Kolonial
untuk Orang Belanda
Pembangunan Air Minum di Ibukota
Sarana Air Minum Hanya Ada Provinsi
di Kota-kota yang Dihuni Belanda
Undang Undang yang Melandasi
Bentuk Kelembagaan Pada Saat Itu Pendirian PDAM Sebagai Badan
Usaha
Teknologi Pengolahan Air Saat Itu
Masih Konvensional

Pelayanan Air Minum di Berbagai


Kota Penting Lainnya

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Perkembangan Air Minum
4
pada Era Orde Baru (1969-1998)

Dasawarsa 1969-1979: Pembuatan Modul IPA Paket 2,5 liter


Peletak Dasar Pembangunan Sektor per detik
Air Minum
Sistem IKK Mempercepat Penyebaran
Pembangunan yang Berfokus Pada Pelayanan Air Minum di Tanah Air
Rehabilitasi Sekaligus Ekstensifikasi
Penanganan Daerah Terpencil/Sulit
Mekanisme Pembiayaan Berbasis Air 11
Pinjaman Luar Negeri
Direktorat Teknik Penyehatan Dipecah
Pelita II (1974-1979) Merupakan Menjadi Dua
Periode Ekstensifikasi
Program Regional Atau Lintas
Kelembagaan: Perintisan Penyerahan Wilayah/Kabupaten
Pengelolaan Sarana Kepada
Pemerintah Daerah Pelita IV 1984-1988:
Resesi Tidak Menghalangi
BPAM, Lembaga Pengelola Transisi Pembangunan
Sebelum Terbentuknya PDAM
Sistem Terpadu Melahirkan
Dasawarsa 1979-1989: Pembagian Antara Pusat dan Daerah
Era yang Melahirkan Banyak
Perkembangan Dasawarsa 1989-1998:
Akhir Pembangunan Jangka panjang
Program Akselerasi: Pembangunan Tahap Pertama
Masal SPAM di 200 Kota

Akselerasi Melahirkan Industri


Pembuat IPA Paket

Daftar Isi
Daftar Isi

5 Pengembangan Air Minum di Awal Era


Reformasi
6 Penutup

Era 1998-2005 Pembelajaran dari Perkembangan


Air Minum di Indonesia
Program Air Minum di Awal Era
Reformasi
12
Program Air Minum untuk Kawasan
Rawan Air di Perkotaan dan
Perdesaan (Program SE-AB)

Tahun 2005; Cakupan di Perkotaan


40 persen, di Perdesaan 8 persen

Otonomi dan Regionalisasi

Pembelajaran dari Perkembangan


Air Minum di Indonesia

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Daftar Boks

Boks 1. Boks 6.
Keterlibatan Swasta dalam Pelayanan Umbulan, Potensi Rp 126 milyar
Air Minum per Tahun yang Disia-siakan

Boks 2. Boks 7. 13

Sejarah Pelayanan Air Minum di Kebijakan Pembangunan Prasarana


Batavia Kota Terpadu

Boks 3. Boks 8.
Kisah Dibalik Pembangunan Instalasi UU 7/2004, Landasan Kebijakan
Pejompongan I, Jakarta untuk Air Minum

Boks 4. Boks 9.
Sejarah Terbentuknya Direktorat Kisah Sukses Regionalisasi PDAM
Jenderal Cipta Karya

Boks 5.
Terminologi dan Interpretasi Air
Minum
Daftar Boks
14

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 2005
1
PENDAHULUAN

Air minum dan


sanitasi lingkungan 15

sebagai sarana prasarana


dasar permukiman
Pendahuluan

Air merupakan bagian yang tak


terpisahkan dari kehidupan
manusia. Air dan permukiman selalu
menjadi perhatian manusia sejak
jaman dahulu kala.
16
Banyak kota kuno berkembang di tepi-tepi kumpulan air (danau dan sungai) yang dapat
menyokong kehidupan. Pada masa 3000 tahun sebelum Masehi, telah muncul peradaban di
lembah Mesopotamia (dataran di antara sungai Tigris dan Efrat) di Timur Tengah, di tepi
Sungai Nil, Mesir dan di lembah Sungai Indus. (Wikipedia). Permukiman pada awalnya tidak
dapat dipisahkan dari kedekatannya dengan sumber air. Dalam perkembangannya,
permukiman sebagai bagian dari lingkungan hunian tidak hanya memerlukan air, akan tetapi
juga prasarana dan sarana dasarserta utilitas umum lainnya seperti sarana sanitasi. Prasarana
dan sarana sanitasi lingkungan tersebut meliputi air limbah, persampahan dan drainase, yang
kemudian dikenal sebagai prasarana penyehatan lingkungan permukiman (PLP). Ketersediaan
dan kondisi prasarana dan sarana dasar ini sangat menentukan kualitas lingkungan
permukiman tersebut dan derajat kesehatan penghuninya.

Penyediaan air minum dapat dilakukan melalui upaya masing-masing orang/keluarga (secara
individu) seperti sumur gali/pompa atau penampungan air hujan (PAH). Apabila kebutuhan
telah lebih meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya permukiman, maka upaya
yang dilakukan secara individu tidak lagi dapat diandalkan, sehingga diupayakansecara
terpusat melaluisistem perpipaan, yang dimulai dari permukiman yang sudah mulai
berkembang dan padat seperti di kawasan perkotaan. Sama halnya dengan air minum, untuk
air limbahpun, pengelolaannya dimulai dari skala rumah tangga (secara individu), misalnya
dengan menggunakan tangki septik (disebut sistem on-site), dan sejalan

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
dengan perkembangan permukiman, khususnya untuk permukiman padat, maka sistem yang
lebih sesuai untuk digunakan adalah secara terpusat melalui saluran air limbah, atau juga
disebut sistem off-site.

Pelayanan air minum dan sanitasi lingkungan yang tidak layak dan akibatnya
Pelayanan air minum dan pengelolaan sanitasi lingkungan yang tidak layak mengakibatkan
penurunan derajat kesehatan masyarakat. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, terdapat
37 jenis penyakit tradisional yang berhubungan dengan air minum dan sanitasi lingkungan
yang kurang layak, yang terbagi atas kelompok penyakit, yaitu waterborne diseases, water
washed diseases, water-based diseases, water-related diseases,water-related vectors, dan
vector-related diseases. Masing-masing kelompok tersebut dijelaskan dalam uraikan berikut:

a) Waterborne disease adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui air seperti diare,
tyfus, disentri, hipatitis A dan E, yang merupakan penyebab kematian kedua terbanyak
pada balita di Indonesia setelah ISPA.
b) Water washed disease adalah penyakit yang berkaitan dengan kekurangan air untuk
keperluan sehari-hari seperti scabies, infeksi kulit dan selaput lendir (dermatitis),
trachoma, lepra, frambusia dan lain-lain.
c) Water based disease adalah penyakit yang bibitnya dan sebagian dari siklus kehidupannya
berhubungan dengan air, antara lain schistosomiasis.
d) Water related vectors adalah penyakit yang ditularkan oleh vector penyakit yang sebagian 17
atau seluruhnya berada diair seperti malaria, demam berdarah dengue, filariasis dan
sebagainya.
e) Vector related disease adalah penyakit yang ditularkan oleh vektor yang sebagian atau seluruh
kehidupannya berkaitan dengan sampah seperti diare dan lain lain.

Sementara itu dibeberapa daerah mulai muncul penyakit akibat “modernhazard” seperti
akibat air minum yang tercemar limbah industri, limbah pertanian (pestisida, herbisida) serta
limbah penambangan emas yang menggunakan merkuri secara tidak terkendali. Dengan
demikian masalah kesehatan lingkungan di Indonesia saat ini mengalami beban ganda (double
burden). Kondisi pengelolaan air minum secara nasional saat ini juga mengakibatkan
kerugian ekonomis yang sangat besar, antara lain berupa biaya perawatan kesehatan,
kehilangan produktivitas sumberdaya manusia dan kehilangan produksi dalam negeri serta
menurunnya pendapatan dari sektor pariwisata.

Lingkungan strategis global dan pengaruhnya terhadap perkembangan air


minum dan sanitasi di tanah air
Pada lingkungan global, peristiwa strategis penting didunia internasional yang membahas
masalah air ditandai dengan pertemuan yang diadakan di Mar del Plata, Argentina, pada bulan
Maret 1977, dimana PBB menyelenggarakan konferensi air sedunia yang menjadi

Pendahuluan
Pendahuluan

18

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
19

Pendahuluan
Pendahuluan

tonggak awal yang lebih kuat dalam mendorong kesadaran dunia akan pentingnya air dalam
pembangunan yang berkelanjutan. Rencana Aksi Mardel Plata memproklamirkan tahun 1980-
1990 sebagai dekade air minum dan sanitasi international, sebagai upaya bersama untuk
meningkatkan pelayanan air minum dan sanitasi. Dalam catatan PBB, hingga saat ini setiap
tahun lebih kurang empat juta penduduk dunia meninggal sebagai akibat pelayanan air minum
dan sanitasi yang kurang layak.

Komitmen-komitmen internasional mengenai Sumber Daya Air, termasuk masalah air minum
dan sanitasi, terus bergulir. Prinsip Dublin, sebagai hasil dari Konferensi di Dublin pada
Januari 1992, ditujukan untuk manajemen air secara bijaksana dengan fokus perhatian pada
kemiskinan. Puncak peristiwa adalah kesepakatan Rio De Janeiro (Juni 1992), yang dikenal
dengan Earth Summit dengan Agenda 21-nya, untuk pembangunan yang berkelanjutan,
dimana salah satu dari Agenda 21 mencantumkan penyediaan air dan sanitasi.

Kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium


dengan sasaran tahun 2015, dan akses universal atas air minum dan sanitasi pada tahun 2025
adalah bentuk-bentuk perhatian PBB yang tanpa henti mendorong negara-negara di dunia,
terutama di negara-negara berkembang, untuk memprioritaskan pengembangan air minum
dan sanitasi.

20 Dengan semakin berkembangnya permasalahan dalam air minum dan sanitasi sebagaimana
disampaikan diatas, jelaslah betapa pentingnya prasarana dan sarana air minum dan sanitasi bagi kita semua.
Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian penuh atas pengembangan air minum dan
sanitasi, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan situasi sesuai jamannnya, sejak awal
kemerdekaan sampai sekarang.

Pengembangan air minum dan sanitasi tidak hanya menyangkut aspek fisik, akan tetapi juga
hal-hal yang sifatnya non-fisik seperti aspek-aspek pengaturan, kelembagaan, pembiayaan dan
pengelolaannya.

Penulisan tentang sejarah perkembangan air minum di Indonesia


Untuk dapat mengetahui dan memahami upaya pengembangan air minum dan sanitasi di
Indonesia dari masa ke masa, para pelaku yang pada saat itu turut menangani dan menjadi
saksi hidup pengembangan air minum sejak awal tahun 1960-an sampai sekarang berupaya
untuk menuliskannya dalam bentuk buku, yang diberi judul: “Beberapa Catatan Sejarah Air
Minum Indonesia”. Penulisan buku ini difasilitasi oleh Direktorat Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM) Direktorat Jenderal Cipta Karya, dan Badan Pendukung
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM), Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Walaupun masalah air dan sanitasi merupakan dua sisi dari mata uang yang tidak dapat
dipisahkan karena keduanya saling berkaitan, namun buku ini hanya membatasi pada masalah
pengembangan air minum, dengan harapan, suatu saat nanti sejarah perkembangan sanitasi di
Indonesia juga dapat dibukukan.

Tentu saja tidak mungkin memasukkan seluruh peristiwa pengembangan air minum itu secara
lengkap dalam sebuah buku yang sederhana ini. Yang diharapkan dari penyusunan buku ini
adalah bahwa generasi penerus dapat mengetahui dan memahami, serta mengambil hikmah
dari pengalaman, pemikiran, kejadian dan langkah-langkah pendahulunya, baik yang
dianggap berhasil, atau belum, sebagai bahan pembelajaran bagi generasi penerus. Dengan
demikian maka generasi penerus dapat melanjutkan keberhasilan yang telah dicapai dan tidak
mengulangi kesalahan yang sama, yang telah diperbuat oleh generasi sebelumnya.

Keterangan foto

21

Pendahuluan
22

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 2005
2
AIR MINUM DI ERA
PRA KEMERDEKAAN

Prasarana air minum 23

diutamakan untuk
orang Belanda
Air Minum di Era
Pra Kemerdekaan

Sejarah Indonesia menyebutkan bahwa


masa kolonialisme, masa penjajahan
Belanda di Indonesia, dimulai tahun
1602, terhitung sejak pendirian VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie),
perusahaan Belanda yang semula
24 bertujuan mengumpulkan hasil-hasil bumi
Indonesia untuk diboyong dan diperdagangkan
di Eropa.

Kehadiran perusahaan yang bersifat oktopus itu dikawal oleh tentara Belanda, yang
akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan ataupun kesultanan yang ada di Indonesia,
lalu menjajahnya hingga tahun 1945.

Tidak jelas kapan persisnya sistem penyediaan air minum mulai ada di Indonesia. Suatu
catatan menyebutkan, bahwa sistem penyediaan air minum di masa prakemerdekaan itu sudah
hadir pada era 1800-an (Buku Direktori Perpamsi). Sir Stamford Raffles, penguasa Inggris
selama penjajahannya di Pulau Jawa (1811-1815), yang juga dikenal sebagai ilmuwan, pada
tahun 1817 mencatat bahwa penduduk di Pulau Jawa telah terbiasa merebus air sebelum
diminum untuk menjaga kesehatan. Kebiasaan ini kemudian ditiru oleh bangsa Belanda yang
tinggal di Batavia (sebelumnya bernama Jayakarta, kemudian diganti Belanda menjadi
Batavia, sekarang Jakarta). Di Batavia, pada tahun 1880-an ada tuan tanah yang memiliki
sumur yang airnya sangat jernih. Pemilik tanah itu pun

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
memperdagangkan air sumur tersebut dengan harga 1,5 gulden per drum (200 liter). Air
sungai pun waktu itu diperdagangkan dengan harga 2-3 sen per kaleng (20 liter).

Pemerintah Kota Batavia terbentuk pada tahun 1905, dan pada tahun 1918 didirikanlah PAM
(Perusahaan Air Minum) Batavia dengan mendatangkan air baku dari mata air di Ciomas,
Bogor. Pada waktu itu penduduk memang kurang menyukai air sumur bor yang dibangun
PAM Batavia, karena kalau dipakai untuk menyeduh teh, airnya berwarna hitam karena
kandungan besi (Fe) yang tinggi.

Awalnya, orang-orang yang tinggal di Jakarta menjadikan air Kali Ciliwung sebagai sumber
air minum. Air Sungai Ciliwung dahulu memang sangat jernih. Seorang analis Belanda Dr. de
Haan tahun 1648 memberi nilai sangat baik (voortreffelijk) atas air Ciliwung. Air sungai
ditampung di sebuah waduk yang dalam bahasa Belanda disebut waterplaats. Waduk itu
semula dibangun di dekat benteng Jacatra di utara kota, kemudian dipindahkan ke kali di
daerah Molenvliet (sekarang lebih dikenal dengan nama Harmoni), tak jauh dari Istana
Negara yang sekarang. Waduk itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang
mengucurkan air dari ketinggian tiga meter. Masyarakat menamakan tempat itu pancuran,
yang oleh lidah Betawi ketika itu berubah menjadi pancoran. Dari sana air diangkut oleh para
pedagang air untuk dijajakan di daerah Kota.

Pola penyediaan air seperti itu tentu saja tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan karena
tanpa melalui pengolahan apapun. Maka pada akhir abad ke-18 dan dasawarsa pertama 25 abad ke-19,
mulailah muncul wabah penyakit menular, mulai dari disentri, tifus, bahkan kolera. Karena itu, tidak
semua orang Belanda mau minum air Ciliwung. Khususnya para ambtenaar1 kelas atas menggunakan air
yang terkenal dengan sebutan ayer Belanda yang didatangkan dari luar Batavia. Tetapi harganya sangat
mahal, satu ringgit (2,5 gulden) per
guci kecil. Kaum ambtenaar kelas lebih rendah membeli air yang khusus didatangkan dari
Bogor yang mutunya jauh lebih baik dan lebih aman, walau dengan harga yang jauh lebih
mahal dari air Ciliwung.

Sarana air minum hanya ada di kota-kota yang dihuni Belanda


Sebagaimana dengan di Batavia, di kota-kota besar lainnya dan di kota-kota kecil di Indonesia
yang didiami orang Belanda, tumbuh pula sarana penyediaan air minum walau kapasitasnya
tidak sepadan dengan jumlah penduduknya. Sarananya pun masih sederhana, umumnya
memanfaatkan sumber mata air.2

1. Sebutan untuk pegawai negeri pada zaman Belanda, biasanya berpakaian jas putih-putih, topi helm keras seperti topi baja dan
pergi–pulang kerja naik sepeda. (Jakarta.go.id)
2. Di sebuah kota kecil, Tarutung, di Sumatera Utara misalnya, fasilitas air minum perpipaan sudah ada sejak masa penjajahan.
Pemerintah kolonial pada masa itu membangun pipa transmisi dari sebuah mata air di suatu kaki gunung, sekitar tujuh kilometer panjangnya
untuk mengalirkan air sampai ke kota. Di seputar kota, di mana orang-orang Belanda tinggal, dibangun jaringan pipa distribusi. Maka warga
kota Tarutung ketika itu sudah menikmati air ledeng yang cukup baik, yang diusahakan oleh pemerintahan kota setempat.

Air Minum di Era


Pra Kemerdekaan
Air Minum di Era
Pra Kemerdekaan

Sekitar tahun 1880-1890, Dinas Pengairan Belanda membangun saluran air sepanjang 12 km
dari sebuah bendungan di Sungai Elo ke pusat kota Magelang, Jawa Tengah, untuk keperluan
air minum dan pengairan. Di Surabaya tahun 1890, atas jasa-jasanya merintis penyediaan air
minum, dua orang Belanda bernama Mouner dan Bernie diberi konsesi mengelola mata air
Umbulan di Pasuruan. Mereka memasang pipa sepanjang lebih dari 60 km dari wilayah
Pasuruan hingga ke kota Surabaya, yang pengerjaannya dilakukan dalam dua tahun. Dan pada
tahun 1900 berdirilah perusahaan air minum Kota Surabaya.

Waktu itu, rumah-rumah yang dianggap mewah diwajibkan oleh pemerintah Hindia
Belanda berlangganan, dan dalam waktu tiga tahun, perusahaan air minum itu memiliki
1.588 pelanggan. Tahun 1906, perusahaan air minum itu dijadikan sebagai Dinas Air
Minum Kota Surabaya, yang kemudian menjadi PDAM Kota Surabaya sampai sekarang.
Air ledeng seperti itu terdapat juga di berbagai kota lain yang tersebar di Nusantara, dimana
terdapat sumber berupa mata air yang cukup besar. Yang jelas, pembangunan sarana air
minum di masa itu memang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bangsa Belanda
dan lapisan masyarakat atas yang berkuasa waktu itu. Lapisan masyarakat mayoritas yang
berkedudukan sosial rendah dan ekonomi lemah kurang mendapat perhatian. Mereka
menggunakan air sumur dangkal, air sungai dan semacamnya, yang tentu saja tidak
terjamin kesehatannya, meskipun budaya merebus air terlebih dahulu sebelum diminum
telah lama tertanam dalam masyarakat Indonesia, dan itu cukup membantu. Di berbagai
tempat yang dikaruniai dengan mata air, sebagian warganya beruntung dapat mengonsumsi
26 air minum yang baik yang berasal dari mata-mata air itu.

Kota-kota besar maupun kecil yang didiami orang Belanda di masa prakemerdekaan adalah
kota-kota yang memiliki arti strategis bagi Belanda, baik dari segi politis dan keamanan, dan
dari sudut perekonomian seperti pertambangan, perniagaan, perkebunan dan pelabuhan. Sebut
saja misalnya Jakarta, Bandung, Bogor, Cirebon, Sukabumi di Jawa Barat, Semarang,
Salatiga, Banyumas, Cilacap, Yogyakarta, Solo, Magelang di Jawa Tengah. Kota-kota penting
bagi Belanda di Jawa Timur antara lain Surabaya, Malang, Banyuwangi, Madiun, Jember.
Sedangkan di Sumatera antara lain Banda Aceh, Sigli, Lhoksumawe, Medan, Brastagi,
Pematangsiantar, Prapat, Sibolga, Padangsidempuan, Bukittinggi, Padang, Sawahlunto,
Jambi, Palembang, Bengkulu, Pekanbaru, Dumai. Di Kalimantan terdapat kota-kota penting
seperti Banjarmasin, Pontianak, Balikpapan, lalu Makassar, Manado dan Bitung di Sulawesi,
dan Ambon serta Ternate di Maluku.

Bentuk kelembagaan pada saat itu


Pengelolaan penyediaan air minum di berbagai kota tersebut di atas diatur pemerintah Hindia
Belanda dengan membentuk badan hukum berupa bedrijven (perusahaan) atau diensten
(kedinasan). Contoh-contoh badan hukum berbentuk perusahaan antara lain adalah:

1. Gemeentelijk Waterleiding Bedrijf (Perusahaan Air Minum Kotapraja) yang terdapat di


kota-kota Batavia, Surabaya, Madiun, Salatiga, Bandung, Bogor, Sukabumi, Semarang,

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
dan sebagainya.
2. Provinciaal Waterleiding Bedrijf (Perusahaan Air Minum Provinsi) yang antara lain
terdapat di kota Mojokerto dan sekitarnya.

Pada masa itu, perusahaan air minum kotapraja (waterleiding bedrijf) menginduk ke
Departemen Kesehatan Masyarakat (Department van Volksgezondheid), karena air minum
erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, yang mengawasi kualitas produksi. 3 Karena
milik pemerintah kotapraja, perusahaan air minum itu dibiayai oleh pemerintah.

Selain itu, ada juga pelayanan air bersih yang dikelola swasta 4 seperti di Tanjungpinang, yang
kemudian menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Perusahaan-perusahaan asing
seperti Caltex di Dumai dan BPM di Balikpapan juga menyediakan air bersih walau terbatas
untuk kebutuhan karyawan-karyawan mereka yang biasanya tinggal di kompleks-kompleks
perumahan perusahaan-perusahaan tersebut.

Di pelosok Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan juga terdapat pelayanan air minum
melalui suatu hidran umum yang disediakan oleh perusahaan tambang minyak asing, yang
kemudian diambil alih oleh Pertamina setelah Indonesia merdeka. Bahkan hingga sebelum
PDAM Kabupaten Muara Enim memasang pipa transmisi air minum ke pelosok itu sekitar
tahun 2004, penduduk di luar kompleks Pertamina tersebut masih menikmati air minum dari
instalasi air minum milik Pertamina tersebut pada jam-jam tertentu.
27
Penyediaan air minum sistem perpipaan, dengan melibatkan perusahaan swasta, antara lain
juga dikembangkan Belanda di Sumatera Utara, yaitu di Medan dan Binjai. Dalam Boks
berikut diuraikan secara lengkap sejarah perkembangan air minum dengan melibatkan swasta
di kedua kota tersebut.

Di pelosok Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan juga terdapat pelayanan air minum
melalui suatu hidran umum yang disediakan oleh perusahaan tambang minyak asing, yang
kemudian diambil alih oleh Pertamina setelah Indonesia merdeka. Bahkan hingga sebelum
PDAM Kabupaten Muara Enim memasang pipa transmisi air minum ke pelosok itu sekitar
tahun 2004, penduduk di luar kompleks Pertamina tersebut masih menikmati air minum dari
instalasi air minum milik Pertamina tersebut pada jam-jam tertentu.

3. Kementerian PU di jaman kolonial disebut Ministery van Verker en Waterstaat (Kementerian Perhubungan dan Pengairan), yang
kemudian berubah menjadi Burgerlijke Openbare Werken atau BOW. BOW ini memiliki dinas-dinas di tingkat provinsi dan kabupaten yang
menangani masalah ke PU-an, meliputi hanya jalan dan jembatan, pengairan/irigasi dan gedung-gedung negara. Selain gedung-gedung,
masalah-masalah lainnya seperti air minum dan sanitasi tidak menjadi tanggung jawab BOW, karena keterkaitannya cenderung dengan
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, air minum dan sanitasi menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan, yang pada jaman kolonial
dulu namanya Departement van Volksgezondheid (DVG) atau Departement Kesehatan Masyarakat.
4. Pada masa kolonial, prasarana umum biasanya dikelola oleh pemerintah kota setempat, tapi ada juga yang dikelola swasta. Di
Semarang misalnya, listrik dikelola oleh swasta ANIEM (Algemene Nederlands Indische Electriciteit Maatschapij), di Bandung oleh GEBEO
(Gemeentelijke Elektriciteit Bedrijf Bandung en Omstreken). Kereta api jaman kolonial juga dikelola oleh swasta, misalnya NIS (Nederlands
Indische Spoorweg Maatschapij) yang melayani trayek Surabaya – Jakarta, SS (Staatspoor) yang melayani Yogya – Semarang dan lain-lain.

Air Minum di Era


Pra Kemerdekaan
Air Minum di Era
Pra Kemerdekaan

28

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
29

Air Minum di Era


Pra Kemerdekaan
Air Minum di Era
Pra Kemerdekaan

Penyediaan air minum sistem perpipaan, dengan melibatkan perusahaan swasta, antara lain
juga dikembangkan Belanda di Sumatera Utara, yaitu di Medan dan Binjai. Dalam Boks
berikut diuraikan secara lengkap sejarah perkembangan air minum dengan melibatkan swasta
di kedua kota tersebut.

KETERLIBATAN SWASTA DALAM PELAYANAN AIR MINUM


Waterleiding Maatschappij Ajer (baca: ayer) Dengan bantuan konsultan yang sengaja
Bersih adalah perusahaan air minum yang didatangkan dari Belanda, ditemukanlah
merupakan suatu konsorsium yang dipimpin lokasi yang dinilai baik untuk mendirikan
oleh Deli Maatschappij. Perusahaan air instalasi pengolahan di sebuah dataran tinggi
minum tersebut didirikan untuk memenuhi bernama Bandar Baru di luar kota Medan. Di
kebutuhan kota Medan yang berkembang masa itu masalah hukum dan perundang-
sangat pesat sejak Sultan Deli memindahkan undangan telah digunakan sebagai payung
pusat pemerintahannya dari Bengkalis ke hukum suatu kegiatan di bidang pela
Medan, dimana jumlah penduduknya me yanan publik, termasuk perusahaan air
ningkat pesat, sejalan dengan peningkatan minum. Berdasarkan payung hukum itu
kegiatan di bidang niaga dan industri. Se dikeluarkanlah izin konsesi yang disahkan
belum perusahaan air minum itu dibentuk, tanggal 3 April 1905 dengan uang jaminan
pemerintah kolonial Belanda terlebih dulu sebesar 5.000 gulden. Izin itu diberikan
membentuk sebuah lembaga bernama setelah segala persyaratan teknis dipenuhi.
Gemeentefonds (dana kotapraja) dalam Sebagian besar pipa transmisi adalah pipa
rangka merespons perkembangan kota besi tuang. Pipa-pipa dan aksesori pipa yang
30
Medan. Pengurus lembaga dana kotapraja itu digunakan oleh Waterleiding Maatschappij

terdiri atas pegawai pemerintah (ambtenaar) Ajer Bersih Medan didatangkan dari Negeri
dan swasta. Melalui lembaga itulah dibuka Belanda. Akuaduk dibuat dari beton.
kesempatan kepada swasta untuk ambil
bagian dalam pembangunan infrastruktur di Sebagai operator dibentuk perusahaan ber
Medan, termasuk penyediaan air minum. nama Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih,
yang akta pendiriannya dikeluarkan di
Pada tahun 1898 ada perusahaan swasta yang Negeri Belanda dengan modal awal sebesar
mengajukan proposal mendirikan instalasi 500.000 gulden. Berdasarkan kontrak konsesi,
pengolahan sederhana dengan menyaring air Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih di Medan
di Binjai yang tak jauh dari Medan. Perusahaan dahulu itu boleh memungut rekening air
itu bernama G.D. Langereis & Co. Tetapi karena kepada pelanggan selama 25 tahun. Setelah
pembangunan instalasinya terlalu mahal, itu pemerintah kolonial akan mengambil alih
proyek air minum tersebut batal dibangun. perusahaan tersebut kapan saja. Konsesi itu
Namun melihat adanya peluang bisnis, didasarkan pada Surat Keputusan Pemerintah
yakni kebutuhan air minum di kota Medan (gouvernements besluit) yang dikeluarkan
yang sangat mendesak, pada tahun 1903 tanggal 8 Desember 1905. Waterleiding
sebuah perusahaan swasta bernama Deli Maatschappij Ajer Bersih di Medan dapat
Maatschappij, meminta konsesi pengelolaan menyalurkan air minum sebanyak 3.000
sarana air minum kepada pemerintah Hindia meter kubik per hari. Perusahaan inilah yang
Belanda. menjadi cikal bakal PDAM Tirtanadi Sumatera
Utara yang sekarang.

Boks 1. Keterlibatan Swasta dalam Pelayanan Air Minum


BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Tidak hanya di Medan, di banyak kota lainnya di mana orang-orang Belanda tinggal, dalam
waktu yang hampir bersamaan berdiri perusahaan air minum. Selain untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari, air minum itu juga ditujukan untuk keperluan
lain seperti keperluan dinas pemadam kebakaran, keperluan lokomotif di berbagai stasiun
kereta api, pabrik es, pabrik tekstil, dan sebagainya.Untuk sebagian, seperti yang terjadi di
Medan, pihak swasta memang diberi konsesi atau hak mengelola, tetapi pada prinsipnya,
pengelolaan penyediaan air minum berada di bawah kendali dan pengaturan pemerintah
kotapraja (diensten – dinas) dan sebagian lain berupa perusahaan (bedrijven) atau perusahaan
air minum kotapraja (Gemeentelijk Waterleiding Bedrijf). Perusahaan air minum serupa juga
muncul di kota-kota lainnya seperti Salatiga, Surabaya, Madiun, Bogor dan Sukabumi.

Teknologi pengolahan air saat itu masih konvensional


Teknologi pengolahan air minum di era prakemerdekaan masih konvensional. 5 Proses
koagulasi/flokulasi, pengendapan, dan penyaringan dilakukan dengan cara sederhana. Pada
sistem yang lebih baru, proses koagulasi/flokulasi dilakukan dengan cara heliocoidal, bahkan
pada instalasi pengolahan modern, semua proses itu telah dipadukan. Yang juga berkembang
ketika itu adalah sistem saringan pasir lambat, yang berbeda sekali dengan sistem saringan
pasir cepat yang umumnya digunakan dewasa ini. Perbedaannya adalah pada kecepatan
penyaringan dan prosesnya, dimana pada saringan pasir lambat, yang terjadi adalah proses
biologis.
31
Kebanyakan dari perusahaan air minum itu mendapatkan sumber air dari mata air yang
terdapat di dataran tinggi. Kota-kota yang tidak memiliki sumber mata air seperti
Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Palembang dan yang lainnya biasanya memanfaatkan air
permukaan atau sumur bor (deep well). Air baku yang berasal dari dataran tinggi biasanya
dialirkan ke kota dengan pipa menggunakan gaya gravitasi. Di beberapa kota dibangun pula
menara air untuk pemerataan tekanan air dalam jaringan perpipaan distribusi. Sambungan
rumah pun masih terbatas hanya bagi warga Belanda dan golongan menengah ke atas. Bagi
masyarakat umum disediakan fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus), yang pengelolaannya
diserahkan kepada masyarakat setempat, tetapi dalam pengawasan kotapraja. Pada zaman
kolonial itu belum ada data yang akurat mengenai kapasitas produksi, kecuali di Batavia, yang
perkembangan sejarahnya dapat dilihat dalam Boks berikut.

5. Teknologi konvensional yang dimaksud adalah bahwa prosesnya dilakukan secara sederhana, misalnya untuk proses
pencampuran dan koagulasi dilakukan melalui saluran yang berbelok-belok dan bersekat (baffled channel), bak pengendap terbuat dari bak
yang luas tanpa tambahan sekat/pipa pengendap (plate/tube settler).

Air Minum di Era


Pra Kemerdekaan
Air Minum di Era
Pra Kemerdekaan

Sejarah Pelayanan Air Minum di Batavia


Air minum di Batavia waktu itu bersumber diobat dengan caporit 5 kg/24 djam. Dari
dari mata air Ciburial di Bogor sebanyak 600 Gedung Mata Air ini ia dialirkan ke gedung
liter per detik, yang mulai dibangun tahun penjimpanan air (water reservoir) melalui pipa-
1910. Untuk mengalirkan air dari Bogor ke pipa besi wadja dari ukuran 450 mm, 475 mm,
Jakarta, dibangun pipa transmisi sepanjang 500 mm, dan sampai 550 mm. Masa berdjalan
57 km. Pada tahun 1922 dibangun sebuah 9 tahun lamanja, pada tahun 1931
reservoir bernama Gudang Air di Kramatjati, penambahan mata air perlu dilakukan, dan
dan bersamaan dengan itu berdirilah dibendunglah sembilan mata air lagi di dalam
Perusahaan Air Saluran. Dengan suatu sumur beton (putcaptering). Dengan
tersedianya air dari Ciburial, sejumlah sumur melalui pipa-pipa besi tuang ia dialirkan ke
bor dalam yang dibangun di 14 tempat di sebuah gedung. Dan, setelah berkumpul di
Jakarta kemudian ditutup. gedung baru ini, baru ia dialirkan pula ke
gedung jang kita sebutkan di atas. Dan, untuk
Air dari tujuh mata air Ciburial sebelum penampungan tambahan ini, maka ditambah
dialirkan ke Jakarta melalui pipa, dikumpulkan pula pipa-pipa ukuran 500 mm dan 550 mm.
terlebih dulu di bak penampungan yang Dan, dengan itu pulalah menjadi saluran-
dinamakan bron-kaptering yang dilengkapi saluran jang terbentang dari Tjiomas ke
dengan saringan terdiri atas batu-batu koral di Tjibinong menjadi dua saluran.”
samping dan di atasnya, ditutup dengan beton
sehingga air hujan tidak bisa masuk. Majalah Di Kramatjati dekat Cijantung dibangun
Kotapraja terbitan Februari 1953 pula reservoir yang disebut Gudang Air
32 antara lain menulis: untuk menampung air yang mengalir
deras dari Ciomas. Gudang Air tersebut
“Air dialirkan melalui pipa-pipa beton terus ke berkapasitas 20.000 meter kubik. Dari
Gedung Mata Air dan di gedung inilah baru gudang air itulah kemudian air disalurkan
ke pusat kota di Batavia.

Boks 2. Sejarah Pelayanan Air Minum di Batavia

Pelayanan air minum di berbagai kota penting lainnya


Untuk kota Cirebon, Belanda membangun terowongan penampung air pada salah satu
kawasan sumber mata air Paniis yang terletak di lereng Gunung Ciremai. Terowongan air
yang dibangun tahun 1937 itu merupakan penampung air yang berasal dari 15 sumur vertikal.
Terowongan sepanjang 77 meter itu terhubung dengan instalasi pengolahan yang terletak
sekitar 270 meter dari sumber air. Di instalasi pengolahan itu, dibangun unit aerasi
berteknologi sederhana, yakni dengan sistem pancaran. Sistem aerasi tersebut ditujukan untuk
menghilangkan mineral besi yang terkandung di dalam air.Di Cirebon Belanda juga
menggunakan pipa besi tuang diameter 150 – 300 mm untuk mengalirkan air dari sumbernya
di Paniis ke wilayah kota Cirebon. Di era 1930-an itu, debit air yang dialirkan ke Cirebon
dengan sistem gravitasi tersebut mencapai 30 liter per detik.

Belanda juga membangun menara-menara air sebagai tangki persediaan, yang juga berfungsi
menstabilkan tekanan air di jaringan pipa. Menara air yang dibangun di Medan

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
berkapasitas 1.200 meter kubik, terbuat dari besi. Sebagian dari menara-menara air itu
ternyata kini telah menjadi landmark kota. Menara air di Magelang berkapasitas 1.750 meter
kubik misalnya, yang dibangun tahun 1919-1920 dengan biaya 550.000 gulden telah menjadi
saksi sejarah pengembangan sistem penyediaan air minum di kota itu. Menara tersebut
tingginya 121,2 meter, ditopang oleh 32 pilar.Menara air di Cirebon berkapasitas 875 meter
kubik dibangun tahun 1937 dan masih berfungsi hingga sekarang.

Di akhir masa pra kemerdekaan, kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia adalah
sekitar 3.000 liter per detik. Tidak jelas berapa biaya investasinya. Yang menarik adalah,
sebagian dari investasi prasarana air minum yang dikeluarkan oleh fihak swasta pada masa
pemerintah Hindia Belanda kemudian dimasukkan sebagai utang pemerintahan Hindia
Belanda kepada swasta, yang harus dibayar melalui Pemerintah Kerajaan Belanda, yang
jumlahnya ditaksir 6,5 miliar gulden. Jumlah itulah yang dituntut oleh Pemerintah Kerajaan
Belanda yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945.

Tuntutan itu diungkapkan oleh sejarawan Lambert Giebels lewat tulisannya di de Groene
Amsterdammer edisi Januari 2000 berjudul “De Indonesische Injectie” alias Sumbangan
Indonesia. Tuntutan itu disampaikan pihak Belanda kepada utusan Indonesia dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam rangka penyerahan kedaulatan Republik Indonesia
di penghujung Perang Kemerdekaan RI. Semula Belanda menuntut pembayaran 6,5 miliar
gulden, tetapi akhirnya sepakat atas angka 4,5 miliar yang diajukan pihak Indonesia. 33

Patut pula dicatat, perusahaan-perusahaan air minum itu, baik yang swasta maupun yang
diselenggarakan oleh kotapraja, sesungguhnya memungut tagihan air minum yang dipakai
pelanggannya. Sebagai contoh, Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih di Kota Medan
menerapkan tarif air bersih yang disepakati oleh Direktur Pekerjaan Umum pemerintah
Hindia Belanda seperti berikut ini:

No. jenis tarif Tarif per m3


(gulden)*

1. Untuk menyiram jalan, lapangan, pertamanan, pembersihan parit 0,05

2. Untuk badan amal seperti rumah sakit dan lain-lain 0,10

3. Untuk kantor umum dengan pemakaian minimal 10 m3 0,20

4. Untuk pemakaian rumah tangga, kandang hewan dan menyiram


halaman dengan pemakaian minimal 5 m3 per bulan 0,20

5. Untuk hotel, restoran, dan gedung pertemuan dengan pemakaian


minimal 25 m3 per bulan 0,20

6. Untuk keperluan industri dengan pemakaian minimal 12,5 m3 per bulan 0,40
* gulden sekarang sudah berganti menjadi uero

Air Minum di Era


Pra Kemerdekaan
34

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 2005
3
PENGEMBANGAN
AIR MINUM DI AWAL
KEMERDEKAAN

Rencana Pembangunan
Nasional Semesta
35

Berencana
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan

Dalam lima tahun pertama era


kemerdekaan 1945 – 1950,
boleh dikatakan hampir tidak ada
pembangunan sektor air minum di
Indonesia.
36

Pada masa itu, bangsa dan negara Indonesia masih disibukkan dengan perang
mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi Belanda dan pemberontakan di berbagai
kawasan. Di sisi lain, pada masa itu belum terlalu sulit mendapatkan air bersih dari sumber-
sumber tradisional seperti sumur-sumur dangkal, mata air, dan sumber-sumber lain yang
relatif masih baik.

Usai perang kemerdekaan, barulah pemerintah Indonesia mulai melancarkan pembangunan,


termasuk pembangunan sektor air minum yang terbengkalai karena Perang Dunia II (1939-
1945) dan perang kemerdekaan Indonesia 1945–1950. Para pelaku sejarah pengembangan
sektor air minum Indonesia mencatat bahwa di awal-awal kemerdekaan, kebijakan yang
diambil adalah memprioritaskan pembangunan sarana prasarana air minum pada kota-kota
besar, kota dengan pelabuhan, kota industri, wisata dan objek-objek vital lainnya.

Sesuai dengan kebijakan itu pula maka tahun 1952 dilakukan rehabilitasi serta peningkatan
kapasitas sistem penyediaan air minum untuk kota Jakarta yang telah dijadikan sebagai ibu
kota negara. Itulah proyek yang pada zamannya disebut-sebut sebagai proyek raksasa, yakni
pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Pejompongan I berkapasitas 2.000 liter per
detik, termasuk peningkatan kapasitas pasokan air minum dari mata air Ciburial dari 500 liter
per detik menjadi 612 liter per detik.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Salah satu langkah penting di awal kemerdekaan itu, yakni bahwa Pemerintah telah menyusun
Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (RPNSB) Tahap I meliputi periode
1961–1969. Pembangunan berencana tersebut tentu juga mencakup rencana pengembangan
sistem penyediaan air minum. Dalam kerangka rencana pembangunan berencana itulah
dilaksanakan pembangunan instalasi pengolahan air minum di beberapa kota besar seperti
Jakarta (Pejompongan II), Manado dan Pontianak. Juga ada pembangunan IPA di beberapa
ibu kota provinsi atas kerja sama dengan sebuah perusahaan asal Prancis, yakni Degremont.
Pembangunan IPA Pejompongan II dengan kapasitas 3.000 liter per detik, selain untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin banyak, juga ditujukan untuk menyukseskan
Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of the New Emerging
Forces) usai penyelenggaraan Asian Games di Jakarta tahun 1964.

IPA Pejompongan I, tonggak sejarah pembangunan air minum di Indonesia


Pembangunan IPA Pejompongan I didorong oleh kebutuhan yang sangat mendesak
penduduk kota Jakarta. Sebagai ibu kota negara, Jakarta pada awal era kemerdekaan
memang tampil bagai sebuah magnet yang sangat kuat menarik warga pendatang dari
seluruh penjuru Tanah Air untuk mengadu nasib. Terjadilah urbanisasi besar-besaran
yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk yang amat pesat. Pada tahun 1950,
penduduk Jakarta telah meningkat menjadi tiga kali lipat dari tahun 1922. Pertumbuhan
jumlah penduduk Jakarta memang luar biasa seperti terlihat dalam tabel di bawah ini. 37

Tahun Jumlah Penduduk

1900 1500

1930 500.000 (etnis Eropa 37.000)

1950 725.000

Salah satu kebutuhan pokok warga Jakarta yang terus bertambah banyak adalah air minum.
Ketika saluran mata air Ciburial, Bogor ke Jakarta dibangun tahun 1922, kapasitasnya hanya
500 liter per detik. Dengan jumlah penduduk yang telah berlipat ganda pada tahun 1950-an,
menurut perhitungan diperlukan produksi air minum sebanyak 2.000 liter per detik. Maka
disusunlah program percepatan peningkatan produksi air minum oleh Pemerintah Kotapraja
Jakarta. Hampir bersamaan dengan pembangunan IPA Pejompongan I, pada tahun 1952
Pemerintah juga menambah saluran transmisi air dari Cibinong ke reservoir air minum di
Kampung Rambutan, Jakarta, sehingga menjadi dua saluran. Pekerjaan tersebut menelan
biaya Rp 4 juta, yang diselesaikan pada bulan Februari 1953. Penambahan saluran air tersebut
meningkatkan kapasitas air minum asal Ciburial dari 500 liter per detik menjadi 612 liter per
detik.
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan

Mengingat bahwa IPA Pejompongan I merupakan tonggak sejarah modern pengembangan air
minum di tanah air, kisah di balik pembangunan instalasi berskala raksasa (pada waktu itu)
diuraikan secara lengkap dalam Boks berikut.

Kisah Dibalik Pembangunan Instalasi Pejompongan I di Jakarta


Hidayat Notosugondo, salah seorang pelaku di bawah Direktorat Jenderal Pengairan
sejarah dalam pengembangan air minum di Departemen Pekerjaan Umum.
Indonesia, mengutarakan pengalamannya
dalam pembangunan IPA Pejompongan I di Kepala Jawatan yang pertama adalah Ir. Lie
Jakarta sebagai berikut: Tjong Hian yang pada waktu itu sebenarnya
sudah berstatus pensiun. Struktur organisasi
“Pada waktu Kotamadya (sebelum menjadi Jawatan pada waktu itu sangat sederhana,
Daerah Khusus Ibukota - DKI) Jakarta pada hanya terdiri atas Bagian Air Minum (Kabag
tahun 1952 mau memperluas kapasitas dirangkap oleh Ir. Lie Tjong Hian dengan Pak
pelayanan air minum, konsultasi mengenai Suradi sebagai pelaksana harian). Dengan
perencanaan dan usulan pembiayaannya dibentuknya Jawatan Teknik Penyehatan,
diajukan ke Departemen Kesehatan. Perlu maka pembangunan proyek-proyek air minum
diketahui, bahwa sejak zaman kolonial hing dan sanitasi, mulai dari survei, perencanaan,
ga awal kemerdekaan Indonesia, perusahaan pelaksanaan, dan penganggarannya menjadi
waterleiding menginduk ke Departemen tanggung jawab Deparemen Pekerjaan Umum.
Kesehatan karena departemen itu yang
38 bertanggung jawab mengawasi kualitas Sebagai Kepala Bagian Jawatan Teknik Pe

produksi. Kapasitas pelayanan yang ada nyehatan, tugas pertama Ir. Lie pada waktu
dari mata air Ciburial 500 liter per detik yang itu adalah membatalkan pemberian Letter
dibangun di zaman kolonial dikhawatirkan of Intent yang telah diberikan kepada Dorr
tidak akan mencukupi lagi. Maka untuk Oliver Co. karena ada penawaran yang lebih
mengantisipasi kekurangan penyediaan itu menarik dari Degremont S.A. (Prancis), yaitu
direncanakan membangun instalasi air bersih membangun instalasi kapasitas 2.000 liter per
dengan kapasitas 1.000 liter per detik. detik, jadi kapasitas dua kali lipat dengan har-
ga yang sama.”
Untuk membangun proyek besar dan modern
itu, tentu diperlukan kontraktor yang memiliki Kenapa sampai pelaksanaan proyek pindah
reputasi yang baik. Melalui proses pelelangan tangan, kisahnya unik. Agar mendapat
atau tender, terpilihlah sebuah perusahaan gambaran tentang instalasi yang akan
asing bernama Dorr Oliver Co. Sampai dibangun, Dorr Oliver Co. mengundang
taraf pemberian “letter of intent” kepada pejabat Jawatan Teknik Penyehatan (Agus
kontraktor tersebut, penanganannya masih Prawiranegara) ke Negeri Belanda untuk
dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Tetapi meninjau beberapa instalasi yang pernah
ketika memasuki pembicaraan mengenai dibangun perusahaan itu di sana. Dalam
pelaksanaan pembangunannya secara fisik, perjalanan pulang, Degremont yang men
Departemen Kesehatan berpendapat bahwa dengar rencana pembangunan instalasi besar
pekerjaan itu bukan bidangnya, melainkan di Jakarta menemuinya. Dari dialog yang
bidang Departemen Pekerjaan Umum. Maka terjadi Degremont mengetahui bahwa IPA
dibentuklah Jawatan Teknik Penyehatan yang akan dibangun berkapasitas 1.000 liter
BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
per detik. Tetapi ketika mendengar bahwa Sesungguhnya, pendahulu R. Soediro,
harganya tergolong tinggi, pihak Degremont yakni Walikota Sjamsurijal dan Presiden
menawarkan harga yang sama namun Sukarno tak dapat terlepas dari peristiwa
kapasitas dua kali lipat, 2.000 liter per detik. pembangunan proyek Pejompongan itu. Di
masa pemerintahan Walikota Sjamsurijallah
Setelah hal itu dilaporkan kepada Peme diwacanakan untuk meningkatkan produksi
rintah, dalam hal ini Menteri Pekerjaan air minum di Jakarta, yang penduduknya
Umum yang ketika itu dijabat oleh berlipat ganda amat pesat. Di sisi lain, Presiden
Putuhena, Menteri memutuskan supaya Sukarno berkeinginan agar Jakarta selaku
proyek itu dialihkan ke Degremont, dan ibu kota negara memiliki sistem pelayanan
letter of intent yang ditandatangani ber air minum yang prima. Apalagi, sekitar
sama Dorr Oliver Co. dibatalkan. Yang satu dasawarsa kemudian di Jakarta akan
terjadi kemudian, Departemen Kesehatan berlangsung Asian Games, pesta olahraga se-
yang menandatangani letter of intent, te Asia.
tapi Departemen Pekerjaan Umum yang
membatalkannya. Dan, … boleh dikata, Pembangunan IPA Pejompongan dimulai
tugas besar pertama kepala jawatan ketika secara resmi tanggal 23 Desember 1953 dan
itu, Ir. Lie, adalah membatalkan letter of intent mulai mengalirkan produksinya pada tahun
dengan Dorr Oliver Co. 1957. Kehadiran IPA tersebut dipandang se
bagai salah satu peristiwa terpenting dalam
Pembangunan Instalasi Penjernihan Air sejarah pengembangan sistem penyediaan air
Minum Pejompongan I tersebut dimulai minum di Indonesia, dan itulah proyek raksasa
1 Desember 1954 dengan biaya inves pertama di bidang air minum yang dilakukan 39
tasi sebesar Rp 70 juta. Angka itu tentu di Indonesia. pengerjaannya memakan waktu

sudah sangat berbeda nilainya saat ini, 2,5 tahun dengan melibatkan 1.000 tenaga
mengingat mata uang rupiah sudah ber kerja. Seluruh bahan instalasi, termasuk pipa-
kali-kali mengalami devaluasi, bahkan pipa transmisi dan distribusi didatangkan dari
pernah mengalami penurunan nilai hing Perancis.
ga seperseribunya, uang seribu rupiah di
devaluasi menjadi hanya satu rupiah saja. Setelah IPA Pejompongan I mulai beroperasi
bulan Mei 1957, ada anggapan bahwa per
Sebuah majalah bernama Madjalah Kota soalan air minum di Jakarta sudah teratasi.
pradja terbitan Februari 1953 mencatat Namun dari tiga juta warga Jakarta di masa
latar belakang pembangunan Pejompongan itu, hanya satu juta saja yang terlayani IPA
I sebagai berikut: Walikota Jakarta ketika Pejompongan I. Karena itu, untuk meng
itu, Soediro, terdorong untuk membangun antisipasi laju pertambahan penduduk Ja
instalasi penjernihan air minum di Pejom karta yang menurut taksiran akan mencapai
pongan setelah melihat kekurangan air mi 4 juta jiwa tahun 1975, IPA Pejompongan
num yang diderita penduduk Jakarta. Instalasi I akan diperkuat dengan membangun IPA
tersebut mengambil air Kali Ciliwung sebagai Pejompongan II berkapasitas 3.000 liter per
air baku. Setelah disaring dan dibubuhi “obat”, detik. Namun dengan kapasitas 5.000 liter
tulis majalah itu, maka kualitas air minum perdetik itu pun setelah IPA Pejompongan II
tersebut dapat dipertanggungjawabkan ter mulai beroperasi, kebutuhan air minum kota
hadap kesehatan. Proyek dengan biaya Rp 70 Jakarta ternyata belum juga terpenuhi.
juta itu disebut-sebut sebagai usaha raksasa.

Boks 3. Kisah Dibalik Pembangunan Instalasi Pejompongan I, Jakarta


Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan

Menimba ilmu teknik penyehatan di luar negeri


Di awal-awal kemerdekaan berlangsung persiapan nasionalisasi perusahaan- perusahaan air
minum peninggalan Belanda, Sayangnya orang Indonesia yang memiliki kemampuan di
bidang teknik penyehatan Indonesia masih langka, sehingga pada masa-masa itu Pemerintah
mengirim para pelajar di bidang teknik untuk memperdalam ilmu teknik penyehatan (sanitary
engineering) ke luar negeri. Tujuannya agar mereka kelak dapat mengelola perusahaan-
perusahaan air minum yang diambil alih itu sebagaimana mestinya. Selain itu, agar Indonesia
memiliki tenaga-tenaga yang ahli dalam pengembangan serta pengelolaan sistem penyediaan
air minum. Salah seorang diantara mereka adalah Mertonegoro, yang kelak kemudian menjadi
guru besar Teknik Penyehatan di Institut Teknologi Bandung (ITB).Sebelumnya, yakni
sekitar bulan Mei 1949, Ir. Djuanda selaku Menteri Pekerjaan Umum pada waktu itu memang
sudah memerintahkan kepada para pemimpin perusahaan air minum bentukan Belanda di
seluruh Indonesia untuk mempersiapkan proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan air
minum tersebut.

Hasil Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dalam bidang air
minum yang dilancarkan Pemerintah dalam periode 1961-1969 antara lain adalah bahwa
hingga tahun 1968 kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia sudah mencapai 9.000
liter per detik. Dengan kapasitas sebesar itu, cakupan pelayanan di daerah perkotaan mencapai
19%. Jika dibandingkan dengan kapasitas produksi air minum perpipaan di perkotaan pada
akhir prakemerdekaan atau akhir zaman penjajahan, yakni
40 3.000 liter per detik dengan cakupan pelayanan sebesar 8%, maka dalam 23 tahun sejak
Indonesia merdeka, telah terjadi peningkatan kapasitas dengan 200%, yakni sebesar 6.000
liter per detik.

Kerjasama luar negeri dan tata laksana proyek


Patut dicatat bahwa keuangan Pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan masih sangat
terbatas. Maka, untuk membangun proyek besar seperti IPA Pejompongan I itu, Pemerintah
harus mengupayakan pinjaman luar negeri. Harus diakui bahwa proses untuk mendapatkan
pinjaman itu sendiri pada waktu ini sangat berbeda dan unik. Pejabat-pejabat Indonesia yang
berwenang di bidang pembangunan biasanya mengajukan permintaan pinjaman luar negeri
melalui kontraktor-kontraktor asing yang memenangkan tender pembangunan proyek. Dalam
hal ini, Degrement yang menjadi penghubung berperan besar dalam meyakinkan Pemerintah
Perancis untuk memberikan pinjaman kepada Pemerintah Indonesia.

Dengan demikian terjadilah kerjasama segitiga antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah


Perancis dan Degremont dalam serangkaian pembangunan IPA di sejumlah ibu kota provinsi
di Indonesia. Hingga saat ini, “jejak” Degremont masih dapat dilihat di berbagai kota di
Indonesia, seperti di Bandung, Semarang, Banjarmasin dan di kota-kota lainnya, meskipun
pada awal-awalnya, banyak dari operator kita yang belum siap.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Kesiapan operator kita dalam mengoperasikan teknologi yang diterapkan Degremont ternyata
menimbulkan masalah tersendiri. Teknologi yang digunakan di IPA Pejompongan I misalnya,
sudah tergolong teknologi modern di zamannya. Air baku diambil dari Kanal Banjir Barat di
bilangan Karet, Jakarta Pusat, yang dialirkan melalui pipa dengan dorongan pompa ke
instalasi pengolahan. Air yang masih keruh dibubuhi obat-obatan kimia di kolam sedimentasi
supaya kandungan lumpur dan aneka jenis kotoran mengendap, lalu dialirkan ke enam buah
perangkataccelator yang masing-masing berkapasitas olah 2.000 meter kubik per
jam.Berbagai perangkat yang digunakan di IPA Pejompongan I sudah cukup canggih, bahkan
ada yang semiotomatis. Akan tetapi sistem yang modern belum tentu menjamin kelancaran
produksi apabila tidak disertai disiplin operatornya. Beberapa anekdot6 membuktikan hal ini.

Di era awal kemerdekaan itu, mekanisme pendanaan dan tata laksana proyek masih sangat
sederhana dan praktis. Pada prinsipnya, untuk setiap kebutuhan anggaran pembangunan,
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga (sekarang Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat) mengajukan anggarannya ke Departemen Keuangan. Pengajuan anggaran
itu disertai nota penjelasan. Anggaran yang disetujui kemudian diotorisasi sebelum diturunkan
melalui rekening Bank Indonesia atas nama Pejabat atau Bendaharawan proyek yang
ditunjuk. Pada dasawarsa 1950-an, jabatan bendaharawan atau pimpinan proyek (Pimpro)
biasa dirangkap oleh seorang pejabat struktural setingkat direktur.

41
Proses pelelangan pun tidak serumit seperti sekarang ini. Tagihan oleh pemborong yang telah
dievaluasi dan disetujui oleh konsultan pengawas, misalnya, dapat langsung diajukan kepada
Pimpinan Proyek. Dan karena Pimpinan Proyek biasanya direktur jawatan yang membidangi
proyek, dalam hal air minum Direktur Jawatan Teknik Penyehatan, bahkan merangkap
sebagai Bendaharawan Proyek, maka segera setelah segala persyaratan administrasi dipenuhi,
pembayaran dapat langsung dilakukan dengan menerbitkan cek kepada pemborong.
Kemudian cek itu dapat langsung dicairkan di Bank Indonesia tanpa melalui KPN (Kantor
Perbendaharaan Negara).

Begitu sederhananya prosedur yang harus dijalani, sehingga untuk urusan pemborongan
pekerjaan fisik waktu itu diterapkan sebuah sistem yang disebut cost plus fee. Artinya,
kontraktor atau pemborong (lokal) yang mengerjakan proyek fisik akan menerima fee sebesar
10% dari nilai biaya (cost) konstruktsi yang dikeluarkan.

Pada proyek-proyek pembangunan yang menggunakan dana bantuan/pinjaman luar negeri,


prosedur tata laksana proyeknya agak berbeda. Setelah proses pelelangan tender

6. Pada saat sirene berbunyi waktu pencucian filter, seharusnya operator menekan tombol agar secara otomatis pencucian
dilanjutkan karena filter masih kotor, tapi karena tidak dilakukan, maka setelah dua tahun beroperasi, kapasitas produksi IPA Pejompongan I
sempat turun sampai 50 persen. Demikian pula dengan pencucian filter yang tidak dilakukan secara berkala dengan alasan akan
mengganggu pelayanan, padahal pencucian bisa dilakukan tengah malam, pada saat pemakaian air sedikit, tapi operator tidak
melakukannya.

Pengembangan Air Minum


di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan

42

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
43

Pengembangan Air Minum


di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan

internasional dilakukan, anggaran biaya luar negeri dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang
dibutuhkan dibahas terlebih dahulu dengan Bank Indonesia. Pembahasan berkisar pada hal
ikhwal syarat-syarat pembayaran, bunga pinjaman, dan sebagainya.Setelah segala hal
disepakati, baik oleh Bank Indonesia maupun oleh kontraktor pemenang tender, Bank
Indonesia kemudian mengajukan anggaran valuta asing yang dibutuhkan kepada Kantor
Perdana Menteri untuk diotorisasi. Pembayaran atas pinjaman tersebut dilakukan dengan
penerbitan surat utang yang disebut promissory notes, yang dapat dicairkan sesuai dengan
tanggal jatuh temponya. Secara keseluruhan, proses tata laksana proyek Bantuan Luar Negeri
itu hanya memakan waktu maksimal empat bulan, mulai dari pemasangan pengumuman
undangan pelelangan hingga penandatanganan kontrak.

Model kemitraan yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan Perancis dalam
pelaksanaan pembangunan proyek IPA Pejompongan I di Jakarta, juga diterapkan pemerintah
Indonesia dalam mendapatkan pinjaman dana untuk membangun sejumlah instalasi
pengolahan air minum di sejumlah ibu kota provinsi pada waktu itu. Dana-dana bantuan luar
negeri itu ada yang berstatus hibah (grant), tetapi sebagian besar adalah pinjaman (loan).
Sebagian besar dari dana pinjaman itu didasarkan pada kesepakatan bilateral, dan biasanya
langsung diarahkan untuk membiayai proyek tertentu.

Berdirinya Direktorat Teknik Penyehatan


44 Direktorat Teknik Penyehatan, yang dalam perjalanan sejarahnya telah berganti nama
beberapa kali, tidak lepas dari peran Jawatan Teknik Penyehatan yang dibentuk sebelumnya.
Sebagaimana dikisahkan Hidayat Notosugondo, yang pernah memangku jabatan sebagai
kepala di Jawatan tersebut, Jawatan Teknik Penyehatan terbentuk tahun

Keterangan foto

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
1952, pada waktu itu pejabat-pejabat inti di situ sangat terbatas 7 dengan struktur organisasi
yang sangat sederhana, dan berada dibawah Direktorat Jenderal Pengairan Departemen
Pekerjaan Umum8.

Selama enam tahun sejak berdiri, hanya ada satu sarjana teknik di Jawatan itu, yaitu Ir. Lie
Tjiong Hian yang sebenarnya sudah berstatus pensiun. Pada waktu itu memang tidak banyak
sarjana teknik yang tertarik pada bidang ini. Banyak lulusan Fakultas Teknik Universitas
Indonesia (kemudian menjadi ITB – Institut Teknik Bandung) tidak bersedia ditempatkan di
jawatan itu, boleh jadi karena tidak tahu eksistensinya atau apa sesungguhnya Jawatan Teknik
Penyehatan itu. Baru pada sekitar 1961-62, pada waktu Jawatan Teknik Penyehatan berganti
nama menjadi Direktorat Teknik Penyehatan, banyak sarjana-sarjana baru lulusan Jurusan
Teknik Penyehatan ITB mulai bekerja disana9.

Pada tanggal 10 Oktober 1962, jadi sekitar 10 tahun setelah Jawatan Teknik Penyehatan
berdiri, terbentuklah Jurusan Teknik Penyehatan di Institut Teknik Bandung (ITB), yang tentu
tak terlepas dari sejarah pengembangan air minum dan sanitasi di Indonesia. Jurusan ini
adalah yang pertama ada di Indonesia, yang sejak tahun 1984 berubah namanya menjadi
Jurusan Teknik Lingkungan. Sebenarnya, sebelum Jurusan Teknik Penyehatan ITB terbentuk,
pengetahuan tentang teknik penyehatan sudah diajarkan kepada mahasiswa jurusan Teknik
Sipil ITB. Di antara para dosen mata kuliah teknik penyehatan yang terkemuka antara lain
Prof. Mertonegoro dan Prof. Soetedjo.
45
Peran Jurusan Teknik Penyehatan ITB berlanjut pada saat lulusannya banyak yang
mengabdikan dirinya pada Direktorat Teknik Penyehatan, Direktorat Jenderal Cipta Karya,
Departemen Pekerjaan Umum. Pada waktu itu, rata-rata ada sekitar 30-an insinyur Teknik
Penyehatan yang dihasilkan jurusan itu setiap tahun. Mereka inilah yang kemudian menjadi
perintis, penggerak dan pelaksana berbagai program pembangunan di bidang air minum dan
penyehatan lingkungan di Indonesia. Pada waktu itu, hampir sepertiga lulusan Teknik
Penyehatan ITB berkiprah di Direktorat Teknik Penyehatan Departemen Pekerjaan Umum,
selebihnya menjadi dosen, pegawai Pemda DKI, menjadi pegawai PDAM, Departemen
Kesehatan dan ada pula yang bekerja sebagai konsultan, kontraktor dan wiraswasta.

7. Pejabat inti pada waktu itu terdiri dari Ir. Lie Tjiong Hian (statusnya sudah pensiun), Ir. Winkelman (warganegara Belanda yang
diperbantukan dari Departemen Kesehatan), Prodjosoetirto, Djajakusuma, Nona David, Suradi dan Moeljono, BE.
8. Struktur Organisasi Jawatan terdiri dari Bagian Air Minum, Bagian Assainering, Bagian Umum dan Keuangan, dan Bagian
Personalia, dengan beberapa tenaga administrasi, Jawatan berkantor di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta.
9. Beberapa diantaranya; Ir. Soesanto Mertodiningrat, Ir. Soeratmo Notodipuro (sarjana teknik mesin), Ir. Soepeno Moeksan (sarjana teknik
elektro), dan beberapa sarjana muda lulusan Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU) seperti Soedarwo, Artoyo, Soenarto, Ilham, Iskandar Tamin,
Ruyadi, Irvan JR, Noer Burhanuddin, Chamim, Koesnadi.
10. Diantaranya; Ir. Darmawan Saleh, Ir. Aziz Sasmitadihardja, Ir. A.R. Tambing, Ir. Oemarsidik, Ir. Rahadjo, Ir. Rachmat Rani, Ir. Budiman
Arif, Ir. Priyono Salim, Ir. Parulian Sidabutar, Ir. Soewandi Sanoedi, Ir. Benyamin Karyabdi, Ir. Paul Adinatapradja, Ir. Krisno Darusman, Ir. Sorta
Hutagalung, Drs. Soedirman, Ir. Boediati Abiyoga, Ir. Eben Koesbini.

Pengembangan Air Minum


di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan

Pembentukan Direktorat Jenderal Cipta Karya, dimana Direktorat Teknik Penyehatan


bernaung, juga memiliki kisah tersendiri, lihat Boks 4, seperti yang diceritakan oleh Hidayat
Notosugondo, salah seorang pelaku sejarah yang mengalami sendiri pembentukannya.

Sejarah Terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya


Sejarah terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Departemen Cipta Karya dan Konstruksi
Karya tidak juga terlepas dari peran Hidayat mem bawahkan empat direktorat dan satu
Notosugondo, salah seorang pelaku yang juga lembaga penelitian, yaitu:
terlibat didalamnya. Menurut Hidayat, istilah
Cipta Karya pertama kali di gunakan oleh 1.Direktorat Perumahan Rakyat,
Presiden Soekarno pada waktu pemerintahan 2.Direktorat Perencanaan Tata Kota dan Daerah,
Kabinet Ampera (yang juga di kenal sebagai 3.Direktorat Tata Bangunan,
“Kabinet 100 Menteri”, karena begitu 4.Direktorat Teknik Penyehatan, dan
banyaknya jumlah menteri yang ada dalam 5.Lembaga Penelitian Masalah Bangunan (LPMB).
kabinet), sebelum pecahnya peristiwa G30S.
Pada waktu itu Kompertemen PU terdiri dari Departemen-departemen tersebut
beberapa Departemen, yaitu: termasuk beberapa departemen lainnya
ada di bawah koordinasi Menteri
1. Departemen Jalan dan Jembatan, Koordinator Jenderal Suprayogi.
dengan Brigadir Jenderal Hartawan
sebagai menteri; Setelah G30S meletus dan dilanjutkan
46 2. Departemen Pengairan, dengan Ir. P.C.
Haryasudirdja sebagai menteri;
dengan
diadakanlah
pemerintahan
re
Orde
strukturisasi
Baru,
kabinet.
3. Departemen Listrik dan Ketenagaan, Kompartemen PU dise derhanakan menjadi
dengan Ir. Setiadi Reksoprojo sebagai menteri; Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga
4. Departemen Cipta Karya dan Konstruksi, Listrik (Dept. PUTL) dengan Ir, Soetami
dengan David Chen sebagai menteri; sebagai menterinya. Departemen Jalan dan
5. Departemen Jalan Lintas Sumatera, dengan Jembatan menjadi Direktorat Jenderal Bina
Ir. Slamat Bratanata sebagai menteri; dan Marga dengan Jenderal Sarsono sebagai
6. Menteri Muda PU Urusan Konstruksi, Direktur Jenderal. Sedangan Departemen
dengan Ir. Soetami sebagai menteri. Pengairan menjadi Direktorat Jenderal
Pengairan dengan Ir. Soejono Sosrodarsono
sebagai Direktur Jendral. Sebelumnya
Soejono adalah Direktur Tata Bangunan.

Boks 4. Sejarah Terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya

Model kelembagaan banyak mengadopsi bentuk peninggalan kolonial


Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, boleh dikatakan negeri ini hanya
bermodalkan kapasitas produksi air minum 3.000 liter per detik yang tersebar di kota-kota
tertentu yang dulu dihuni orang-orang Belanda. Sarana dan prasarana fisik air minum tersebut
adalah peninggalan Belanda. Dalam hal kelembagaan, Belanda meninggalkan

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
embrio seperti perusahaan air minum kotapraja (gemeente) atau dinas (diensten) air minum,
yang kesemuanya berinduk ke Departemen Kesehatan, yang sekaligus juga berfungsi sebagai
lembaga yang mengawasi standar mutu air minum. Di awal kemerdekaan, Pemerintah
Indonesia mengadopsi hal itu sebagaimana juga banyak sistem dan peraturan peninggalan
pemerintah kolonial yang sempat diadopsi negara dan bangsa kita.

Barulah setelah mulai dengan pembangunan sistem penyediaan air minum berskala besar,
mulai dari instalasi pengolahannya hingga ke jaringan pipa distribusinya, tanggung jawab atas
sektor air minum dialihkan (secara sukarela) oleh Departemen Kesehatan kepada Departemen
Pekerjaan Umum, tetapi fungsi pengawasan atas standar mutu air minum tetap menjadi
wewenang Departemen Kesehatan11.

Sejalan dengan tegaknya kedaulatan RI, pada tahun 1950 Pemerintah mulai mengupayakan
berbagai langkah untuk mengembangkan sistem penyediaan air minum, baik dari segi
pembangunan dan rehabilitasi fisik, maupun dari sudut perkembangan kelembagaan,
pemanfaatan teknologi, regulasi, dan pembiayaannya. Dalam pengembangan kelem
bagaan,telah lahir berbagai bentuk pengelolaan yang berbeda-beda di berbagai daerah.
Misalnya ada perusahaan air minum swasta, khususnya hotel-hotel yang kemudian menjual
kelebihan produksinya kepada masyarakat di sekitarnya. Ada usaha air minum yang dikelola
Pengelola Pelabuhan, dimana kelebihan produksinya dijual kepada masyarakat di sekitarnya.
Pertamina juga mengelola sarana penyediaan air minum yang
umumnya merupakan peninggalan perusahaan minyak Belanda dan asing lainnya, yang 47
dinasionalisasi setelah Indonesia merdeka. Selain untuk keperluan sendiri, khususnya pegawai-pegawai
Pertamina, kelebihan produksinya juga dijual kepada masyarakat di
sekitar wilayah kerja Pertamina tersebut. Misalnya yang ada di pedalaman Muara Enim
(Sumatera Selatan), di Dumai (Riau), dan lain sebagainya.

Ada pula sistem air minum yang dikelola TNI-AL seperti di Sabang. Lalu ada Perusahaan Air
Minum sebagai cabang dari Perseroan Terbatas milik Pemerintah Daerah Tingkat I.
Kemudian ada Perusahaan Daerah Pariwisata Cabang Air Minum yang bernaung di bawah
Pemerintah Daerah Tingkat I, serta Dinas Air Minum yang termasuk dalam organisasi
Pemerintah Daerah Tingkat II, Dinas Air Minum Provinsi yang bernaung di bawah Dinas
Pengairan PU Provinsi, dan Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Tingkat II. Dua bentuk
badan lainnya bernama Air Minum Negara (antara lain di Singaraja, Bali) dan Badan
Pengelola Air Minum (BPAM) yang dikelola oleh Pemerintah Pusat cq Direktorat Teknik
Penyehatan Departemen Pekerjaan Umum, yang merupakan cikal bakal PDAM di daerah-
daerah, menyusul kota-kota besar yang telah memiliki PDAM sebelumnya.

Di masa-masa awal kemerdekaan itu, dari sekitar 400 kota di Indonesia baru sekitar 40% yang
memiliki sarana penyediaan air minum. Sebagian besar (30%) dari sarana air minum
11. Perihal pengalihan peran dan tanggung jawab itu, Ir. Hidayat Notosugondo pada suatu kesempatan melontarkan anekdot: “kalau zaman
dulu, lembaga yang merasa suatu proyek bukan bidangnya, dengan sukarela mempersilakan lembaga yang lebih berkompeten untuk
melaksanakannya, tetapi zaman sekarang, orang cenderung berebutan proyek.”

Pengembangan Air Minum


di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan

itu badan hukumnya berbentuk Dinas Air Minum atau Urusan Air Minum, sebagian lainnya
(28%) berbenduk Perusahaan Daerah Air Minum dan yang lainnya lagi (17%) berbentuk
Badan Pengelola Air Minum (BPAM).

Pembangunan air minum di ibukota provinsi


Selain pembangunan IPA Pejompongan I dan penambahan saluran pipa Cibinong-Kampung
Rambutan, pada awal-awal kemerdekaan itu, pengembangan bidang air minum masih terbatas
pada pembangunan instalasi pengolahan air (IPA) di beberapa ibu kota provinsi seperti
Bandung, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, Padang, Manado dan Makassar. Termasuk di
dalamnya pembangunan proyek peningkatan produksi air minum Medan, yakni instalasi
pengolahan air minum Sunggal yang perletakan batu pertamanya dilakukan oleh mendiang
Presiden Soeharto.

Pada fase awal itu, aspek peningkatan produksi berupa pembangunan secara fisik menjadi
prioritas sesuai dengan penetapan Badan Perancang Nasional (sekarang Bappenas). Setelah
proyek-proyek tersebut rampung, sesuai dengan PP No. 18 tahun 1953 tentang Pelaksanaan
Penyerahan sebagian urusan Pemerintah Pusat mengenai Pekerjaan Umum kepada Provinsi-
provinsi serta Penegasan mengenai Pekerjaan Umum dari Daerah Otonomi Kabupaten, Kota
Besar dan Kota Kecil di Pulau Jawa, pengelolaan pun kemudian diserahkan kepada
Pemerintah Daerah. Mayoritas sistem penyediaan air minum itu telah
48 mengambil bentuk sebagai badan usaha milik daerah dengan nama PDAM, Perusahaan
Daerah Air Minum.

Proyek pembangunan IPA secara besar-besaran di ibu kota provinsi-provinsi tersebut


dilaksanakan setelah Jawatan Teknik Penyehatan terbentuk tahun 1952 akhir. Beberapa IPA
yang dibangun di era itu adalah:

IPA kota Tahun Kapasitas


liter/detik

Pejompongan I Jakarta 1954 2.000


Tamansari Bandung 1956 1.000
Ngagel Surabaya 1958 1.000
Kaligarang Semarang 1960 500
A. Yani Banjarmasin 1962 500
Paal II Manado 1962 500
Gunung Pangilun Padang 1962 250
Panaikang Makassar 1963 1.000
Pejompongan II Jakarta 1967 3.000

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Undang Undang yang melandasi pendirian PDAM sebagai badan usaha
Hal yang tak kalah pentingnya dalam periode awal kemerdekaan itu adalah diterbitkannya
UU No. 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, termasuk didalamnya tentang pembentukan PDAM
(Perusahaan Daerah Air Minum) sebagai badan usaha milik daerah. Undang-undang tersebut dikelak kemudian
hari menuai kontroversi karena memberikan legitimasi kepada Pemerintah Daerah untuk memungut bagi hasil
dari PDAM sebagai pendapatan asli daerah (PAD) kepada PDAM, terlepas dari apakah kondisi keuangan
PDAM memungkinkan atau tidak untuk menyetor PAD.

Penerbitan undang-undang ini hampir bersamaan dengan dimulainya pendirian sistem


penyediaan air minum di beberapa kota, yakni di Kota Jakarta (Pejompongan II dengan
kapasitas 3.000 liter per detik), di Bandung, Manado, Banjarmasin, Padang dan Pontianak
dengan kapasitas masing-masing 250 liter per detik. Pembangunan proyek-proyek tersebut
didasarkan pada apa yang disebut sebagai turn-key project loan dari Pemerintah Perancis.
Termasuk dalam kerangka bantuan kredit dari Prancis adalah pembangunan Bendungan
Jatiluhur, yang kemudian menjadi sumber air baku utama air minum bagi Jakarta dan Bekasi
setelah kondisi Kali Ciliwung sangat buruk dan tak lagi dapat diandalkan PAM Jaya sebagai
sumber air baku. Selain menyediakan pinjaman dana pembangunan, Pemerintah Perancis juga
mengirim banyak tenaga ahli dalam pembangunan Bendungan Jatiluhur dengan membendung
Sungai Citarum di Purwakarta. Seperti diketahui, bendungan itu bersifat multi guna, dalam
arti bahwa selain untuk memenuhi keperluan air untuk irigasi
dan sumber air minum, juga dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik 49 tenaga
listrik.

Dengan banyaknya proyek air minum yang dibangun oleh Degremont, hal ini memicu
persaingan di kalangan perusahaan asing untuk ikut ambil bagian dalam pelaksanaan berbagai
proyek air minum di Indonesia.

Keterangan foto

Pengembangan Air Minum


di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum
di Awal Kemerdekaan

50

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 2005
4
PERKEMBANGAN
AIR MINUM DI ERA
ORDE BARU (1969–1998)

Dasawarsa 1969-1979
peletak dasar
51

pembangunan
sektor air minum
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

Dengan berakhirnya era Orde Lama


dengan Rencana Pembangunan
Nasional Semesta Berencana-nya,
pada era Orde Baru, dalam situasi sosial
politik dan pertahanan keamanan yang
relatif stabil, pembangunan di segala
52 bidang secara terencana dimulai dengan
persiapan yang cukup matang (1967-1968).

Dengan berakhirnya era Orde Lama dengan Rencana Pembangunan Nasional Semesta
Berencana-nya, pada era Orde Baru, dalam situasi sosial politik dan pertahanan keamanan
yang relatif stabil, pembangunan di segala bidang secara terencana dimulai dengan persiapan
yang cukup matang (1967-1968). Institusi pemerintahan telah lengkap, rencana pembangunan
jangka panjang (25 tahun) telah tersusun diikuti dengan rencana pembangunan lima tahunan
(repelita)-nya. Masa Orde Baru selama kurang lebih 30 tahun telah melalui satu periode
pembangunan jangka panjang 25 tahun (1969-1994) dan satu periode jangka menengah
berikutnya yaitu Pelita VI (1993-1998). Patut dicatat bahwa periode ini dianggap sebagai
periode perletakan fondasi pembangunan sektor air minum. Pada periode ini mulai
dilancarkan rehabilitasi atas sarana prasarana yang sudah ada, sekaligus juga melaksanakan
ekstensifikasi atau perluasan cakupan pelayanan.Seluruh biaya pembangunan prasarana dan
sarana air minum pada Pelita I dibebankan pada

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).Periode Orde Baru ini berakhir pada saat
terjadi krisis moneter tahun 1997-1998.

Meskipun inisiatif pembangunan sarana air minum banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
pada hakekatnya air minum dan sanitasi merupakan urusan yang telah telah diserahkan dan
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah sesuai dengan PP 18 tahun 1953. Pemerintah
Pusat, dalam rangka “pembinaan” dan karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia di
daerah, melakukan pembangunan sebagai investasi awal (initial investment) untuk dapat
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang selanjutnya dikembangkan oleh pemerintah
daerah.

Secara umum pengembangan air minum pada masa Orde Baru meliputi kebijakan
prioritas pengembangan, pendanaan, teknis-teknologis, kelembagaan, pengaturan, dan
peran serta masyarakat. Dalam setiap tahapan baik jangka menengah (pelita) maupun
dasarwarsa (dekade) berkembang kebijakan dan strategi yang spesifik atau khusus, sesuai
dengan situasi dan kondisi pada saat itu, dengan tetap memperhatikan tujuan dan sasaran
yang telah ditentukan. Dalam prioritas pengembangan, kebijakannya antara lain adalah
(a) melanjutkan proyek-proyek yang telah dimulai pada periode berikutnya; (b) rehabilitasi
dan optimalisasi sistem penyediaan air minum yang telah ada di seluruh provinsi secara
bertahap; dan (c) perluasan (ekstensifikasi) secara bertahap di seluruh provinsi dimulai
dengan kota-kota metropolitan, kota besar, dan kota kecil. Besaran kapasitas perluasan
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) yaitu sebesar 60 liter per orang 53
per hari untuk melayani 60 persen penduduk perkotaan melalui sambungan rumah, dan itu
sebagai modal awal bagi pemerintah kabupaten/kota.

Dalam aspek pendanaan, kebijakannya pada waktu itu masih mengandalkan pada dana APBN
(murni) dan memanfaatkan dana bantuan luar negeri dengan mengutamakan bantuan hibah
(grant), perjanjian bilateral (Jepang, Belanda) dan kemudian pinjaman multilateral (Bank
Dunia, ADB). Karena kemampuan pemerintah daerah masih terbatas, baik pendanaan maupun
kelembagaan dan sumber daya manusianya, maka dalam rangka pembinaan ke daerah,
pemerintah pusat melaksanakan bantuan penuh dengan tetap melibatkan pemerintah daerah
provinsi maupun kabupaten/kota. Bantuan pemerintah pusat ini merupakan modal awal
(initial investment) yang selanjutnya akan diteruskan perluasannya oleh pemerintah
kabupaten/kota.

Kebijakan teknis-teknologis pada saat itu masih memanfaatkan teknologi yang ada dengan
modifikasi secara terbatas, khususnya untuk proyek rehabilitasi dan perluasan. Untuk proyek-
proyek baru (ekstensifikasi) dimulailah penyiapan rencana induk, studi kelayakan dan
perencanaan detail sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku. Dalam pemilihan sumber air
baku, sejauh mungkin digunakan mata air dan air tanah dalam melalui pertimbangan yang
matang, setelah itu baru memanfaatkan air permukaan, terutama untuk kota-kota
metropolitan, besar dan sedang.

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

Dalam aspek kelembagaan, pada tahun 1969 dibentuk proyek-proyek air minum di setiap
provinsi (PPSAB – Proyek Penyediaan Sarana Air Bersih), dipimpin oleh seorang Pemimpin
Proyek (Pinpro) dari pusat, yang bertanggung jawab kepada Menteri Pekerjaan Umum
melalui atasan langsung. PPSAB melaksanakan kegiatan pembangunan air minum pada kota-
kota di provinsi yang bersangkutan, yang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi selaku pembantu atasan langsung Pinpro. Seluruh pelaksanaan
pembangunan dilakukan melalui mekanisme penganggaran yang dikenal sebagai DIP (Daftar
Isian Proyek) tahunan sebagai jabaran dari Pelita yang telah disusun. Untuk mengelola proyek
yang sudah selesai dibentuklah Badan Pengelola Air Minum (BPAM) bagi kota-kota yang
belum memiliki PDAM, yang merupakan cikal bakal terbentuknya PDAM Dengan
meningkatnya jumlah PDAM, maka atas beberapa Direktur PDAM waktu itu, terbentuklah
PERPAMSI yang merupakan asosiasi PDAM se Indonesia.

Meskipun kebijakan umum Pelita pada awal-awalnya lebih difokuskan pada sektor pertanian,
apa yang telah dicapai di bidang pengembangan sistem penyediaan air minum pada periode
ini terasa sangat berarti. Jika pada awal era 1969-1979 kapasitas produksi air minum di
Indonesia baru mencapai 9.000 liter perdetik, pada akhir Pelita I, yakni tahun 1974, kapasitas
produksi air minum telah meningkat menjadi 15.222 liter perdetik, walau belum mencapai
sasaran yang ditentukan sebelumnya yakni 17.000 liter perdetik.

54 Selain itu patut pula dicatat, walau telah terjadi peningkatan kapasitas produksi yang cukup
mengesankan, pelayanan air minum masih belum memuaskan, sedangkan di sisi lain, jumlah penduduk kota
yang dilayani meningkat pesat. Sebelum Pelita I, jumlah penduduk perkotaan yang terlayani melalui sistem
penyediaan air minum baru 22 juta orang, tetapi di akhir Pelita I telah meningkat menjadi 26 juta jiwa,
sedangkan pemenuhan kebutuhan per orang perhari baru mencapai 56,5 liter.

Pembangunan yang berfokus pada rehabilitasi sekaligus ekstensifikasi


Pada periode Pelita I pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) dilaksanakan
serentak di setiap provinsi dengan prioritas pada rehabilitasi SPAM yang ada dan
ekstensifikasi secara terbatas untuk mendukung kebutuhan mendesak dan menunjang
pertumbuhan ekonomi seperti pelabuhan, kawasan industri, wisata dan lain lain. Kota-kota
yang dibangun diprioritaskan pada kota-kota besar dan sedang. Pada Pelita I prioritas kegiatan
yang dikerjakan adalah perampungan dari program terdahulu yang belum selesai seperti
penyelesaian IPA di Semarang, IPA di Surabaya dan perluasan jaringan distribusi utama dari
Instalasi Pejompongan II di Jakarta dengan bantuan Lembaga Pembangunan Pemerintah
Jepang (OECF).

Upaya perluasan atau ekstensifikasi meliputi perluasan atas beberapasistem penyediaan air
minum yang lama dan pembangunan sistem penyediaan air minum yang baru. Namun proyek-
proyek pembangunan yang baru lebih bersifat “cepat menghasilkan” alias quick

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
yielding karena memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak.
Besaran dari proyek-proyek tersebut berkisar antara 100 hingga 500liter perdetik. Proyek-
proyek yang sangat mendesak itu, setelah selesai dibangun terasa bagaikan oase di padang
gurun seperti yang terwujud di Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah dan Kupang, ibu
kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Mekanisme pembiayaan berbasis pinjaman luar negeri


Pada periode Pelita I Pemerintah juga merintis mekanisme pembiayaan berbasis pinjaman dari
Overseas Economic Cooperation Fund (OECF), suatu lembaga pendanaan dari pemerintah
Jepang, khususnya untuk pengelolaan proyek air minum di Jakarta. Selain OECF, Bank Dunia
juga memberi pinjaman untuk proyek-proyek pengembangan air minum di lima kota, yaitu
Jambi, Purwokerto, Malang, Banyuwangi dan Samarinda (Five Cities Project). Program ini
didasarkan pada studi tentang penyediaan air di tujuh kota, yaitu, yang kemudian dilanjutkan
dengan proyek di tujuh kota (Seven Cities Project), yakni Jambi, Cirebon, Purwokerto,
Yogyakarta, Malang, Banyuwangi, dan Samarinda.Kegiatan survei itu didanai oleh Bank
Dunia. Survei itu sendiri ditujukan untuk menemukan suatu konsep dasar perbaikan sistem
administrasi dan manajemen pengelolaan air minum di Indonesia. Direktorat Teknik
Penyehatan juga melaksanakan penelitian tentang dua model pembuatan alat-alat pengujian
berbagai jenis pipa air minum, baik pipa baja, pipa beton semen, maupun pipa plastik.

55
Di era tersebut mulai diperkenalkan sistem Daftar Isian Proyek dalam tata laksana proyek
yang didanai dengan pinjaman luar negeri. Tujuannya ialah agar pengelolaan dana tersebut
lebih tertib. Di era sebelumnya, semua bentuk bantuan luar negeri yang bersifat bilateral,
langsung ditangani oleh Direktorat Teknik Penyehatan.

Sejak Pelita I, Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) melakukan evaluasi


atas semua pengajuan proyek yang akan didanai bantuan luar negeri. Jika dianggap layak,
proyek-proyek tersebut dimasukkan ke dalam daftar, yang dikenal sebagai Blue Book.
Selanjutnya Bappenas akan mendistribusikan Blue Book tersebut kepada negara-negara
pemberi bantuan dan berbagai lembaga keuangan internasional sebagai bahan pertimbangan
untuk memberi pinjaman bagi pembangunan sektor air minum.

Oleh karena proyek-proyek air minum itu melibatkan pemangku kebijakan dan banyak
pemangku kepentingan, dalam proses negosiasi dengan lembaga-lembaga donor seperti Bank
Dunia misalnya, maka delegasi pemerintah Indonesia biasanya terdiri atas unsur-unsur Ditjen
Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Keuangan, De partemen Dalam
Negeri, Pemda, dan PDAM terkait. Bagi Pemerintah, kehadiran unsur Pemda dan PDAM
dalam proses negosiasi itu sangat penting dan menentukan, sebab pada prinsipnya PDAM
merupakan ujung tombak dari proses kemitraan yang melibatkan dana bantuan luar negeri itu.

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

Dengan sistem pinjaman dua tingkat (two-step loan), Bank Dunia memberi pinjaman kepada
Pemerintah Pusat, dan selanjutnya pinjaman itu diteruskan kepada penerima pinjaman, dalam
hal ini PDAM. Segala bentuk kewajiban yang menjadi tanggung jawab PDAM sebagai
penerima pinjaman disesuaikan berdasarkan loan-equity ratio serta syarat-syarat pembayaran
yang telah disepakati dalam negosiasi. Namun karena kemampuan Pemerintah Daerah dan
PDAM pada masa itu masih sangat terbatas, tidak seluruh beban pinjaman ditimpakan kepada
mereka. Sebagian dari pinjaman itu ditanggung Pemerintah Pusat dalam bentuk equity.
Besaran loan-equity ratio itu berkisar antara 60%-40%, tergan tung pada kemampuan
Pemda/PDAM penerima pinjaman.

Selain tata laksana pendanaan bantuan luar negeri, satu hal positif lain yang patut dicatat dari
proses kemitraan luar negeri dengan tata laksana proyek yang lebih tertib itu adalah bahwa
para pemangku kebijakan dan kepentingan di bidang pengelolaan air minum di Indonesia
mulai mengenal sistem pelelangan internasional, baik untuk pekerjaan jasa konsultan maupun
kontraktor, yang ketika itu sudah mulai memperkenalkan prinsip-prinsip transparansi dan
kompetisi yang sehat.

Selama pelaksanaan Pelita I, khusus untuk pengembangan air minum, Indonesia juga
mengenal prosedur penyusunan kerangka acuan kerja (term ofreference) dalam rencana
pembuatan suatu studi kelayakan.Butir penting yang perlu dicatat di era tersebut yakni upaya
perbaikan manajemen PDAM, yang diiringi dengan penyusunan peraturan-
56 peraturan pokok teknik penyehatan air minum. Pada era itulah kursus-kursus peningkatan kualitas
SDM mulai dilaksanakan dengan melibatkan tenaga ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization - WHO).

Pengelolaan sarana prasarana air bersih pada Pelita I, sebagian besar masih dilakukan Jawatan
atau Dinas Pekerjaan Umum Tingkat II, yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip
pengusahaan sebagaimana mestinya sebuah perusahaan pelayanan publik.

Pelita II (1974-1979) merupakan periode ekstensifikasi


Banyak kemajuan yang dicapai pada periode Pelita I. Tak hanya sebatas pencapaian
pembangunan fisik, tetapi terutama yang bersifat nonfisik. Itu semua dijadikan sebagai bahan-
bahan penting untuk menyempurnakan fondasi pengembangan sistem penyediaan air minum
yang sudah dibuat pada Pelita I.Perbedaan utama di antara kedua periode itu, pada Pelita II,
perhatian Pemerintah terhadap bidang kesehatan lebih besar. Hal ini tidak terlepas dari
penerbitan Inpres (Instruksi Presiden) tentang Program Bantuan Kesehatan.

Inpres itu sendiri ditujukan untuk mempercepat pelaksanaan program-program kesehatan di


lingkungan Departemen Kesehatan. Namun secara tidak langsung, Inpres tentang kesehatan
itu berdampak positif pada pengembangan sektor air minum dan penyehatan lingkungan.
Demikianlah, berdasarkan Inpres tersebut pada tahun pertama Pelita II, yakni tahun 1974-
1975, telah dibangun sebanyak 96 buah penampungan mata air dengan sistem

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
perpipaan, 163 unit penampungan air hujan (PAH), 81 perlindungan mata air, 33 sumur
artesis, 10.127 sumur berpompa tangan, dan 150.000 jamban keluarga.

Pada tahun kedua Pelita II, pembangunan sarana air minum dan sanitasi keluarga kembali
digalakkan. Dalam hal ini dibangun 500 penampungan air dengan perpipaan, 330 unit PAH,
150 perlindungan mata air, 36 sumur artesis, 11.350 sumur pompa tangan, dan 255.000 sarana
sanitasi, air minum dan jamban keluarga (Samijaga).Pada periode Pelita
II ini disusun pula suatu rencana induk pembangunan sistem penyediaan air minum perpipaan untuk 120 kota
dan desain detail sistem penyediaan air minum untuk 110 kota, dan perhitungan konstruksi bagi 60 kota, khususnya
kota-kota besar dan sedang. Pada periode itu pula diupayakan ekstensifikasi dalam rangka pemerataan pengadaan
sistem penyediaan air minum hingga mencapai kota-kota sedang dan kecil. Klasifikasi kota didasarkan pada jumlah
penduduk. Kota berpenduduk 1,5 juta ke atas dikategorikan sebagai kota metropolitan, yang berpenduduk 500.000
hingga 1,5 juta masuk kategori kota besar, yang berpenduduk 50.000 hingga 500.000 dikelompokkan sebagai kota
sedang, dan yang berpenduduk kurang dari 50.000 disebut sebagai kota kecil, sebagaimana terlihat dalam tabel di
bawah ini.

Kategori Kota Jumlah Kota Kapasitas total


liter/detik

Metropilitan 2 4.000
Kota Besar 3 1.000

Kota Sedang 60 6.000


Kota Kecil 40 1.000

Hasilnya, hingga akhir Pelita II, kapasitas produksi air minum yang telah terpasang di seluruh
Indonesia meningkat menjadi 20.252 liter perdetik dengan tambahan sambungan rumah
sebanyak 310.000 unit, dan tambahan jumlah penduduk yang terlayani sekitar 2,5 juta
jiwa.Kapasitas produksi sebesar 20.252 liter perdetik itu tercapai berkat adanya tambahan
5.030 liter perdetik yang tersebar di 96 kota.

Masih terkait kebijakan pemerataan, pengembangan dilaksanakan tak hanya menyangkut


produksi, tetapi juga pengembangan jaringan perpipaan, termasuk penyediaan hidran-hidran
umum.Direktorat Teknik Penyehatan juga melakukan uji coba alat pembatas air (flow
restrictor dengan orifice) pada sambungan rumah untuk mengatur agar aliran air konstan. Hal
ini dilakukan agar pemakaian merata, dan tidak terjadi pemakaian air berlebihan oleh
sebagian pelanggan. Uji coba ini selanjutnya diaplikasikan pada program air minum untuk
ibukota kecamatan (IKK), tapi dalam perkembangan selanjutnnya sistem ini tidak
memberikan hasil yang memuaskan karena banyak masyarakat yang tidak puas dengan sistem
pelayanan yang terbatas (lihat juga uraian tentang sistem ini di paragraf tentang Sistem IKK).

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

Kelembagaan: perintisan penyerahan pengelolaan sarana kepada pemerintah


daerah Pada akhir Pelita II, 1974-1979, mulailah dirintis pengalihan status pengelola sistem
penyediaan air minum di daerah-daerah dari Jawatan atau Dinas Pekerjaan Umum Tingkat
II ke perusahaan air minum milik daerah (PDAM). Seperti disebutkan dimuka, pada Pelita I,
pengelolaan sarana dan prasarana air bersih sebagian besar masih dilaksanakan oleh Jawatan atau Dinas
Pekerjaan Umum Tingkat II. Dalam Pelita II Pemerintah menetapkan kebijakan baru menyangkut
pembiayaan sistem penyediaan air minum, antara lain ditetapkan bahwa kota-kota yang sudah mampu
diarahkan untuk dapat melaksanakan pembangunan sarana air bersih dengan cara melakukan pinjaman
penuh, atau sebagian.

Persyaratan yang menunjang kebijakan baru itu adalah pembentukan PDAM yang sehat dan
mampu di bidang pengelolaan, sehingga PDAM tersebut dapat mengembalikan biaya
investasi yang dipinjamnya. Maka dimulailah pembentukan PDAM di beberapa daerah.
Dalam kebijakan itu ditetapkan pula, supaya dalam pembangunan sistem penyediaan air
minum itu, jumlah sambungan rumah diusahakan semaksimal mungkin sesuai dengan
kapasitas produksi yang tersedia. Dengan demikian, diharapkan bahwa PDAM bersangkutan
memperoleh pendapatan yang layak sesuai dengan jumlah pelanggannya.

Untuk mendukung pelaksanaan proyek-proyek air minum di daerah, di setiap provinsi


dibentuk Proyek Penyediaan Sarana Air Bersih (PPSAB), yang pimpinannya diangkat oleh
dan bertanggung jawab kepada Menteri Pekerjaan Umum melalui Kepala Kantor
58 Wilayah Pekerjaan Umum. Ini sejalan dengan terbentuknya Kantor Wilayah Pekerjaan Umum
(Kanwil) di setiap provinsi, yang merupakan kepanjangan tangan Departemen Pekerjaan
Umumdi daerah. Pada saat itulah muncul penggunaan istilah air bersih sebagai pengganti air
minum, dimana istilah air bersih digunakan oleh PPSAB, sedangkan PDAM (dan BPAM)
tetap menggunakan istilah air minum. Penggunaan istilah baru ini telah mengundang
kontroversi berkepanjangan, karena masing-masing fihak memiliki argumennya masing-
masing terhadap istilah yang digunakannya. Lihat Boks 5 tentang kontroversi penggunaan
istilah air minum dan air bersih.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Terminologi dan Interpretasi Untuk Air Minum
Sekitar tahun 1970-an, penggunaan istilah Istilah air kemasan (air minum dalam kemasan
air minum dan air bersih menimbulkan silang - AMDK) muncul belakangan. Tahun 1970-an
pendapat diantara para pelaku bidang pe bisnis AMDK mulai masuk ke Indonesia, yang
ngembangan air minum. Kelompok yang dimulai dengan produk air kemasan yang
cenderung menggunakan istilah air minum membangun pabriknya di Bekasi, Jawa Barat
mengacu kepada definisi air minum yang tahun 1973. Langkah itu diikuti oleh banyak
dikeluarkan Departemen Kesehatan, antara pebisnis yang melihat bisnis ini sangat
lain dalam rangka pengaturan kualitas air menguntungkan. Yang jelas, AMDK bahkan
minum, dimana air minum didefinisikan merambah hingga ke desa-desa di pelosok-
sebagai air yang dapat langsung diminum. pelosok tanah air. Pertanyaannya, apakah
Kelompok yang menggunakan istilah air AMDK termasuk dalam pengembangan sistem
bersih digunakan oleh Departemen Peker penyediaan air minum di Indonesia?
jaan Umum dengan pertimbangan bahwa air
yang diproduksi instalasi pengolahan tidak Air minum jenis ini sesungguhnya dapat
hanya digunakan untuk minum, akan tetatpi dikategorikan sebagai air produk industri
juga untuk memenuhi kebutuhan rumah minuman, sama halnya dengan produk mi
tangga lainnya, seperti mandi, memasak dan numan lainnya seperti air soda atau air teh
mencuci), karena itu kelompok ini berpen yang dikemas dalam botol, yang merupakan
dapat bahwa istilah air minum kurang tepat minuman alternatif, dan bukan untuk kebu
karena seolah-olah hanya untuk minum saja. tuhan pokok sehari-hari. Kecenderungan
Istilah air bersih kemudian tercermin dalam penggunaan air kemasan yang meningkat
penggunaan nama proyek-proyek air minum oleh masyarakat menunjukkan bahwa sistem
di provinsi, yang dinamai proyek penyediaan 59
penyediaan air minum yang disediakan pe merintah/PDAM
sarana air bersih (PPSAB), dan bukan masih belum memenuhi
proyek penyediaan sarana air minum, keinginan masyarakat akan empat hal,
meskipun is tilah air minum digunakan oleh yaitu : kualitas, kuantitas, kontinuitas dan
PDAM dan BPAM (maupun dalam PP No keterjangkauan.
16/2005 yang terbit di kemudian hari).
Perlu disadari bahwa harga air kemasan dapat
Mengacu pada padanannya dalam Bahasa dianggap tidak masuk akal, karena teramat
Ingeris, Hidayat Notosugondo berpendapat mahal jika dibandingkan dengan air PDAM.
bahwa “drinking water is the one that is safe Misalnya untuk satu merek air kemasan
to drink” sedangkan “potable water is the dengan volume 600 cc harganya Rp 1.500, ini
one that is safe to drink, pleasant to the taste berarti Rp 2,5 juta per meter kubik. Apabila
and usable for domestic purposes.” Definisi harga rata-rata air PDAM permeter kubik
air bersih yang diajukan Hidayat adalah Rp 7.000 misalnya, maka harga air
Notosugondo sejalan dengan definisi dari minum kemasan ratusan kali lebih mahal dari
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan air PDAM, meskipun sudah termasuk ongkos
UNICEF, yang menyatakan bahwa “drinking yang dikeluarkan untuk merebusnya. Air minum
water is water used for domestic purposes, dalam kemasan tidak termasuk dalam dalam
drinking, cooking and personal hygiene.13 pengembangan sistem penyediaan air minum
di Indonesia karena tidak dimaksudkan untuk
untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Boks 5. Terminologi dan Interpretasi untuk Air Minum

13. http://www.who.int/water_sanitation_health/mdg1/en/

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

BPAM, lembaga pengelola transisi sebelum terbentuknya PDAM


Mengingat proses pembentukan PDAM di banyak daerah memakan waktu yang cukup lama,
dan juga mengingat kemampuan daerah masih terbatas baik di bidang manajemen, sumber
daya manusia, maupun pendanaan, maka sejak akhir Pelita II mulailah dibentuk Badan
Pengelola Air Minum (BPAM) sebagai lembaga transisi pengelola air minum. Unit inilah
yang menjadi cikal bakal atau embrio PDAM, yang biaya operasionalnya yang masih
ditunjang oleh Pemerintah Pusat.Dengan terbentuknya BPAM di daerah-daerah yang,
menurut catatan selama Pelita II, berjumlah 66, Direktorat Teknik Penyehatan menugaskan
pemimpin proyek (Pinpro) di provinsi yang memberikan pembinaan kepada BPAM, karena
unit ini merupakan unit kerja yang berinduk ke Direktorat Teknik Penyehatan, Departemen
Pekerjaan Umum. Selain bertugas membina BPAM, para Pinpro itu juga ditugasi untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang akan mengoperasikan unit-unit BPAM tersebut.
Setelah dianggap memadai, barulah kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah
bersangkutan dan statusnya diubah menjadi PDAM.

Dalam mempersiapkan sumber daya manusia, Pemerintah Pusat juga menyediakan balai
pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang berlingkup nasional. Salah satu di antaranya
adalah balai training and technical assistance bagi para pelaksana PDAM, khususnya para
operator, yang dibangun di Bekasi dengan bantuan hibah pemerintah Jepang. Ratusan
orang, baik dari BPAM sebelum dialihkan ke Pemda maupun dari PDAM secara bergantian
dikirim ke balai pendidikan dan latihan itu untuk menimba pengetahuan dan pengalaman
60 mengoperasikan berbagai bagian dari PDAM.

Pada tahun 1974 Pemerintah Indonesia mendapat pinjaman dari Bank Pembangunan Asia
untuk pembangunan prasarana dan sarana di Kotamadya Bandung yang juga mencakup sarana
dan prasarana air minum. Program pembangunan tersebut dikenal sebagai Bandung Urban
Development Project (BUDP) yang merupakan awal dari pola penanganan prasarana kota
secara terpadu. Menyusul kemudian Medan Urban Development Project (MUDP). Kelak
dalam Pelita IV, pola pengembangan tersebut diperluas sebagai pendekatan dalam
pembangunan prasarana kota secara terpadu.

Dasawarsa 1979-1989: era yang melahirkan banyak perkembangan


Pada penggalan pertama dasawarsa 1979-1989, yakni pada pelaksanaan Pelita III (1979-
1984), Pemerintah menerapkan landasan kebijakan yang mengacu pada pelaksanaan
pembangunan secara tekno-ekonomis yang efisien dengan menitikberatkan pada pelayanan
bagi penduduk perkotaan dalam jangka pendek, dengan mulai memperkenalkan standar
kebutuhan dasar air minum (basic need approach - BNA) sebesar 60 liter perorang perhari.
Selain itu juga diperkenalkan sistem pelayanan komunal melalui hidran umum dengan
perbandingan SR (sambungan rumah) dan HU (hidran umum) 50:50, serta pelayanan bagi 60
persen penduduk perkotaan.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Untuk pemenuhan kebutuhan minimum, kebijakan pembiayaan yang ditempuh adalah
pemberian dukungan bantuan penuh dari Pemerintah bagi kota-kota kecil, sedangkan untuk
kota-kota dengan tingkat pelayanan 125 liter perorang perhari dimungkinkan untuk mendapat
bantuan Pemda dan sebagian pinjaman dari perbankan. Namun sebagaimana dalam Pelita
sebelumnya, pada periode ini pun diupayakan untuk mendapatkan dana hibah dari negara-
negara sahabat seperti dari Belanda, Australia dan Jerman (GTZ), dan pinjaman dari lembaga
keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia dan Jerman (KfW).

Laju pertumbuhan perekonomian nasional yang meningkat, serta stabilitas politik yang baik
mendorong peningkatan kerja sama dengan pihak luar negeri. Dalam hal ini peluang
Indonesia memperoleh pinjaman luar negeri menjadi lebih bagus, baik bersifat bilateral
(antardua pihak) maupun multilateral dengan negara-negara sahabat, maupun dari lembaga-
lembaga keuangan internasional.

Program akselerasi: pembangunan masal SPAM di 200 Kota


Kebijakan lainnya yang ditempuh Pemerintah adalah program akselerasi, program pelayanan
di ibukota kecamatan (IKK) dan program-progran yangquick yielding. Kebijakan itu sejalan
pula dengan penetapan dasawarsa 1981-1990 sebagai Dekade Air Air Minum dan Sanitasi
Internasional oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.Dalam rangka
akselerasi dan ekstensifikasi, pada era 1979-1984, tepatnya pada awal Pelita III, ada 61 program
pembangunan sarana air minum secara fisik di 200 kota, yang tidak terlepas dari program di era
sebelumnya. Ke-200 kota terdiri atas 10 kota besar, 40 kota sedang dan 150 kota kecil.

Dalam upaya mempercepat pembangunan dalam Pelita III, Pemerintah berpegang pada
kebijakan membangun secara masal (mass provision of watersupply systems). Pendekatannya
berbeda dari pembangunan IPA satu demi satu. Mulai dari persiapan (survei dan studi
kelayakan), perencanaan hingga ke pelaksanaan, semua harus dilakukan serba cepat.
Ketelitian dan kesempurnaan agak berkurang, namun segalanya diusahakan tetap dalam batas-
batas yang wajar. Fokus utama dalam program ini ialah agar masyarakat dapat terlayani
secepat-cepatnya, sekalipun pelayanan itu tidak sempurna.

Pembangunan secara masal tersebut memerlukan logistik yang memadai, mulai dari
ketersediaan pipa, pompa, meter air dan aksesori lainnya. Peran industri bidang air minum
menjadi penting. Misalnya dalam pembangunan IPA diterapkan sistem paket (package plant).
Desain IPA dibuat berdasarkan bentuk, ukuran, dan sistem pengolahannya menurut suatu
standar berdasarkan kapasitas yang direncanakan, misalnya ada yang berkapasitas 10 liter
perdetik, 20 liter perdetik hingga 40 liter perdetik. Dalam periode ini sejarah mencatat
munculnya inovasi desain IPA yang dibuat oleh tenaga ahli di lingkungan Ditjen Cipta Karya
sendiri, yang memiliki berbagai keunggulan dalam efisiensi dan biaya, serta dapat diterapkan
pada IPA konvesional yang sudah ada untuk meningkatkan kapasitas

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

62

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
63

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

produksinya. Inovasinya terletak pada proses pencampuran (mixing) yang menggunakan


aliran heliocoidal, serta pengendapan dengan aplikasi tube/plate settler. IPA Paket yang
kemudian diberi nama Kedasih tersebut (singkatan dari Keluaran Direktorat Air Bersih), telah
diaplikasikan di banyak tempat di seluruh tanah air.14

Dengan cara seperti itu, komponen-komponen IPA dapat diproduksi secara masal di
pabriknya, lalu kemudian dirakit (assemble) di lokasi proyek. Adapun kegiatan di lokasi
proyek hanya mempersiapkan fondasi yang diperlukan serta memadukan komponen-
komponen IPA menjadi sebuah IPA yang siap berproduksi. Program paket IPA tersebut
diarahkan untuk Program Paket I untuk 50 kota, kebanyakan ibu kota kabupaten, Program
Paket II untuk 60 kota, juga kebanyakan ibu kota kabupaten, dan Program IKK sebanyak
1.700 kecamatan.

Akselerasi melahirkan industri pembuat IPA Paket


Untuk mencapai target, Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Cipta Karya mendorong
berdirinya industri-industri paket instalasi pengolahan air. Dengan kehadiran industri tersebut,
Pemerintah dapat dengan cepat menyampaikan pesanan, atau bahkan membeli secara tunai
persediaan IPA di pabrik.Merespons program Pemerintah dalam pembangunan IPA paket
secara masal, beberapa perusahaan mengembangkan usahanya dalam memproduksi IPA
paket. Perusahaan-perusahaan itu antara lainPT Boma Stork
64 dengan sistem Pielkenroth, PT Wijaya Kusuma dengan sistem PCI (Patterson Candy
International) dan PT Sumber Tjipta Djaja dengan sistem Neptune Microfloc.

Untuk pelaksanaan Program Paket I, yakni 50 kota dan paket II, 60 kota seperti disebutkan di
muka, Direktorat Jenderal Cipta Karya telah menandatangani kontrak dengan tiga
pemborong/fabrikan diatas dengan menggunakan tiga standar sistem pengolahannya masing-
masing.Ketiga macam sistem yang mereka gunakan pada dasarnya sama, yaitu sistem
konvensional, yang pengoperasiannya sederhana, tidak seperti sistem accelator atau pulsator.
Perbedaannya hanya pada proses pengolahannya. Pada proses pengendapannya, yang satu
menggunakan tube settlers, sedang yang lainnyaplate settler.Demikian pula pada proses
filtrasi dan disinfeksi, masing-masing perusahaan mempunyai sistem sendiri-sendiri. Yang
penting, apa pun sistemnya, harus menghasilkan kualitas air bersih yang memenuhi syarat.

Dengan pembangunan secara masal tersebut, pada akhir Pelita III (1979-1984), kapasitas
terpasang sistem penyediaan air minum meningkat dari 21.000 liter perdetik menjadi 26.000
liter perdetik. Berlandaskan pencapaian itulah Pemerintah pada waktu itu berani

14. IPA Kedasih pertama kali dikembangkan oleh Ir. Pudjastanto, CE, DEA dari Direktorat Air Bersih, Direktorat Jenderal Cipta
Karya Kementerian Pekerjaan Umum, yang melakukan kajian terhadap penggunaan bentuk heliocoidal dalam proses
koagulasi dan flokulasi yang lebih efisien dalam operasinya. Nama Kedasih kemudian diabadikan dalam IPA Paket yang
menggunakan bentuk heliocoidal tersebut, baik pada IPA baru maupun peningkatan IPA yang sudah ada. IPA Kedasih
mendapatkan nomor SNI (Standar Nasional Indonesia) pada tahun 2002.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
menetapkan standar kebutuhan air minum di Indonesia 60 liter perorang perhari. Standar
kebutuhan minimum tersebut memang masih lebih rendah dari standar yang dikeluarkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 86 liter perorang perhari. Standar kebutuhan air
minum tersebut kelak di kemudian hari menjadi penting sebagai landasan bagi sistem
penyediaan air minum di Indonesia.

Pembuatan modul IPA Paket 2,5 liter per detik


Masih dalam rangka percepatan pembangunan sarana air minum, Pemerintah melanjutkan
pembentukan program BPAM. Selama Pelita III setidaknya terbentuk 28 BPAM sehingga
pada akhir Pelita III terdapat 150 BPAM.Mulai pertengahan Pelita III, modul-modul IPA
paket dengan standar kapasitas 2,5 liter perdetik dikembangkan di 396 ibu kota kecamatan
(IKK) yang belum memiliki fasilitas air minum dan belum terjangkau oleh pelayanan PDAM
atau BPAM. IPA paket 2,5 liter perdetik tersebut mampu menjangkau 180 sambungan rumah
dan 9 hidran umum. Paket ini juga dapat ditingkatkan kapasitasnya (up-rating) menjadi 5 liter
perdetik.Sayangnya, program pembangunan masal itu tidak diimbangi dengan pengembangan
SDM yang akan mengoperasikan instalasi-instalasi pengolahan air minum yang demikian
banyak. Setelah satu dua tahun, banyak di antara IPA paket itu merosot kondisinya karena
pengoperasiannya tidak sebagaimana seharusnya. Bahkan pemeliharaannya kebanyakan
diabaikan.Instalasi paket yang menggunakan bahan dari besi ataupun baja sangat memerlukan
pemeliharaan secara khusus. Setidaknya pengecatan
perlu dilakukan secara rutin untuk mencegah karatan. Menurut laporan, kurang lebih 65 separuh dari
IPA paket tersebut sudah dalam keadaan tidak operasional.

Sistem IKK mempercepat penyebaran pelayanan air minum di tanah air


Sistem yang dikembangkan pada ibukota kecamatan (yang kemudian dikenal sebagai Sistem
IKK) memiliki jaringan pipa yang dirancang dengan aliran rata-rata, sehingga mengurangi
ukuran pipa dan menghemat biaya. Di semua sistem IKK, pelayanan air minum ke rumah-
rumah dilengkapi dengan alat pembatas aliran (flow restrictor) dengan maksud supaya aliran
air ke pelanggan merata. Aliran air memang jadi lemah, tapi jumlah (volume) air per satuan
waktu per rumah tetap. Pendekatan ini membuat banyak pelanggan tidak sabar, dan akhirnya
membuka alat pembatas aliran tersebut. Ini adalah kelemahan dari sistem ini yang merupakan
aplikasi dari ujicoba pembatasan aliran sebelumnya. Di sisi lain, terjadi peningkatan investasi
yang signifikan di sektor air minum dan disertai dengan perluasan sistem secara lebih merata
di seluruh tanah air. Pada program berikutnya sistem pembatas aliran tidak digunakan lagi dan
pengukuran aliran dilakukan dengan pemasangan meter air pelanggan seperti pada sistem
reguler.Terlepas dari kelemahannya, sistem IKK diakui mempercepat penyebaran pelayanan
air minum di tanah air.

Selain membangun prasarana dan sarana air minum di kota-kota kecil dengan jumlah
penduduk kurang dari 500 ribu jiwa, pada Pelita III Pemerintah juga memberi perhatian
khusus untuk membangun prasarana dan sarana air minum di kawasan-kawasan terpencil

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

dan di perdesaan. Teknologi yang digunakan untuk daerah terpencil dan perdesaan adalah
teknologi tepat guna yang diharapkan dapat dibangun dengan bahan dan tenaga kerja
setempat. Beberapa pendekatan teknologi tepat guna yang diterapkan antara lain Saringan
Rumah Tangga (SARUT) dan Sistem Pengolahan Air Sederhana (SIPAS). Dengan
pendekatan tersebut diharapkan masyarakat setempat dapat berpartisipasi secara aktif dalam
pembangunan dan pengelolaannya. Hanya saja, pembinaan terhadap masyarakat perdesaan
tidak berada di bawah kendali Departemen Pekerjaan Umum, melainkan oleh Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM PL)
pada Departemen Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (Ditjen
PMD) pada Departemen Dalam Negeri.

Pendekatan teknologi tepat guna dengan pelibatan masyarakat ini menjadi cikal bakal
program-program air minum dan sanitasi perdesaan berbasis masyarakat (community-based
water and sanitation program), yang antara lain dibiayai dengan dana Inpres (Instruksi
Presiden) Bantuan Sarana Kesehatan, yang kemudian melahirkan program-program Sanimas
(Sanitasi Berbasis Masyarakat) dan Pamsimas (Program Air Minum dan Sanitasi Berbasis
Masyarakat).

Penanganan daerah terpencil/sulit air


Pemerintah tidak hanya memikirkan pelayanan air minum di perkotaan maupun di
66 perdesaan, banyak masyarakat kita yang masih kesulitan mendapatkan air bersih yang layak
karena posisi geografis atau potensi alamnya kurang menguntungkan. Sumber mata air sangat
jauh letaknya dan tidak ekonomis untuk dimanfaatkan, sedangkan sumber air permukaan yang
ada airnya payau atau asin. Di daerah Gunung Kidul, misalnya, yang dikenal sebagai daerah
sulit air, Pemerintah telah mengupayakan untuk mendapatkan

Keterangan foto

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
sumber air bawah tanah, salah satunya dari Goa Bribin dengan cara memompa air dari sungai
bawah tanah yang ternyata melimpah. Inovasi teknologi dalam SPAM juga terus
dikembangkan, misalnya penggunaan kincir angin dan sinar matahari sebagai penggerak
pompa untuk menaikkan air dari bawah tanah ke permukaan. Uji coba pemanfaatan kincir
angin antara lain dilakukan di Medan, Nusa Penida dan Tambakrejo, sedangkan uji coba
pemanfaatan sinar matahari dilakukan di Lombok Barat.

Direktorat Teknik Penyehatan dipecah menjadi dua


Pada era Pelita III (1979-1984), Direktorat Teknik Penyehatan dipecah menjadi dua
direktorat, yakni Direktorat Air Bersih dan Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman
(PLP). Pemecahan itu dilakukan karena pada awal Pelita III sektor penyehatan lingkungan
sanitasi semakin menuntut perhatian besar dari Pemerintah. Berbagai program penyehatan
lingkungan dilancarkan seperti pembangunan instalasi pengolahan air limbah di sejumlah kota
besar dan instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) di banyak kota-kota sedang, perbaikan
kampung, proyek percontohan pengelolaan sampah dan air limbah sistem modul dengan
harapan dapat diikuti oleh Pemda-Pemda di wilayahnya masing-masing.

Masalah sanitasi memang tak dapat dilepaskan dari masalah air minum. Sanitasi yang buruk
tentu berdampak negatif terhadap sumber daya air. Memang pada era ini telah semakin
disadari bahwa program-program pembangunan seyogianya diupayakan tidak
terlepas dari kebijakan keterpaduan prasarana melalui pendekatan Program Pembangunan 67 Prasarana
Kota Terpadu (P3KT).

Program regional atau lintas wilayah/kabupaten


Beberapa program air minum yang bersifat regional atau antar wilayah kabupaten juga telah
mulai dikembangkan, tapi tidak banyak yang berhasil dilaksanakan, misalnya di kawasan Bali
Selatan, Yogyakarta (Kartamantul), Kedung Sepur (Semarang dan sekitarnya), Minasamaupa
(Makassar dan sekitarnya), Tegal dan sekitarnya dan lain-lain. Diantara semua upaya tersebut
yang paling banyak menarik perhatian adalah Umbulan di Jawa Timur. Umbulan adalah
sebuah mata air yang terletak di Kabupaten Pasuruan yang memiliki potensi yang besar untuk
melayani beberapa kota di Jawa Timur, termasuk Surabaya. Sebagian kecil mata air airnya
bahkan sudah dikembangkan sejak jaman Belanda dulu untuk melayani Pasuruan dan
Surabaya (lihat sejarah air minum di masa prakemerdekaan).

Meskipun studinya sudah dilakukan secara lengkap sejak tahun 1975 oleh konsultan Camp
Dresser and McKee (CDM) dari Amerika Serikat, pelaksanaan proyek raksasa ini selalu
mengalami berbagai kendala. Padahal apabila dilaksanakan, sistem Umbulan dapat melayani
Kota Surabaya dan kota-kota disekitarnya seperti Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan. Perjalanan
panjang proyek ini, yang sampai sekarang belum juga dapat terlaksana, diuraikan secara
lengkap dalam Boks 6 berikut.

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

Umbulan, Potensi Rp 126 milyar per Tahun yang Disia-siakan


Umbulan adalah sebuah mata air yang sangat untuk membiayai proyek itu. Ada beberapa
besar di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur investor yang berminat, bahkan sempat terjadi
yang memiliki debit mencapai 5.000 liter kompetisi yang ketat di antara para investor
perdetik. Airnya sangat jernih sehingga tidak waktu itu, namun minat mereka kemudian
perlu diolah terlebih dahulu kecuali surut. Kendalanyayang paling utama adalah
khlorinasi.Dalam upaya memenuhi kebutuhan tidak adanya ketidakpastian dalam kemampuan
kota Surabaya, Pemerintah merasa perlu dan kesediaan PDAM/Pemda yang akan
mempertimbangkan pemanfaatan mata air dilayani untuk membeli air Umbulan secara
tersebut daripada harus memperluas IPA curah (bulk). Selain itu, Kabupaten Pasuruan
Karangpilang. Selain untuk kota Surabaya, dimana lokasi mata air berada mengajukan
mata air Umbulan dapat pula sekaligus peryaratan-persyaratan yang sulit dipenuhi dan
melayani kota-kota Pasuruan, Sidoarjo, Gresik kerangka perjanjian kerjasama.
dan kota-kota lain di sepanjang jalur pipa
transmisi Umbulan-Surabaya.Studi kelayakan Sudah tentu penundaan pelaksanaan proyek
proyek ini mulai dikerjakan tahun 1975 oleh itu sangat merugikan, baik finansial maupun
Konsultan Camp, Dresser & McKee dari dari sudut pelayanan masyarakat. Dengan
Amerika Serikat dan sejumlah studi kelayakan asumsi harga air Rp 1.000 permeter kubik,
selanjutnya telah dilakukan oleh berbagai fihak. kapasitas 5.000 liter per detik dan kehilangan
air 20%, maka kerugian diperkirakan sebagai
Hasil studi kelayakan tersebut dari sudut teknis berikut bisa mencapai Rp 126 milyar setiap
dan ekonomis dinilai sangat menjanjikan, tahun tahunnya.Sampai dengan era reformasi,

68 tetapi oleh Pemerintah dinilai tidak layak dari


potensi mata air Umbulan yang demikian besar
belum juga dimanfaatkan secara maksimal.
sudut pembiayaan. Proyek tersebut waktu itu diperkirakan Hanya sebagian kecil air yang dialirkan dari
menelan biaya hingga US$ 25 juta, belum lagi biaya dalam mata air itu yang sudah tersalur ke Surabaya
mata uang rupiah. Karena kemampuan finansial Pemerintah
terbatas, maka dicarikan investor dan Pasuruan, dan itu sudah berlangsung sejak
era prakemerdekaan.

Boks 6. Umbulan, Potensi Rp 126 milyar per Tahun yang Disia-siakan

Pelita IV 1984-1988: Resesi tidak menghalangi pembangunan


Pada periode Pelita IV, 1984-1988, pengembangan sistem penyediaan air minum terus
dilanjutkan, kendati pada periode itu terjadi resesi ekonomi. Pembangunan infrastruktur
tertolong karena tingkat inflasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pada era dua Pelita
sebelumnya. Hasilnya, hingga akhir Pelita IV terdapat penambahan kapasitas produksi air
minum sebesar 14.000 liter perdetik, memenuhi kebutuhan sekitar 8,2 juta jiwa penduduk.

Pada Pelita IV tercatat adanya perbaikan di daerah-daerah perdesaan. Telah disebutkan di


bagian lain buku ini, berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden) bidang kesehatan masyarakat,
pada Pelita III Departemen Kesehatan merintis penyediaan sarana air bersih di daerah
perdesaan sebagai bagian dari upaya memerangi penyakit menular dan meningkatkan
kesehatan masyarakat. Pada Pelita IV, berdasarkan kesepakatan Departemen Kesehatan,
Departemen Pekerjaan Umum ikut melengkapi fasilitas-fasilitas air minum tersebut

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
dengan jaringan perpipaan. Jadi, sejak itu sistem penyediaan air minum perpipaan sudah
mulai masuk desa.

Kebijakan Pembangunan Prasarana Kota Terpadu


Pada tahun 1987 Pemerintah meluncurkan 4. Sesuai dengan prinsip desentralisasi dari wewenang dan
pendekatan keterpaduan dalam pembangun tanggung jawab Pemerin tah Daerah dalam pembangunan
an prasarana perkotaan, dimana didalamnya prasarana perkotaan maka akan disempurnakan pula sistem
termasuk pembangunan air minum dan pendanaan guna pembangunan prasarana perkotaan, dengan:
penyehatan lingkungan permukiman. Pen- i. Menyempurnakan/memantapkan tataca-ra
dekatan keterpaduan, yang kemudian di pinjaman dan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
kenal dengan pendekatan Program Pem Daerah dalam menyediakan investasi prasarana
bangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) perkotaan;
tersebut ditetapkan melalui Kebijaksanaan ii. Menyertakan insentif untuk mobilisasi sumber daya
Pembangunan Perkotaan di Indonesia yang local dan dana pinjaman;
berisi enam butir kebijaksanaan sebagai 5. Kemampuan tenaga dan kelembagaan dari Pemerintah
berikut15 : Daerah Tingkat I dan Tingkat
1. Pembangunan prasarana perkotaan serta II dalam melaksanakan kegiatan pem
pemeliharaannya pada prinsipnya meru pakan bangunan perkotaan secara lebih efektif
wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah akan ditingkatkan melalui pengembangan 69
(Tingkat II) yang bersangkutan kelembagaan dan penyempurnaan pro
(Kotamadya/Kabupaten), dengan bantuan dan sedur sejauh hal tersebut diperlukan serta
bimbingan dari Pe-merintah Daerah Tingkat I (Pusat) latihan/penataran berdasarkan suatu pro
dan Pemerintah Pusat; gram pendidikan dan latihan terpadu bagi
2. Perencanaan dan penyusunan program pengembangan ketenagaan aparatur Pe
serta penentuan prioritas investasi untuk merintah Daerah; dan
pembangunan perkotaan bagi masing-masing tingkat 6. Koordinasi dan konsultasi antara berbagai instansi dan
pemerintahan akan terus disempurnakan berdasarkan tingkat pemerintahan (Peme rintah Pusat, Pemerintah
pendekatan desentralisasi dan/atau dekonsentrasi Daerah Tingkat I dan Tingkat II) yang terkait dalam
serta keterpaduan seperti yang antara lain telah pembangunan prasarana perkotaan akan dilanjutkan dan
dilaksanakan melalui “Program Pembangunan dimantapkan guna me ningkatkan kelancaran perencanaan
Prasarana Kota Terpadu (PPPKT/IUIDP); dan pelaksanaan kegiatan pembangunan serta
3. Dalam rangka mengembangkan menyediakan tatacara (mekanisme) untuk menelaah lebih
tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penye lanjut dan merumuskan re komendasi berbagai
diaan prasarana perkotaan maka akan lebih kebijaksanaan untuk masa depan.
ditingkatkan kemampuan Pemerin tah Daerah dalam
mobilisasi sumber-sumber dana dan optimasi
penggunaan pendapatannya;

15. Sumber: Kebijaksanaan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Sekretariat Tim Koordinas Pembangunan Perkotaan, Agustus
1987 (dikenal sebagai buku coklat karena sampulnya berwarna coklat).

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum di
Era Orde Baru (1969-1998)

Keenam kebijakan tersebut menjadi landas an Pendekatan keterpaduan memberikan dampak


operasional pembangunan prasarana per positif yang besar dalam upaya peningkatan
kotaan pada waktu itu, dimana air minum dan keterpaduan antar program dan antar sektor
penyehatan lingkungan permukiman (air dalam pembangunan prasarana perkotaan
limbah, persampahan dan drainase) termasuk jangka menengah di daerah, serta dalam upaya
didalamnya. Dalam pelaksanaannya, melalui peningkatan ke mampuan Pemerintah Daerah,
Keputusan Menteri Negara Perencanaan khususnya Kabupaten/Kota dalam mobilisasi
Pembangunan Nasional/Ketua Badan Peren sumber-sumber pendanaan, serta peningkatan
canaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ke lembagaan, antara lain melalui penyiapan
dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan PJM (Program Jangka Menengah) RIAP (Re
Perkotaan (TKPP) yang terdiri dari Panitia venue Improvement Action Plan – Rencana
Pengarah dan empat Kelompok Kerja Tetap. Kegiatan Peningkatan Pendapatan) dan LIDAP
Ketua dan anggota Panitia Pengarah dan (Local Institutional Development Action Plan –
Kelompok Kerja Tetap terdiri para pejabat Rencana Kegiatan Pengembangan
Eselon I dan II dari lintas kementerian (waktu Kelembagaan di Daerah).
itu disebut departemen), yaitu Bappenas,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Ke
uangan dan Departemen Pekerjaan Umum). Pendekatan keterpaduan ini berlangsung
selama beberapa tahun, dari tahun 1987
Kebijaksanaan keterpaduan tersebut diatas sampai sekitar tahun 2000-an. Meskipun
diambil Pemerintah sebagai bagian dari ke pendekatan keterpaduan dianggap berhasil,
rangka Pinjaman Sektor Perkotaan (Urban tetapi hal yang kurang menguntungkan dari
70 Sector Loan) dari Bank Dunia. Melalui pen pendekatan ini adalah bahwa daerah seolah
dekatan P3KT, pembangunan prasarana perkotaan pada seperti “anak ayam kehilangan induk” pada
waktu itu dilaksanakan secara terpadu dan kewilayahan, saat adanya perubahan struktur organisasi
melalui program-program pembangunan prasarana kota Departemen Pekerjaan Umum dari berbasis
terpadu (Urban Development Program sektor menjadi berbasis wilayah. Pada waktu
– UDP) seperti East Java UDP, West Java – itu, Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK)
Sumatera UDP, Bandar Lampung UDP, sebagai satminkal (satuan administrasi
Central Java UDP, Medan UDP, yang pangkal) berubah nama dan direktoratnya
kesemuanya merupakan kelanjutan dari menjadi berbasis kewilayahan. Baru pada
program sebe lumnya seperti Urban I sampai V tahun 2004, nama Pekerjaan Umum kembali
(program perbaikan kampung/KIP), Bandung digunakan dan direktorat di lingkungan
UDP (BUDP), Cirebon UDP (CUDP), DJCK kembali berbasis sektor.
Yogyakarta UDP (YUDP), dan sebagainya.

Boks 7. Kebijakan Pembangunan Prasarana Kota Terpadu

Berkat pembinaan para karyawan BPAM sehingga dinilai mampu mengelola PDAM,
sebanyak 20 BPAM akhirnya dialihkan statusnya menjadi PDAM dan langsung diserah kan
kepada Pemda di mana BPAM itu berada. Satu di antaranya adalah BPAM Kabupaten Dati II
Kutai yang berdiri pada tahun 1981 dan diubah statusnya menjadi PDAM Tirta

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Mahakam Kabupaten Kutai pada tahun 1987. Setelah terjadi pemekaran wilayah, kini PDAM
Tirta Mahakam merupakan BUMD milik Kabupaten Kutai Kartanegara.

Pada awal Pelita IV, 1987/1988, jumlah PDAM telah mencapai 114 dan BPAM sebanyak 157
buah. Sebagian dari BPAM itu sudah dalam kondisi siap diserahkan kepada Pemda untuk
kemudian diubah statusnya menjadi PDAM.Dari 114 PDAM tersebut di atas, 40 PDAM
dinilai sudah siap untuk mandiri. Artinya, PDAM itu sudah mampu mengupayakan sendiri
sumber-sumber dana bagi pembangunan baru atau memperluas prasarana air minum di
wilayah pelayanannya. Dan setelah lima tahun berjalan, pada akhir Pelita IV, perbandingan
jumlah BPAM dan PDAM telah berubah, yakni BPAM menjadi 148 (semula
157) dan PDAM menjadi 137 dari semula 114. Perubahan komposisi itu terjadi karena ada sejumlah
BPAM yang beralih status menjadi PDAM. Berarti terjadi kecenderungan positif atas BPAM yang mulai
dibentuk pada era Pelita II.

Setelah standar pemenuhan kebutuhan air minum 60 liter perorang perhari ditetapkan pada
Pelita III, Pemerintah melakukan pembagian tugas pembangunan sistem penyediaan air
minum. Untuk wilayah yang kebutuhan dasarnya di bawah 60 liter perorang perhari,
dipercayakan kepada BPAM, dan untuk wilayah yang standarnya di atas 60 liter perorang
perhari, ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dengan PDAM sebagai pelaksana. Kebijakan
itu mulai diterapkan pada awal Pelita IV.

71
Sistem terpadu melahirkan pembagian tugas antara pusat dan daerah
Pada tahun 1985 dilancarkan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) atau
Integrated Urban Infrastructure Development Program (IUIDP). Sejak pencanangan program
tersebut, berbagai program pembangunan prasarana kota dilaksanakan secara terpadu,
termasuk program-program pengembangan sistem penyediaan air minum dan penyehatan
lingkungan perkotaan, lihat Boks 7.

Kebijakan P3KT diterapkan untuk menghadapi perkembangan zaman. Pada masa itu, resesi
ekonomi dunia mempengaruhi Indonesia. Resesi itu sendiri rupanya memicu urbanisasi yang
deras, yang memicu kemunculan berbagai permasalahan di perkotaan, terutama menyangkut
kebutuhan akan perumahan, kebutuhan parasarana dan sarana sanitasi dan air minum, dan
sebagainya. Cara pendekatan keterpaduan tersebut antara lain membawa berbagai
konsekuensi. Di bidang kelembagaan misalnya, mulai terjadi penyesuaian unit-unit kerja di
lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Unit-unit kerja itu harus berbasiskan kewilayahan.

Selain itu, terjadi pembagian tugas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Departemen Pekerjaan Umum selaku pemangku kepentingan di tingkat pusat bertanggung
jawab membangun sarana fisik produksi air minum seperti bangunan intake (pintu masuk air
baku ke IPA), pipa transmisi air baku, dan unit-unit instalasi pengolahan air beserta
perlengkapannya. Di sisi lain, Pemerintah Daerah dan PDAM bertugas membangun

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
Perkembangan Air Minum
di Era Orde Baru (1969-1998)

jaringan distribusi hingga sambungan rumah pelanggan, termasuk reservoir kota. Sayangnya,
karena keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemerintah Daerah, kewajiban mereka tidak
dapat terlaksana sepenuhnya. Konsekuensinya, terjadi idle capacity alias kapasitas produksi
yang tak termanfaatkan. Hal itu memaksa Pemerintah Pusat turun tangan, ikut menangani
pembangunan di tingkat hilir seperti sarana distribusi termasuk sambungan rumah pelanggan.

Pada periode Pelita IV skala pembangunan makin luas, tingkat kesulitan di lapangan pun
makin tinggi. Maka untuk memperkuat berbagai konsensus yang pernah dibuat pada era
sebelumnya, kembali dilakukan kesepakatan dalam hal pembagian tugas di antara lembaga-
lembaga Pemerintah yakni Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Kesehatan. Masih seperti sebelumnya, Departemen PU tetap melaksanakan
pembangunan proyek-proyek sarana air minum di perkotaan, sedangkan Departemen
Kesehatan sebagai pelaksana pembangunan di perdesaan.Selain itu, juga dibuat konsensus
antara Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri tentang pola penyaluran
pinjaman kepada PDAM-PDAM. Telah disinggung di bagian lain buku ini, bahwa untuk
pembiayaan proyek air minum, Departemen Keuangan berkoordinasi dengan BAPPENAS,
dan melalui prosedur DIP (Daftar Isian Proyek) memberikan pinjaman dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah untuk diteruskan kepada PDAM sebagai equity. Sedangkan untuk
pengembangan air minum perdesaan diterapkan sistem pembiayaan proyek dengan prosedur
Inpres.
72
P3KT mulai dikembangkan dan diterapkan tahun 1985 secara bertahap sebagai suatu pola
pendekatan pembangunan dari bawah (bottom up approach). P3KT adalah konsep
pembangunan yang memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun
rencana sampai dengan pelaksanaannya yang merupakan wujud dari asas desentralisasi secara
nyata dan bertanggung jawab.Keterpaduan proses pembangunan berdasarkan prinsip P3KT
tidak hanya menyangkut segi pembangunan fisiknya saja, melainkan juga perihal sumber-
sumber pembiayaannya, baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun PDAM.

Dasawarsa 1989–1998: akhir pembangunan jangka panjang tahap pertama


Periode 1989 – 1998 merupakan masa transisi dari periode pembangunan jangka panjang
tahap pertama ke tahap berikutnya. Periode jangka panjang tahap pertama, yang dimulai sejak
Pelita I (1969 – 1974) sampai Pelita V (1990 – 1994) merupakan periode yang penuh dengan
semangat pembangunan. Pelita VI (1995 – 1999) yang merupakan tahun pertama
pembangunan jangka panjang tahap kedua berakhir di tengah jalan dengan jatuhnya rezim
Orde Baru pada tahun 1998. Menjelang akhir Pelita VI (1998), kapasitas produksi air minum
sudah mencapai ____ liter per detik, dengan jumlah total sambungan rumah
sebanyak ___ sambungan dan cakupan pelayanan perpipaan di perkotaan sudah mencapai 39
persen.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Setelah masa-masa suram kejatuhan rezim Orde Baru, yang ditandai dengan kerusuhan
diberbagai kota berlalu, pembangunan sektor air minum pada umumnya melanjutkan
program-program keterpaduan yang sudah berlangsung, antara lain Semarang – Surakarta
UDP, Bogor – Palembang UDP, Kalimantan UDP, Sulawesi UDP I dan II, East Java – Bali
UDP dan Bali Urban Infrastructure Project (BUIP).

Keterangan foto

73

Perkembangan Air Minum


di Era Orde Baru (1969-1998)
74

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
5
PENGEMBANGAN
AIR MINUM DI AWAL ERA
REFORMASI (1998–2005)

Era 1998-2005
Pengembangan Air Minum
di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Reformasi politik yang terjadi sejak tahun


1998 melahirkan sistem pemerintahan
yang bersifat desentralisasi. Otonomi
daerah menetapkan kebijakan, bahwa
pembangunan sektor air minum,
termasuk pengembangan
76 sistem penyediaan air minum adalah
merupakan tugas dan tanggung jawab
pemerintah daerah, dan semesestinya dilakukan
oleh pemerintah daerah.

TERMASUK di dalamnya mengupayakan dana dan mencari teknologi dan solusi yang
sebaik-baiknya atas masalah air minum di daerah.Otonomi daerah itu pun seperti mendapat
dorongan dari semangat gerakan Millennium Development Goals (MDGs), yakni komitmen
global yang diluncurkan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk memerangi kemiskinan dan
keterbelakangan. Pemerintah Indonesia ikut menandatangani dan menyatakan komitmennya
untuk menyukseskan gerakan itu. Dalam hal air minum, target MDGs adalah mengurangi
hingga separuh dari penduduk yang belum memiliki akses ke sarana dan prasarana air bersih
yang aman.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Dalam mewujudkan semangat otonomi daerah, diterbitkanlah UU Otonomi Daerah No. 22
tahun 1999 yang mengubah peran pemerintah pusat dari penyedia menjadi fasilitator
pembangunan fisik di daerah. Daerah-daerah didorong untuk memainkan peran yang lebih
besar untuk membangun dan mengatur daerahnya masing-masing. Bahkan punya tanggung
jawab lebih besar atas sebagian biaya pembangunan.Otonomi Daerah juga memberi ruang
yang lebih luas pada bentuk-bentuk pembangunan berbasis partisipasi masyarakat. Hal itu
didasarkan pada kenyataan, bahwa sumber dana yang dimiliki pemerintah pusat maupun
daerah sangat terbatas, sehingga perlu optimalisasi sumber-sumber daya yang ada, termasuk
yang ada pada masyarakat.

Di berbagai daerah, muncul sarana sanitasi berbasis masyarakat (Sanimas), demikian juga
sarana penyediaan air minum berbasis masyarakat (Pamsimas). Pola pengembangan sanitasi
dan sistem penyediaan air minum berbasis masyarakat itu dipicu terjadinya perubahan pola
pikir yang diusung oleh suatu gerakan bernama WASPOLA (Water Supply and Sanitation
Policy Formulation and Action Planning), yang merupakan kerja sama antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Australia yang difasilitasi oleh WSP-EAP (Water and
Sanitation Program East Asia and the Pacific) dari Bank Dunia.

Program tersebut tidak lepas dari reformasi kebijakan di bidang kelembagaan sistem
penyediaan air minum. Selama era sentralisasi, sistem penyediaan air minum di Indonesia
sangat bertumpu pada pelayanan berbasis lembaga resmi dengan PDAM sebagai salah
satu ujung tombaknya. Padahal, sebagian besar PDAM lebih banyak melayani masyarakat 77 perkotaan.
Itu pun, belum semua warga perkotaan terlayani. Di sisi lain, penduduk perdesaan cenderung
mengupayakan kebutuhan air minum secara mandiri. Karena
itu, pada era desentralisasi, kebijakan pelayanan air minum berbasis masyarakat mulai
digiatkan.

Menurut data tahun 1998, persentase pelayanan air minum berbasis lembaga (PDAM) baru
mencapai 39%. Bahkan setelah krisis ekonomi, hanya mencapai 17%. Kondisi seperti itu
disebabkan tersendatnya pelaksanaan berbagai proyek infrastruktur di bidang air minum.
Sedangkan porsi yang berbasis masyarakat, justru jauh lebih besar, yakni sekitar 60% hingga
70%.Penyusunan kebijakan itu didasari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh beberapa
lembaga, yang menemukan kegagalan dalam pembangunan sarana air minum dan penyehatan
lingkungan (AMPL). Selain itu, kebijakan itu juga diilhami prinsip-prinsip Deklarasi Dublin-
Rio menyangkut masalah air dan sanitasi, sebagai berikut:

• Pendekatan partisipatif menyertakan pengguna, perencana dan pembuat kebijakan pada


semua tingkatan
• Air adalah sumber terbatas dan rentan, penting untuk menyokong kehidupan, pembangunan
dan lingkungan
• Perempuan memainkan peranan penting dalam penyediaan, pengelolaan, dan perlindungan
air

Pengembangan Air Minum


di Awal Era Reformasi (1998-2005)
Pengembangan Air Minum
di Awal Era Reformasi (1998-2005)

• Air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh penggunaannya, dan harus dianggap sebagai
benda ekonomi

Pada tahun 2002-2003 kebijakan itu mulai diujicobakan di Sumba Timur, Solok, Musi
Banyuasin, dan Subang. Kemudian pada tahun 2004, kebijakan itu mulai diterapkan di
beberapa provinsi seperti Sumatera Barat, Bangka-Belitung, Banten, NTT, Gorontalo, dan
Sulawesi Selatan.

Program air minum untuk kawasan-kawasan rawan air di perkotaan dan


perdesaan (Program SE-AB)
Era reformasi diawali dengan kondisi krisis moneter yang mengakibatkan terbatasnya
kemampuan pemerintah (APBN) dalam pengembangan SPAM. Pada awal periode ini
Pemerintah lebih banyak menangani sisa-sisa proyek bantuan luar negeri antara lain Sumater
UDP, Sulawesi UDP dan lain-lain. Dana APBN yang terbatas dimanfaatkan untuk menangani
kawasan-kawasan yang rawan air, baik di perkotaan (kampung-kampung) maupun di
perdesaan (desa/dusun). Program ini berjalan selama tahun 2001 sampai 2004 yang dikenal
dengan nama SE–AB (Subsidi Energi untuk Air Bersih), karena Pemerintah melakukan
pengurangan subsidi bahan bakar energi dan penghematan ini digunakan untuk menangani
sektor-sektor yang banyak menyentuh masyarakat yang kurang mampu, antara lain untuk
penyediaan air bersih.

78 Bentuk lain reformasi pengembangan air minum dan sanitasi yang terjadi pada era itu, yaitu
perubahan peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Terlepas
dari pro dan kontra terhadapnya, UU ini merupakan landasan peraturan perudangan tentang air minum yang
paling lengkap dan menyeluruh sejak Indonesia merdeka.Menurut undang-undang ini, pengembangan sistem
penyediaan air minum dan sanitasi merupakan bagian dari perlindungan dan pelestarian sumber daya air.
Selanjutnya Pemerintah juga mengeluarkan peraturan pelaksanaan UU tersebut, yakni Peraturan Pemerintah
(PP) No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Peraturan Pemerintah ini
antara lain mengatur pengembangan sistem penyediaan air minum mulai dari merencanakan, melaksanakan
konstruksi, mengelola fisik dan nonfisiknya. Diatur pula tentang kelembagaan yang boleh tampil sebagai
penyelenggaranya mulai dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
Koperasi, Badan Usaha Swasta, dan atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan sistem
penyediaan air minum. Lihat Boks 7 tentang terbitnya UU 7.2004 tentang Sumber Daya Air dan PP 16/2005
tentang Pengembangan Sistem Penyediaan air Minum.

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
Undang Undang 7/2004, Landasan Kebijakan Tentang Air Minum
Pada tahun 2004 terbit Undang Undang No. yagunaan dan pengendalian daya rusak air.
7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Undang undang ini merupakan landasan Pada tahun 2005 terbit Peraturan Pemerintah
kebijakan untuk penyediaan sistem No 16 tahun 2005 (PP 16/2005) tentang Pe
penyediaan air minum yang paling ngembangan Sistem Penyediaan Air Minum,
komprehensif dan me nyeluruh setelah yang mengacu pada UU 7/2004, dimana
Indonesia Merdeka, karena sebelumnya
dalam rangka melaksanakan ketentuan
hanya ada UU 11/1974 tentang Pengairan
Pasal 40 UU 7/2004 diperlukan sebuah per
yang mengatur kebijakan nasional mengenai
air dan sumber air, tapi sangat terbatas. aturan pemerintah. Dalam PP 16/2005,
pengembangan SPAM diselenggarakan ber
Terbitnya UU baru ini tidak terlepas dari ada dasarkan asas kelestarian, keseimbangan,
nya perubahan paradigma sumber daya air kemanfaatan umum, keterpaduan dan kese
meliputi pembangunan yang bekelanjutan, suaian, keberlanjutan, keadilan, kemandirian
otonomi daerah, hak asasi manusia, demok serta transparansi dan akuntabilitas. Peng
ratisasi dan globalisasi serta terjadinya refor aturan pengembangan SPAM bertujuan
masi di segala bidang pada tahun 1998, untuk (i) terwujudnya pengelolaan dan pe
antara lain tuntutan demokratisasi,
layanan air minum yang berkualitas dengan
transparansi dan desentralisasi. Untuk ini
harga yang terjangkau; (ii) tercapainya ke
maka diadakan per ubahan/penggantian
atas materi UU 11/1974 tersebut menjadi UU pentingan yang seimbang antara konsumen
7/2004 tentang Sumber Daya Air. dan penyedia jasa pelayanan dasar; dan
(iii) tercapainya peningkatan efisiensi dan
UU 7/2004 juga cerminan perwujudan cakupan pelayanan. PP 16/2005 ini meng 79
amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu:
(i) pemanfaatan sumber daya air harus di amanatkan penyusunan Peraturan-peratur
abadikan kepada kepentingan dan kese an Menteri Pekerjaan Umum antara lain
jahteraan rakyat di segala bidang; (ii) tentang kebijakan dan strategi nasional pe
sumber daya air harus dilindungi dan djaga
ngembangan SPAM, penyelenggaraan pe
kelestariannya. Dalam UU 7/2004 pengertian
ngembangan SPAM perpipaan dan bukan
baru mengenai sumber daya air mencakup
air, sumber air dan daya air yang terkandung perpipaan, badan pendukung pengembang
di dalamnya. Pengelolaan sumber daya air an SPAM, pedoman pembinaan penye
mencakup kegiatan konservasi, penda lenggaraan SPAM, pedoman kerjasama
pengusahaan pengembangan SPAM, dan pe
doman pemberian izin penyelenggaraan pe
ngembangan SPAM untuk kebutuhan sendiri.

Boks 8. Undang Undang No. 7/2004, Landasan Kebijakan Tentang Air Minum
Pengembangan Air Minum
di Awal Era Reformasi (1998-2005)
Pengembangan Air Minum
di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Tahun 2005: cakupan di perkotaan 40 persen, di perdesaan 8 persen


Didasari semangat reformasi yang menuntut serba keterbukaan, diadakanlah rekapitulasi
tentang pencapaian pengembangan sistem penyediaan air minum pada tahun 2005. Ternyata,
cakupan pelayanan air minum di perkotaan baru mencapai 40 persen meliputi sekitar 33 juta
penduduk, sedangkan di perdesaan baru mencapai 8 persen atau sekitar 10 juta jiwa. Total
kapasitas produksi 95.540 liter perdetik, yang semestinya dapat memenuhi kebutuhan 95 juta
penduduk. Sayang tingkat kehilangan air rata-rata masih sangat tinggi, mencapai 40 persen
sehingga yang telayani baru sekitar 43 juta jiwa.

Sekitar 90 persen PDAM dalam kondisi tidak layak operasi karena tingkat kerugian yang
besar, utang yang membengkak karena tertunggak bertahun-tahun. Secara akumulatif utang
PDAM telah mencapai Rp 5,2 triliun. Mutu SDM juga masih memprihatinkan. Selain itu,
dana investasi tidak tersedia, bahkan dana operasional dan pemeliharaan sangat
terbatas.Kondisi yang memprihatinkan itu tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Kementerian Pekerjaan Umum bersama-sama dengan Persatuan Perusahaan Air Minum
Seluruh Indonesia (PERPAMSI) tak henti-hentinya berusaha membantu PDAM mengatasi
masalah yang dihadapi. Masalah-masalah yang dihadapi beragam, mulai dari kesulitan
pembiayaan, tingkat kehilangan air yang tinggi, tarif yang lebih rendah dari biaya produksi,
utang yang terus membengkak, mutu SDM yang memprihatinkan, kesulitan air baku,
intervensi Pemda, dan sebagainya.

80 Seminar, lokakarya, pelatihan, program twinning, pendampingan, dan kegiatan sejenis sering
diadakan. Kegiatan-kegiatan itu dimaksudkan untuk memberdayakan PDAM itu sendiri agar dapat mengatasi
masalah yang dihadapinya.Salah satu dari daftar masalah yang dihadapi PDAM, yakni masalah utang yang
terus membengkak, hampir tidak

Keterangan foto

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
mungkin diselesaikan sendiri oleh PDAM. Melalui asosiasi PDAM yakni PERPAMSI, telah
sejak lama dimintakan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, agar utang
PDAM dihapus karena sangat mengganggu kondisi keuangan PDAM.

Akhirnya Pemerintahcq. Departemen Keuangan melakukan program restrukturisasi utang


PDAM. Bunga dan denda dihapus, tetapi utang pokok tetap harus dilunasi dengan dicicil
setelah dijadwal ulang. Restrukturisasi utang itu ditetapkan melalui Peraturan Menteri
Keuangan No. 120/PMK.05/2008 tentang restrukturisasi utang PDAM.Restrukturisasi utang
tersebut membuat banyak PDAM yang selama ini tidak pernah menghasilkan kinerja
keuangan yang menggembirakan karena selalu terbebani utang, merasa sangat tertolong.
Bahkan tak sedikit di antaranya mengaku bahwa kinerja keuangannya langsung positif karena
utangnya telah masuk kategori utang lancar.

Akumulasi bunga dan denda atas utang yang dihapus itu memang tidak sedikit, mencapai Rp
3,3 triliun, melebihi utang pokoknya.Di sisi lain, pihak PDAM tentu harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu agar restrukturisasi utang itu tidak sia-sia, tetapi benar-benar
dimanfaatkan untuk menyehatkan PDAM bersangkutan.

Otonomi dan regionalisasi


Pemberlakuan Otonomi Daerah ternyata ada untung ruginya. Eforia kebebasan di era
reformasi mendorong lahirnya banyak pemerintahan kabupatan dan pemerintahan kota 81 yang baru,
hasil pemekaran suatu wilayah. Sebuah wilayah kabupaten, mekar menjadi dua
atau bahkan menjadi tiga kabupaten atau kota yang baru. Pemekaran wilayah itu sangat
berdampak terhadap masalah air minum, karena hampir selalu diikuti pemekaran (baca:
pemisahan diri) unit-unit PDAM yang ada di wilayah bersangkutan.

Memang ada sebagian PDAM yang dapat melalui masalah pemekaran itu dengan baik, tetapi
sebagian besar justru melahirkan masalah tersendiri yang cukup rumit. Misalnya, sering
muncul konflik menyangkut penyerahan aset terkait seperti yang pernah dialami oleh PDAM
Kabupaten Serang dengan PDAM sempalannya, yakni PDAM Kota Cilegon. Di banyak
PDAM yang pecah sebagai akibat pemekaran wilayah, walaupun tidak terjadi konflik atas
pembagian aset, muncul masalah dari segi keekonomiannya, terutama PDAM-PDAM yang
jumlah pelanggannya sedikit. Sudah tergolong sebagai PDAM kecil, terbelah pula sehingga
menjadi lebih kecil.

Memang ada beberapa PDAM yang tidak mengikuti kecenderungan seperti itu, tapi
jumlahnya tidak banyak. Misalnya PDAM Intan Banjar yang melayani dua wilayah
pemerintahan, yakni Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru, dan PDAM Giri Menang yang
melayani Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Hal itu terjadi karena adanya
kesamaan persepsi antara manajemen PDAM dengan Kepala Daerah terkait. Patut dicatat
bahwa kedua PDAM tersebut adalah sebuah model regionalisasi sistem penyediaan air minum
yang cukup berhasil.

Pengembangan Air Minum


di Awal Era Reformasi (1998-2005)
Pengembangan Air Minum
di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Kisah Sukses Regionalisasi PDAM


Ketika Kota Banjarbaru lepas dari Kabupaten daripada mendirikan sendiri PDAM yang baru.
Banjar tahun 1999, memang sudah muncul Alasan utama yang disampaikan antara lain
keinginan para pejabat teras Pemda Kota bahwa membentuk PDAM memerlukan biaya
Banjarbaru untuk mendirikan PDAM. Langkah yang sangat besar, sedangkan dana yang
pertama, mereka ingin mengambil alih aset dimiliki Pemda Kota Banjarbaru terbatas.
PDAM Kabupaten Banjar yang terdapat di Alasan lainnya yang tak kalah pentingnya
wilayah Kota Banjarbaru yang selama ini juga adalah bahwa kota tidak tidak memiliki
dilayani PDAM Kabupaten Banjar. Hampir sumber air baku. Atas usulan tersebut,
bersamaan dengan itu, Pemerintah Kabupaten Walikota Banjarbaru dan Bupati Kab. Banjar
Banjar sendiri sedang berusaha membenahi bersepakat untuk memanfaatkan PDAM yang
PDAM Kabupaten Banjar yang kala itu dalam sudah ada, dengan pertimbangan bahwa dari
kondisi terpuruk karena manajemennya yang sejak dulu Kota Banjarbaru sudah dilayani oleh
buruk. Upaya pembenahan diawali dengan PDAM Kabupaten Banjar. Keputusan tersebut
mencari direktur utama yang profesional, didukung sepenuhnya oleh Gubernur
memahami seluk-beluk PDAM dan memiliki Kalimantan Selatan. Sebagai realisasi dari
integritas. Melalui proses uji kelayakan dan kesepakatan tersebut kemudian dibuat
kepatutan (fit and proper test) oleh suatu perjanjian kerja sama antara kedua Pemda
tim independen, terpilihlah seorang calon, tersebut yang diketahui oleh Pemerintah
yang sebelumnya bekerja sebagai konsultan Provinsi, yang didalamnya termasuk kese
yang membantu pembenahan manajemen pakatan untuk mengubah nama PDAM
berbagai PDAM, menjadi direktur utama. menjadi PDAM Intan Banjar.
82
Melihat perkembangan yang terjadi di Dengan dukungan dana investasi berupa
lingkungan Pemda Kota Banjarbaru yang penyertaan modal dari kedua Pemda,
cenderung hendak membentuk PDAM, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat
direktur utama yang baru terpilih itu yang membiayai pengembangan air baku,
melakukan pendekatan kepada Walikota PDAM Intan Banjar telah berubah dari
Banjarbaru seraya memperkenalkan diri. kondisi terpuruk menjadi PDAM yang sehat
Dalam dialog tersebut diketahui bahwa dan berkembang, bahkan kemudian menjadi
memang Pemda Kota Banjarbaru berencana salah satu pusat pembelajaraan bagi PDAM
membentuk PDAM. Dalam pertemuan itulah lainnya. Sambungan rumah yang semula
Walikota diberi pemahaman bahwa akan hanya sekitar 15.000 telah berlipat ganda
lebih menguntungkan, lebih efisien dan menjadi sekitar 47.000 pada saat direktur
efektif, bila kedua Pemda (Kabupaten Banjar utama PDAM menyelesaikan masa baktinya
dan Kota Banjarbaru) membesarkan PDAM pada periode yang kedua.
yang sudah ada secara bersama-sama,

Boks 9. Kisah Sukses Regionalisasi PDAM

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
6
PENUTUP

Pembelajaran
dari Perkembangan
Air Minum di
83

Indonesia
Penutup

Sejarah pengembangan air minum di


Indonesia mencatat berbagai peristiwa
yang berkaitan dengan aspek kebijakan
dan pemrograman, perkembangan fisik,
pengembangan teknis teknologis, aspek-
aspek finansial dan kelembagaan serta
84 manajemen.

Banyak bahan pembelajaran yang tersirat maupun tersurat dalam peristiwa-peristiwa


tersebut, baik yang positif maupun sebaliknya, yang diyakini akan sangat berguna bagi
perkembangan air minum di masa-masa yang akan datang. Beberapa pembelajaran tersebut
diantaranya adalah:

• Dalam aspek kebijakan, ada perubahan paradigma yang secara berangsur-angsur


berubah, yaitu dari kebijakan yang sifatnya sentralistis menjadi terdesentralisir. Penyediaan sarana air minum
pada dasarnya adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Meskipun kebijakan dasar ini sudah ada sejak awal
tahun 1950-an, tapi dalam perkembangannya peran pemerintah pusat dalam pembangunan fisik sarana air
minum masih sangat dominan sejak awal kemerdekaan, dan terutama pada era orde baru dan awal era orde
reformasi. Peran pemerintah pusat yang begitu besar merupakan perwujudan dari rasa tanggungjawab
pemerintah, mengingat masih rendahnya kemampuan pemerintah

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
daerah, baik dari segi kemapuan fiskal maupun sumber daya manusianya. Dengan terbitnya
undang-undang tentang desentralisasi dan otonomi daerah, yang diubah dan disempurnakan
berkali-kali, peran pemerintah pusat secara berangsung-angsur mulai berkurang, dan
terbatas pada peran pembinaan.
• Dalam aspek pemrograman, pengalaman dengan pendekatan keterpaduan (program
pembangunan prasarana kota terpadu – P3KT) menunjukkan beberapa keberhasilan, terutama dalam
meningkatkan aspek keterpaduan dari tingkat pusat sampai daerah, termasuk keterpaduan dalam mobilisasi
pendanaan. Dalam perjalanannya, pendekatan keterpaduan ditinggalkan pemerintah karena dalam beberapa hal
mengurangi bahkan menghilangkan peran lembaga/instansi teknis yang bertanggung jawab dalam sektor-
sektor, termasuk sektor air minum. Di sisi lain, dengan segala dampaknya, pendekatan keterpaduan memiliki
beberapa hal positif dalam meningkatkan kualitas pemrograman, terutama di tingkat daerah.
• Dalam aspek perkembangan fisik, telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam
menyediakan sarana yang merupakan kebutuhan dasar manusia terssebut. Hal ini secara mudah tercermin dari
kapasitas produksi air minum yang meningkat dari dasawarsa ke dasawarsa. Memang dalam
perkembangannya, untuk mengejar target-target yang telah ditetapkan sebelumnya, pemerintah telah
melakukan pembangunan fisik secara massal
dan merata di seluruh tanah air, misalnya dengan pembangunan IPA Paket dan sistem
IKK. Disadari bahwa target fisik yang demikian besar akan membawa konsekuensi
penurunan kualitas hasil pembangunan, maupun tidak terjaminnya keberlangsungan
sistem yang dibangun. 8
• Dalam pengembangan teknis teknologis, kita patut berbangga dengan keberhasilan para
produsen IPA Paket, yang telah dapat membuat produk-produk IPA yang sebagian besar bahannya dibuat di
dalam negeri. Demikian pula inovasi teknologi pengolahan yang ditunjukan oleh IPA Kedasih, yang telah
membuktikan kehandalan karya anak bangsa. Yang perlu diperhatikan adalah pengembangan dalam aspek
teknis teknologis, sejalan dengan semakin beragamnya jenis dan meningkatnya derajat pencemaran pada
sumber-sumber air. Di sisi lain, ada beberapa kebijakan dalam aspek teknis teknologis yang ternyata kurang
tepat, misalnya penggunaan menara air penyeimbang (balanced reservoir) yang pada pelaksanaannya banyak
yang tidak beroperasi, karena sistem ini hanya bisa diterapkan pada jaringan distribusi yang terbatas dengan
pengaturan pemakaian air yang terkontrol. Demikian pula penggunaan alat pembatas aliran (flow restrictor)
pada sistem IKK, yang pada akhirnya dirasakan tidak efektif.
• Untuk aspek finansial, khususnya yang berkaitan dengan PDAM, masih banyak PDAM yang
terjebak dalam hutangyang harus dibayar beserta bunga, tunggakan dan denda yang jumlahnya berlipat-lipat
dibandingkan dengan hutang pokoknya. Upaya pemutihan tunggakan dan denda yang dilakukan Departemen
Keuangan dalam program penyehatan PDAM sudah sedikit memperbaiki kondisi keuangan sebagian PDAM,
meskipun masih lebih banyak lagi PDAM yang kondisi keuangannya masih “sakit”.
• Dalam upaya mobilisasi sumber dana untuk investasi, sejak awal kemerdekaan dan terutama
pada era orde baru, pemerintah sudah banyak mendapatkan dana hibah

Penutup
Penutup

maupun pinjaman lunak dari negara-negara maju dan lembaga internasional, tapi karena
berbagai sebab, dampak positif dari mobilisasi suumber dana investasi tersebut masih belum
terasa. Investasi yang ditanamkan belum memperbaiki kualitas pelayanan kepada
masyarakat secara signifikan.Kerjasama dengan sektor swasta, yang mulai berkembang
pada akhir era orde baru, juga belum banyak pengaruhnya terhadap peningkatan pelayanan
air minum, terutama karena ketidaksiapan pemerintah daerah dan PDAM dalam menjalin
kerjasama dengan fihak swasta. Selain itu, ada diantara kerjasama dengan swasta yang
persiapannya dilakukan tanpa proses yang kompetitif dan transparan.

• Dalam aspek kelembagaan dan manajemen, peran pemerintah daerah sangat besar,
tidak hanya dalam rangka peningkatan kemampuan lembaga pengelola air minum (PDAM), tapi juga dalam
kemampuannya menilai dan mengkaji kemungkinan untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah sekitarnya.
Pengalaman kerjasama antara daerah, misalnya di Banjar (KalimantanSelatan) dan Mataram (Lombok Barat),
perlu difahami dan diterapkan di sebanyak mungkin daerah lainnya, karena pengelolaan air minum yang
sifatnya regional akan jauh lebih ekonomis.

Keterangan foto

86

BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA
1800 – 2005
PROFIL TIM PENYUSUN

Nulla Facilisi Pellentesque


Phasellus mi est, rutrum sagittis, blandit et, molestie sit amet, diam.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nullam varius
dui sit amet mi. Nulla a risus a nunc pulvinar nonummy. Praesent cursus
dignissim orci. Nullam eleifend mattis magna. Mauris mollis ipsum et
nulla. Nam dignissim auctor enim. Praesent vel ante sit amet nisi eleifend 87 tempor.
Etiam mollis metus vitae tellus. Aliquam erat volutpat donec quis nunc.

Magnis Cursus Nullam


Sed eros eros, ultricies nec, rutrum ut, pharetra a, purus. Vivamus
tincidunt aliquam nibh. Etiam faucibus imperdiet est. Phasellus
eget massa eu pede lobortis pulvinar. Nunc tempus orci id nulla.
Phasellus id justo. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis
parturient montes, nascetur ridiculus mus.
Purus Varius Sapien
Nam condimentum augue eget erat. Aenean dignissim augue vitae
magna. Fusce dictum. Quisque gravida, arcu vitae luctus feugiat,
urna massa sollicitudin ligula, ac vehicula nisl urna et lorem. Sed
rhoncus. Duis metus elit, iaculis et, tristique vitae, commodo vitae,
mi. Fusce sem. Praesent consequat, erat ut scelerisque lobortis,
est purus varius sapien, ut rutrum diam dui id enim. Quisque vel
ligula a odio ullamcorper fringilla.
88

Purus Varius Sapien


Nam condimentum augue eget erat. Aenean dignissim augue vitae
magna. Fusce dictum. Quisque gravida, arcu vitae luctus feugiat,
urna massa sollicitudin ligula, ac vehicula nisl urna et lorem. Sed
rhoncus. Duis metus elit, iaculis et, tristique vitae, commodo vitae,
mi. Fusce sem. Praesent consequat, erat ut scelerisque lobortis,
est purus varius sapien, ut rutrum diam dui id enim. Quisque vel
ligula a odio ullamcorper fringilla.
89
90

Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum


BPPSPAM
Jl. Wijaya I No. 68, Kebayoran Baru, Jakarta 12170
Telp/Fax. 021-72789126
www.bppspam.com
BEBERAPA CATATAN
SEJARAH AIR MINUM DI
INDONESIA 1800 – 2005

Anda mungkin juga menyukai