Almarhum baru menerima diagnosa yang tepat setelah menerima berbagai diagnosa
lain yang tidak tepat. Pasalnya, pihak RS enggan menggunakan alat yang tepat
dalam melakukan diagnosa. Baru pada diagnosa yang kesekian, di RS yang
kesekian, dengan menggunakan alat yang disebut “teropong,” akhirnya diketahui
fungsi jantung almarhum sudah menurun hingga hanya 30 persen. Tindakan yang
harus dilakukan adalah operasi pemasangan ring pada jantung almarhum dengan
resiko kematian yang besar. Peristiwa ini pun berujung pada meninggalnya suami
Ibu Iing.
Masalah lain adalah penolakan pasien PBI oleh RS dengan alasan ketiadaan ruang
rawat inap kelas III. Dalam Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, manfaat
kelas ruang perawatan yang bisa didapat pasien PBI adalah ruang perawatan kelas
III.
Meski penolakan ini bisa disebabkan oleh karena kamarnya memang tidak ada.
Tetapi, bisa juga kamarnya sebenarnya ada, namun pihak RS berbohong, karena
enggan fasilitasnya dipakai oleh pasien PBI. Pihak RS memang sering berbohong
tentang ketersediaan ruang rawat inap bagi pasien BPJS Kesehatan. Karena itu,
ketika mengadvokasi pasien BPJS Kesehatan yang membutuhkan ruang rawat inap,
organiser SPRI biasanya memeriksa sendiri ke seluruh lantai RS apakah ada kamar
yang kosong atau tidak.
Kebohongan serupa juga ada saat pengambilan obat. Seringkali awalnya dikatakan
bahwa obat tertentu yang dibutuhkan tidak bisa diklaim. Namun, setelah ditekan,
baru diakui bahwa obat tersebut sebenarnya bisa diklaim. ”Tapi tetap obat dimainin
juga, ada suruh beli, karena tidak ditanggung katanya…. Saya langsung mengadu
ke Rio. Ternyata Rio telepon. Tidak lama, itu obat lancar. Tidak pakai beli, tidak
apa,” kata Ibu Iing. Petugas obat itu baru jujur kepada Ibu Iing, setelah mendapat
tekanan dari Rio Ayudhia, Sekretaris Wilayah SPRI DKI Jakarta.
Pertanyaannya, kenapa bisa muncul banyak masalah pelayanan buruk dalam BPJS
Kesehatan? Kenapa RS terlihat enggan fasilitasnya dipakai atau tidak serius dalam
menangani pasien BPJS Kesehatan? Banyak masalah pelayanan buruk ini berujung
pada sistem tarif BPJS Kesehatan dan logika akumulasi laba dari dunia fasilitas
kesehatan Indonesia. Yang dimaksud dengan sistem tarif di sini adalah sistem
pembayaran klaim fasilitas kesehatan oleh BPJS Kesehatan.
Metode ini menyatukan semua jasa yang dilakukan setiap harinya sehingga
pembayaran dilakukan secara lump sum untuk tiap hari rawat inap. Tidak adanya
insentif untuk melakukan prosedur yang mahal, namun ada insentif untuk
memperpanjang waktu tinggal di pusat layanan kesehatan atau Length of Stay
(LOS).