Anda di halaman 1dari 7

Kendala-Kendala Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah

Pendidikan karakter merupakan program baru yang diprioritaskan Kementrian


Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai program baru masih menghadapi banyak kendala.
Kendala-kendala tersebut adalah:
1. Nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah belum terjabarkan dalam
indikator yang representatif. Indikator yang tidak representatif dan baik
tersebut menyebabkan kesulitan dalam mengungukur ketercapaiannya.
2. Sekolah belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan visinya.
Jumlah nilai-nilai karakter demikian banyak, baik yang diberikan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun dari sumber-sumber lain.
Umumnya sekolah menghadapi kesulitan memilih nilai karakter mana yang
sesuai dengan visi sekolahnya. Hal itu berdampak pada gerakan membangun
karakter di sekolah menjadi kurang terarah dan fokus, sehingga tidak jelas
pula monitoring dan penilaiannya.
3. Pemahaman guru tentang konsep pendidikan karakter yang masih belum
menyeluruh. Jumlah guru di Indonesia yang lebih 2 juta merupakan sasaran
program yang sangat besar. Program pendidikan karakter belum dapat
disosialisaikan pada semua guru dengan baik sehingga mereka belum
memahaminya.
4. Guru belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan mata
pelajaran yang diampunya. Selain nilai-nilai karakter umum, dalam mata
pelajaran juga terdapat nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan guru
pengampu. Nilai-nilai karakter mata pelajaran tersebut belum dapat digali
dengan baik untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran.
5. Guru belum memiliki kompetensi yang memadai untuk mengintegrasikan
nilai-niai karakter pada mata pelajaran yang diampunya. Program sudah
dijalankan, sementara pelatihan masih sangat terbatas diikuti guru
menyebabkan keterbatasan mereka dalam mengintegrasikan nilai karakter
pada mata pelajaran yang diampunya.
6. Guru belum dapat menjadi teladan atas nilai-nilai karakter yang dipilihnya.
Permasalahan yang paling berat adalah peran guru untuk menjadi teladan
dalam mewujudkan nilai-nilai karakter secara khusus sesuai dengan nilai
karakter mata pelajaran dan nilai-nilai karakter umum di sekolah.
Ada banyak hambatan dalam implementasinya yang perlu didiskusikan
bersama.

Pertama, dari pihak keluarga. Ruang lingkup pendidikan karakter


pertama kali tentu harus ditanam melalui sebuah keluarga. Sebagai
sekolah pertama bagi seorang anak, keluarga yang diperankan utamanya
oleh kedua orang tua memiliki posisi sentral dalam mengintroduksi
seorang anak kepada pendidikan karakter.

Namun dalam praktiknya, hal ini tidak mudah dilakukan. Pendidikan


karakter erat hubungannya dengan nilai-nilai agama di tengah
masyarakat. Sedangkan tipologi masyarakat Indonesia dalam memahami
pendidikan karakter terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelompok bawah,
menengah, dan atas.

Kelompok bawah, mereka pada dasarnya tidak paham apa dan bagaimana
pendidikan karakter ini. Mereka pun tidak ambil pusing untuk
mengetahuinya. Ini terjadi karena kelompok bawah lebih mementingkan
roda ekonomi keluarga yang belum mapan sehingga pendidikan karakter
bagi anak mereka terlupakan. Dengan tipe keluarga seperti ini proses
pengenalan pendidikan karakter dalam internal keluarga tidak berjalan
sebagaimana mestinya.

Kedua, lingkungan. Jamak kita ketahui bahwa lingkungan berperan


besar dalam pembentukan karakter seorang anak. Betapapun bagusnya
sebuah keluarga dalam mengajarkan pendidikan karakter di rumah
namun jika lingkungan anak tersebut tidak mendukung, sudah pasti
proses ini akan gagal.

Indonesia sendiri adalah negara yang sedang berkembang. Berbagai


macam informasi masuk dan dikonsumsi masyarakatnya dari yang muda
hingga tua. Tentu ini bagus. Akan tetapi kemampuan menganalisa dan
menyaring informasi tersebut masih belum dimiliki pelajar kita.
Dalam hal ini, informasi yang telah dikonsumsi dengan tanpa adanya
kemampuan mengkritisi akan menjadi karakter bagi seorang anak yang
membentuk kepribadiannya. Pada tahun 2008 lalu seorang bocah
sekolah dasar meninggal setelah bermain smack down bersama
temannya. Perilaku ini dipengaruhi oleh tontonan serupa di salah satu TV
nasional kala itu.

Ketiga, kurikulum dan pendidik. Dalam praktiknya di lapangan,


pemerintah telah merevisi berkali-kali kurikulum nasional yang
menekankan akan pentingnya nilai-nilai karakter diterapkan dalam
pembelajaran. Beberapa di antaranya adalah kejujuran, religius, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, dsb. Langkah seperti ini masih
terlihat belum optimal mengingat toleransi khususnya kepada yang
berbeda keyakinan mulai menurun di kalangan pelajar sekolah menengah
(survey the Wahid Institute, 2016).

Keseriusan pelaksana pendidikan dalam hal ini guru masih belum


maksimal. Pembelajaran di kelas, seperti jamak kita rasakan, masih
menitik beratkan murid kepada kemampuan kognitif saja. Orientasi
pembelajaran masih banyak dipengaruhi oleh nilai rapor bukan
internalisasi karakter itu sendiri. Lebih parah lagi, dikotomi mata
pelajaran eksakta dan sosial-bahasa menambah keruh rekam jejak
pendidikan selama ini. Setiap sekolah lebih mementingkan rasa gengsi
mereka untuk meluluskan anak didiknya dalam memasuki PTN favorit.
Tentu ini hal yang baik namun tendensius melupakan tujuan utama
pendidikan, yaitu character building.

Pemerintah masih perlu bekerja keras membangun iklim pendidikan


yang ideal bagi penanaman karakter yang telah lama dicanangkan dalam
kurikulum sekolah selama ini. Seperti yang saya awali dalam pembuka
tulisan di atas bahwa implementasi pendidikan karakter di Indonesia
mungkin bisa, tapi sulit. Hal-hal yang masih belum selesai perlu terus
didiskusikan bersama agar tujuan pendidikan karakter bisa tercapai dan
kasus-kasus negatif dalam dunia pendidikan tidak lagi ada. (CNN)
TANTANGAN PEMBENTUKAN KARAKTER
Pembentukan karakter melalui jalur pendidikan di sekolah akan menghadapi
tentangan yang tidak ringan. Tantangan yang bersifat internal:

1. Orientasi pendidikan yang masih mengutamakan keberhasilan pada aspek kognitif


2. Praktik pendidikan yang masih banyak mengacu filsafat rasionalisme yang
memberikan peranan yang sangat penting kepada kemampuan akal budi (otak)
manusia
3. Kemampuan dan karakter guru yang belum mendukung
4. Budaya dan kultur sekolah yang kurang mendukung
5. Personal pendidikan maupun perangkat lunak pendidikan (mind set, kebijakan
pendidikan dan kurikulum).
6. Nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah belum terjabarkan dalam
indikator yang baik. Indikator yang tidak baik tersebut menyebabkan kesulitan dalam
mencapai nilai karakter yang baik sesuai yang diharapkan.
7. Sekolah belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan misinya.
Umumnya sekolah menghadapi kesulitan dalam memilih nilai-nilai karakter yang
cocok dan sesuai dengan visi sekolahnya. Hal ini berdampak pada gerakan
membangun karakter di sekolah menjadi kurang terarah dan fokus, sehingga tidak
jelas juga penilaian dan monitoringnya.
8. Pemahaman guru tentang konsep pendidikan karakter yang masih belum
menyeluruh. Program pendidikan karakter belum dapat disosialisasikan pada semua
guru dengan baik sehingga mereka belum dapat memahaminya.
9. Guru belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan mata pelajaran
yang diampu. Dalam mata pelajaran juga terdapat nilai-nilai karakter yang harus
dikembangkan oleh guru pengampu. Nilai-nilai karakter mata pelajaran belum dapat
dipelajari dengan baik untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran.
10. Guru belum memiliki kompetensi yang memadai untuk mengintregasikan nilai-nilai
karakter pada mata pelajaran yang diampunya. Program sudah berjalan, tetapi
pelatihan masih sangat terbatas yang diikuti guru sehingga berdampak kurang
maksimalnya penanaman nilai-nilai karakter pada mata pelajaran.
11. Guru belum dapat menjadi teladan atas nilai-nilai karakter yang dipilihnya. Peran
guru untuk menjadi teladan dalam mewujudkan nilai-nilai karakter secara khusus
sesuai dengan nilai karakter mata pelajaran dan nilai-nilai umum di sekolah belum
dapat dilaksanakan dengan baik.
Sedangkan tantangan yang bersifat eksternal:

1. Pengaruh globalisasi
2. Perkembangan sosial masyarakat
3. Perubahan lingkungan sosial secara global yang mengubah tata nilai, norma suatu
bangsa menjadi lebih terbuka
4. Pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah mengubah
tatanan sosial masyarakat.
Globalisasi sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
menyebabkan infprmasi mudah untuk didapatkan. Tetapi informasi yang
diperoleh tidak semua positif melainkan cenderung informasi yang negatif.
Kemudian dalam film-film Indonesia yang masih memperlihatkan kekerasan,
ketidaksopanan terhadap orangtua, artis-artis yang memakai baju yang tidak
layak pakai dapat dengan mudah diakses di televisi dan internet. Padahal
kedua media ini sering dimanfaatkan anak-anak dan remaja dalam mencari dan
mendapatkan informasi. Hasilnya, dalam kehidupan nyata sekarang ini banyak
tingkah laku anak-anak dibawah umur yang tidak pantas seperti memakai
pakaian yang mini-mini layaknya artis, pacaran usia dini, bahkan yang lebih
parahnya anak-anak sekarang ini berani membentak orangtuanya.

Anda mungkin juga menyukai