Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

KETERAMPILAN MENYIMAK

DISUSUN OLEH:
ERIN DWINTA AGUSTINA
A1A022074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
Judul : Legenda Batu Kuyung / Tim S.M.I.L.E editor, Maria
Pengarang : Maria ( editor )
Tim S.M.I.L.E ( pengarang)
Jenis isi : teks
Subjek : Legenda – Bengkulu
Abstrak :
Cerita rakyat di seluruh Indonesia ada bermacam-macam. Hal ini dikarenakan
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali warisan budayanya.
Umumnya masing-masing Cerita Rakyat tiap Propinsi di Indonesia menceritakan
suatu tempat dan asal muasal tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam cerita tersebut.
Oleh karena itu, penting sebagai generasi berikutnya untuk terus melestarikan
budaya yang ada di Indonesia melalui cerita rakyat. Seperti cerita rakyat dari
Provinsi Bengkulu (Legenda Batu Kuyung) yang turut memperkaya cerita rakyat di
Indonesia. Semoga dengan adanya buku cerita rakyat ini selain untuk melestarikan
budaya bangsa, dapat juga menumbuhkan minat baca dan alternatif hiburan
edukatif serta pesan moral dalam cerita rakyat ini dapat tersampaikan.
Bentuk Karya : Bukan fiksi
Penerbitan [ Sleman] : Kyta, 2020

Cerita Legenda Batu Kuyung

Cerita Legenda Batu Kuyung ~ Tajung meranti adalah sebuah dusun kecil. Letaknya
sangat jauh di pedalaman pedalaman. Dusun ini hanya memiliki sebuah jalan setapak yang
menghubungkannya dengan desa yang lebih banyak penduduknya. Di dusun ini hidup satu
keluarga petani yang sangat sederhana. Mereka memiliki dua orang anak, yang sulung,
laki-laki, bernama Dimun dan yang bungsu, perempuan bernama Meterei.
Sebagai petani dan pencari ikan, pagi-pagi benar mereka telah pergi ke sungai.
Sambil mandi, mereka melihat bubu yang dipasang kemarin sore. Setelah ikan di dalam
bubu diambil, umpan diganti dan bubu itu dipasang kembali.

Sementara ibu memasak makanan, ayah mempersiapkan peralatan yang akan dibawa
ke kebun, seperti cangkul, parang, sabit, tali untuk mengikat kayu besar, serta beronang
(sejenis keranjang yang dibawa dengan cara digendong di belakang dan talinya di kepala).
Suami istri sangat sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang memperhatikan pendidikan
anak-anak mereka. Akibatnya, anak-anak itu tumbuh dan berkembang dengan sendirinya
diasuh oleh alam sekitar. Budi pekerti mereka buruk, pekerjaan orang lain selalu mereka
cemooh. Pekerjaan mereka setiap hari hanya bermain dan minta makan. Kelakuan mereka
selalu mengecewakan orang tua. Orang tua mereka merasa gelisah dan khawatir tentang
masa depan mereka.
Bila pekerjaan di kebun sedang senggang ayah dan ibu mereka mencari bambu untuk
membuat kerajian anyaman seperti bubu, beronang, dan bakul untuk keperluan di rumah
atau dijual pada hari-hari pekan (pasar yang diselenggarakan kurang lebih 1 minggu sekali)
di desa untuk menambah uang belanja mereka.
Pada suatu hari sebelum hari pekan, mereka sangat sibuk mengerjakan apapun yang
akan dijual ke pasar sehingga lupa menyediakan makanan kedua untuk anak-anak mereka.
Dimun dan Meterei yang merasa lapar tidak mendapat pelayanan dari orang tua mereka
menjadi marah. Mereka merusak hasil pekerjaan ayah dan ibu mereka. Kata Dimun kepada
ayah dan ibunya, “Untuk apa bakul, bubu, dan beronang peot itu, tidak akan
mengenyangkan perut.”
Mereka marah di dalam hati melihat kenakalan kedua anak itu. Banyak hasil
pekerjaan mereka yang rusak harus diperbaiki lagi. Tentu membutuhkan waktu dan tenaga
untuk mengerjakannya. Jika tidak diperbaiki, barang dagangan itu tidak akan laku dijual
dipasar. Oleh karena itu, mereka pun mulai memperbaiki dengan hati yang sangat kesal
Sementara itu, perut Dimun dan Meterei semakin lapar. Mereka mulai merengek minta
makan kepada ibu mereka, “Bu, makan, kami lapar, dari pagi belum makan.” “Pergilah,
minta kepada ayah!” hardik ibu mereka. “Ayah, kami minta makan, lapar sekali, dari pagi
belum makan. “Pergilah, minta kepada ibumu!” bentak ayah mereka. Kedua anak itu
segera menemui ibu mereka. Mereka mendapat perlakuan seperti tadi lagi. “Mintalah
makan kepada ayahmu!” kata ibu mereka.
Ini berulang-ulang sampai anak-anak itu kesal dan merajuk. Lalu, mereka pergi ke
kebun di belakang rumah. Kebun itu tidak jauh, hanya dipisahkan dengan kandang ternak.
Di kebun itu ada sebuah batu yang mereka sebut Batu Kuyung. Batu itu kira-kira sebesar
badan sapi yang sedang duduk. Dimun dan Meterei setiap hari bermain di situ. Pada waktu
itu pun mereka naik Batu Kuyung seperti orang naik kuda sambil mendendangkan lagu
berikut ini.
Tinggi-tinggilah kau Batu Kuyung
Ibu dan Ayah
Tidak memberi kami makan
Dengan takdir Yang Maha Kuasa batu itu menjadi lebih tinggi. Dimun kembali
mendendangkan lagu tadi dan terjadi menyenangkan, batu meninggi lagi. Begitu
seterusnya sampai batu itu menjadi sangat tinggi seperti pohon kayu yang menjulang ke
langit. Orang tua mereka sudah selesai memperbaiki barang dagangan yang akan dijual.
Lalu, mereka kepada kedua anak mereka. Mereka memanggil, “Dimun, Meterei, di mana
kalian? Pulanglah, kita makan bersama!”
Akan tetapi, tidak ada jawaban. Keadaan di rumah itu tetap sunyi. “Bu, di mana
anak-anak kita? Mari kita cari.”
Suami istri itu keluar mencari Dimun dan Meterei ke sana kemari sambil berteriak-
teriak sekeliling rumah. Mereka terkejut ketika melihat Batu Kuyung menjulang tinggi
seperti pohon di belakang rumah.

Anda mungkin juga menyukai