Anda di halaman 1dari 2

Kurikulum 2013 yang saat ini diterapkan masih setengah hati.

Diakui atau tidak, banyak kebijakan


pemerintah tidak relevan dengan kondisi objektif pendidikan. Bahkan, pemerintah setiap kali ganti
pemimpin, maka gantilah semua kebijakan, termasuk sistem pendidikan, kurikulum, dan sebagainya.
Seolah-olah kebijakan termasuk kurikulum itu berjalan “setengah hati”.

Di lapangan, yang terjadi justru tergesa-gesa, bersifat reaktif ketimbang strategis, penyusunannya tidak
melibatkan guru sebagai pihak yang paling berkepentingan mendidik di sekolah dan mengenali situasi
dan kondisi daerah pengajarannya. Meski kabar terbaru dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan
Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud menyebutkan bahwa sampai saat ini kurikulum dan buku
teksnya belum siap cetak namun Kemendikbud belum menuntaskan polemik kurikulum 2013.

Setengah Hati
Kemendikbud beberapa waktu silam telah menyiapkan dan mendistribusikan seluruh buku pelajaran ke
sekolah-sekolah. Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dulu dikeluarkan masing-masing sekolah (atau guru)
otomatis dihentikan. LKS dalam beberapa kasus masa lalu menimbulkan keluhan para orang tua murid,
karena harga buku LKS terkadang malah lebih mahal ketimbang buku teks dari Kemendikbud.

Dengan Kurikulum 2013, peluang kerja sama dengan penerbit swasta diperketat dengan bahan
kurikulum seutuhnya dari Kemendikbud. Ini menghindarkan perbedaan isi dari mata pelajaran yang
sama, karena bukunya dikeluarkan penerbit yang berbeda. Pernah terjadi buku pelajaran dari penerbit
tertentu terpaksa ditarik, karena dinilai menyalahi kurikulum.
Artinya, kurikulum 2013 benar-benar terpusat. Ini boleh jadi akan memunculkan persoalan kelak di
berbagai daerah, khususnya daerah-daerah terpencil (terluar) atau tertinggal yang tingkat
pendidikannya jauh berbeda dengan kota-kota besar. Untuk mengakomodir inilah dilakukan uji publik,
guna mendapatkan masukan dari masyarakat. Namun uji publik di beberapa daerah beberapa waktu
lalu, kurang representatif mewakili ke-33 provinsi di Indonesia. Waktunya terlalu singkat bila kurikulum
sudah harus dilaksanakan pada 2013.
Begitulah sebagian tanggapan publik yang dapat kita temukan di media massa sampai hari ini,
menanggapi rencana Kemendikbud menggulirkan Kurikulum 2013 untuk SD, SMP, SMA dan SMK.
Kemendikbud mengganti kurikulum lama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang dinilai
kurang sempurna, dengan kurikulum yang lebih menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik,
melalui penilaian berbasis tes dan portofolio. Mata pelajaran menghafal akan dikurangi karena
kurikulum lebih berbasis sains.

Intinya, kata Mendikbud M Nuh, adalah menyederhanakan kurikulum ke dalam bentuk tematik-
integratif yang disiapkan untuk mencetak generasi siaga menghadapi tantangan masa depan. Titik
beratnya mendorong peserta didik lebih mampu dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan
mengomunikasikan (mempresentasikan) apa yang mereka peroleh atau ketahui setelah menerima
materi pembelajaran.

“Kurikulum 2013 juga menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya," kata Nuh. Dengan
pendekatan ini siswa memiliki kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih baik. Siswa juga
akan kreatif, inovatif, produktif, hingga nantinya sukses menghadapi berbagai persoalan dan tantangan
zamannya.
Tentu kita apresiasi proyeksi Mendikbud M Nuh, yang akan menyeimbangkan tercapainya kompetensi
sikap, keterampilan, dan pengetahuan itu dengan pembelajaran yang katanya holistis dan
menyenangkan. Namun, perubahan kurikulum tersebut tidaklah gratis. Wajar bila kita dengar suara
masyarakat yang mengharapkan perubahan kurikulum tidak sia-sia. Agar besaran anggaran
penyempurnaan kurikulum dan perbukuan yang sampai ratusan miliar rupiah berbanding lurus dengan
hasilnya.

Sebelum itu kita juga mendukung desakan sebagian kalangan, agar Kemendikbud melaporkan
evaluasinya atas kurikulum yang lalu kepada publik. Menyangkut semua hasil penelitian atas kurikulum,
sekolah rintisan, model kurikulum, dan bahan-bahan kebijakan yang dianggap tidak memadai untuk kini
dan masa datang.

Sebab dikhawatirkan, bila penyusunan kurikulum terbaru (2013) tidak berangkat dari kebutuhan dengan
penyempurnaan (atau: tanpa riset), maka hasilnya boleh jadi keliru atau prematur seperti beberapa
kurikulum masa lalu. Terkesan sekadar proyek: lain tim kerja menteri, lain pula produknya. Tanpa
mempertimbangkan dasar pijakan, yakni UUD 45 Pasal 31, bahwa: pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Relevan Zaman?
Apakah kurikulum tersebut sudah relevan dengan zaman? Pasalnya, para siswa yang mempelajari mata
pelajaran berdasarkan kurikulum baru harus berproses menjadi memahami mata pelajaran itu untuk
mengembangkan keterampilan yang relevan dengan zaman sekarang. Misalnya mampu berpikir kritis
dan merumuskan pertanyaan ataupun menyampaikan argumen secara runtun, tertata, dan meyakinkan
orang lain.

Peserta didik juga perlu mengembangkan sikap-sikap universal, seperti gigih, berpikir luwes, dan
menghargai hak orang lain untuk berbeda pendapat. Inilah jenjang kasmaran berilmu pengetahuan yang
harus direkacipta dalam kurikulum baru.

Pernyataan Wakil Presiden Boediono tentang Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika) yang akan masuk kurikulum mendatang tentu sangat tepat. Hanya saja,
permasalahannya kembali pada kurikulum yang diajarkan dan kurikulum yang dipelajari, bukan pada
kurikulum tertulis.

Memasukkan atau menuliskan Empat Pilar Kebangsaan dalam dokumen kurikulum itu mudah, tetapi
tidak akan serta-merta gagasan itu subur bermekaran di sanubari anak didik. Belajar matematika dan
sains jika dilaksanakan seperti pada kebanyakan persekolahan sekarang, mustahil akan sampai pada
tataran kasmaran berilmu pengetahuan.

Hampir mustahil pula dengan sistem persekolahan sekarang para siswa sanggup berkontemplasi dan
menghayati Empat Pilar Kebangsaan itu. Namun, hal itu bisa terlaksana dengan maksimal jika
pemerintah serius mengawalnya. Pemerintah harus menghentikan segala bentuk kebijakan yang
dilakukan dengan unsur “proyekisasi”.

Anda mungkin juga menyukai