Dampak Negatif Penataan Ruang dan Zonasi terhadap Kebijakan Perikanan
Berkelanjutan Proses perizinannya cukup panjang dan berbelit-belit sehingga tidak terpenuhi yang disebabkan karena adanya hambatan dalam birokrasi. Pradigma dunia dan misi dari perlindungan lingkungan mengakibatkan pada pengelolaan sumberdaya alam harus mengedepankan prinsip untuk kehati-hatian dan pencegahan yang didukung dengan adaanya perundang-undangan sehingga adanya konsekuensi yang diterima dan harus dipenuhi secara formal oleh pelaku usaha dalam mendapatkan izin. Setelah ditetapkannya Undang-undang Cipta Kerja, sehingga paradigma mengenai izin tidak lagi digunakan. Filosofi integrasi dalam rencana tata ruang dan mantra darat serta laut digabungkan sehingga dapat memudahkan dan mempercepat bagi dokumen hukum yang berkenaan dengan rencana tata ruang. Sebelumnya rencana mengenai tata ruang laut terpisah kemudian diintegrasikan pada satu dokumen dan adanya pergeseran dari konsepsi izin menuju konsepsi kesesuaian pada kegiatan pemanfaatan ruang dengan berdasarkan rencana tata ruang (Priyanta 2021). Pasal 18 angka 14 UU Cipta Kerja mengatur mengenai pemanfaatan laut yang ada kaitannya dengan kebijakan nasional dengan sifatnya yang strategis yakni pengembangan pada infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi, memberikan kewenangan pada Pemerintah Pusat agar dapat menerbitkan Perizinan Berusaha walaupun Rencana Tata Ruang yang belum ada sebagai kegiatan yang telah ditetapkan dalam kebijakan nasional strategis (Oktaryal 2020). Selain itu, terdapat juga pada pasal 18 angka 2 UU Cipta Kerja bahwa perencanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah ditetapkan dapat ditunjau kembali jika tidak sejalannya rencana tata ruang dan/atau zonasi dengan kebijakan nasional yang sifatnya strategis. Pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengenai penataan ruang telah dijelaskan terkait penyusunan tata ruang yang harus memperhatikan daya dukung serta daya tampung pada lingkungan hidup. Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang selanjutnya disebut sebagai UU Pengelolaan WP-3-K yaitu mengatur wilayah pesisir (Priyanta 2021). Undang-undang No. 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa penetapan terkait rencana zonasi perlu adanya pertimbangan daya dukung ekosistemnya. Apabila terjadi pengabaian esensi pada rencana tata ruang dan rencana zonasi maka dapat bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007. Terdapat dampak yang ditimbulkan apabila mengabaikan esensi terkait Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi agar kebijakan berstategis nasional dapat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat maupun pada ekosistemnya. Pada UU Cipta Kerja tidak terdapat penjelasan mengenai dokumen tata ruang yang dapat menggantikan fungsi dari dokumen-dokumen yang dihapus sehingga alternatif pengganti dalam mempertahankan fungsi dari dokumen-dokumen hanya dari rencana zonasi wilayah pengelolaan dan pulau-pulau kecil yang merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Pada Undang-Undang Penataan Ruang menjelaskan mengenai tata ruang yang tujuannya agar pengelolaan ruang dapat terlaksana dengan bijaksana sehingga keberlanjutan dapat terjaga untuk keadilan sosial yang sesuai dengan UUD 1945. Terdapat permasalahan dari ketentuan mengenai keterlibatan dari masyarakat pada saat penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional dan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu dan diatur masih sangat umum sehingga apabila hanya bersifat sebatas formalitas saja maka penyusunan dari rencana ini sebagai acuan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak dapat berpotensi untuk terjaminnya daya dukung ekosistem dan keadilan sosial terutama pada kelompok masyarakat yang marginal. Perizinan berusaha dan rencana tata ruang menjadi instrumen dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sehingga apabila dilakukan dengan integritasi dan berkesinambungan maka dapat menjadi perangkat dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan hal ini menjadi komitmen nasional dalam konstitusi. Apabila perizinan berusaha diberikan tanpa adanya rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi maka kegiatan yang dilakukan tidak akan berpotensi pada daya dukung dan daya tampung bagi lingkungan hidup. Hal ini dapat berpengaruh pada kelestarian masyarakat serta kehidupan di masyarakat dengan wilayah tertentu. Ditinjau dari segi pemanfaatan yang telah dilakukan, namun tidak ada pengaruhnya terhadap rencana tata ruang sehingga potensinya tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung dari lingkungan yang menimbulkan adanya ketidakseimbangan pada ekosistem sehingga berdampak di masyarakat yang terdapat pada wilayah tersebut (IOJI 2020). Terlihat bahwa ketentuan tidak memperhatikan dan malah mengabaikan esensi yang terdapat pada rencana tata ruang dan zonasi yang seharusnya pada ketentuan ini daya dukung ekosistem harus diperhatikan. Rencana pengelolaan yang berubah-ubah karena menyesuaikan pada kebijakan nasional sehingga menyebabkan adanya ketidakpastiak untuk pemanfaat lain misalnya masyarakat dan pelaku ekonomi yang lain serta menyebabkan iklim berusaha tidak dapat diperkirakan. Petimbangan daya dukung ekosistem berpotensi untuk dikesampingkan akibat pertimbangan untuk kelancaran pelaksanaan kebijakan strategis nasional dalam segi pengembangan infrastruktur, wilayah, serta ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). 2020. Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan. Oktaryal, A. 2020. Kertas Advokasi Kebijakan atas UU No. 11 Tahun 2020 tentenag Cipta Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan. PSHK: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Priyanta, M. 2021. Implikasi Konsep Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Berkelanjutan. Jurnal Wawasan Yuridika, 5 (1): 20 1–39.