0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
13 tayangan7 halaman
Virulensi pada ikan patin dan kuwe ditandai oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Beberapa patogen yang menginfeksi ikan patin dan kuwe memiliki virulensi tinggi seperti I. multifilis dan A. ocellatum
2. Penyakit pada ikan disebabkan interaksi antara kondisi ikan lemah, lingkungan tidak optimal, dan keberadaan patogen virulen
3. Gejala infeksi patogen virulen pada ikan patin dan kuwe antara lain
Virulensi pada ikan patin dan kuwe ditandai oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Beberapa patogen yang menginfeksi ikan patin dan kuwe memiliki virulensi tinggi seperti I. multifilis dan A. ocellatum
2. Penyakit pada ikan disebabkan interaksi antara kondisi ikan lemah, lingkungan tidak optimal, dan keberadaan patogen virulen
3. Gejala infeksi patogen virulen pada ikan patin dan kuwe antara lain
Virulensi pada ikan patin dan kuwe ditandai oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Beberapa patogen yang menginfeksi ikan patin dan kuwe memiliki virulensi tinggi seperti I. multifilis dan A. ocellatum
2. Penyakit pada ikan disebabkan interaksi antara kondisi ikan lemah, lingkungan tidak optimal, dan keberadaan patogen virulen
3. Gejala infeksi patogen virulen pada ikan patin dan kuwe antara lain
Virulensi (patogenisitas) menunjukkan tingkat keganasan patogen dan kemampuannya dalam
menimbulkan penyakit yang sifatnya relatif terhadap dosis dan waktu. Patogen ikan biasanya merupakan agen biologis yang terdiri atas cacing, protozoa, jamur, virus dan bakteri. Untuk itu harus diketahui sifat patogen, cara penyebaran, jalan masuk ke tubuh ikan (port entry) dan fasilitas budidaya, cara menghindari dan cara mengobatinya. Beberapa patogen bersifat obligat yang mempunyai virulensi tinggi seperti parasit protozoa penyebab penyakit bintik putih Ichtyopthirius multifilis.
Virulensi pada Ikan Patin
Secara umum, timbulnya penyakit pada ikan merupakan hasil interaksi yang kompleks antara 3 komponen dalam ekosistem budidaya yaitu inang (ikan) yang lemah akibat berbagai stressor, patogen yang virulen dan kualitas lingkungan yang kurang optimal. Gambar X mengilustrasikan bahwa penyakit (intersection area) merupakan kombinasi dari kondisi ikan sebagai inang yang lemah, lingkungan yang tidak optimal serta adanya patogen virulen di lingkungan budidaya tersebut (Sarjito 2013).
Gambar X. Penyakit sebagai interaksi yang ketidakseimbangan antara ketiga yaitu
lingkungan, inang dan patogen. Infeksi penyakit baik parasitik maupun bakterial sering terjadi pada usaha budidaya ikan patin siam. Beberapa penyakit yang banyak merugikan usaha pembenihan ikan tersebut antara lain adalah penyakit akibat infeksi lchthyophthirius multifiliis, monogenetic trematods (Komarudin 1998) dan penyakit akibat infeksi Aeromonas hydrophila (Supriyadi et al. 1998). Penyakit akibat infeksi lchthyophthirius sp. dapat menimbulkan kerugian berupa kematian ikan benih ikan yang mencapai 80%. Sedangkan infeksi bakteri pada ikan patin siam juga menjadi masalah yang sangat serius, karena selain dapat menimbulkan kerugian berupa kematian benih ikan, juga dapat menurunkan nilaiekonomis bagi ikan yang terkena infeksi penyakit tersebut. Ikan yang terserang Ichtyopthirius multifilis akan terbentuk bintik-bintik putih berdiameter antara 0,5 – 1 mm sehingga penyakit ini sering disebut white spot disease yang membentuk koloni (Kabata 1985). Trichodina sp. merupakan salah satu patogen yang dapat menyebabkan virulensi pada ikan patin, tetapi paling banyak menginfeksi pada fase benih. Gejala klinis ikan yang terinfeksi Trichodina sp. yaitu warna kulit menjadi lebih gelap, nafsu makan menurun, lendir berlebih, mengalami penurunan berat badan dan adanya degenerasi dan nekrosis pada jaringan epithel organ yang terinfeksi. Jumlah Trichodina sp. yang sedikit tidak berbahaya bagi kultivan, tetapi jika kualitas air menurun maka Trichodina sp. akan tumbuh dengan cepat dan mengakibatkan kerusakan yang serius pada ikan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Sarjito 2013). Patogen yang mempunyai virulensi tinggi yang ditemukan menginfeksi kulit ikan patin adalah Gyrodactylus sp. Ikan yang terserang menunjukkan kulit pucat, epithelium mengalami hyperplasia. Lender berlebihan, membentuk lapisan putih abu-abu, luka, bagian yang rusak menjadi gelap yang parah, kulit terkelupas (Austin 2007). Salah satu bakteri yang sering menginfeksi ikan adalah bakteri A. hydrophilla. Ikan patin merupakan ikan yang tubuhnya tidak ditutupi oleh sisik dan hanya diselaputi oleh lendir. Hal tersebut mengakibatkan ikan patin mudah terluka dan terserang penyakit bakteri. Bakteri A. hydrophila merupakan salah satu patogen yang sering menyerang ikan air tawar serta menginfeksi pada semua fase kehidupan ikan (Sukenda et al. 2008). Gejala klinis yang ditunjukkan ikan patin setelah diinfeksi bakteri A. hydrophila adalah hemoragi (pendarahan), sirip lepas, luka (ulcer), pembengkakan perut (abdominal dropsy), dan mata menonjol (exophthalmia). Menurut penelitian Anggraini et al. (2017) turunnya nilai hematokrit pada ikan patin menunjukkan bahwa ikan patin sudah terinfeksi A. hydrophila. Menurut Sukenda et al. (2008) terjadinya penurunan nilai hematokrit pasca penyuntikan bakteri disebabkan karena infeksi bakteri A. hydrophila yang mampu melisis sel-sel darah merah pada tubuh ikan. Menurut Wahjuningrum et al. (2007) bahwa pada saat terjadinya luka pada tubuh ikan akan menyebabkan penurunan kadar hematokrit, rendahnya kandungan hematokrit menunjukkan bahwa kondisi ikan tersebut mengalami anemia. Menurut Setiaji (2009), senyawa antimikroba akan menghambat kerja enzim bakteri sehingga mengganggu reaksi biokimiawi dan mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel bakteri dan adanya penghambatan pembentukan enzim berupa toksin ekstraseluler yang merupakan faktor virulensi bakteri A. hydrophila. Efek yang terjadi virulensi tergantung pada interaksi antara patogen dengan sistem kekebalan yang terdapat pada inang (Desrina et al. 2006). Edwardsiella ictaluri juga merupakan isolat lokal bersifat sangat patogen pada ikan patin (Pangasionodon hypophthalmus). Menurut Williams dan Lawrence (2005) dalam penelitiannya melaporkan bahwa E. ictaluri dapat menghasilkan hemolisin dengan tipe β-hemolysis yang merupakan salah satu faktor virulensi bakteri tersebut. Hemolisin merupakan enzim ekstraseluler yang bersifat toksik, sehingga diduga enzim ini ikut berperan dalam kerusakan sel hati ikan patin setelah terinfeksi E. ictaluri. E. ictaluri bersifat septicemia yang merusak pembuluh darah sehingga terjadi pendarahan. Booth et al. (2006) menyatakan bahwa ikan akan mengalami bakteremia 24 jam setelah terinfeksi E. ictaluri. Lesio pada otak juga menandakan adanya infeksi E. ictaluri seperti yang dilaporkan Koswara (2009), ensefalitis merupakan salah satu lesio spesifik dari infeksi E. ictaluri. Kerusakan jaringan pada otak ini mengakibatkan terganggunya kontrol pergerakan dan keseimbangan ikan dalam berenang, sehingga terjadi perubahan perilaku gerakan renang ikan menjadi tidak normal (gerak renang vertikal). Selain gejala klinis dan patologi anatomi, parameter darah juga dapat menjadi indikator untuk melihat adanya perubahan kesehatan pada ikan. Hematokrit digunakan untuk melihat kondisi fisiologis dan indikator stres pada ikan. Penurunan nilai hematokrit dan hemoglobin pada ikan patin mengindikasikan bahwa ikan mengalami stres dan anemia akibat infeksi E. ictaluri. E. ictaluri menghasilkan toksin berupa hemolisin yang dapat menghancurkan sel darah merah (eritrosit), karena eritrosit lisis menyebabkan penurunan nilai hemoglobin. Antara nilai hematokrit dan jumlah hemoglobin darah mempunyai keterkaitan, semakin rendah jumlah sel darah merah akan semakin rendah pula kandungan hemoglobin dalam darah. Sesuai dengan hasil penelitian Shoemaker et al. (2012) bahwa ikan yang terinfeksi E. ictaluri akan mengalami anemia. E. ictaluri bersifat sangat patogen terhadap ikan patin karena infeksi kepadatan yang rendah telah menyebabkan tingginya mortalitas dan ikan patin P. hypophthalmus merupakan salah satu inang definitif bagi bakteri E. ictaluri (Susanti et al. 2016).
4.2 Virulensi pada Ikan Kuwe
Terdapat banyak kendala yang ditemukan pada usaha budidaya ikan di Indonesia, diantaranya masih tingginya angka kematian pada ikan. Diantara penyebab kematian tersebut adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit. Penyakit infeksi parasit yang telah dilaporkan di Indonesia salah satunya adalah investasi parasit insang Amyloodinium ocellatum pada calon induk ikan kuwe. Penyakit akibat investasi parasit merupakan penyakit yang sering dijumpai pada kegiatan budidaya ikan laut. Penyakit infeksi ini diantaranya disebabkan oleh parasit monegenean capsalid yang merupakan salah satu pathogen yang paling penting dan memiliki pengaruh yang serius terhadap akuakultur (Johnny et al. 2008). Oodnioosis merupakan kasus serangan yang dijumpai adalah dari jenis Amyloodinium ocellatum dari golongan dinoflagellata yang menyerang insang pada calon induk ikan kuwe. Tanda-tanda ikan yang terserang ikan akan berubah warna menjadi kehitaman dan terlihat gelisah. Bila induk ditangkap terlihat banyak lendir dan banyak bercak putih pada insang. Serangan oodnioosis biasanya diikuti serangan sekunder berupa bakteri sehingga insang busuk dan sering berakibat terjadinya kematian massal. Cara penanggulangannya yaitu dengan perendaman dengan 1,25 ppm larutan cupper sulfate selama 24 jam dilanjutkan dengan pemindahan ikan ke bak baru selama 7-10 hari berturut-turut (Slamet et al. 2008) Penyakit ini sangat menular dari satu ikan ke ikan lainnya, distribusinya luas, tidak membedakan inang yang spesifik, baik jenis maupun tingkat pertumbuhan, dan tingkat virulensi yang tinggi. Serangan penyakit ini dapat berlangsung dalam waktu yang cepat dan biasanya menyebabkan tingkat kematian yang tinggi terutama pada pemeliharaan ikan secara intensif, bahkan bila terlambat ditangani dapat menyebabkan kematian yang tinggi (Koesharyani et al. 2001). Microcotyle sp. juga merupakan salah satu parasit dari kelas Monogenea yang ditemukan pada KJA di desa Poka yang menginfeksi ikan kuwe dan memiliki tingkat prevalensi tertinggi 85%, jenis parasit ini dikenal sebagai pemakan darah dan insang merupakan habitat mikro yang dapat menyediakan kebutuhan tersebut. Kehadiran Monogenea dalam jumlah besar pada insang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan yang menimbulkan anemia yang termasuk merupakan gejala umum parasitisme (Noble dan Noble 1989). Ektoparasit Microcotyle sp memiliki tingkat penyerangan tertinggi pada organ insang, namun tingkat keganasan ektoparasit Microcotyle sp. tidak terlalu tinggi dibandingkan parasit pada jenis Haliotrema. Penyakit pada ikan dapat ditanggulangi dengan berbagai cara, antara lain dengan perbaikan lingkungan karena penyakit biasanya berkembang apabila lingkungan buruk sehingga ikan menjadi stress. Selain itu, perbaikan nutrisi juga memegang peran penting dalam meningkatkan ketahanan ikan terhadap penyakit. Imunostimulan juga dilaporkan efektif meningkatkan kekebalan non-spesifik ikan terhadap penyakit (Johnny et al. 2001). Vaksin diyakini dapat memberikan kekebalan fisik pada ikan terhadap penyakit tertentu. Beberapa penelitian pendahuluan skala laboratorium telah membuktikan bahwa ikan kuwe memeberikan respons positif terhadap vaksin inaktif anti VNN (Roza et al. 2004).
Daftar Pustaka
Anggraini S. P., A. D. Sasanti dan M. Wijayanti. 2017. Pencegahan Infeksi Aeromonas
hydrophila pada Ikan Patin (Pangasius sp.) Menggunakan Tepung Paci-Paci (Leucas Lavandulaefolia) dengan Dosis yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. Fakultas Pertanian UNSRI, Palembang. 5(1) :109-119. Austin B., DA Austin. 2007. Bacterial Fish Pathogens. Fourth Edition. New York: Praxis Publishing Ltd. pp 552. Booth NJ, Elkamel A, Thune RI. 2006. Intracellular Replication of Edwardsiella ictaluri in Channel Catfish Macrophages. Journal of Aquatic Health 18: 101–108. Desrina, A. Taslihan, Ambariyanto, dan S. Suryaningrum. 2006. Uji Keganasan Bakteri Vibrio pada Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus). Il. Kel., 11(3): 119-125. Johnny, F., I. Koesharyani, D. Roza, N.A. Giri Tridjoko dan K. Suwirya. 2001. Respon Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis terhadap Imunostimulan Peptidoglycan Melalui Pakan Pelet. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 7(4):52-56. Johnny, F., D. Roza dan Zafran. 2008. Aplikasi dan Efektivitas Vaksin Anti Parasit pada Pembenihan Ikan Kerapu Pasir (Epinephelus corallicola) di Hatcheri. J.Ris. Akuakultur. 2(3): 233-240. Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency. Komarudin, O. 1998. Preliminary Observation on The Infection of The Gill of Cultivated Pangasius hypophthalmus by Monogenea. In Marc Legendre and A. Pariselle (eds.) The Biological Diversity and Aqua-Culture of Clariid and Pangasid Catfishes in South East Asia. Proceedings of the Mid-term Workshop of the “Catfish Asia Project". Cantho, Vietnam 11-15 May 1998. p.217--218. Koswara AD. 2009. Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella ictaluri pada Ikan Lele Clarias sp. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Noble, E., R dan G., A Noble, 1989. Parasitologi (Biologi Parasit Hewan) Gadjah Mada University Press. Roza, D., F. Johnny dan Tridjoko. 2004. Peningkatan Imunitas Yuwana Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan Cara Vaksinasi melalui Perendaman. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 10 No.1 Tahun 2004. Hal. 61-70. Sarjito, S.B. Prayitno dan A.H.C. Haditomo., 2013. Buku Pengantar Parasit dan Penyakit Ikan. Semarang: UPT Undip Press. Setiaji A. 2009. Efektivitas Ekstrak Daun Pepaya Carica papaya L untuk Pencegahan dan Pengobatan Ikan Lele Dumbo Clarias sp. yang Diinfeksi Bakteri A. hydrophila. Skripsi (tidak dipublikasikan). Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 57 hlm. Shoemaker CA, Martins ML, Xu D, Klesius PH. 2012. Effect of Ichthyophthirius multifiliis Parasitism on the Survival, Hematology and Bacterial Load in Channel Catfish Previously Exposed to Edwardsiella ictaluri. Parasitology Research. 111: 2.223–2.228. Slamet, B., Tridjoko, Agus, P.T., Setiadharma, N.A., Giri, Surwiya, K. 2008. Inventarisasi dan Pengendalian Penyakit Parasit pada Induk Ikan Laut di Bak Pemeliharaan. Jurnal Perikanan. 10(2): 276-281. Sukenda L., Jamal., Wahjuningrum D. dan Hasan A. 2008. Penggunaan Kitosan untuk Pencegahan Infeksi Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.). Jurnal Akuakultur Indonesia. 7(2):159- 169. Supriyadi, H., O. Komarudin, and J. Slembrouck. 1998. Preliminary Study of The Source of Aeromonas hydrophila Infection on Pangasius hypophthalmus Larvae. ln Marc Legendre and A. Pariselle (eds.) The Biological Diversity and Aquaculture of Clariid and Pangasid Catfishes in South East Asia. Proceedings of The Mid-Term Workshop of The "Catfish Asia Project". Cantho, Vietnam 1115 May 1998. p. 219-- 222. Susanti W., A. Indrawati dan F.H. Pasaribu. 2016. Kajian Patogenisitas Bakteri Edwardsiella ictaluri pada Ikan Patin Pangasionodon hypophthalmus. Jurnal Akuakultur Indonesia. Kalimantan Selatan: Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kementerian Kelautan dan Perikanan. 15(2): 99–107. Wahjuningrum D, Angka SL, Lesmanawati W, Sa’diyah, dan Yuhana M. 2007. Prospek Buah Mahkota Dewa Phaleria macrocarpa Untuk Pencegahan Penyakit Motile Aeromonas Septicemia pada Ikan Patin Pangasianodon hypophthalmus. J. Akuakultur Indonesia. 6(1):109- 117. Williams ML, Lawrence ML. 2005. Identification and Characterization of a Two-Component Hemolysin from Edwardsiella ictaluri. Veterinary Microbiology. 108: 281–289.