Anda di halaman 1dari 19

Pembentukan Karakter Melalui Penderitaan Berdasar Perspektif Kitab Ayub Dan

Aplikasinya Bagi Pemimpin Kristen Masa Kini


(Kalis Stevanus,M.Th)1

Abstraksi
Kepemimpinan Kristen adalah suatu proses terencana yang dinamis dalam konteks
pelayanan pekerjaan Allah yang di dalamnya ada intervensi Allah, Ia memanggil bagi diri-
Nya seorang pemimpin untuk memimpin umat-Nya guna mencapai tujuan-Nya bagi dan
melalui umat-Nya. Di dalam proses mencapai tujuan Allah di dalam kepemimpinannya
tersebut dibutuhkan karakter yang baik sebab karakter yang baik merupakan dasar utama dan
merupakan kunci kesuksesan bagi seorang pemimpin. Secara khusus bagi Pemimpin Kristen,
memiliki karakter yang baik merupakan suatu kemutlakan atau harga mati. Pemimpin
Kristen dituntut tidak hanya pandai secara intelektual, cakap atau terampil, namun juga
memiliki karakter yang unggul, spiritual yang teruji dan kokoh serta dituntut mengikuti jejak
atau meneladani gaya kepemimpinan Tuhan Yesus yang selalu mengedepankan kerendahan
hati, kasih yang tulus (murah hati), kebenaran dan keadilan (Mat.5-7) sehingga bisa menjadi
teladan bagi umat Allah serta menjadi garam dan terang bagi dunia. Berbeda dengan
kepemimpinan dari para ahli Taurat yang ditegur keras oleh Tuhan Yesus karena mereka
tidak menjadi berkat (baca: memiliki karakter baik). Mereka hanya mengajar tetapi tidak
mengimplementasikan pengajarannya di dalam praktik hidup sehari-hari. Tuhan Yesus
berkata kepada para murid-Nya mengenai para ahli Taurat demikian: ” ... janganlah kamu
turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak
melakukannya” (Mat.23:3b). Pemimpin semacam itu, jelas tidak pantas dicontoh.
Untuk memiliki karakter baik, itu tidak terjadi dengan sendirinya. Ada dua pihak yang
terlibat aktif di dalamnya, baik dari pihak Tuhan yang membentuk melalui peristiwa atau
kejadian hidup sehari-hari dan juga pihak manusia yang dibentuk dituntut sebuah respon yang
benar. Selain itu, terbentuknya karakter tidak terjadi begitu saja melainkan ada sarana yang
dipakai untuk membentuknya. Salah satu sarana yang dipakai Tuhan untuk membentuk
karakter seseorang adalah melalui penderitaan. Terkadang Tuhan bisa membawa seseorang
ke dalam keadaan yang tidak menyenangkan (baca: penderitaan).
Melalui tulisan singkat ini, kita akan belajar dari salah satu tokoh Alkitab yang cukup
menonjol yaitu Ayub. Bagaimana Tuhan membentuknya dan bagaimana respons Ayub
terhadap proses pembentukan dirinya melalui keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan
(baca: penderitaan) tersebut. Melalui hasil eksegesa kitab Ayub ini, diharapkan memiliki
implementasi bagi kehidupan pemimpin Kristen masa kini agar memiliki respons yang benar
terhadap proses pembentukan Tuhan melalui keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan
sehingga menghasilkan sikap hidup dan karakter mulia serta iman yang kokoh dibangun atas
dasar pengenalan pribadinya dengan Allah—pengalaman hidup yang konkrit (experience).
Itulah karakter yang sejati yang terukir secara permanen di dalam jiwa. Karakter baik
tidak bisa dibuat-buat melainkan dihasilkan melalui berbagai pengalaman hidup sehari-hari,
salah satunya melalui penderitaan seperti yang dialami oleh Ayub.

Kata Kunci: Pembentukan Karakter, Penderitaan, Kitab Ayub, Aplikasi,


Pemimpin Kristen, Masa Kini
1
Kalis Stevanus, M.Th adalah pengampu matakuliah Teologi Sistematika.

1
Pendahuluan
Setiap pemimpin memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Banyak orang
berpikir bahwa kesuksesan didasarkan pada tingginya jenjang pendidikan yang diraih atau
modal yang besar. Namun, faktanya menunjukkan lain. Banyak di antara mereka yang
jenjang pendidikannya tinggi, modalnya besar, atau memiliki fasilitas yang memadai, namun
gagal mencapai peran kepemimpinannya sesuai firman Tuhan. Berikutnya pernyataan Dr.
Rick Warren yang dikutip oleh Dr. Willy Susilo sebagai berikut:
“Penyebab utama kegagalan seorang pemimpin bukan karena nasib atau minimnya
kecerdasan intelektual, melainkan persoalan karakter. Kehilangan karakter hidup yang
unggul. Tanpa karakter yang unggul maka seseorang tidak bisa menjadi pemimpin
sukses yang seutuhnya dan memancarkan kemuliaan-Nya”.2
Hal serupa dinyatakan oleh Pudjiarto Boestam bahwa kepemimpinan yang sukses
merupakan sesuatu yang diimpikan oleh banyak pemimpin. Kesuksesan dalam
kepemimpinan akan sangat berpengaruh bagi kehidupan banyak orang yang ada di bawah
sebuah kepemimpinan. Faktanya, seorang pemimpin tidak cukup sekedar memiliki
kecakapan memimpin tanpa perpaduan atau memiliki karakter yang kuat dan saleh maka
tidak bisa dikatakan pemimpin yang sukses.3
Demikian juga halnya dengan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia ini
adalah bukan kekurangan sumber daya manusia yang cerdas, bukan rusaknya infrastruktur,
tidak adanya akses atau kurangnya faktor eksternal yang mendukung. Namun, ada sumber
permasalahan yang tidak boleh dianggap enteng, yaitu rendahnya kualitas sumber daya
manusia. Sebab kualitas manusialah yang menentukan nilai produksi yang dihasilkan.
Manusia yang berkualitas rendah akan menghasilkan nilai produksi yang rendah juga.
Kualitas sumber daya itu tidak lain adalah “karakter”—bukan status sosial tinggi, pendidikan
tinggi, jabatan tinggi dan sebagainya. Bobroknya karakter menghasilkan orang-orang yang
penuh kepalsuan, mengejar kekuasaan dan uang dengan segala cara tanpa
mempertimbangkan etika kehidupan, kebenaran dan keadilan.4
Karakter yang baik itu adalah integritas dan itu merupakan salah satu kunci
keberhasilan bagi seorang pemimpin. Karisma dapat menghantar seseorang mencapai
puncak, tetapi hanya karakter yang dapat membuat seseorang bertahan di puncak. 5 Maka dari
itu setiap pemimpin yang ingin berhasil harus memiliki karakter yang baik di dalam dirinya.
Dr. John Maxwell mengatakan dengan tegas bahwa hanya melalui karakter yang baik,
pemimpin akan terbina kepercayaannya, pemimpin akan memiliki pengaruh tinggi, pemimpin
akan memiliki standar tinggi, dan akhirnya pemimpin akan memiliki reputasi yang kuat, baik
di hadapan Allah maupun di depan orang-orang yang dipimpinnya. 6 Jika kesemuanya itu ada
di dalam diri para Pemimpin bangsa ini (terutama Pemimpin Kristen), maka dapat dipastikan
bahwa kepemimpinannya akan berhasil dan berkenan kepada Allah.
I. Pemimpin Kristen
A. Identifikasi Isu Kepemimpinan Masa Kini
Fakta menunjukkan bahwa manusia yang cerdas secara intelektual (akademis)
tidak menjamin dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat juga tidak dapat diobati dengan

2
Willy Susilo, Membangun Karakter Unggul (Yogyakarta : Andi, 2013), hlm. Xii
3
Pudjiarto Boestam, Smart Christian Leadership (Yogyakarta : Andi, 2009), hlm. 1
4
Yosua L. Hadiputra, Kualitas Orang Sukses (Yogyakarta : Andi, 2008), hlm ix
5
Jakoep Ezra, Success Through Character (Yogyakarta : Andi, 2006), hlm. 1
6
John C. Maxwell, Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda, (Jakarta : Binarupa Aksara, 1995),
hlm. 41

2
perkembangan intelektual manusia—kendati pun peran intelektual tidak dapat
diabaikan begitu saja. Berbagai kejahatan tersebut merupakan bukti tentang
dekadensi atau merosotnya karakter/moral masyarakat. Terjadi kerapuhan nilai-nilai
religius baik secara individual, di dalam keluarga maupun masyarakat yang menjadi
faktor utama penyebab buruknya karakter para pemimpin masa kini.
Melihat kondisi seperti di atas bahwa jalan keluarnya adalah diperlukan sosok
pemimpin yang mampu menjadi contoh—figur bapa di dalam hal perilaku dan sikap
serta imannya yang teguh,” Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah
menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan
contohlah iman mereka” (Ibr.13:7).
Isu-isu mengenai karakter merupakan tantangan di dalam kepemimpinan baik
di dalam kepemimpinan sekular maupun kepemimpinan Kristiani. Betapa
pentingnya memiliki karakter yang baik bagi seorang pemimpin apalagi Pemimpin
Kristen. Dengan demikian, kebutuhan akan sosok pemimpin yang berkarakter baik
adalah sesuatu yang sangat urgen sekali di masa sekarang.

B. Pembentukan Karakter melalui Penderitaan


Pembentukan karakter sangat diperlukan bagi setiap orang Kristen, terlebih
lagi pemimpin Kristen. Karakter akan sangat memengaruhi keputusan etis di
dalam kehidupan bermasyarakat. Ken Legg mengatakan bahwa pentingnya
pembentukan karakter adalah untuk memberikan dasar kehidupan yang kuat. 7 Dan
Pembentukan karakter dapat terjadi salah satunya adalah melalui
penderitaan. Penderitaan dapat menjadi sarana efektif untuk menuju kepada
kedewasaan baik secara mental dan spiritual. Kehidupan yang dewasa salah satunya
ditandai dengan tahan uji. Tahan uji ini sarananya adalah melalui tantangan yang
dihadapi. Contohnya adalah penderitaan yang dialami oleh Ayub seorang yang
benar, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Respons seseorang terhadap
tantangan menghasilkan tahan uji dan ketekunan. Modal inilah yang menjadikan
seseorang menjadi dewasa.
Benar, apa yang dikatakan oleh Fengky bahwa masalah adalah “berkat” yang
dapat menjadi sarana seseorang menjadi dewasa.8 Selanjutnya Pudjiarto Boestam
mengatakan bahwa pembentukan karakter melalui penderitaan membentuk
kesabaran. Tuhan memakai kesengsaraan, penderitaan, dan tekanan hidup untuk
membentuk kesabaran dan ketekunan. Ini adalah suatu bentuk karakter teruji
(Rm.5:3-4).9
Contoh kasus Ayub ini, barulah satu dari sekian banyak kasus yang Tuhan
izinkan terjadi dalam kehidupan kita. Dari kasus yang mudah ditanggulangi sampai
kasus berat yang nyaris kita tidak mampu menanganinya, Tuhan hadirkan dalam
hidup kita. Tentu saja Tuhan memiliki semacam “kurikulum” untuk setiap individu
dalam proses pembentukannya (baca: karakter ilahi). Di dalam dan melalui segala
peristiwa, Allah melalui Roh-Nya berjuang mengubah dan menuntun kita menuju
keserupaan dengan Kristus.
Pembentukan karakter melalui penderitaan kita dapat belajar dari kehidupan
Ayub. Bagaimana respons Ayub? Respons terhadap penderitaan itu sangat
memengaruhi hasil dari pembentukan karakter itu. Jelas Tuhan serius mau
mengubah (karakter) kita, kita pun harus bersedia untuk diubah. Kesediaan kita
diubah Tuhan sangat menentukan apakah kita bisa berubah atau tidak. Tuhan tidak
7
Ken Legg, Inilah Kehidupan Itu (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2011), hlm. 1
8
Fengky M., Masalah Adalah Berkat ( Jakarta: IGM, 2005), hlm. 2
9
Pudjiarto Boestam, Ibid. hlm. 10

3
mengubah orang yang tidak bersedia diubah. Jadi, respons menjadi sangat
penting jika kita menginginkan karakter yang baik itu terbentuk. Kisah Ayub ini
seharusnya menjadi contoh bagi Pemimpin Kristen masa kini untuk belajar
berespons benar dalam setiap tantangan yang dialaminya sehingga menghasilkan
karakter ilahi.

II. Literary-Historikal dan Biblika-Teologikal Konteks


A. Latar belakang
Perlu diketahui bahwa mengenai waktu penulisan kitab Ayub baik para rabi
dahulu maupun para ahli modern belum sepakat. W.S Lasor, D.A Hubbard dan F.W
Bush mengatakan: namun yang paling mungkin ialah kisah prosa ini benar-benar
kuno dan diturunkan oleh tradisi sejak kejadiannya (sebelum tahun 1000 sM). Pada
umumnya para ahli menganggap bagian-bagian puisi kitab Ayub (3:1-42:6) berasal
dari waktu yang lebih kemudian. Kemiripan kitab ini dengan kitab Yeremia (band.
Ayub 3:3-26 dengan Yer.20:14-18), dengan paroan akhir kitab Yesaya (terutama
nyanyian hamba Tuhan yang menderita Yes.52:13-53:12) dengan Mazmur 8 (band.
Ayub.7:17-18 dengan Mzm.8:22,25) semuanya menunjuk pada abad ke-7 sM atau
sesudahnya. Agaknya masuk akal bahwa kitab Ayub diselesaikan antara tahun 700
dan 600 sM.10 Menurut John Balchin bahwa rupanya Ayub adalah orang terkenal
(Yeh.14:14,20), namun oleh karena tidak ada acuan terhadap sejarah orang Israel,
Ayub mungkin hidup jauh sebelum umat Allah bermukim di Kanaan. Minat
terhadap hikmat Allah sudah ada sejak zaman Salomo, dan kitab ini mungkin ditulis
pada zaman pemerintahan Salomo.11
Tidak ada masalah dengan kedua pandangan tersebut, kendatipun harus diakui
bahwa buktinya tidak cukup. Kita pun tidak tahu kapan kitab Ayub ini ditulis.
Memastikan latar belakang sejarah tidaklah mungkin selain tidak relevan, adalah
perlu untuk mengetahui peristiwa tersebut adalah berdasarkan pengalaman dari
orang yang benar-benar faktual, bukan mitos. Sungguh terjadi (sejarah) seperti
dinyatakan oleh Firman Allah melalui Yehezkiel 14:14-20 menyatakan empat kali
bahwa cerita Ayub adalah benar. Dan Yakobus 5:10-11 juga menyatakan bahwa
penderitaan dan ketekunan Ayub itu sungguh terjadi.

B. Deskripsi Kitab Ayub


Ada pun yang melatarbelakangi seluruh rangkaian kisah Ayub secara umum
adalah kesadaran akan Allah. Gambaran itu dimunculkan dalam Ayub 1:12
mengenai divine assembly menunjukkan paradigma orang pada masa itu mengenai
Allah. Bagian kisah ini menggambarkan Allah sebagai pemimpin sidang Ilahi, dan
menerangkan penderitaan Ayub dengan referensi pada tuduhan yang dijatuhkan atas
Ayub oleh si pendakwa (iblis). Tuduhannya ialah bahwa Ayub saleh hanya karena
ia tahu bahwa kesalehan itu berpahala.12 Ucapan istri Ayub dan teman-temannya
juga menegaskan adanya konsep teologi yang dibangun atas dasar kesadaran
mereka tentang Allah sesuai konteks waktu itu. Kesalehan diberi pahala dengan
kemakmuran dan kebahagiaan sedangkan kefasikan diberi penghukuman. Paham ini
disebut retribusi. 13
10
Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2011), hlm.109
11
John Balchin, dkk, Intisari Alkitab Perjanjian Lama (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2008), hlm.119
12
John Drane, Memahami Perjanjian Lama 1 (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009), hlm.88
13
Retribusi adalah sebuah pemahaman bahwa Allah itu adil akan mengganjar seseorang sesuai perbuatannya,
yakni memberkati orang benar dan menghukum orang fasik; siapa yang taat kepada-Nya akan diberkati dan
siapa yang tidak taat akan dihukum atau tidak akan diberkati. Retribusi ini dalam arti sempit sama dengan
sebagai balas jasa atau “ganti rugi”.

4
Kitab Ayub merupakan salah satu kanon Ibrani yang unik karena kisahnya
yang sangat ekstrim dan tidak diketahui siapa penulisnya. Sekalipun demikian,
kitab ini diakui sebagai sebuah karya sastra bernilai tinggi yang menceritakan
bagaimana kesadaran manusia akan karya Allah di dalam dunia, khususnya
menghadapi persoalan hidup. Oleh kaum Ibrani kitab Ayub dipercaya sebagai
sebuah hagiographa.14 Kemiripan kisah Ayub dengan folk tale (cerita rakyat) yang
ada di dalam budaya Semit memberikan legitimasi bahwa kitab Ayub bukan
dongeng melainkan kisah nyata seorang manusia yang saleh dan benar (Ayub 1:1)
tetapi mengalami penderitaan karena imannya kepada Allah (baca: takut akan
Allah). Kisah Ayub adalah pengalaman seseorang yang benar-benar hidup pada
zaman kuno, walaupun mungkin sekali cerita penderitaannya dikarang dalam
bentuk yang kita kenal sekarang oleh penyair kemudian hari.15
Dalam kitab Ayub ini, tokoh utamanya adalah Ayub yang diperkenalkan
sebagai orang kaya, saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan
(pasal 1:1). Namun ia mengalami penderitaan. Arti nama Ayub‫‘( ִאּיֹ֣וב‬Iyyob), “Di
manakah Bapa-(ku)?.16 Kata Ayub berasal dari akar kata Ibrani boYöa! (‘Iyyob),
merupakan sebuah kata benda yang digolongkan dalam Hebrew Proper Noun.17
Proper noun adalah penggolongan kata benda untuk orang (person), tempat (place),
dan benda secara spesifik. Kata benda ini antara lain digunakan untuk nama
institusi, organisasi, hari, bulan, bangsa, agama, dan tempat. Proper noun selalu
menggunakan huruf kapital di awal katanya.18 Kata tersebut berarti dimusuhi, atau
dalam bahasa sastra Babel sebagai ‘ayya-abum—di manakah bapa-(ku)?19
Ayub memang mengalami pergumulan hidup, bermula dengan kesalehan dan
ketaatan (prolog) kemudian berubah menjadi penolakan yang gigih (dialog), dan
berakhir dengan ketaatan yang lebih tinggi sesudah mendengar jawaban-jawaban
Allah. Melalui kejadian atau penderitaan tersebut, pengenalan Ayub akan Allah
justru makin meningkat. Allah mengizinkan Ayub – orang yang tidak bersalah
mengalami penderitaan, tetapi tanpa kehilangan iman. Ayub menjadi prototype
mengenai seorang beriman yang mengalami problematika kehidupan yang tidak
dapat dijelaskan tetapi justru pada akhirnya membawa kepada tingkat pengenalan
akan Allah,”Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi
sekarang mataku sendiri memandang Engkau”(Ayub 42:5).

C. Identifikasi Masalah di Kitab Ayub


Identifikasi masalah di kitab Ayub yang paling nyata ialah penderitaan orang
benar. Hassel Bullock20 mengatakan: Persoalan yang paling nyata dalam kitab Ayub
ialah penderitaan orang benar. Jujur kita akui bahwa lingkup dari kitab Ayub ini
beranekaragam berisi sekumpulan gagasan dan bukannya suatu gagasan. Di
dalamnya ada sekumpulan persoalan lain yaitu misteri kejahatan, kemakmuran
orang jahat dan penderitaan orang benar. Narasi kitab Ayub dimulai dengan cerita
seorang manusia yang takut akan Tuhan, saleh, menjauhi kejahatan dan diberkati

14
Hagiographa berasal dari dua kata yaitu hagio atau hagios artinya kudus, dan grapha atau graphe artinya
tulisan. Jadi Hagiographa adalah tulisan kudus.
15
Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2011), hlm.107
16
Lasor, Hubbard, Bush, ibid.
17
Interlinear Transliterated Bible.Copyright © 1994, 2003, 2006 by Biblesoft, Inc. All rights reserved. [For
more detail see the full copyright page.]
18
http://www.wordsmile.com/pengertian-contoh-kalimat-common-proper-nouns
19
Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. hlm.107
20
C. Hassel Bullock, Kitab-kitab Puisi: Dalam Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas,2003), hlm.89

5
Tuhan secara melimpah (1:1-3). Tokoh ini sangat religius karena memiliki
kesadaran akan Allah yang kuat. Kesalehannya bukan didasarkan atas harta yang
dimilikinya seperti yang dituduhkan oleh si pendakwa yaitu iblis (1:9-11).
Dengan jelas bahwa sebab penderitaan Ayub tidak diketahui baik oleh Ayub
dan teman-temannya mengenai divine assembly di surga (1:6-12). Allah yang
mengambil prakarsa,”Apakah engkau (iblis) memperhatikan hamba-Ku Ayub?” Di
surga, iblis sebagai pendakwa (Why 12:10) dan di bumi sebagai singa yang
menelan (1 Ptr 5:8). Ayub berkeyakinan kuat bahwa bukan dirinya yang menjadi
penyebab semua penderitaan tersebut, tetapi justru dari pihak Allah yang
mengizinkan Ayub dicobai iblis. Ayub dan teman-temannya berkabung selama
tujuh hari lamanya tanpa bicara (berdiam diri). Kemudian terjadilah dialog antara
Ayub dan ketiga temannya (Elifas, Bildad, dan Zofar) mengenai penderitaan.
Ketiga teman Ayub itu menawarkan teologi berdasarkan pengamatan dan
pengalaman serta pandangan tradisi (kepercayaan) pada saat itu (retribusi).
Teologi (kepercayaan) pada waktu itu (pola pikir kuno) tentang penderitaan
ada tiga asumsi, yaitu: Allah Mahakuasa; Allah Mahaadil; dan manusia berdosa.
Ketiga asumsi ini mendasari kesimpulan bahwa penyebab penderitaan adalah dosa
manusia. Tidak ada kemungkinan lain, menurut pendapat umum di masa kuno.
Ketiga teman Ayub memegang prinsip retribusi ini. Di mana penderitaan
merupakan hukuman Tuhan atas kesalahannya, sedangkan kemakmuran merupakan
upah dari suatu kehidupan yang baik. Pola pikir inilah yang mendasari tuduhan
sahabat-sahabat Ayub bahwa oleh karena dosalah Ayub menderita. 21 Kawan-kawan
Ayub berpegang teguh pada suatu prinsip: bahwa penderitaan seseorang disebabkan
oleh kesalahan/dosa. Sehingga kemakmuran merupakan pahala dari Tuhan bagi
kehidupan yang baik, sedangkan penderitaan/kemalangan merupakan hukuman-Nya
atas dosa. Ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad, Zofar) mengatakan Ayub pasti
bersalah sehingga Allah memperlakukan sedemikian rupa terhadap dirinya (pasal 8
dan 11). Mereka salah menginterpretasikan keadaan penderitaan Ayub.
Kadang-kadang ketiga asumsi tersebut walaupun benar, bertentangan dengan
pengalaman kita. Akibatnya, ketegangan di antara kepercayaan orang benar dan
kenyataan yang dia hadapi. Ketiga asumsi ini bagi Ayub adalah nasihat yang tidak
menghiburnya. Bertambah kekecewaan dan bingung. Allah sendiri, yang kepada-
Nya orang saleh berlindung—Dia mengecewakan dan membingungkan! Sementara
ketiga teman Ayub memegang pendapat yang logis itu (retribusi) sehingga melukai
hati Ayub, sementara Ayub terus memegang teguh pada imannya, bahwa dirinya
tidak berdosa (2:9-13).22 Ayub tetap bertahan dengan keyakinannya tentang Allah
bahwa Dia akan membela dirinya sekalipun semua memusuhinya (13:15-16).
Pada giliran berikutnya, muncul tokoh muda yang tidak diperhitungkan
bernama Elihu. Elihu menawarkan pandangan mengenai penderitaan Ayub dengan
perspektif yang berbeda sama sekali dengan Elifas, Bildad dan Zofar. Elihu
berbicara bukan berdasarkan pengalaman dan observasinya sendiri melainkan
hikmat ilahi sehingga perspektif mengenai penderitaaan sungguh tepat dengan sifat
Allah. Penderitaan bukan mutlak tanda keberdosaan melainkan bisa
merupakan didikan Allah (pasal 32-39). Mereka tidak mengerti sifat Allah.
Akhir dari cerita Ayub kembali ditutup dengan sebuah narasi yang happy
ending pada pasal 42. Awal cerita yang penuh dengan penderitaan menjadi perkara
yang kecil dibanding rekonstruksi iman yang terjadi dalam proses pengenalan akan
Allah (39:34-38) menuju kehidupan baru—akhir kisah indah (happy ending). Yang
21
Carl A. Reed, Diktat Teologi Perjanjian Lama (Yogyakarta: STTII, 1996)
22
Kalis Stevanus, Diktat Kitab Puisi (Karanganyar: ST3, 2009).

6
dimaksudkan happy ending bukan terletak pada materi atau berkat Tuhan yang
diterima Ayub setelah penderitaannya, melainkan terbangunnya suatu pengenalan
akan Allah yang lebih mendalam. Pengakuan Ayub yang mengagumkan,”Hanya
dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku
sendiri memandang Engkau”(Ayub 42:5).
Kitab Ayub mengingatkan kita bahwa manusia tidak sanggup untuk
memikirkan atau memahami dengan sedalam-dalamnya tentang soal penderitaan.
Semua orang menasihati Ayub dan juga Ayub sendiri berbicara tanpa pengetahuan
mengenai latar belakang penderitaannya. Dengan jelas Alkitab katakan bahwa latar
belakang penderitaan Ayub bukan sebagai bukti hukuman Tuhan kepadanya,
melainkan sebagai bukti kepercayaan Tuhan kepadanya (band. 1 Kor 10:13). Semua
teman Ayub berusaha memecahkan suatu teka-teki tanpa mengetahui fakta-
faktanya. Hal ini bukan mendorong kita menjadi putus asa, tetapi lebih mendorong
agar lebih percaya kepada Tuhan yang Mahakuaasa, Mahatahu dan Mahaadil. Kitab
Ayub tidak bermaksud untuk menjawab persoalan penderitaan, tetapi untuk
menegaskan keperluan akan pengertian bahwa Allah menguasai segala sesuatu dan
sedang melaksanakan tujuan-Nya sendiri melalui penderitaan itu demi kebaikan
bagi orang yang mengasihi Dia (band. Rm.8:28).

D. Bentuk dan Struktur—Konteks Kesusastraan


Kitab Ayub masuk kategori kitab puisi atau syair. David Cline menyatakan
bahwa kerangka kitab Ayub adalah prosa, tetapi intinya adalah puisi.23 Karena
bentuknya bersifat puisi, kita wajib menguraikan sesuai dengannya.
1. Jenis sastra kitab Ayub
a. Didaktif naratif
Bentuk kisah Ayub memiliki kerangka utama berupa “didactive
narative, sebuah narasi yang dimaksud untuk mendidik para pendengarnya.
Baik prolog maupun epilog yang bersifat naratif, bukan puisi (pasal 1-2 dan
pasal 42:7-17) merupakan narasi bersifat didaktif. Akan tetapi pasal 3-42
jelas core-nya adalah puisi (walaupun berbentuk puisi tetapi memiliki
karakter didaktif juga). Dr. Hassel Bullock 24 menyatakan kitab Ayub ini
bersifat didaktif dalam arti bahwa sang pengarang berusaha mengajarkan
kebenaran agamawi; suatu tugas yang dilaksanakannya terutama dengan
memakai sarana puisi lirik yang mengungkapkan perasaan-perasaan yang
dalam. Di dalamnya mendeskripsikan bagaimana cara Ayub meresponi
penderitaannya. Narasi ini ingin mendidik para pendengar atau pembacanya
mengenai penderitaan orang “benar” mengalami hal yang sangat ekstrim:
Ayub seorang yang sangat kaya, dan mengalami kemiskinan yang sangat
ekstrim; orang terhormat sekaligus terhina; orang saleh dan berani
menghadap Tuhan, dan mengalami Tuhan yang membisu; orang yang
berserah diri kemudian berubah menjadi protes terhadap hari kelahirannya
dan memprotes Tuhan hingga mengakui kedaulatan-Nya.

b. Keluhan pribadi
Jenis sastra kedua adalah “individual lament” (keluhan pribadi) dan
“lawsuit”(perkara hukum, penuntutan perkara) pasal 3, dan pasal 29-31.
Tiga karakteristik utama dalam kisah Ayub adalah pembicara, Tuhan, dan
23
Ibid. hlm.40
24
C. Hassel Bullock, ibid. hlm. 97

7
pembelaan. Kitab Ayub disusun dalam sebuah dialog dramatis mengenai
keluhan Ayub.

c. Debat hikmat
Jenis yang terakhir adalah “disputation speech” (debat hikmat):
semua dialog antara Ayub dan teman-temannya (pasal 4-27) dan antara
Ayub dan Tuhan (38:1-42:6) termasuk kategori jenis sastra disputation
speech. Tokoh di kitab Ayub memerankan dirinya sebagai guru hikmat
dalam sebuah debat yang tajam, saling menyalahkan dan memojokkan
menurut perspektif hikmat masing-masing. Secara literer, jawaban Ayub
lebih luas dan panjang daripada jawaban teman-temannya. Dan jawaban
Tuhan lebih luas dan panjang daripada jawaban Ayub. Secara literer pula,
dapat diketahui mengenai siapa yang dianggap paling benar di dalam setiap
debat itu, yakni yang paling panjang jawabannya karena dibangun atas
dasar yang lebih lengkap.

2. Struktur Literer kitab Ayub


Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada awalnya ada sebuah folk tale
(cerita rakyat) mengenai Ayub, seorang yang saleh, takut akan Tuhan dan
menjauhi kejahatan serta kaya raya dan terkenal, kemudian menjadi seorang
yang sangat miskin, namun tetap taat—penyerahan diri terhadap Tuhan (pasal
1-2). Kemudian karena iman dan ketaatannya kepada Tuhan itu akhirnya ia
dipulihkan keadaannya, diberkati melebihi kekayaan sebelumnya dan menjadi
lebih terkenal lagi (pasal 42). Folk tale yang awal itu (naratif) sebenarnya
adalah sebuah riwayat moralitas mengenai kesalehan, yang tetap mengikuti
struktur retribusi. Di dalam penderitaan itu, Ayub tidak hanya pasif dan apatis
(menyerah terhadap keadaannya), sebaliknya ia aktif mencari Tuhan yaitu
berdialog dengan Tuhan untuk memperkarakan dengan-Nya. Sementara ketiga
teman Ayub (Elifas, Bildad, Zofar) tetap berpegang pada struktur retribusi
yang klasik (pola pikir kuno waktu itu). Tetapi Ayub tetap berpegang bahwa
dirinya ia tidak bersalah (tetap saleh) sehingga tidak layak menerima semua
malapetaka itu (10:8-12,18-22). Mereka mempertanyakan integritas Ayub.
Justru di sisi lain, dialog panjang tersebut bertujuan untuk meninggalkan
teologi retribusi atau tradisi hikmat klasik.
Teologi retribusi yang beranggapan mengenai penderitaan sebagai
bentuk hukuman Tuhan atas dosa manusia, ternyata tidak bisa berlaku atau
dikenakan kepada kasus Ayub. Kisah Ayub ini hendak membuktikan bahwa
semua pola pikir kuno (tradisi hikmat klasik) tersebut tidak tepat dalam kasus
penderitaan Ayub sebab kenyataannya Ayub menderita bukan karena
kesalahannya. Tidak seperti yang dituduhkan oleh ketiga temannya yang
berpegang pada teologi “retribusi” bahwa Ayub pasti bersalah. Jawaban yang
diberikan oleh Ayub itu merupakan sikap protes terhadap teologi retribusi atau
tradisi hikmat klasik. Bersyukur melalui kasus Ayub ini, ada kebenaran baru
dimunculkan di sini bahwa penderitaan adalah tidak selalu karena faktor
keberdosaan seseorang. Ayub seorang yang saleh, jujur dan takut akan Tuhan
tetapi mengalami penderitaan yang alasannya tidak bisa dipahami oleh
manusia. Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan terjadi pada orang yang
saleh?
Benar yang dikatakan John Bowker yang dikutip Dr. Hassel Bullock:
Barangkali tidak ada masalah yang telah menyita pikiran manusia dan

8
memenuhi hatinya sedemikian universal, seperti kebingungan tentang
penderitaan manusia.16

3. Struktur Sastra Kitab Ayub


Prolog (pasal 1-2)—didaktif naratif (prosa)
Keluhan Ayub (pasal 3)—individual lament (puisi)
Dialog I : Ayub, Elifas, Bildad, Zofar (pasal 4-22)—disputation
pertama (puisi)
Dialog II : Ayub, Elifas, Bildad, Zofar (pasal 15-21)—disputation
kedua (puisi)
Dialog III : Ayub, Elifas, Bildad (pasal 22-27)—disputation ketiga
(puisi)
Selingan syair tentang Hikmat (pasal 28) (puisi)
Monolog Ayub (pasal 29-31) (puisi)
Monolog Elihu (pasal 32-37) (puisi)
Teofani YHWH—jawaban Tuhan yang pertama (pasal 38:1-40:5) (puisi)
Teofani YHWH—jawaban Tuhan yang kedua (pasal 40:6-42:6) (puisi)
Epilog kitab Ayub—Ayub dipulihkan (42:7-17) (prosa)
Jadi, bentuk keseluruhan adalah a-b-a (prosa-puisi-prosa).25 Pendapat demikian juga
didukung Dr. Hassel Bullock26 dan Dr. John Drane27 bahwa prolog (psl.1-2) dan epilog
(psl.42:7-17) ditulis dalam bentuk prosa, di mana di tengah-tengahnya berisi dialog
berbentuk puisi.
III. Eksegesa Sintesa
A. Original Setting
Audiens yang menerima kitab ini adalah orang Israel prapembuangan. Sastra
dari kitab Ayub maupun hal-hal yang sama memiliki jangkauan jauh sampai pada
zaman prapembuangan. Sangat mungkin para rabbi cenderung ke arah sezaman
dengan para leluhur, sebab si pengarang menggunakan kata El dan Eloah untuk
Allah, serta penilaian harta kekayaan Ayub dengan menghitung jumlah ternak dan
binatangnya, juga karena kesamaan peran Ayub dengan para leluhur sebagai
seorang imam, dan karena usianya yang panjang. Ada dua alasan 28 yaitu gaya
Ibrani klasik mendukung zaman itu karena ketika itulah dihasilkan sastar nubuat
dans astra moralistik yang agung dalam Perjanian Lama dan karena tidak
disinggungnya tragedi besar di Yehuda pada awal abab ke-6 sM, di samping
kemungkinan bahwa pekembangan sastra hikmat yang maju pada zaman
prapembuangan melengkapi konteks untuk karya agung seperti itu.

25
Lasor, Hubbard, Bush, ibid. hlm.112
26
C. Hassel Bullock, Kitab-kitab Puisi (Malang: Gandum Mas, 2003), hlm.99
27
John Drane, Memahami Perjanjian Lama 1 (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009), hlm.88
28
C. Hassel Bullock, ibid. hlm.94

9
Dan sangat besar kemungkinan mengenai identifikasi asal-usul kitab ini
adalah Edom sebab mengenai Uz dan Edom ada disebut dalam kitab Ratapan 4:21
dan bahwa Edom adalah yang paling mungkin, karena nama-nama diri dalam kitab
Ayub diambil dari silsilah mengenai Esau khususnya dalam kejadian 36:4,11.
Selain itu, kepedulian Ayub terhadap orang miskin dan orang tertindas adalah
karakteristik orang Ibrani (4:3-4; 29:12-17). Dan semangat menantang bukanlah
asing bagi pengalaman agamawi orang Israel. Dr. Hassel29 menegaskan bahwa
tidak sulit untuk memahami mengapa seorang Israel bisa tinggal lama di Edom,
sebab adalah lazim bagi orang-orang Israel untuk menetap di negeri-negeri
tetangga (band. Rut.1:1). Jadi, kita dapat menyatakan bahwa secara geografis asal-
usulnya adalah Edom, walaupun semangat atau jiwa dan bahasa kitab Ayub itu
adalah Ibrani. Tanpa ragu, kita yakin bahwa sang pengarang adalah seorang Ibrani
atau seorang Israel yang mendukung pandangan monoteisme yang murni dan yang
memiliki iman yang tak tergoyahkan kepada Allah yang mahaadil dan mahakuasa.
Kitab Ayub ini mempersoalkan penderitaan pribadi, bukan penderitaan suatu
bangsa, yaitu mengenai kedaulatan Allah mengizinkan orang beriman, orang tidak
bersalah mengalami penderitaan, dan kerelaan untuk menerimanya tanpa
kehilangan imannya. Melalui narasi kitab Ayub ini menceritakan pengalaman
manusia secara universal untuk menguatkan orang Israel pada konteks waktu itu
secara khusus zaman prapembuangan dan juga bagi umat Tuhan pada umumnya
yang menghadapi penderitaan. Bagi kita sekarang ini, terkadang masih terdapat
perselisihan dengan pendapat hikmat tradisional, yang mengajarkan pola-pola
mutlak mengenai hukuman Tuhan dalam alam semesta: berkat selalu merupakan
buah kebenaran, sedangkan upah dosa selalu berupa penderitaan. Terbukti bahwa
pendapat klasik tersebut tidak mutlak benar. Penderitaan tidak selalu upah dosa.
Penderitaan merupakan salah satu cara yang dipakai-Nya untuk mendidik umat-
Nya agar mengenakan karakter-Nya.
Jadi, penting sekali kita memiliki paradigma yang benar berkenaan dengan
penderitaan. Kita harus memiliki jangkauan pandang (perspektif ilahi), bukan
berdasarkan pertimbangan manusia. Kita harus memandangnya bahwa segala
sesuatu kejadian yang menimpa kita bukan merupakan peristiwa kebetulan,
melainkan merupakan didikan Tuhan bagi kita yang mengasihi Dia. Kita dituntut
taat dan tidak menjadi putus asa karenanya.

B. Prinsip Umum (Temuan Teologis)


1. Kedaulatan Allah
Allah berdaulat. Bahkan iblis pun tidak dapat berbuat apa-apa tanpa izin-
Nya. Kitab ini penuh berisi kebesaran dan kebijaksanaan Allah (5:8-16; 9:2-13;
11:7-9; 12:10,13-25; 25:2-6; 26:5-14; 34:10-15; 35:10-11; 36:22-23; 37:1-24;
38:1-39; 40:8-41:34).30 Lebih lagi, menurut W.S Lasor, D.A Hubbard dan F.W
Bush31 ajaran atau doktrin kedaulatan Allah32 ini mesti ditekankan. Baik Ayub
maupun sahabat-sahabatnya benar-benar dibingungkan oleh kedaulatan Allah.
Para sahabat Ayub mengira, penderitaan selalu dan hanya merupakan tanda
hukuman Allah. Ayub tidak dapat mengerti tujuan mana yang Allah capai
melalui penderitaan yang tidak sepatutnya ia terima.

29
Ibid. hlm.96
30
John Balchin, dkk, Intisari Alkitab Perjanjian Lama (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2008), hlm.124
31
Lasor, Hubbard, Bush, ibid. hlm.139-140
32
Sebenaranya istilah yang digunakan oleh Lasor, Hubbard, dan Bush di dalam bukunya “Pengantar Perjanjian
Lama 2” menggunakan istilah kebebasan Allah, namun di sini saya memakai dengan istilah kedaulatan Allah.

10
Kepada orang yang memegang hikmat tradisional, maka kitab ini
memperkenalkan Allah yang bebas (baca: berdaulat). Ia bebas mengizinkan
ujian yang dilakukan iblis dan tidak memberitahukan apa-apa tentang hal itu
kepada orang yang diuji seperti yang dialami Ayub. Ia juga bebas mengatur
waktu kapan dan cara bagaimana Ia akan intervensi. Ia bebas untuk tidak
menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub yang memancing-Nya untuk menjawab;
juga Ia bebas untuk tidak menyetujui ajaran/paham para sahabat Ayub. Ia bebas
untuk menyatakan belaskasihan, sampai Ia menghadapi Ayub dan mengampuni
para sahabatnya.
Jadi, dengan sangat jelas bahwa kitab ini menggambarkan Allah yang tidak
terikat pada rancangan manusia atau pada pengertian manusia tentang diri-Nya.
Apa yang Ia lakukan muncul dengan bebas dari kehendak-Nya dan sifat-Nya
sendiri. Perlu juga kita pahami bahwa di dalam kedaulatan Allah tersebut
terkandung di dalamnya adalah hikmat atau bijaksana-Nya dan rencana-Nya.
Semua itu benar-benar di luar jangkauan kita (28:1-28). Kisah Ayub
mengilustrasikan kelemahan kita, ketidaktahuan, dosa dan singkatnya hidup
kita. Permohonan Ayub akan keadilan sungguh-sungguh menuntut suatu
kehidupan yang melampaui kehidupan saat ini (15:14-16; 25:4-6). Hanya pada
saat kita berserah kepada-Nya kita dapat mengerti sedikit tentang jalan-jalan-
Nya (band. Yes.55:8; 1 Kor 1:18-31).

2. Semua peristiwa bukan kebetulan


Selain tentang kedaulatan Allah, ada tujuan doktrinal yang kita temukan di
kitab Ayub sebagai pengajaran sentral kitab Ayub ialah hadirnya penderitaan
diizinkan oleh Allah untuk memurnikan dan menyempurnakan umat-Nya.
Inilah kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya, termasuk berdaulat atas umat-Nya.
Ayub menegaskan bahwa Tuhan berdaulat (42:2). Walaupun iblis ingin
menghancurkan manusia dan menjelekkan nama Tuhan, namun Dia adalah
Tuhan yang lebih berkuasa. Iblis licik dan menyembunyikan maksudnya, namun
Allah tetap berdaulat.
W.S Lasor, D.A Hubbard dan F.W Bush mengatakan demikian: Iblis
memperoleh izin masuk untuk mencobai Ayub, namun tunduk kepada
kekuasaan-Nya yang tertinggi. Iblis adalah mahkluk ciptaan Allah, namun
merupakan lawan dari kehendak Allah (band. Mat.4:1-11); ia berusaha
menggoda umat Allah secara jasmani (2 Kor.12:7) maupun rohani (2
Kor.11:14). Kitab Ayub mengajarkan Dialah Tuhan dan Ia membuat pilihan-
Nya sendiri. Pembukaan kitab Ayub ini menggambarkan kekuasaan Allah atas
iblis yang tidak dapat mencelakakan Ayub di luar batas-batas yang ditentukan-
Nya (1:12;2:6). 33
Sebenarnya Tuhan sangat mampu melindungi kita supaya tidak mengalami
penderitaan. Tetapi Ia lebih fokus untuk melindungi karakter kita daripada
melindungi apa pun juga. Tentu perlindungan Tuhan sesuai dengan kedaulatan-
Nya, untuk kebaikan kita menurut pandangan-Nya, bukan pandangan kita. Di
sinilah persoalannya, jika kejadian atau kesukaran itu adalah didikan Tuhan,
bagaimana komentar dan sikap kita? Jika kita menganggap berbagai macam
peristiwa (baca: kesukaran) yang menimpa diri kita itu hanyalah ‘kebetulan’
belaka, kita tentu akan menghadapinya dengan sikap tertentu. Tetapi bila kita
menyadari bahwa semua itu adalah didikan Tuhan, sikap kita pasti akan berbeda
pula. Jangan sekali-kali kita berkata dengan sembarangan bahwa perkara-
33
W.S Lasor, D.A Hubbard dan F.W Bush, ibid. hlm.140-141

11
perkara (baca: kesukaran) itu terjadi secara kebetulan. Tidak, semua itu telah
ditakar oleh Allah bagi kita yaitu tidak melebihi kekuatan kita,”Pencobaan-
pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak
melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan
membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai
Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat
menanggungnya”(1 Kor.10:13). Kata “pencobaan” di sini adalah Πειρασμὸς
(pirasmos) yang selain berarti pencobaan, juga berarti adversity yaitu
kemalangan atau kesukaran hidup. Πειρασμὸς ini menurut Paulus adalah
karunia (Fil.1:29).
Selanjutnya juga dikatakan oleh penulis kitab Ibrani bahwa setiap peristiwa
yang diizinkan oleh Allah menimpa diri kita, pasti mengandung tujuan tertentu
bukan suatu kebetulan. Semua peristiwa yang kita alami (baca: kesukaran)
adalah didikan Tuhan, dan itu dikarenakan Ia memperlakukan kita seperti anak
(Ibr.12:4-13). Kesimpulannya, semua peristiwa bukan kebetulan.

C. Aplikasi Praktis
Karena terbatasnya ruang di sini, sengaja saya hanya menunjukkan tiga respon
positif Ayub ketika berada dalam kesukaran dan penderitaan yang bisa diaplikasikan
bagi pemimpin Kristen masa kini:refleksi diri, penyerahan diri dan doksology.
Hasil dari studi eksegesa ini, maka diharapkan tidak hanya menyentuh dimensi
teologis dan filosofis, tetapi pada akhirnya mengubah yang hipotetis ke dalam lingkup
kehidupan praktis; dimana yang teoritis menyentuh yang praktis. Sehingga orang-
orang percaya yang menderita di segala zaman dapat menemukan kepuasaan bagi
jiwanya yang bertanya-tanya tentang penderitaan menjadi penghiburan dan kekuatan
di dalam penderitaan mereka.
1. Refleksi diri – Semua peristiwa itulah didikan Tuhan (1: 20-21)
Pasal 1:22 Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang
kurang patut
‫ֹאׁשֹו ַוּי ִּ֥פ ֹל ַ ֖א ְרצָה ַוּיִׁש ְָּתֽחּו׃‬
֑ ‫ַו ָּי֤קָם אִּיֹו ֙ב ַוּיִק ַ ְ֣רע אֶת־ ְמע ִ֔לֹו ַו ָ ּ֖יגָז אֶת־ר‬
‫ְהו֖ה ְמב ָ ֹֽרְך׃‬
ָ ‫ַיהו֖ה ל ָ ָ֑קח י ְִה֛י ֵ ׁ֥שם י‬
ָ ‫ְהו֣ה נָתַ֔ ן ו‬
ָ ‫אָׁשּוב ָׁ֔ש ָמה י‬
֣ ֙‫וַּי ֹא ֶמ ֩ר עָרֹ֙ם )יָצָתִ י] (י ָ ָ֜צאתִ י[ ִמ ֶ ּ֣בטֶן אִ ִּ֗מי ְועָר ֹם‬

“Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian
sujudlah ia dan menyembah, katanya:Dengan telanjang aku keluar dari kandungan
ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi,
TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"(20-21).
Ayub melakukan refleksi diri untuk merenungkan masalahnya dengan berdiam
diri selama tujuh hari lamanya tanpa sepatah katapun. Respon pertama Ayub adalah
“berdiri” ‫( ַו ָּי֤קָם‬wayyaqam) bentuknya verb qal imperfek waw konsekutif orang ketiga
maskulin tunggal, selain berarti berdiri juga bisa berarti bangkit, bangun. Itu
menunjukkan respons setelah tujuh hari lamanya Ayub berdiam diri duduk di tengah
abu tanpa sepatah kata. Kedua: ia mengoyak jubahnya ‫( ַוּיִק ַ ְ֣רע אֶת־ ְמע ִ֔לו‬wayyira et meilo)
bentuknya verb qal imperfek waw konsekutif orang ketiga maskulin tunggal artinya
merobek jubahnya. Sesuai tradisi waktu itu, tindakan merobek jubah merupakan
tindakan berkabung (dukacita yang mendalam). Ketiga: mencukur kepalanya ‫ַו ָ ּ֖יגָז‬
‫ֹאׁשֹו‬
֑ ‫( אֶת־ר‬wayyagaz et ro’sho) adalah kata kerja qal imperfek waw konsekutif orang
ketiga maskulin tunggal. Menurut tradisi Yahudi, mencukur kepala merupakan

12
tindakan pentahiran/menyucikan diri. Keempat: sujud dan menyembah. Kata sujud
adalah ‫( ַוּי ִּ֥פ ֹל ַ ֖א ְרצָה‬wayyipol aretsah) bersujud dengan menjatuhkan diri ke tanah
sebagai tindakan penyerahan diri (kepada Tuhan). Kata menyembah ‫ַוּיִׁש ְָּתֽחּו‬
(wayyishtakhu) bisa diartikan membungkuk (to bow down) dari kata kerja histafel
waw konsekutif orang ketiga maskulin tunggal.
Selanjutnya Ayub juga menyatakan kesadarannya akan segala keberadaan materi
adalah dari pemberian Tuhan. Dia menyadari bahwa ia telanjang keluar dari
kandungan ibunya, tidak membawa sesuatu pun. Tuhanlah yang memberi segala yang
dia miliki. Kata Tuhan memberi berasal dari teks Ibrani, ‫ַיהו֖ה‬ ָ ‫( ` נָתַ֔ ן ו‬naatan wa
YHWH), kata /tÍ^n( (naatan)` merupakan sebuah kata kerja, qal, perfect (lampau),
orang orang ketiga, tunggal maskulin. Dapat memiliki arti, mengirim, menempatkan,
mempercayakan. Jadi Tuhanlah yang mempercayakan semua harta dan keluarga yang
dimilikinya. Keyakinan itulah yang membuat Ayub menjadi sadar, bahwa tidak ada
hak yang dimilikinya untuk mempertahankan semuanya itu. Untuk menegaskan hal
itu, Ayub memberikan pernyataan kedua, Tuhan yang mengambil, kata mengambil
berasal dari akar kata Ibrani, jq£`l* (laaqach), merupakan kata kerja, perfect
(lampau), orang ketiga, tunggal maskulin. Memiliki pengertian: menerima kembali,
membawa, membeli, membawa pergi, ditarik, mengambil, mendapatkan, merebut,
kirim untuk, mengambil. Dari semua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
Tuhanlah yang memiliki hak untuk mengambil kembali apa yang pernah diberikan
kepada Ayub, dengan banyak cara. Perenungan diri Ayub menunjukkan
penghargaannya terhadap kedaulatan Tuhan.
Pasal 1:22 Alkitab menyatakan ‫ָל־ז ֹאת ֹלא־ח ָ ָ֣טא אִּי֑ ֹוב וְֹלא־נ ַ ָ֥תן ּתִ פ ְָל֖ה‬
֖ ‫ְּבכ‬
‫ לֵאֹלהִ ֽים׃ פ‬,”Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah
berbuat yang kurang patut”. Ini membuktikan karakter atau integritas Ayub yang
tidak menyalahkan Tuhan karena kondisi yang dialaminya saat itu. Karakter tersebut
muncul karena pada dasarnya Ayub sangat menghargai kedaulatan Tuhan atas semua
yang dia miliki. Kata “tidak berbuat dosa” berasal dari kata Ibrani, boY£a! afò`jÁaý
(Lo caataa Iyowb), kata “tidak” merupakan sebuah partikel negatif (menyanggah),
sedangkan kata “berdosa” merupakan kata kerja, perfect (lampau), orang ketiga,
tunggal, maskulin. Kata Ibrani afò`j (caataa), memiliki pengertian yaitu benar, maka
(kiasan dan umumnya) untuk berbuat dosa; dengan kesimpulan, untuk kehilangan,
kekurangan, menebus, bertobat, (causatively) menyesatkan, mengutuk. Dari semua
pengertian tersebut kata “tidak berdosa” dapat disimpulkan bahwa selama dalam
kondisinya yang sulit, Ayub tidak pernah melakukan yang hal tidak benar dalam arti
mengutuk. Kemudian ditegaskan lagi dalam kata hubung “dan” bahwa Ayub tidak
pernah menuduh Allah melakukan yang kurang patut. Dengan kata lain, Ayub tidak
mempermasalahkan Tuhan. Karakter Ayub yang teruji membuat dia mampu menjaga
hidupnya tetap benar di hadapan Allah dalam kondisi terberat sekalipun. Ayub yakin
Tuhan pada akhirnya akan membenarkan integritasnya dan menyalahkan kemunafikan
teman-temannya. Akhirnya melalui perenungan diri, Ayub tidak lagi mempertanyakan
tentang logika Tuhan sebaliknya ia dapat menerima semua hal yang terjadi dengan
sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sikap tersebut memuliakan Tuhan.
Bagaimanakah cara Allah mendidik kita? Salah satunya adalah melalui
penderitaan seperti yang dialami oleh Ayub. Semua peristiwa justru adalah sesuatu
yang kita tanggung setiap hari merupakan didikan Tuhan. Pendek kata, semua yang
kita tanggung dan derita, semua itu adalah didikan Tuhan. Setiap kita tidak
terkecuali harus menerima didikan Tuhan. Di sini dituntut sikap penyerahan diri
kepada rencana Tuhan. Tujuan utama didikan-Nya hanya satu agar kita beroleh bagian
dalam karakter-Nya. Untuk maksud inilah Allah mendidik kita dengan berbagai cara,

13
dan salah satunya ialah melalui penderitaan.
Strategi iblis bukanlah menggoda Ayub melakukan dosa-dosa moral seperti
perzinahan, kecurangan, kekejaman atau sebagainya—melainkan mencobanya
ke arah dosa yang paling berat, yakini ketidaksetiaan kepada Allah. Kesetiaan
dan kepercayaan merupakan inti kesalehan. Iblis selalu mencari akar permasalahan,
yaitu hubungan Ayub dengan Allah. Ayub lulus dalam ujian kesetiaan ini dan
memperoleh nilai excellent (unggul), walaupun ia berdebat dengan sahabat-
sahabatnya, protes, ragu dan menantang terus-menerus serta mengeluh kepada Allah.
Pada akhirnya, Allah mengesampingkan keluhan itu, tetapi Ia tidak menghakimi Ayub
karena keluhan itu. Beberapa tokoh terkenal dalam Alkitab sebut saja Abraham,
Yusuf, Yeremia dan bahkan Yesus (Mrk.14:36; 15:34; Ibr.5:7)—mengeluh tentang
beban mereka dan karena itu menemukan kelegaan dari penderitaan itu.
2. Penyerahan diri – Jangan putus asa ketika dalam kesukaran (23:10)
Pasal 23:10 Tuhan punya maksud dalam setiap kejadian yakni mendatangkan
kebaikan (42:5)

Pernyataan Ayub: ‫ֽי־י ָדַ ע ֶ ּ֣ד ֶרְך ִעּמ ִ ָ֑די ְּ֜ב ָח ַ֗ננִי ַּכּז ָהָ ֥ב אֵצֵ ֽא‬
֭ ִ‫ ּכ‬,”Karena Ia tahu jalan hidupku;
seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas” (Ayub.23:10). Kata
menguji digunakan dari kata Ibrani, yn]n„~j*B=Ü (b’echaananiy), yaitu kata kerja,
qal, perfect (lampau), orang ketiga, maskulin, tunggal, ditambah dengan suffix
(imbuhan)34, orang ketiga, umum, tunggal. Pengertiannya adalah: untuk menguji
(terutama logam); umumnya dan kiasan, untuk menyelidiki. Pengujian Ayub
dibandingkan dengan pengujian pada emas, di mana semakin diuji semakin akan
menampilkan kemurniannya. Karakter Ayub dalam keadaan terberat pun, tetap
menunjukkan bahwa ia benar di hadapan Allah.
Di sini kita melihat proses pengenalan akan Tuhan cenderung pada tahap pertama
mencoba mencari penjelasan terhadap persoalan hidupnya “mengapa” dari berdasar
pada logika manusia atau sudut pandang dirinya sendiri. Seseorang mulai
mencocokkan semua teori (pengetahuan yang dimilikinya) atau a priopri terhadap
permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya setelah menemukan perspektif ilahi
yang berasal dari hubungan pribadi dengan Tuhan dan penyataan Tuhan,
mengarahkan manusia untuk bisa memahami permasalahan yang dialaminya sehingga
dapat merenungkannya (refleksi diri). Selanjutnya ia tidak lagi bersikap destruktif
tetapi memberi tempat bagi Tuhan—berserah diri dengan kooperatif dengan-Nya di
dalam membentuk dirinya. Pada finalnya akan menghasilkan pemuliaan Tuhan
(doksology).
Di dalam Amsal 3:11-12 dikatakan,”Hai anakku, janganlah engkau menolak
didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN
memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang
disayangi.” Jika Tuhan mendidik kita, janganlah kita menolaknya, janganlah kita
putus asa. Sikap demikian harus dimiliki oleh setiap orang percaya termasuk di
dalamnya adalah pemimpin Kristen. Ada orang, ketika menghadapi kesukaran,
kesengsaraan (baca: didikan Tuhan), ia menganggap kejadian-kejadian itu sebagai
hal-hal yang biasa dan tidak penting; ia membiarkannya berlalu begitu saja dan

34
Suffix adalah kelompok dari huruf-huruf (imbuhan) yang terletak pada akhir dari sebuah kata, yang bisa
mengubah pengertian makna dari kata tersebut juga sering mengubah bagian dari percakapan itu.
https://www.google.co.id/#newwindow=1&q=apa+yang+dimaksud+suffix

14
bahkan segera menjadi putus asa, terlalu sulit untuk menjadi anak-anak Allah. Ia
mengharapkan jalan kehidupannya ini sangat lancar. Dia tidak mengira bahwa sebagai
orang percaya, sebagai anak-anak Allah, ia harus mengalami banyak perkara yang
menyulitkan. Dia belum siap menjadi orang percaya dalam situasi demikian. Sebab
itu, ia menjadi putus asa; ia merasa jalan ini sulit ditempuh. Kitab Amsal tadi
memperlihatkan kepada kita bahwa sikap putus asa adalah keliru.
Sebagai orang percaya terlebih level seorang pemimpin, tidak seharusnya
meremehkan atau menganggap kejadian-kejadian itu sebagai hal-hal yang biasa,
seolah-olah tidak ada tujuan dan maksud Tuhan di dalamnya. Yang benar bahwa
setiap peristiwa yang diizinkan Tuhan menimpa diri kita, pasti mengandung
tujuan dan maksud tertentu. Melalui peristiwa-peristiwa itu Tuhan ingin mendidik
kita; hendak menyempurnakan kita agar kita serupa dengan Kristus Anak-Nya. Inilah
tujuan utama didikan Tuhan yaitu menggarapkan karakter-Nya ke dalam karakter kita.
Tuhan tidak pernah menyuruh anak-anak-Nya menderita tanpa tujuan. Hanya
menderita sengsara bukanlah tujuan dari penderitaan itu. Tuhan mengizinkan
penderitaan bukan sekadar menghendaki kita menderita. Semua penderitaan itu ada
tujuannya, yakni agar kita beroleh bagian dalam karakter-Nya. Karena itu jangan
menjadi putus asa dan menganggapnya hidup sebagai anak-anak Allah terlampau
berat. Tuhan telah berjanji bahwa setiap kesukaran yang kita hadapi telah ditakar
oleh-Nya di dalam kasih-Nya. Kasihlah yang mengatur peristiwa-peristiwa itu bagi
kita.
Seperti Ayub ketika dicobai oleh iblis, Tuhan tidak sembarangan atau kebetulan
semuanya itu diizinkan terjadi tanpa pengaturan kasih-Nya. Seperti yang dikatakan
oleh Paulus bahwa semua peristiwa yang kita hadapi telah dikontrol sempurna dan
diatur serta ditakar oleh Tuhan bagi kita,”... Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai
melampaui kekuatanmu ... sehingga kamu dapat menanggungnya.” Itulah pengaturan
kasih-Nya kepada kita. Karena itu, jangan putus asa ketika dalam permasalahan
seberat apapun.

3. Doksology (pemuliaan Tuhan) – Belajar taat melalui kesukaran


Pasal 42:2 rencana Tuhan tidak bisa gagal
‫ּתּוכל וְֹלא־יִּב ֵ ָ֖צר ִמּמְָך֣ ְמז ִּמָ ֽה‬
֑ ָ ‫ִי־כ ֹל‬
֣ ‫י ָדַ עְּתָ ] ֭(י ָדַ עְּתִ י[ ּכ‬
Dalam pasal 42:2 nampak jelas terjadi perubahan yang sangat dramatis dari sikap
Ayub yang mempertanyakan Tuhan bahkan menantang Tuhan, kini Ayub
menghentikan nada sinis atau dakwaannya terhadap-Nya menjadi pujian,“Aku tahu,
bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang
gagal.” Ayub tidak membantah Tuhan lagi, namun setuju dengan-Nya. Ia mengakui
dakwaan dan protesnya yang sinis itu berdasarkan pengetahuan yang terbatas,”Aku
telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui”
(42:3). Selanjutnya Ayub berkata,”Hanya dari kata orang saja aku mendengar
tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”.(Ayub.42:5).
Pujian atau doksology ini berpusat pada perjumpaan pribadi Ayub dengan Tuhan.
Karakter Ayub yang ditunjukkan pasal 42:5, adalah pengenalan pribadi akan
Tuhan. Sebelum menghadapi ujian Ayub banyak mendengar tentang Tuhan tanpa
pengenalan secara pribadi, namun ujian yang ia hadapi justru membuat dia
bersyukur karena telah mengalami pengenalan secara pribadi akanTuhan. Ungkapan
tersebut ditunjukkan dengan kalimat “tetapi sekarang mataku sendiri memandang
Engkau” kata “mataku sendiri” berasal dari kata dasar Ibraniyn«]yu (‘eeney), yaitu
sebuah kata benda umum, jenis umum, orang pertama, tunggal, construct state

15
(penghubung dua kata benda)35, suffix (imbuhan), orang pertama umum, tunggal.
Kata tersebut berasal dari kata dasar /y!u^ ` (ah’yin), yang berarti mata (secara
harfiah atau kiasan); dengan analogi, air mancur (sebagai pandangan mata). Arti kata
tersebut menunjukkan tentang sebuah pengalaman pribadi yang demikian dalam
seperti sebuah air mancur yang keluar dari dalam tanah. Keadaan itulah yang
menjadikan Ayub menjadi seorang pribadi yang mengenal Allah secara mendalam.
Bahkan sebelum kehidupannya dipulihkan oleh Tuhan, Ayub tetaplah pribadi yang
sangat menghargai Tuhan, karena ia memiliki pengenalan pribadi kepada Tuhan.
Sungguh adalah suatu kerugian yang sangat besar bila kita tidak mengenal
didikan Tuhan. Tuhan memiliki tujuan; Ia menghendaki kita memiliki kepribadian
yang dapat memuliakan nama-Nya. Sebab itu, setiap didikan-Nya bermaksud
memimpin kita menempuh jalan ini. Kita dicipta untuk memuliakan nama-Nya.
Ayub di tengah penderitaannya berseru,”Karena Ia tahu jalan hidupku;
seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas” (Ayub 23:10). Memang
pada pasal tiga, Ayub memang pernah mengeluhkan soal hari kelahirannya ( ‫אֶת־יֹומֹֽו‬
(et-yomo); ia menyayangkan hari di mana ia masih di dalam kandungan. Adalah
lebih baik jika ia digugurkan agar tidak sempat mendengar, melihat dan mengalami
hal-hal yang buruk. Itulah sebabnya Ayub mengharapkan jika ia mati saja. Namun
pada akhirnya, Ayub menyadari (merefleksi diri), ia yakin bahwa dalam pencobaan
ini, imannya akan timbul seperti emas. Ayub mencari Tuhan dan bersumpah
demikian:
"Demi Allah yang hidup, yang tidak memberi keadilan kepadaku, dan demi Yang
Mahakuasa, yang memedihkan hatiku, selama nafasku masih ada padaku, dan roh
Allah masih di dalam lubang hidungku, maka bibirku sungguh-sungguh tidak
akan mengucapkan kecurangan, dan lidahku tidak akan melahirkan tipu daya.
Aku sama sekali tidak membenarkan kamu! Sampai binasa aku tetap
mempertahankan bahwa aku tidak bersalah. Kebenaranku kupegang teguh dan
tidak kulepaskan; hatiku tidak mencela sehari pun dari pada umurku.” (27:2-6).

Sumpah ini bukan merupakan bentuk kesombongan Ayub melainkan suatu


tindakan penyembahan dan doksology (pemuliaan Tuhan). Dalam kehidupan Ayub,
dapat kita saksikan dengan jelas, bagaimana Tuhan membiarkan Ayub menerima
perlakuan iblis secara kejam. Ayub belajar taat kepada Tuhan melalui penderitaannya
dengan keyakinan bahwa rencana Tuhan tidak bisa gagal (42:5).
Dalam hal ini yang disebut berkat (baca: kebaikan) tidak selalu sesuatu yang
menyenangkan hati menurut perspektif manusia, tetapi apa yang mendatangkan
kebaikan bagi kita menurut perspektif dan pertimbangan Tuhan (Rm.8:28).
Semua “penderitaan” diizinkan Tuhan atas Ayub demi kemurnian kehidupan
rohani Ayub. Ini sungguh benar, sebab setelah Ayub didera dengan penderitaan yang
begitu hebat, akhirnya ia menyaksikan, bahwa ketika ia sudah mengalami kehilangan
dan penderitaan yang begitu berat, maka hasilnya adalah ia menjadi lebih dewasa dan
benar. Inilah yang dikatakan Ayub sendiri bahwa ia akan timbul seperti emas.
Rupanya selama ini Ayub belum level “emas” (atau mungkin sudah emas), tetapi
kadarnya masih rendah. Melalui penderitaan tersebut barulah karakter Ayub terbentuk
atau meningkat kadarnya makin murni. Jikalau Tuhan ingin memproses kita melalui
berbagai penderitaan, itu untuk kebaikan kita, yaitu pemurnian diri kita. Selain itu,
35
Ketika dua (atau lebih) nomina muncul bersama-sama (baik oleh penjajaran atau dengan cara dari maqqef ),
mereka dikatakan berada dalam "contruct hubungan" satu sama lain inilah yang dimaksud contruct state
https://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.hebrew4christians.com/Grammar/
Unit_Four/The_Construct_Relation/the_construct_relation.html&prev=search

16
Ayub mengalami Tuhan secara pribadi,”Hanya dari kata orang saja aku mendengar
tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (42:5).
Karena itu, marilah kita bersabar dan taat dalam kehidupan ini yang penuh
penderitaan. Seperti Ayub yang akhirnya berbahagia karena ketekunanya, kita pun aka
memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan pada waktunya. Yakobus memberi kesaksian
tentang Ayub,”Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para
nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka
berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang
ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan
baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.” (Yak.5:10-11).
Selain Ayub, ada tokoh lain di Perjanjian Lama yang patut diteladani yaitu
Yeremia. Di tengah sengsaranya ia masih berseru (baca: memuliakan Tuhan),”Tak
berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,selalu baru tiap
pagi; besar kesetiaan-Mu! (Ratapan 3:22-23). Seruan Yeremia ini berarti di tengah
kesukaran pun ia masih merasakan kasih setia Tuhan dan rahmat-Nya yang selalu
baru setiap hari. Yeremia menyadari benar bahwa setiap peristiwa yang pahit sekali
pun tetap nampak tangan Tuhan atau providensia-Nya dengan menunjukkan kasih
setia-Nya yang selalu baru setiap hari. Itu berarti di dalam penderitaan pun, Tuhan
menyediakan berkat-berkat rohani, yang meliputi pelajaran baru setiap hari.
Sesungguhnya inilah yang lebih penting daripada berkat jasmani. Dalam penderitaan
pun Tuhan tetap memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita.

IV. Penutup
Kesulitan dan penderitaan merupakan bagian dari kehidupan tokoh-tokoh iman di
Perjanjian Lama. Contoh pembahasan kita adalah Ayub. Ayub harus kehilangan seluruh
harta dan anak-anaknya, bahkan dikhianati oleh istrinya sendiri. Banyak lagi kisah nyata
mengenai kehidupan umat pilihan Tuhan, orang-orang yang dikasihi-Nya. Sebut saja
Abraham, yang harus kehilangan kenyamanan hidup di Ur-Kasdim, dan tak pernah
menemukan gantinya yang serupa. Atau Yusuf, yang harus kehilangan kesenangannya
tinggal dengan ayah yang sangat mengasihinya, dijual menjadi budak, kena fitnah,
kehilangan harga diri dan reputasi. Yusuf menderita selama tiga belas tahun lamanya
sebelum pada akhirnya diangkat Tuhan menjadi penguasa atas Mesir menjadi kesaksian
bagi nama Tuhan semesta alam, Allah Abraham, Ishak dan Yakub nenek moyangnya. Musa
tidak dilindungi Tuhan dari amarah Firaun sehingga ia harus melarikan diri dari Mesir dan
meninggalkan kedudukannya sebagai pangeran. Daud harus kehilangan sanak family dan
hidup nomaden, dicap gila sebab ia pura-pura gila untuk menyelamatkan nyawanya.
Kenyataan di atas membuktikan bahwa Tuhan mendidik dan membentuk orang-orang
yang dikasihi-Nya melalui berbagai kesulitan dan penderitaan (Ibr.12:6). Jadi, janganlah
pemimpin-pemimpin Kristen (baca: kita) hanya melihat akhir cerita, yaitu kesuksesan
tokoh-tokoh Alkitab itu. Kesuksesan mereka di kemudian hari meng ”harus” kan mereka
melewati proses kehidupan yang tidak mudah alias kehidupan yang berat. Mereka menjadi
hebat melalui gelombang kehidupan (baca: penderitaan). Justru penderitaan itu mendidik,
mendewasakan dan menjadi manusia yang unggul. Inilah yang saya maksudkan dengan
pembentukan karakter melalui penderitaan. Kesulitan-kesulitan hidup yang kita hadapi di
dunia ini menjadi berkat yang tak ternilai jika kita menemukan mutiara kebenaran (baca:
maksud dan tujuan) Tuhan di balik semua peristiwa tersebut.
Di situlah dibutuhkan respon kita. Seberapa kemuliaan yang akan kita terima kelak juga
tergantung dari respon (minat dan keseriusan) kita belajar dibentuk oleh Tuhan. Ada harga
yang harus ditunaikan yaitu segenap hidup kita. Untuk membentuk kita menjadi seperti

17
yang diinginkan-Nya, ia menggunakan segala yang kita alami (Rm.8:28). Terimalah segala
hal sebagai pelajaran dan didikan Tuhan (pembentukan karakter), dan teladanilah Ayub.
Tentu salah satu tujuan kitab Ayub adalah untuk menolong orang-orang percaya masa
kini agar dapat menahan penderitaan itu. Pelajaran terakhir yang dapat ditarik tentang
menghadapi penderitaan adalah kesetiaan Ayub kepada Allah. Hatinya bersih. Walaupun
kepedihannya luar biasa, namun tidak diperburuk oleh beban kesalahannya. Tetapi Ayub
mengetahui, penyerahannya kepada Allah jelas; ia percaya, penyerahannya akan
membuatnya bertahan sampai akhir hayat (19:23-29).
Rasul Yakobus menggunakan Ayub sebagai teladan orang-orang yang belajar tentang
kebahagiaan dari penderitaan,”Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu
mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu
telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha
penyayang dan penuh belas kasihan.” (Yak.5:11). Adakah ringkasan lebih baik dari pesan
kitab ini, yaitu orang yang menderita dengan tekun berada dalam rangkulan Allah yang
punya maksud di balik itu dan bersifat penyayang? Teladanilah Ayub. Itu kehendak-Nya
bagi pemimpin Kristen dan juga umat-Nya sepanjang zaman.

Referensi
Atkinson, David. Ayub, dalam kasih Allah, Rahasia Penderitaan Menemukan Tuhan dan
Kekuatannya (Jakarta: Bina Kasih,200).
Boestam, Pudjiarto. Smart Christian Leadership (Yogyakarta : Andi, 2009).
Balchin, John dkk, Intisari Alkitab Perjanjian Lama (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab,
2008).
Bullock, C. Hassel. Kitab-kitab Puisi (Malang: Gandum Mas, 2003).
Drane, John. Memahami Perjanjian Lama 1 (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009)
Dyrness, William. Tema-tema dalam Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,1992).
Hadiputra, Yosua L. Kualitas Orang Sukses (Yogyakarta : Andi, 2008).
Jakoep Ezra, Success Through Character (Yogyakarta : Andi, 2006).
Legg, Ken. Inilah Kehidupan Itu (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2011).
Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2011).
M, Fengky. Masalah Adalah Berkat (Jakarta: IGM, 2005),
Maxwell, John C. Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda, (Jakarta : Binarupa
Aksara, 1995).
Powel, Paul W. Murid Sejati (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,1982).
Susilo,Willy. Membangun Karakter Unggul (Yogyakarta : Andi, 2013).
Stuart, Douglas. Ekesegese Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas,1997).
Swindoll, Charles. Seri Tokoh Terbesar: Ayub (Jakarta : Nafiri,2005).

18
16

Anda mungkin juga menyukai