Anda di halaman 1dari 18

Teori Korban dan Makna Korban dalam Perjanjian Lama1

Ariyanto Toyang
2020164628/C
Teologi Perjanjian Lama 2
Abstract

Korban dalam Alkitab merupakan salah satu hal yang sangat penting dan
menarik untuk dicari tahu maknanya. Secara khusus dalam kitab Imamat yang
paling banyak bebicara mengenai korban dalam berbagai bentuk. Adapun dalam
kitab tersebut ritual korban pun juga dijelaskan sesuai dengan jenis korban
tersebut dan juga dijumpai berbagai macam hewan yang dikorbankan.. Karena
memang bahwa Alkitab sendiri merupakan hasil dari pergumulan firman Allah
secara kontekstual didalam kehidupan umat Allah. adapun dalam korban
tersebut tentu terdapat sebuah makna spiritual. Maka dengan itu penulis hendak
melihat makna Korban dari konteks kehidupan orang Israel.

Keywoard : Korban, Spiritual

A. Pemikiran tentang asal mula korban


Korban sebagai terjemahan dari bahasa Inggris sacrifice yang berasal dari
kata benda Latin ‘sacrificium’ dan kata kerja ‘sacrificare’, meliputi istilah-istilah
untuk setiap tindakan keagamaan di dalam mana sesuatu dianggap sakral, diberikan
kepada ilah dan mejadi miliknya. Sacrifice didefinisikan sebagai pemberian berupa
makanan, objek atau kehidupan binatang to a higher purpose or to God or the gods
sebagai satu tindakan penyembahan atau ibadah. Sementara sacrifice sering
menunjuk pada ritual pembunuhan, istilah pemberian (Inggris offering; Latin
‘oblatio’ dapat digunakan untuk korban seperti tanaman biji-bijian atau benda lain
yang sifatnya ‘tanpa darah’ (bloddless). Untuk pemberian berupa cairan atau
minuman, istilah yang digunakan adalah ‘libation’.
1
Materi korban pada bagian ini diambil dari Wikimedia:Sacrifice (download 10 November 2019)

1
Korban binatang ditemukan dalam hampir semua kebudayaan, mulai dari
orang Ibrani, Yunani, dan Romawi (secara khusus upacara penyucian ‘Lustratio’),
orang Mesir kuno (mis: pemujaan terhadap Apis), dan dari suku Astek ke Yoruba,
termasuk agama orang Skandinavia tua. Sampai sekarang orang Kristen di kampung
Yunani masih mempersembahkan korban binatang sebagai ‘kourbània’ kepada
orang-orang suci Ortodox.
Walter Burkert seorang sarjana yang secara khusus melakukan studi terhadap
kurban di Yunani mengatakan bahwa korban Yunani berasal dari praktek perburuan.
Sementara para pemburu harus makan dan mempertahankan hidup, mereka juga
merasa bersalah terhadap pembunuhan makhluk hidupyang lain. Menurut Burkert,
para pemburu berusaha lari dari tanggungjawab tersebut ke dalam bentul ritual,
khususnya Dipolieia yaitu sebuah festival orang Atena yang mengorbankan seekor
lembu jantan. Bisa muncul pemahaman bahwa secara psikologis orang tidak lagi
merasa besalah jika membunuh binatang di dalam ritual. Berarti bisa dikatakan
membunuh di luar ritual adalah satu kesalahan tetapi tidak jika hal itu dilakukan di
dalam ritual.
Di dalam mitos, kita diceriterakan bahwa orang-orang Atena mengirim tujuh
laki-laki dan perempuan musa kepada Crete sebagai korban manusia untuk Minotaur.
Cerita ini berkaitan erat dengan fakta-fakta arkeologis bahwa sebagian korban adalah
orang-orang dewasa dan anak-anak. Dari sumber yang sama disebutkan bahwa
pengorbanan manusia ternyata sudah dipraktikkan di dalam banyak kebudayaan
kuno. Orang yang akan dipersembahkan dipahami sebagai yang dikehendaki atau
bertujuan menenangkan allah atau roh tertentu. Beberapa alasan untuk korban
manusia ditemukan di dalam banyak kebudayaan di beragam benua, misalnya:
 Manusia dikorbankan untuk menyertai peresmian kuil atau jembatan yang
baru (pemahaman seperti ini masih banyak mempengaruhi pemikiran orang di
zaman modern)
 Pengorbanan manusia terhadap kematian seorang raja, imam atau pemimpin
besar. Korban dimaksudkan untuk melayani atau menyertai kematian
pemimpin ke dalam kehidupan yang berikut.

2
 Manusia dikorbankan pada waktu terjadi bencara alam. Musim kering, gempa
bumi, letusan gunung berapi, dan sebagainya dianggap sebagai tanda
kemarahan atau ketidaksenangan para ilah, dan korban bertujuan untuk
mengurangi kemarahan tersebut.
Korban manusia dipraktikkan oleh banyak orang pada zaman pra-Colombia,
masyarakat Mesoamerica. Yang mengherankan bahwa Suku Astek telah
pengorbanan manusia pada skala yang luar biasa besar; korban tersebut - dalam
pemahaman mereka - dilakukan setiap hari untuk menolong matahari terbit, bahkan
persembahan terhadap kuil Tnochtitlán, menurut laporan, didirikan dengan
menghabiskan seribu korban (manusia).
Di dalam Alkitab dikenal dua macam korban yaitu blood sacrifice dan
bloodless sacrifice (seperti: biji-bijian dan anggur). Bukan hanya orang Israel tetapi
orang Filistin juga sudah mengenal perayaan korban (Hak.16:23), bahkan orang
Moab (2 Raj. 3:27) sudah mempraktikkan pengorbanan anak sulung sebagai korban
bakaran di atas pagar tembok. Bukan tidak mungkin bahwa perayaan korban
sebelumnya telah dikenal oleh bangsa-bangsa lain yang ada di sekitar Israel.
Penelitian terhadap banyaknya kesejajaran yang berasal dari bangsa-bangsa sekitar
untuk menjelaskan korban dalam masyarakat Israel telah dilakukan oleh W.R Smith
dalam bukunya The Religion of the Semities (1894).2 Smith memanfaatkan beberapa
sumber yang berasal dari orang Arab pengembara pada zaman pra-Islam, sehingga
untuk mengetahui ide dibalik ritual korban yang dilaksanakan Israel harus dirujuk
pada praktek korban persembahan yang ada di dalam dan berkaitan dengan orang
‘Semit Purba’, bahwa persekutuan antara penyembah dan dewa merupakan gagasan
yang mengendalikan ritual tersebut.
Berbeda dengan itu R. Russaud lebih memilih tradisi Kanaan (barangkali
setelah Israel menetap di sana) sebagian latar belakang dan menemukan kemiripan
pertama-tama dalam pajak korban kartago. ada identifikasi mengenai nama-nama
korban yang mirip dengan yang ada di Perjanjian Lama, misalnya: Syrp adalah

2
Perlu penulis sadari mengenai keterbatasan penggunaan referensi sehingga sebagian besar bahan
yang digunakan pada bagian ini diambil dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid 1. Sekalipun tidak
lengkap – itu berarti akan ditelusuri lebih mendalam – tetapi setidaknya menolong penulis memetakan
dan menggambarkan wordview mengenai korban dan sejarah perkembangannya.

3
korban bakaran, dbkh adalah korban sembelihan untuk dimakan, sylm seperti korban
pendamaian, atm sama dengan asyam (Ibr.) yaitu korban penebus salah dlm PL.
Pemahaman seperti ini juga datang dari aliran mite dan ritual seperti S.H Hooke (The
Origins of Early Semitic Ritual, 1938) dan I Engnell (Studi in Divine Kingship in the
Ancient Near East, 1943). Mereka memberi penekanan pada latar belakang pemukim
tetap. Senada dengan beberapa pandangan di atas, E.G Singgih mencatat bahwa
sejarah penetapan korban dipengaruhi oleh upacara korban di Bait Suci di Yerusalem
sebagai sebuah usaha untuk merekonstruksi apa yang terjadi dahulu (di padang
gurun) berdasarkan apa yang terjadi sekarang (di Bait Suci Yerusalem). 3 Dengan
perkataan lain nanti setelah Israel merebut dan menetap di Kanaan, dan setelah ibadat
di Bait Suci ditetapkan, barulah ada upacara korban.
Sebelumnya A. Alt mengajukan pendapat bahwa awal kepercayaan Israel
yang sebenarnya harus dicari di kalangan nenek moyang pengembara yang sudah
mempraktikkan suatu bentuk agama yang terpusat pada ilah kepala suku (Allah
Abraham, Ishak, dan Yakub). V. Maag mengutip hal ini kemudian memberikan
tambahan tentang banyaknya kiasan gembala dalam lukisan tentang Allah, dan
berdasarkan latar belakang kebudayaan gembala imigran dari padang-padang Asia,
berpendapat bahwa korban persembahan mereka yakni gembala imigran adalah
makan bersama yang di dalamnya sang dewa mengambil alih tanggungjawab
penumpahan darah. Karena pengaruh dari lingkungan sekitar inilah maka Maag
curiga bahwa agama orang Israel, sebagaimana nyata dalam PL, merupakan suatu
sinkretisme dimana korban zevakh para pengembara ada bersama korban
persembahan gaya ‘ola yang masuk ke dalam dari pihak Kanaan, yaitu para
pemukim tetap.
Belum kita ketahui mengapa Alt tidak memulai penelitiannya tentang ritual
korban (minkhah) yang dipersembahkan Kain dan Habel ataupun korban (‘ola) Nuh
yang lebih dahulu dibicarakan dalam PL. Bisa saja bahwa kecurigaan sinkretisme ala
Maag ada benarnya tetapi persoalannya adalah sinkretisme itu terjadi ketika Israel
sementara hidup mengembara atau nanti ketika bangsa Israel menetap di tanah
3
Korban Dan Pendamaian: Studi Lintas Ilmu, Lintas Budaya, Dan Lintas Agama Mengenai Upaya
Manusia Menghadapi Tantangan Terhadap Kehidupan Di Luar Kendalinya, Cetakan ke-1. (Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia, 2018). 19

4
Kanaan. Jika yang dimaksud adalah yang terakhir, maka teori Maag setidaknya
memiliki kesamaan dengan apa yang dikatakan R. Russaud.
Sehubungan dengan asal mula korban di dalam tradisi Israel, teori lain
menelusuri jejak tersebut dengan cara membandingkan korban persembahan orang
Ibrani dengan yang ditemukan di lingkungan seperti suku Neur di Afrika yang
korbannya, sebagaimana diteliti oleh E.E. Evans Prichart (Neur Religion, 1956),
termasuk seekor lembu jantan untuk penghapus dosa. Kesejajaran korban
persembahan yang ada antara orang Ibrani dan suku Neur terletak pada motifnya
yaitu korban dilaksanakan dalam rangka penghapusan dosa. Tetapi justru bagi J.
Wellhaussen dalam bukunya Prolegomena to the History of Israel (1885)
menganggap bahwa hubungan korban dengan dosa merupakan unsur terakhir, berarti
bukan unsur yang penting atau justru tidak ada. Dengan kata lain, menurutnya ada
unsur yang lebih dominan yang menjiwai ritual korban orang Israel ketimbang
pengampunan dosa. Kelihatannya Wellhaussen memahami bahwa nanti setelah Israel
mengalami pembuangan barulah unsur penebusan dosa masuk ke dalam wilayah
agama orang Israel.
Senada dengan J. Wellhaussen, Rene Girad memilih pendekatan lain dan tiba
pada satu hipotesa dengan memahami ritual korban sebagai peristiwa penyaluran
kekerasan. Dalam hal ini Girard memanfaatkan sumber dari Godfrey Lienhardt dan
Victor Tunner yang menyelidiki praktik korban dalam masyarakat Dinka dan
Ndembu. Menurutnya, dalam masyarakat itu korban dijalankan supaya semua
ekspresi kekerasan seperti ketegangan, persaingan, dan permusuhan di timpakan dan
menghilang dalam diri korban. Meskipun korban dihubungkan dengan berbagai
kepentingan seperti meminta hujan dan kesuburan tanah, menurut mereka, hal ini
hanyalah tujuan-tujuan sekunder. Sama seperti Girard, A.R. Radcliffe Brown dalam
The Book of Rites mengatakan: seperti musik, undang-undang, dan hukuman, maka
upacara korban mempunyai tujuan yang satu dan sama yakni mempersatukan
masyarakat dan membangun tata tertibnya. Dalam hal ini hubungan antara dosa dan
korban masih bersifat sekunder.
Pemahaman korban seperti ini (J.Wellhaussen dan Girard) tidak diterima oleh
Beckwith dalam bukunya Penitence and Sacrifice in Early Israel (1963) yang justru

5
melihat adanya hubungan antara penyesalan/pertobatan dan korban. Beckwith
kemudian memperlihatkan beberapa motif yang melatarbelakangi ritual korban
melalui sketsa yang dibuatnya. Beckwith membagi empat zaman untuk melihat
bentuk perkembangan korban dalam sejarah Israel mulai dari (1) zaman bapak-bapak
leluhur, (2) pembentukan suku-suku Israel, (3) zaman kerajaan, dan (4) zaman pasca
pembuangan. Meskipun Beckwith menemukan beberapa motif yang mendasari ritual
korban orang Israel: sebagai ‘persembahan’, ‘pengucapan syukur’ tetapi ia memberi
penekanan yang berat pada motif penebusan dosa misalnya upacara penyucian dalam
Kej. 15:9-11, korban Nuh tidak melulu pengucapan syukur tetapi sekaligus
pertobatan atau penebusan salah. Singkatnya unsur penebusan dosa bagi Beckwith
tidak bisa diabaikan di dalam ritual korban orang Israel, justru hal ini yang bahkan
secara tidak langsung menjadi motif paling penting di dalam setiap korban yang
dilakukan orang Israel.
Salah satu bahan korban yang dipersembahkan orang Israel yang berbeda
dengan bangsa-bangsa lain, seperti yang telah disingung sepintas pada bagian awal,
terletak pada pengorbanan anak sulung baik laki-laki maupun perempuan. Praktik
semacam itu dapat kita temukan pada bangsa-bangsa seperti Molek atau Moloch (bdn
Im.20:4). Anak mereka dijadikan korban dalam api. Persoalannya apakah orang
Israel melakukan praktik seperti ini menjadi pertanyaan penting bagi para ahli.
Menurut de Vaux, hal ini tidak masuk akal: absud, bahkan di dalam tradisi Israel
kuno.4
Sekalipun demikian kenyataan lain tetap perlu diperhatikan. Tidak diketahui
mengapa de Vaux mengabaikan kenyataan lain bahwa hal itu pernah terjadi pada
Manasye yang menjadi raja atas Yehuda menggantikan ayahnya, Hizkia. Di dalam 2
Raj. 21:6 diceriterakan bahwa ia (Manasye) pernah mempersembahkan anaknya
sebagai korban dalam api. Bahkan secara komunal orang-orang Yehuda telah
mendirikan bukit pengorbanan benama Tofet di lembah Ben-Hinom sebagai tempat
untuk membakar anaknya laki-laki dan perempuan (Yer.7:31). Fakta lain yang
memperlihatkan bahwa orang Israel terbiasa dengan korban manusia dapat dilihat

4
Ibid. 14

6
dalam Mikha 6:7. Di situ seseorang mengatakan “akan kupersembahkankah anak
sulungku karena pelanggaranku, dan buah kandunganku karena dosaku sendiri?
Di samping itu, cerita Kej. 22:1-19 mengenai permintaan Tuhan kepada
Abraham untuk mengorbankan Ishak tidak bisa dimengerti bahwa Allah dalam
konteks ini sungguh-sungguh meminta Ishak sebagai korban. Menurut narator Tuhan
mencobai Abraham. Ini berarti iman Abraham menjadi sorotan utama (von Rad, juga
Westermann). Kemungkinan akan adanya kenyataan bahwa Abraham sungguh-
sungguh berniat mengorbankan jiwa anaknya sendiri bukan tidak ada, dan
menjadikan kita bertanya jangan-jangan – seperti yang diduga E.G. Singgih – dibalik
itu ada konsep pengorbanan anak yang meskipun jarang, toh kadang-kadang
dipraktikkan di Israel kuno.5 Uraian Ini berarti ada perbedaan antara E.G Singgih dan
de Vaux dalam menilai unsur pengorbanan anak di kalangan orang Israel kuno.
Jika demikian, absud menurut de Vaux tidak harus dipahami bahwa praktik
pengorbanan anak bukan tidak ada melainkan besar kemungkinan praktik
pengorbanan anak sulung bukan praktik murni yang bersumber dari orang Israel
melainkan berasal dari pengaruh-pengaruh bangsa lain, makanya dikutuk oleh para
nabi karena termasuk hal yang sama sekali tidak pernah diperintahkan oleh Tuhan.

B. Makna korba di dalam Perjanjian Lama


Barangkali kurang tepat, tetapi bisa dikatakan bahwa ada kecenderungan
orang-orang kristen dewasa ini menempatkan Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian
Baru (PB) sebagai dua tradisi yang berbeda. Selain digambarkan sebagai Allah
pencipta dan pemelihara, Allah juga beberapa kali disebut sebagai pahlawan perang
yang akan membela bangsa Israel dari musuh-musuhnya. Berbeda dengan itu, PB
memunculkan kesan Allah yang lain diantaranya sebagai pengasih dan panjang
sabar, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan justru mengasihi dan mendoakan
musuh. Lebih daripada itu bahwa Ia melalui anakNya rela mati untuk umatNya. Ia
menjadi korban sehingga oleh Dia (Yesus) semua manusia diselamatkan. Akibat

5
Ibid. hlm. 14. Meskipun terdapat beberapa keterangan tentang adanya praktik korban manusia dalam
Alkitab, namun hal itu belum cukup untuk menjawab persoalan apakah bangsa Israel pernah
melakukan praktik seperti ini. Kalaupun E.G Singgih memberikan kesan ‘kadang-kadang’ praktik
pengorbanan anak terjadi, sebaiknya dipahami bahwa semuanya masih bersifat dugaan.

7
pemahaman tersebut maka korban dan maknanya di dalam PL cenderung dilupakan
dan tidak relevan di dalam kehidupan orang kristen dalam konteks sekarang. Tentu
terlalu dini untuk berpikir seperti ini, sehingga dianggap perlu melakukan penelitian
terhadap jenis korban dan motif yang terkandung di dalam ritual korban tersebut.
Secara khusus, kitab Imamat dengan tegas membedakan beberapa jenis korban
yang mengatur kehidupan dan relasi umat Israel dalam hubungannya dengan
Yahweh. Imamat Ps. 1-7 banyak memberikan informasi tentang hukum dan jenis-
jenis korban yang dimaksud. Berdasarkan bagian pertama kitab Imamat, kemudian
beberapa sarjana mengklasifikasikan korban menjadi 5 jenis, yaitu: korban bakaran
(olah), korban sajian (minkhah), korban penghapus dosa (khatta’th), korban penebus
salah (asham), dan korban keselamatan (shelamim). Yang terakhir di bagi lagi
menjadi tiga: korban syukur (todah), korban nazar (nedher), kurban sukarela
(nedabah). Secara sederhana akan dipaparkan motif dan tujuan yang ada dibalik jenis
ritual korban seperti yang sudah disebutkan.
1. Korban bakaran (olah)
Im. 6:9b menyebut bahwa “... korban itu harus tinggal di atas perapian di atas
mezbah semalam-malaman sampai pagi, dan api mezbah haruslah dipelihara
menyala di atasnya”. Di sini korban dibakar sampai habis kecuali kulit karena
kulit nantinya menjadi milik Imam yang mempersembahkan korban bakaran
seseorang (bnd. Im. 7:8). Karena dibakar sampai habis, maka olah kemudian
diterjemahkan sebagai korban bakaran (TB-LAI). Olah sendiri berarti ‘yang
naik’ mengandaikan korban itu naik kepada Tuhan melalui asap.6 Ada tiga
macam olah yang biasanya dipersembahkan: lembu / sapi, kambing atau domba,
dan burung tekukur / anak merpati. Ketika orangtua Yesus pergi ke bait suci
mereka mempersembahkan burung. Ada yang menganggap bahwa tindakan ini
semata didasarkan pada kemampuan yang mengorbankan, tetapi ada juga yang
mengatakan bahwa ketiga jenis hewan kurban di dasarkan pada golongan
(status) yang ada di dalam masyarakat. Bukan berarti yang terakhir ini tidak ada,
hanya belum jelas bahwa ‘status’ akan didasarkan pada kategori yang bagaimana
sehingga orang Israel mesti berbeda di dalam masyarakat.

6
G.B Gray. Sacrifice in Olt Testament: It’s Theory and Praktice. Oxford: Clarendon 1952. p. 7

8
Sehubungan dengan itu, Davidson mencatat tiga motif yang ada dibalik ritual
olah: ekspresi kegembiraan, ungkapan syukur, dan untuk menjalin relasi dengan
Tuhan dalam rangka memohon sesuatu.7 Praktisnya korban di bawah ke pintu
pertemuan, lalu pengorban meletakkan tangan (samakh) di kepala korban.
Tindakan meletakkan tangan di atas korban menjadi perhatian para sarjana
sehingga menghasilkan beberapa penafsiran yang berbeda. Balentine misalnya
menyebut tindakan ini sebagai simbol pernyataan bahwa hewan itu adalah
bagian dari diri pengorban serta berharap bahwa hal itu diterima sebagai
representasi diri pengorban.8 Senada dengan itu de Vaux menganggap bahwa
tindakan peletakan tangan merupakan pengesahan yang sungguh-sungguh bahwa
korban (victim) berasal dari dan bersifat individual. 9 Sedangkan Kaiser secara
khusus menyebut tindakan ini sebagai “transfer dosa” dari manusia ke binatang
(korban).10 Meski masih perlu ditelusuri lebih jauh, bukan tidak mungkin bahwa
argumen Kaiser ini benar dalam rangka memelihara kekudusan umat Allah.
Selama proses pemotongan sampai dengan pembakaran olah, kebersihan
korban harus tetap dipelihara. Maksudnya korban tidak boleh tercemar oleh
sesuatu yang dapat menajiskannya, misalnya: perut binatang jangan sampai
terkena tinja, betisnya dicuci dari kemungkinan terkena kencing atau mani
hewan tersebut, ataupun terkena sesuatu yang kotor dari tanah.11 Dalam hal ini
prinsip yang terbaik bagi Tuhan senantiasa dilaksanakan. Bakaran juga sering
disebut sebagai “korban api-api” yang menyenangkan bagi Tuhan. Korban jenis
yang sama pernah dipersembahkan Nuh (Kej 8:21). Setelah semua jenis hewan
bersih maka pembakaran bisa dilaksanakan. Proses pembakaran olah lebih
difokuskan pada munculnya asap yang oleh Milgrom disebut sebagai
transformation12 yaitu proses berubahnya korban hewan menjadi asap. Mungkin
karena alasan demikian sehingga olah juga sering disebut sebagai isseh (korban
api-apian) yang baunya menyenangkan bagi Tuhan.
7
Davidson. The Old Testament. P.106
8
Balentine. Leviticus. P.23
9
Roland de Vaux. Ancient Israel: It’s Life and Isntitution. London, Darton 1978. P. 416
10
Kaiser, W.C., “The Book of Leviticus”, dalam S.H Drenser. New Interprete’s Bible. New York,
Cross Road 1997. P.1001
11
Balentine. Leviticus. p.25
12
Milgrom. Leviticus. p.161

9
Persoalan yang muncul di sini adalah apakah olah merupakan korban khas
orang Ibrani ataukah justru korban yang lain. Aliran Wellhaussen lebih memilih
zevak sedangkan Robertson Smith menganggap korban pendamaian adalah yang
utama. Meski demikian peran penting olah tidak bisa diabaikan karena justru
korban bakaran inilah yang ada sejak Habel mempersembahkan anak sulung
kambing dombanya. Selain itu, olah telah menjadi upacara yang rutin artinya
setiap tahun (1 Raj. 9:25), selanjutnya menjadi perhatian utama dalam peristiwa
besar (1 Raj.3:4), bahkan peranannya mampu bertahan dominan sampai masa-
masa terakhir (bnd. Ezra 3:2-4; Yeh. 43:18). Tujuan terakhir dari korban olah
dinyatakan di dalam Ayb. 1:5; 42:8 dan menjadi alasan bagi korban
persembahan dalam Imamat 1:4 dimana korban bakaran dihubungkan kepada
pengampunan jiwa. Bagaimanapun juga, motif seperti ini bisa ada setidaknya
terselubung di dalam kesadaran diri pengorban.

2. Korban sajian (minkhah)


Terdapat beberapa terjemahan terhadap istilah minkhah, antara lain: NIV
menyebut grain - gandum, RSV menyebut cereal, dan TB-LAI menyebut
korban sajian, kadang-kadang disebut ‘upeti’ (bnd. 1 Raja-raja 4:21), dan
‘pemberian’ (2 Raja-raja 20:12).13 Akar katanya mungkin manakh yaitu
‘memberi’. Kecuali minkhah seluruh material yang dijadikan korban adalah
hewan. Yang dipersembahkan di sini berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti
tepung, minyak, dan kemenyan. Bisa juga dalam bentuk olahan, baik yang (1)
dibakar, (2) dipanggang, atau yang (3) dimasak dalam wajan dengan syarat harus
dari tepung terbaik disertai minyak, kemenyan, dan garam tetapi tanpa ragi. 14
Ketiga bentuk olahan ini, menurut Gerstenberger 15 bukan hanya menunjuk pada
perbedaan fisik persembahan melainkan juga menunjuk pada proses
persiapannya. Alat pembakaran roti (tannȗr) selalu ditaruh di tanah, dengan
demikian berada di luar rumah. Sedangkan tempat memanggang dan memasak
ditempatkan di dalam rumah. Kemungkinan besar ada implikasi ekonomis
13
Robert M. Paterson. Kitab Imamat. BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994. hlm. 45
14
Milgrom. p.189
15
Gerstenberger. Leviticus. P.42

10
bahwa hanya orang kaya yang memiliki tannȗr yang ditempatkan di luar rumah.
Korban Kain dan Habel juga disebut sebagai minkhah (korban persembahan),
meskipun Robert M. Paterson kemudian menduga bahwa arti kata ini (minkhah)
terbatas pada zaman pembuangan di Babel dan menunjuk kepada korban berupa
sayur-sayuran atau hanya tepung.
Menurut Im. 2, jenis persembahan ini terdiri dari tepung (2:1-3), kue bakar
(2:4-10), atau gandum mentah (2:14-16), minyak dan kemenyan (levona),
termasuk garam (2:13) dan anggur (23:13). Semua persembahan ini tidak ada
yang dimakan oleh pengorban, seluruhnya untuk imam tetapi setelah suatu
‘bagian ingat-ingatan (Im.2:2) dibakar di atas mezbah. Im. 6:14-23 menjelaskan
bagaimana minkha diproses sebelum dipersembahkan. Jika diperhatikan dengan
teliti rupanya ada segenggam tepung terbaik dengan minyak yang dikhususkan.
Untuk apa itu belum jelas. Setelah ada yang dikhususkan untuk para imam maka
haruslah semua minkah dibakar (Im.2:2) di atas mezbah sehingga baunya
menyenangkan sebagai ingat-ingatan si pengorban kepada Tuhan. Minkhah yang
telah dikhususkan tadi haruslah dimakan oleh Harun dan anak-anaknya di
pelataran Kemah Pertemuan (ay.15-16). Tidak begitu jelas apakah motif dibalik
korban sajian sekedar sebagai ingat-ingatan ataukah ada motif yang lain.
Tetapi mengenai motif yang ada dibalik korban minkhah, S.R Driver16
memberikan sedikit informasi mengenai persoalan tersebut. Ia menerangkan
bahwa kita tidak bisa semata-mata dapat menyatakan pemikiran netral tentang
pemberian, tetapi juga sebagai ‘hadiah yang diberikan untuk memastikan atau
mempertahankan kemauan baik’. Hal ini bisa dipahami bahwa untuk
memastikan suatu tindakan atau kemauan (niat) seseorang itu baik maka hal itu
dibuktikan melalui pemberian ‘hadiah’ dan mungkin kepada Tuhan, dengan
begitu ada pendamaian antara pengorban dan Tuhan. Makna pendamaian seperti
ini menonjol juga dalam acuan-acuan korban seperti 1 Sam. 3:10-14; 26:19.
Konsekuensi pemahaman seperti ini adalah ketika minkhah tidak ada maka suatu
tindakan (niat) sulit dikatakan baik.

16
S.R Driver dikutip dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, hlm. 578

11
3. Korban keselamatan (zebah shelamim)
Tidak begitu jelas mengapa kedua kata zebah dan shelamim digunakan secara
bersama menunjuk pada satu kasus: korban keselamatan. Secara terpisah zebah
diartikan “menyembelih” sedangkan shelamim mendapat penekanan yang
berbeda. Menurut E.G Singgih, TB-LAI mengikuti LXX, thousia sooterion
artinya korban keselamatan. TB-BIS menyebut “korban perdamaian” karena
menghubungkan kata shelem dengan syalom. Mengikuti de Vaux, E.G Singgih
mengusulkan “korban persekutuan” (communion sacrifice). Terjemahan lain
“sacrifice of well-being dari Balentine.17
Argumen lain berasal dari Rendtorff18 yang memberi penekanan pada
perbedaan arti kedua kata tersebut: frasa zebah shelamim terdiri dari dua kata
yang biasa digunakan secara terpisah. Yang pertama menunjuk pada korban
pribadi dan yang terakhir menunjuk korban komunal. Lebih jauh, Milgrom
menguraikan bahwa zebah dihubungkan dengan kata mizbeh yang menunjuk
pada keadaan umum korban yang disembelih di mezbah lalu dagingnya dimakan
oleh pengorban. Sementara kata shelamim menunjuk pada motivasi atau situasi
yang melatarbelakangi ritual tersebut.19 Motivasi yang dimaksud tidak secara
jelas disebutkan tetapi bisa diduga bahwa ritual ini dilakukan dengan susana
gembira, karena itu E.G. Singgih memilih membandingkan ritual tersebut
dengan selamatan atau kenduren dalam budaya Jawa.
Kesulitan lain bahwa zebah dan shelamim juga sering digunakan secara
bergantian (Im. 7:11-21; 2 Raj. 16:13, 15), sering juga dibedakan (Yos. 22:27; 1
Sam. 11:15), sering juga berdiri sendiri (2 Sam. 6:17, 18: Kel. 32:6), dan dalam
hukum keimaman sering digabung menjadi zebah shelamim. Ada yang
meragukan bahwa semua penggunaan zebah shelamim menunjuk pada
perjamuan korban zebah saja. Shelamim bila dipakai sendiri, berdasarkan
pengamatan R. Rendtorff mungkin sama sekali bukan perjamuan melainkan
korban penebus salah dengan khidmat yang serupa dengan olah.20
17
Korban Dan Pendamaian. 6
18
Lih. Rendtroff. Text and Concept in Leviticus 1:1-9, A Case in Exegetical Method. Tubingen J.C.B
Mohr 1992, p. 119-168
19
Milgrom. Leviticus, p.217-225
20
Membaca R. Randtorff dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini. Hlm 578

12
Di sini korban betina diperbolehkan. Tidak semua bagian korban dibakar
tetapi segala lemak yang menyelubungi dan yang melekat pada isi perut sebagai
korban api-apian (isseh) yang menyenangkan bagi Tuhan (bnd. Im. 3:3-4, hal ini
diulang pada ay.9-10). Hal yang bisa dipertanyakan adalah mengapa hewan
merpati/tekukur tidak disebut di dalam daftar korban (ps. 3:1-17)
Motivasi zebah shelamim dalam ps.3 belum dijelaskan, hal itu baru nampak
di dalam ps.7:11-21 yang membagi tiga jenis korban keselamatan disertai
dengan latar belakangnya (motif) yaitu: ayat 12 sebagai ungkapan rasa syukur
(toda) yang disertai minkhah, kemudian ayat 16 korban nazar (nedher) dan
korban sukarela (nedabah). Semua jenis korban bisa dimakan oleh pengorban,
tetapi toda harus dihabiskan pada hari itu juga sedangkan nedher dan nedabah
jika masih ada yang tinggal sampai hari ketiga maka harus dibakar sampai habis.
Jika tidak, berarti korban dianggap batal dan orang yang memakannya akan
menanggung kesalahannya sendiri.

4. Korban penghapus dosa (khatta’th)


Dalam uraian korban sebelumnya dosa secara ekspilist belum disebutkan.
Ternyata status sesorang menentukan hewan jenis apa yang harus dikorbankan.
Jika seorang imam yang berdosa – berarti seluruh umat juga berdosa–maka
korbannya adalah seekor lembu jantan muda. Jika yang berdosa adalah seorang
pemuka maka korbannya adalah seekor kambing jantan yang tidak bercela. Jika
yang berdosa adalah seorang biasa dari umat Israel, maka korbannya adalah
kambing atau domba betina. Lemak korban khatta’th dibakar di atas altar,
sedangkan dagingnya untuk imam (Im. 6:22). Segala sesuatu yang masih tersisa
harus dibakar habis di tempat pembuangan abu. Dalam ritual khatat’th, darah
mempunyai fungsi yang penting: dipercikkan oleh imam di tabir penyekat
tempat kudus (ay.6), dibubuhkan pada tanduk mezbah, selebihnya dicurahkan ke
bawah mezbah.
Belum jelas apakah darah dalam hal ini berfungsi sebagai alat pendamaian.
Setidaknya praktik ini menjadi dasar argumentasi teori subtitusi bahwa darah
hewan mengantikan dosa manusia sehingga layak menerima pendamaian

13
(lekapper). Menurut Gorman, pada korban khatta’th, darah dengan nyawa
korban di dalamnya bukan indikasi bahwa binatang adalah pengganti manusia,
tetapi menjadi agen yang membawa kehidupan bagi pengorban sehingga dia
menerima pendamaian karena dosa yang menyebabkan manusia berada pada
posisi kritis, antara hidup dan mati. 21 Bisa jadi bahwa Gorman menjadikan
Im.17:11 sebagai dasar argumentasinya.
Bukan hanya khatta’th tetapi juga asham mengacu terutama tidak pada
pelanggaran-pelanggaran moral, melainkah sesuatu yang dianggap ternoda/najis
sesuai dengan kaidah upacara atau hukum-hukum keimaman, misalnya kusta
dan ibu yang melahirkan. Meski demikian hal ini tidak menghilangkan unsur
moralnya. Tidak sulit menemukan motif dibalik ritual khatta’th karena jelas
bahwa korban dimaksudkan dalam rangka menebus dosa. Jika demikian,
seandainya khatta’th dan asham dapat dibedakan tetap saja, seperti apa yang
dipahami de Vaux, akan terdapat kekaburan dalam penggunaan keduanya.
Kesulitan itu dapat dilihat dalam Im. 5:6. Yang dapat dikatakan adalah bahwa
dosa terhadap Tuhan lebih mencolok dalam khatta’th, sedangkan dosa terhadap
sesama mencolok pada asham.
Lebih jauh para penulis Yahudi juga berbeda pendapat mengenai kedua kata
tersebut. Philo misalnya berpendapat bahwa khatta’th diberikan berikan
berkaitan dengan dosa tidak disengaja terhadap sesama manusia, sedang asham
diberikan berkaitan dengan dosa tidak disengaja terhadap Tuhan dan semua dosa
yang disengaja. Josephus menganggap perbedaannya terletak pada dosa yang
diketahui oleh saksi, dan dosa yang tidak disaksikan oleh orang lain. 22 Kesalahan
yang disebut-sebut di dalam khatta’th dan asham cenderung menunjuk pada
unsur sengaja dan tidak bukan pada yang disaksikan oleh orang atau tidak. Bisa
dikatakan bahwa dosa atau kesalahan yang disengaja tidak cocok dimasukkan ke
dalam uraian tentang korban-korban, sebab tidak ada korban yang bisa
dipersembahkan untuk orang yang melakukan dosa atau kesalahan yang
disengaja (Bil. 15:30-31). Justru ia harus dihukum mati. Akhirnya bisa diduga,
21
Lih. Gorman. Ideology of Ritual. pp. 181-189
22
Membaca E.G Singgih. Korban dan Pendamaian. Teologi Biblika Indonesia 2007, hlm. 7. dikutip
dari Roland de Vaux. Ancient Israel. London, Darton, Longman and Tod, 1978, p. 442

14
seperti E.G singgih, bahwa dosa dan kesalahan yang dibuat dalam kaitan dengan
persembahan korban semuanya dilihat sebagai dosa yang tidak disengaja, dan
konteksnya adalah pelanggaran-pelanggaran ritual atau sakral.
Ada pemahaman yang mengatakan bahwa peletakan tangan pengorban di atas
korban dipahami sebagai satu tindakan transfer dosa ke binatang korban. Sulit
menerima hal ini tetapi jika dihubungkan dengan Im. 10:17 tentang kewajiban
imam untuk memakan sisa khatta’th untuk mengangkut kesalahan umat itu dan
mengadakan pendamaian bagi mereka di hadapan Allah, maka istilah ‘transfer’
dapat diterima sebagai transfer of conciousness of sin and the desire for
forgiveness seperti yang diusulkan C.F. Keil dalam bukunya Manual of Biblical
Archeologi.23

5. Korban penebus salah (asham)


Secara sepintas telah diuraikan di atas mengenai hubungan antara asham
dan khatta’th. Yang khas pada asham adalah soal ganti rugi, semacam
pengembali, penggantian atau denda akibat tindakan salah seseorang bukan
komunal. Diuraikan bahwa jika kesalahan itu menyangkut kelalaian dalam
memberi persembahan, maka orang itu harus membayar ganti rugi ditambah
seperlima atau 20% dan menyediakan binatang korban yang dinilai menurut
harga korban tertentu untuk mengadakan pendamaian atas orang tersebut. Jika
kesalahan itu, misalnya karena mungkin mengenai barang titipan, merampas
barang, memeras, menemukan barang hilang tetapi tidak mengumumkannya,
bersumpah dusat (lih. Im. 6:2-3), maka ia harus mengembalikan atau
membayarkan sejumlah yang sama ditambah denda seperlima sekaligus tetap
menyediakan korban sebagai asham untuk menerima pengampunan.
Di sini pemahaman Josephus bisa dimengerti, bahwa bagaimana seandainya
ada orang yang katakanlah menemukan barang hilang tanpa mengumumkan,
bagaimana orang lain atau imam mengetahui bahwa orang tersebut telah
bersalah sebab ‘menemukan’ dan karena itu harus mempersembahkan asham?

23
Dikutip oleh G.J Wenham. The Book of Leviticus. Michigan, W.B Eerdsman, 1979, p.93

15
Ini berarti kedua kemungkina tersebut bisa ada dan saling menjelaskan satu sama
lain.
Tata cara persembahan korban asham dalam Im. 7:1-10 hampir sama
dengan zebah shelamim. Perbedaannya terletak pada perlakuan terhadap daging
korban di luar isseh, dimana semua daging korban menjadi bagian imam, kecuali
jika asham dipersembahkan karena dosa imam.

C. Spiritualitas korban
Sehubungan dengan kata spiritualitas tersebut, beberapa persoalan segera
muncul, misalnya: apa motif yang paling mendasar dari seluruh ritual korban yang
diuraikan di dalam kitab Imamat? Karena merupakan tradisi imam, maka perhatian
terhadap kitab Imamat sebagai ditelusuri pada ideologi para imam. Jika demikian
mungkinkah mengabaikan peran pengorban? Untuk menemukan spiritualitas atau
semangat apa yang terkandung dalam ritual korban sebaiknya peran imam dan
pengorban dilihat sebagai satu kesatuan yang membentuk monoteisme Israel.
Persoalan lain terkait dengan spiritualitas korban Israel adalah adanya kritik yang
tersebar di banyak tempat terhadap praktik korban itu sendiri baik pada zaman Raja-
raja, Hakim-hakim, pun Nabi-nabi, bahkan sampai pada kritik pemazmur. Di sini
muncul pertanyaan mengapa para kritikus tadi tidak hadir pada awal penetapan
aturan tentang korban, dalam tradisi imam? Apakah pada awalnya praktik korban
yang diselenggarakan di kalangan orang Israel sudah sesuai dengan kehendak Allah
atau justru sebaliknya, sesuai dengan kehendak para imam? Berdasarkan hal ini,
maka baik motif para imam dan orang Israel mengadakan korban tetap terbuka untuk
dipersoalkan!.
Mengapa nabi Yesaya sampai mengatakan: “untuk apa itu korbanmu yang
banyak-banyak?... aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan
dan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan, dan domba-domba, dan
kambing jantan tidak Kusukai” (ps. 1:11). Hal yang sama juga dikatakan oleh nabi
Amos: “sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu korban-korban
bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu
berupa ternak yang tambun Aku tidak mau pandang ... tetapi biarlah keadilan

16
bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (ps.
5:22, 24). Sekarang, mungkinkah kritik seperti ini ditempatkan dalam konteks tradisi
imam? Atau setidaknya dalam konteks kitab imamat?
Sebagai satu umat pilihan Tuhan yang telah diproklamirkan di gunung Sinai,
Israel dengan mempertahankan praktik korban kepada Tuhan tetap menjaga
kekudusan diri mereka. Kepada Tuhan yang telah memilih dan memimpin umatNya
keluar dari perbudakan, maka selayaknya Israel menjaga hubungan dengan Allah
tetap harmoni dan kudus. Segala sesuatu yang menjijikkan/najis (tumbuhan,
binatang, dan manusia) tidak berkenan kepada Tuhan. Dengan adanya perjanjian
yang ditetapkan antara Tuhan dan Israel melalui hambaNya Musa di Sinai.
Adanya sikap kritis terhadap korban dalam Perjanjian Lama biasanya
dijadikan acuan hidup orang kristen dewasa ini untuk tidak lagi mempraktikkan
korban. Selain dianggap percuma dan tidak penting, pemahaman seperti ini telah
dipengaruhi oleh tema besar tentang Yesus sebagai korban satu kali untuk selamanya
di dalam Perjanjian Baru. Persoalan sekarang sehubungan dengan ‘penolakan’ orang
kristen tersebut adalah apakah para kritikus kemudian tidak setuju terhadap praktik
korban yang dilakukan orang Israel? Apakah Tuhan tidak berkenan melalui para
nabinya menerima olah sebagai usaha umat membangun relasi dengan Tuhan-Nya
baik karena ungkapan syukur ataupun dalam rangka memohon sesuatu. Mengapa bau
korban zevakh tiba-tiba tidak menyenangkan bagi Tuhan? Apakah karena yang
dipersembahkan bukan yang terbaik sehingga memunculkan kejijikan bagi Tuhan?
Jika benar bahwa korban Israel dalam perkembangannya tidak sesuai lagi
dengan kehendak Tuhan berarti telah terjadi pergeseran makna korban dari Sinai
sampai masuk ke Kanaan. Dengan demikian spiritualitas korban juga mengalami
pergeseran. Yang ingin dikatakan tentang spiritualitas korban di sini terbatas hanya
pada satu tradisi Imam, bahwa para Imam menekankan kekudusan hubungan vertikal
antara umat dan Tuhan merupakan latar belakang tugas atau panggilan Imam.
Penciptaan merupakan suatu tatanan yang dikerjakan oleh Allah sendiri.
Segala sesuatu adalah milik Tuhan dan berada di dalam kuasaNya. Pemahaman
bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah menciptakan langit dan bumi menjadi tema
utama dalam kepercayaan para Imam, bahkan menjadi pengakuan iman sehari-hari

17
seluruh orang Israel. Jadi bisa dimengerti mengapa setiap korban harus dipilih dari
yang terbaik dan dikerjakan bukan dengan cara sembarangan. Segala sesuatu di atur
jangan sampai korban justru menjadi persembahan yang tidak menyenangkan hati
Tuhan.
Jika Israel mempersembahkan korban yang terbaik maka mereka akan
menikmati hidup karena “... Aku (Tuhan) akan menunjukkan kasih setia kepada
beribu-ribu orang yaitu mereka yang mengasihi aku dan yang berpegang pada
perintah-perintahKu” (Kel.20:6). Kalau setia, maka mereka akan hidup. Kalau Israel
memberi korban yang terbaik, maka Tuhan berkenan memelihara. Kelihatannya
konsep seperti ini menjiwai ritual korban yang dilakukan Israel sehingga bisa diduga
bahwa semangat menyembah Tuhan menjadi awal dari spiritualisasi korban, tetapi
tujuan akhir dari semua ritual korban adalah untuk kelangsungan hidup orang Israel
sendiri.

18

Anda mungkin juga menyukai