Anda di halaman 1dari 6

KauM pagan

Tulisan panjang ini yang terdiri dari sembilan bagian berusaha memberi wawasan
kepada kita tentang wilayah gelap yang terjadi di balik semua kejadian keseharian kita.
Bagian kesepuluh ini merupakan ikhtisar dari rangkaian tulisan sebelumnya. Inlah
ikhtisarnya:

Kaum pagan adalah kaum yang menyembah banyak tuhan (dewa-dewi) atau
polytheisme. Dalam puncak-puncak peradaban kaum pagan terdapat suku Aztec, Maya,
Hopi, Kaliyuda, dan yang paling melegenda adalah Mesir Kuno. Dalam penanggalan
kalender mereka, semuanya percaya jika di tahun 2012 dunia akan meninggalkan tata
dunia lama dan beralih ke tata dunia baru.

Menariknya, momentum yang sama ternyata juga diyakini oleh Konspirasi Yahudi
Internasional yang menjadikan tahun 2012 sebagai batas waktu modernisasi Pentagon
setelah diubah total paska 11 september 2001, batas waktu bagi pelaksanaan Codex
Alimentarius di mana makanan dijadikan senjata bagi pengurangan populasi dunia
(salah satu buktinya silakan cari pidato Rockefeller tentang Population Controlling di
Youtube) atau baca buku ‘Kendali Korporasi Atas Meja Makan Kita’ oleh Consumers
International (2005), batas waktu bagi pelaksanaan Agenda 21 yang melibatkan tokoh-
tokoh dunia, dan sebagainya.

Apakah dengan demikian ada benang merah antara suku-suku pagan kuno dengan para
tokoh dunia yang merancang tahun 2012 sebagai batas antara Dunia Lama dengan
Dunia Baru? Jawabannya adalah tepat. Suku-suku pagan kuno merupakan suku-suku
penyembah Dewa Matahari yang namanya di berabgai wilayah dunia berbeda-beda.
India menyebutnya Btara Surya, Nippon menyebutnya Amaterasu, Orang Aztec
menyebutnya Virachoca, Mesir Kuno menyebutnya Ra, Romawi menyebutnya Helios,
orang persia menyebutnya Ahumarazda, dan sebagainya. Mereka terikat oleh satu
kepercayaan yang berasal dari sistem kepercayaan kuno Kabbalah yang berasal dari iblis.
Sejarawan J. Robinson mencatat jika salah satu pewaris ajaran iblis adalah sekte kuno
Brotherhood of snake. Kelompok Persaudaraan Ular.

Selain Matahari, simbol pemujaan ular juga terdapat dalam suku-suku pagan kuno
seperti Mesir, Persia, Maya, Aztec, Kaliyuga, Hopi, dan sebagainya. Mereka merupakan
nenek moyang dari Konspirasi besar dunai yang kita kenal dengan istilah Zionis
Internaisonal. Zionis-Israel sampai hari ini masih menempelkan peta Israel raya yang
menelan wilayah utara Saudi, timur Mesir, selatan Turki, barat Irak, seluruh Palestina,
Lebanon, dan sebagainya, di mana peta itu bergambarkan seekor ular besar. Ular
merupakan binatang utama dalam kepercayaan Talmud, kitab suci kaum Zionis.

Apakah warisan paganisme hanya diwarisi oleh Zionis? Sayangnya, tidak. Lihat tahta Suci
Vatikan. Simbol-simbol pagan memenuhi arsitektur kerajaannya. Bahkan tongkat Paus di
atasnya ada simbol Dewa Matahari. Demikian juga dengan agama-agama lain. Tidak
berlebihan jika dikatakan, agama pagan merupakan agama terbesar di dunia saat ini.
Mengapa? Bisa jadi KTP seseorang itu mencantumkan agama Islam, Hindu, Kristen, atau
Budha. Tapi lihatlah kepercayaan keseharian mereka ternyata banyak yang masih
mewarisi kepercayaan paganisme.

Yang Islam masih saja bersahabat dengan jin, dengan melakukan ritual-ritual penuh
kemusyrikan dan khurafat. Iklan di teve yang mengatasnamakan primbon dan segala hal
sejenisnya merupakan contoh kecil. Kepercayaan terhadap angka, misal 666, 888, dan
999 juga warisan kaum pagan. Lalu yang Kristen juga demikian, salah satunya
mempercayai 25 Desember sebagai hari kelahiran Isa a.s., padahal itu tanggal kelahiran
Son of God (Namrudz anak Dewa Matahari) dan beribadah tiap hari Minggu (Sunday =
Sun Day, Hari Matahari) padahal Nabi Isa a.s. melakukan ibadah tiap hari. Hindu-Budha
tidak beda juga. Sehingga merupakan fakta jika agama pagan merupakan agama
terbesar di dunia ini sekarang, walau banyak orang enggan mengakuinya.

Talmud merupakan kitab suci iblis yang diyakini kaum pagan kuno dan juga mewarnai
banyak sisi dalam kehidupan dunia dewasa ini. Tak usah jauh-jauh untuk mencari
contoh. Buka kartu remi, atau Tarot, hitung jumlahnya, maka akan menemukan angka 13.
Atau pergi ke hotel mewah atau gedung perkantoran tinggi, cari lantai 13, Anda tidak
akan menemukannya. Atau cari kursi nomor 13 di pesawat, juga tidak ada. Ini hanyalah
contoh paling sederhana dari keyakinan paganisme kita. Contoh yang juga kurang kita
sadari adalah menempatkan dunia (dunia Materi) di atas akherat (dunia Immateri) atau
dengan kata Quranik: Cinta dunia melebihi akherat. Banyakkah dari kita yang bersikap
atau berpikiran demikian? Jujur sajalah, banyak sekali.

Ini merupakan keberhasilan kaum pagan mewarnai pola pikir manusia. Kaum pagan
modern ini memiliki satu cita-cita: menciptakan Tata Dunia Baru (The New World Order)
dimana kaum Yahudi menjadi tuan besar atas umat manusia non-Yahudi (Ghoyim)
lainnya.

Percaya atau tidak, saat ini di sekeliling kita tengah terjadi pelaksanaan dari tahap demi
tahap pencapaian agenda kaum pagan modern tersebut. Mungkin hari-hari kita selalu
dipenuhi dengan duduk di depan pesawat teve, asyik bersenda-gurau di café atau
restoran atau di mall, asyik chatting atau main game di depan monitor komputer, asyik
menghadiri majelis pemenangan pemilu atau pilkada, asyik mengantre di depan loket
bioskop, dan sebagainya. Semua ini memang dibuat untuk menyibukkan dan menguras
energi anak cucu Adam agar lengah dari apa yang sesungguhnya tengah terjadi di
sekeliling mereka. Pelan tapi pasti, agenda kaum pagan modern alias Zionis Internasional
terus berjalan. Dan saat kita menyadarinya, kita terpana: terlambat… Sesal memang
selalu belakangan. (rd/tamat)   
Paganisme Dulu dan Kini
Tarmizi Abbas – 27 Maret 2021

Istilah “paganisme” umum digunakan untuk merujuk pada praktik dan tradisi
para penyembah berhala. Dalam sejarah, istilah ini lazim digunakan oleh
komunitas Kristen awal di Romawi pada abad ke-4 guna membedakan
keimanan mereka dari praktik dan tradisi para pemuja dewa. Sejak saat itu,
paganisme menjadi salah satu kategori pembeda yang penting di dalam proses
Kristenisasi di luar Eropa. Mereka menjadi sasaran Kristenisasi lantaran
kepercayaanya yang sesat, perilaku yang barbarik, dan terbelakang.

Namun, benarkah penyembahan berhala adalah makna sentral dari paganisme?


Graham Harvey, profesor Studi Agama di Open University, Inggris, berupaya
meruntuhkan argumentasi tersebut dalam What do Pagans Believe?  (Granta
Books, 2007). Bagi Harvey, sebelum diasosiasikan sebagai sistem kepercayaan,
paganisme pada awalnya bukanlah merujuk pada sebuah kategori agama,
melainkan paganus,  atau sebutan untuk “penduduk di satu tempat tertentu” (h.
3). Kaum pagan meyakini alam semesta beserta segala isinya adalah sakral
sehingga pada waktu tertentu mereka merayakan ritual pergantian musim dan
upacara-upacara magis untuk menghormati leluhur. Berbeda dari doktrin
agama-dunia yang meyakini bahwa dunia hanya tempat singgah sementara
sebelum menjalani kehidupan abadi di surga, bagi kaum pagan, dunia ini adalah
surga itu sendiri.

Setiap kelompok pagan memiliki ciri khas masing-masing. Namun, secara


umum, menurut Harvey, mereka memiliki sejumlah kesamaan mendasar, yakni:
1) kecintaan pada alam, 2) moral positif, dan 3) pengakuan terhadap entitas
supranatural. Prinsip-prinsip ini melembaga ke dalam perilaku etis dalam
hubungannya dengan alam melalui ritual kepada para dewa. Meskipun masih
sering mendapat tekanan dari Kristen (umumnya dari kalangan evangelis), sejak
awal abad 20 kaum pagan mulai berani mengakui diri mereka di ruang publik,
sering dengan nama neo-paganisme. Hal ini antara lain berkat tren semangat
romantisme yang mulai bangkit pada abad ke-18, yang kemudian disambut di
dunia akademik.

Muasal dan Perdebatan

Dalam kesarjanaan studi agama, kemunculan awal paganisme memiliki kaitan


dengan erat dengan agama Kristen. Istilah paganisme di sepanjang abad 1-3
SM lebih dikenal dengan kata paganus yang memiliki pengertian “warga sipil
non-militer”. Istilah ini digunakan oleh gereja untuk membedakan orang Kristen
sebagai tentara Kristus, dan orang non-Kristen sebagai kaum pagan. Tetapi
karena tidak memberikan signifikansi dalam proses Kristenisasi awal, sepanjang
abad ke 4-5 M para penulis Kristen mulai mengasosiasikan paganisme dengan
takhayul (superstitio) hingga meredefinisi kata tersebut menjadi “penyembah
berhala desa”. Yang pertama tampak dalam karya St. Agustinus Hippo
berjudul Christian Theology, City of God, and On the Divination of Demons,
sedang yang kedua pada karya Arnobius berjudul Adversus Nationes  yang
menyebut kaum pagan sebagai politeis yang kontras dengan Kristen sebagai
penyembah Tuhan.

Momentum puncak dari penggunaan kategori paganisme sebagai antitesis dari


Kristen terjadi pada era Reformasi Kristen abad ke-16. Saat itu paganisme tidak
hanya direpresentasikan sebagai agama palsu dan perusak, tetapi juga alat
untuk menyudutkan orang-orang Katolik. Sebagaimana diungkap oleh pendeta
kenamaan Inggris Thomas Ailesbury dalam ceramahnya yang
berjudul Paganism and papisme parallel’d (1642), ikon-ikon Yesus yang
ditempatkan di gereja, pemujaan terhadap orang-orang suci, dan pengambilan
daging hingga darah Kristus dianggap berasal dari ritual pagan.

Keyakinan Kaum Pagan

Seluruh praktik dan tradisi kaum pagan, seperti festival, upacara magis, dan
kepercayaan mereka terhadap para dewa bertaut erat dengan satu pandangan
dunia tentang alam semesta (h. 33). Keyakinan ini, bagi Harvey,
termanifestasikan ke dalam tiga prinsip utama. Pertama, adalah ikatan cinta
terhadap alam yang merembesi keyakinan bahwa siklus kehidupan sebatas
hidup dan mati; kedua, yakni moral positif yang diekspresikan lewat harmoni
antara manusia dan alam melalui ritual; dan ketiga adalah pengakuan terhadap
entitas transendens yang melampaui gender, tetapi tetap bisa diidentifikasi
sebagai laki-laki atau perempuan melalui simbol, ikon, dan patung-patung.
Ketiga prinsip ini, alhasil, lebih menekankan pada partisipasi kaum pagan di
dalam menciptakan dunia yang koeksisten.

Khusus pada prinsip pertama dan kedua, bumi, matahari, bulan, planet, bintang-
bintang, gejala alam dan keberadaan hewan-hewan menjadi perhatian utama
dalam memahami kepercayaan mereka. Meskipun ritual dan tradisi mereka
berbeda satu sama lain, kaum pagan menjadikan alam lingkungan hidup sebagai
bagian tidak terpisahkan dari religiositas mereka. Penting untuk dicatat bahwa
kaum pagan tidak memercayai setan sebagaimana deskripsi orang-orang
Kristen. Ketika merayakan upacara pengorbanan, itu tidak menunjukkan bahwa
mereka percaya kepada setan, melainkan sebuah resolusi untuk memelihara
hubungan atau mengakhiri konflik dengan entitas non-manusia yang berada di
alam.

Satu hal lain yang merepresentasikan kepercayaan pagan adalah keyakinan


pada doktrin “ada Yang Satu di balik segalanya” (h. 54). Maksudnya, dunia
material ini adalah pancaran dari satu entitas non-manusia yang disebut
“spirit”. Entitas ini beragam, tetapi umumnya roh-roh tersebut merupakan
perwujudan dewa-dewi. Para Wiccan misalnya, meyakini bahwa dunia ini
ditempati oleh dewa-dewi yang memiliki nama berbeda di masing-masing
tempat: Ceridwen dan Cernunnos atau Persephone dan Hades dari
kebudayaan Celtic; Sagas dan Eddas dari tradisi Shaman; Isis dan Osiris dari
Mesir kuno; Aradia dan Apollo dari cerita rakyat orang-orang Italia, dst. Dewa-
dewi ini diyakini menyampaikan pesan lewat para pendeta dan yang paling
penting, kedudukan mereka vital di dalam setiap ritual pergantian musim,
kesuburan tanah, hingga menjaga stabilitas komunitas pagan.

Pagan Hari Ini

Pada abad ke-20 orang-orang mulai berani menyebut tradisi dan praktik
keagamaan mereka sebagai paganisme. Namun apa yang dikenal hari ini
bukanlah pagan laiknya ia direpresentasikan di masa lalu, melainkan dengan
sebutan neo-paganisme. Owen Davies, dalam Paganism: A Very Short
Introduction  (Oxford, 2011) menyimpulkan bahwa seturut humanisme era
Pencerahan abad 18, neo-paganisme muncul dengan semangat untuk
membangkitkan kembali semangat romantisme kuno (h. 117). Kebangkitan ini
merangkum daya tarik artistik dan estetika dari dunia pagan klasik yang
direpresentasikan lewat pemujaan dewa-dewa kuno. Pada pertengahan abad
ke-19, kepercayaan pagan mendapatkan perhatian mendalam dari seluruh
dunia lantaran teori evolusi Darwin yang merembes hingga ke studi antropologi
dan studi agama awal. Namun, hal ini tidak berarti apa-apa sebab mereka tetap
dideskripsikan sebagai bentuk evolusi agama paling awal dan tua yang tak
beradab sebelum agama-agama dunia lainnya muncul. Dua intelektual
kenamaan yang terlibat dalam proyek ini misalnya adalah E.B Tylor dan James
Frazer dengan konsep animismenya. (Baca lebih jauh tentang problem
animisme  di sini.)

Kemunculan neo-paganisme juga tidak bisa dilepaskan dari organisasi


seperti British Orders of Druids  di tahun 1960-an yang mengklaim memiliki
darah keturunan asli Druid kuno. Perlahan, sayap-sayap mereka berkembang
hingga ke Amerika hingga Skandinavia. Beberapa dari mereka juga menciptakan
gerejanya sendiri sebagai cara untuk memobilisasi gerakan. Di antara mereka,
Gerald Gardner adalah salah satu yang paling sering disebut lantaran berhasil
menciptakan kembali kepercayaan Wiccan yang telah lama hilang lewat
karyanya yang berjudul Witchcraft Today (Paperback, 1954). Gardner menjadi
Pendeta Agung dari kelompok ini, bahkan, sebagian besar kelompok pagan lain
menerima agamanya. Baginya, menjadi Wiccan sejati adalah persoalan
bagaimana berelasi dengan alam melalui berbagai ritual yang menghubungkan
mereka dengan para dewa, lingkungan, bahkan entitas non-manusia lainnya.

Namun, perubahan ini juga meniscayakan perbedaan dalam tradisi dan praktik.
Neo-pagan tidak lagi melakukan ritual pengorbanan darah seperti dalam
kepercayaan pagan klasik. Misalnya, ketika pergantian musim tiba, para Vikings
Nordik di Islandia rutin melaksanakan ritual pengorbanan darah dan daging,
atau disebut Blót. Di masa lalu, Blót dilakukan dengan menggunakan darah
binatang atau tahanan penjara yang dipersembahkan kepada Dewa Odin.
Namun saat ini, Blót cukup dilakukan dengan membeli daging di supermarket
dan darahnya bisa digantikan dengan anggur. Alasannya cukup sederhana dan
pragmatis: kaum Vikings juga merupakan orang-orang Kristen modern yang
menolak pengorbanan darah dengan alasan kesehatan dan kenyamanan
bahkan saat ini mereka kebanyakan adalah vegetarian.

Beberapa fakta ini, dengan demikian, menyiratkan bahwa, meski sebagian besar
kelompok neo-pagan masih mempertahankan kepercayaan pagan klasik, dalam
praktiknya tidak sedikit juga dari mereka yang membuka diri terhadap berbagai
keyakinan lain, yang sebagiannya terinspirasi oleh ajaran agama-dunia.

Anda mungkin juga menyukai