Anda di halaman 1dari 6

Pelajaran 3

Sastra Apokalipsis

Sastra apokalipsis mewakili satu dari banyak bagian yang paling mempesona namun
paling membingungkan dari Kitab suci. Ketika mempelajari Daniel atau Wahyu, para pembaca
merasa bahwa mereka telah dihantar ke dalam suatu dunia cerita peri tentang mitos-mitos dan
monster-monster, suatu panorama fantasi gaya Tolkien (Penulis novel terkenal dari Inggris yang
menulis The Hobit, The Lord of The Ring dll). Ketidaknyataan dari simbol-simbol dan peralihan
yang terus menerus dari satu adegan ke adegan lainnya benar-benar membingunkan. Pada waktu
yang sama, teks tersebut melukiskan peperangan di langit dan di bumi, antara kebaikan dan
kejahatan, antara anak-anak Allah dan kekuatan-kekuatan Iblis. Pembaca terjebak antara harafiah
dan simbolis, tidak tahu bagaimana mendekati karya-karya ini. Sekali kita tahu cara menangani
belalang-belalang dan kerumunan-kerumunan setan, kambing-kambing bertanduk banyak dan
binatang-binatang yang menakutkan, sastra apokaliptik merupakan suatu sarana yang memesona
dan sangat banyak digunakan bagi pemaparan kebenaran theologis
Sastra apokalipsis ada dalam kedua Perjanjian. Di dalam PL kita dapat mencatat Daniel
dan Zakharia serta penglihatan-penglihatan dari Yehezkhiel 37-39 dan mungkin Yesaya 24-27
atau tulah belalang dalam Yoel. Dari Apokrifa dan Pseudoepigrafa ada I Henokh, 2 Henokh, 3
Henokh, Kitab Yobel, Kenaikan ke Musa, Kenaikan Yesaya, 2 Barukh, 3 Barukh, 4 Ezra,
Mazmur Salomo, Perjanjian Abraham, Apokalipsis Abraham, Bagian-bagian dari Perjanjian Dua
Belas Patriakh, Gembala Hermas, Orakel Sibylline dan beberapa gulungan Qumran. Apokalipsis
PB dapat mencakup Markus 13, I Korintus 15, 2 Tesalonika 2, 2 Petrus 2-3, Yudas dan Wahyu.
Bahan ini mencakup suatu periode yang merentang dari abad ketujuah SM sampai abad ke dua
Masehi. Sastra di luar kanon menjadi penting untuk perspektif dan kendali yang tepat dalam
mempelajari bahan yang kanonis.
Kata apokalips berasal dari kata bahasa Yunani apokalipsis (wahyu, apokalipse, Why
1:1). Dalam pemakaian umum, sastra apokalipsis menunjuk sekelompok buku orang Yahudi
beserta konsep-konsep dasarnya yang bertumbuh subur di sekitar Palestina, yang kebanyakan
beredar kira-kira antara abad ke-2 SM dan abad pertama. Apokalipsis pada mulanya popular di
antara orang Yahudi, kemudian masuk ke dalam komunitas orang Kristen. Selain buku-buku
apokalipsis yang sudah umum diketahui, sebagian tulisan Qumran juga mempunyai ciri
apokalipsis.
Istilah apokalipsis dulu belum digunakan terhadap rumpun sastra ini sampai istilah ini
muncul dalam Wahyu 1:1, dan barulah sampai abad kedua istilah ini muncul secara lazim untuk
genre ini. Kata ini berarti “menyingkap” atau membuka pengetahuan yang sebelumnya
tersembunyi dan menjadi istilah yang alami untuk digunakan. Sastra apokalipsis memiliki dua
aspek: merupakan genre atau tipe sastra dan serangkaian konsep yang dijumpai dalam teks yang
termasuk genre ini.
Ciri-ciri umum sastra apokalipsis
1. Eskatologis
Sama seperti sastra nabi, penulis sastra apokalipsis meramalkan hal-hal yang akan datang.
Namun, tidak sama dengan nabi, mereka tidak menaruh harapan kepada dunia atau masa
sekarang, melainkan mengharapkan terjadinya peristiwa eskatologis secara mendadak.
2. Dualisme
Pikiran dualistik ini ditunjukkan dengan adanya dua kekuatan yang beropisisi, yaitu Allah yang
bertentangan dengan Iblis, dan juga dua dunia atau masa yang sama sekali berbeda, yaitu dunia
yang akan datang dan dunia sekarang. Berbeda dengan nubuat, klimaks dalam sastra apokalipsis
dijelaskan dengan gambaran langit dan dunia baru, yang tidak sama dengan dunia sekarang.
Walaupun tidak semua sastra apokalipsis menulis demikian, perlu ditambahkan disini, penulis
sastra apokalipsis tetap percaya monoteisme, kerajaan Allah yang akan datang, dan
penghakiman-Nya yang tidak dapat dielakkan.
3. Determinisme
Penulis sastra apokalipsis percaya, segala sesuatu berjalan sesuai dengan pengaturan Allah, dan
menuju kepada akhir yang juga sudah ditentukanNya. Sejarah merupakan jadwal yang
menunjukkan kedatangan hari yang dahsyat itu. Pikiran ini dilatar belakangi pandangan yang
pesimistis terhadap kesanggupan manusia menang atas kejahatan. Dunia ini jahat. Suatu
perubahan besar dalam masyarakat sedang berjalan. Penulis sastra apokalipsis hanya berharap
kepada Allah, sebab Dia pasti menang. Penderitaan sekarang akan menghasilkan kebahagiaan
yang tak terhingga. Untuk meyambut akhir zaman itu, mereka berusaha menguatkan dan
menghibur orang-orang benar yang tersisa yang sedang menderita. Berita yang disampaikan
mereka tidak sama dengan nabi, yang menegur dosa rakyat, dan menghimbau mereka berpaling
kepada Allah.
4. Bersifat Esoteris
Penulis sastra apokalipsis percaya, wahyu Allah diberikan hanya kepada orang tertentu.
Pemberian wahyu ini biasanya melalui mimpi atau visi. Malaikat bertindak sebagai penuntun
atau pemberi penjelasan. Wahyu ini sebenarnya diturunkan turun-temurun, namun baru diberikan
penjelasan oleh kelompok apokalipsis. Selain dari beberapa kekecualian, tidak sama dengan
nabi, pemberian wahyu dikalangan penulis sastra apokalipsis bersifat tidak langsung. Peranan
perantara ini, diantaranya malaikat, cukup dominan. Dalam sastra apokalipsis, tidak banyak
mencatat sabda Allah yang berotoritas, yang membuat penerimanya bergemetar.
5. Penulisan
Penulis sastra apokalipsis langsung menuliskan berita yang diberikan kepadanya. Ini tidak sama
dengan nabi yang umumnya baru menuliskan berita yang disapaikan kepadanya di kemudian
hari. Sastra apokalipsis banyak memakai tradisi yang umum, beda dengan sastra para nabi yang
menggunakan format yang diawali dengan kalimat “Firman Allah datang”, “Beginilah Firman
Tuhan”, atau yang sejenisnya.
6. Simbolisme
Simbol dipakai secara luas dalam sastra apokalipsis. Bagi pembaca masa kini, ini merupakan hal
yang sulit dipahami. Ciri ini berbeda dengan nubuat, yang ditulis pada abad-abad yang lebih
awal, yang pada umumnya memakai bahasa yang mudah dimengerti. Pemakaian simbol
berhubungan dengan topik sastra ini, serta pengalaman dan karakter penulis yang terkait.
Sebagian simbol ini diberi penjelasan, tetapi kebanyakan tidak. Pembaca pertama yang
menerima sastra apokalipsis tidak sulit memahami maknanya. Pemakaian simbol juga lebih
menjamin keselamatan penulisnya dalam keadaan yang tidak aman.
7. Nama samaran
Pebulis sastra ini biasanya tidak memakai nama asli, melainkan meminjam nama tokoh zaman
kuno. Ada banyak alasan yang mendorong mereka berbuat demikian. Ini mungkin bermaksud
menarik perhatian pembaca, menjamin keamanan, karena kagum terhadap zaman kuno, atau
menunjukkan identitas kelompoknya. Dalam kasus terakhir ini, pembaca akan mengenal dengan
mudah penulis sastra apoalipsis termasuk kelompok apokalipsis mana. Praktik ini tidak bertujuan
menipu pembaca.
Asal usul sastra apokalipsis
Menurut G. E. Ladd, ada tiga hal yang menyebabkan munculnya sastra apoklapisis. Pertama,
timbulnya kelompok-kelompok yang melihat diri mereka orang benar yang tersisa. Salah satunya
adalah komunitas Qumran. Mereka biasanya menganggap nubuat nabi dipenuhi atas dirinya.
Paul D. Hanson melihat ide orang benar yang tersisa dari sudut sosiologis. Menurutnya mereka
ini terdiri atas banyak kelompok yang mempunyai ciri umum, yaitu mereka yang tidak lagi
mempunyai kuasa. Jadi bagi Hanson, yang dikritik kurang memperhatikan ciri agama orang
benar tersisa ini, mereka adalah orang-orang yang dikecewakan. Mereka kalah dalam pergolakan
sosial termasuk pergesekan yang terjadi dalam dunia agama.
Kedua, kejahatan yang menjad-jadi. Kesan ini timbul dalam hati orang Yahudi, karena
sepertinya Allah tidak lagi menghukum orang jahat dan memberkati orang baik. Yang terjadi
dalam masyarakt adalah yang jahat mujur, sedangkan yang baik tidak lancar. Keadaan ini
menjadi pertanyaan yang serius bagi orang Yahudi yang pulang dari pembuangan, terutama
ketika mereka berusaha menaati hukum Musa. Apa yang terjadi sangat mengecewakan mereka.
Orang Yahudi justru dijajah silih berganti oleh bangsa asing yang tidak sama.
Ketiga, orang Yahudi tidak lagi mendengar nubuat. Untuk berabad-abad lamanya, bangsa ini
mendengar ajaran para nabi. Tetapi kini, seolah-olah nabi tertidur. Itu sebabnya tibalah waktu
bagi penulis apokalipsis untuk bangkit berdiri mengisi kekosongan ini.
Memang benar sastra apokalipsis pernah bertumbuh subur di kalangan orang Yahudi dan
Kristen. Bahkan menurut sebagian sarjana, yang jumlahnya tidak banyak, sastra apokalipsis
merupakan ibu semua teologi Kristen. Jika sastra apokalipsis begitu penting, bagaimana dengan
asal-usulnya? Banyak teori yang coba menjelaskan hal ini. Contohnya, Betz melihatnya sebagai
hasil budaya Yunani, sedangkan Conzelmann percaya sastra jenis ini berasal dari agama orang
Iran dan sebagainya. Tetapi rupanya pendapat H. H. Rowley, D. S. Rusell, S. D. Frost, P. D.
Hanson lebih dapat diterima. Disamping mendekati pengaruh budaya lain, mereka percaya sastra
apokalipsis berasal dari nubuat PL. Walupun penilaian dan cara penanganan mereka berbeda,
pada dasarnya sarjana-sarjana ini melihat sastra ini sebagai penerus nubuat PL.
Karakteristik sastra apokalipsis
1. Pesimisme terhadap zamannya
Bangsa Yahudi pada masa sastra ini ditulis, mengalami penganiayaan sehingga boleh jadi
harapan yang ada di masa itu sangat kecil. Dan penghiburan bagi umat Allah adalah menanti
campur tangan Allah di masa depan. Tulisan ini hanya menghibur para pembaca pada masa itu
bahwa di masa depan Allah akan membawa sejarah yang sedang berlangsung kepada suatu akhir
dan membenarkan umatNya.
2. Janji mengenai penyelamatan atau pemulihan
Di sepanjang penglihatan Daniel dan Wahyu, tema mengenai restorasi memang menonjol.
Bahwa Allah menjawab doa umatnya dan Allah menumpahkan murkaNya dan klimaksnya
adalah kemuliaan dan sukacita dari mereka yang telah martir demi Kristus.
3. Suatu pandangan mengenai realitas transenden yang berpusat pada kehadiran dan kendali
Allah
Terdapat dua elemen transenden: perantaraan pewahyuan oleh mahluk sorgawi; dan suatu
komunikasi transenden dengan suatu poros waktu (penyelamatan eskatologis yang menjelang)
dan poros ruang (tatanan baru yang akan dibangun Allah di bumi). Penekanan sastra ini adalah
bukan pada ketiadaan harapan di masa kini namun pada harapan di masa depan. Penulis ingin
menekankan bahwa walaupun Allah seolah-olah menghilang dan tidak menolong mereka dalam
penderitaan mereka, namun kenyataanNya Allah masih berkuasa atas sejarah dan akan
membawa sejarah itu pada suatu akhir di dalam waktuNya sendiri.
4. Adanya suatu determinisme di mana Allah secara menyeluruh mengendalikan segala sesuatu
tentang sejarah
Sastra apokalipsis merupakan pewahyuan mengenai sejarah masa depan yang telah ditentukan
sebelumnya oleh Allah. Ditengah penganiaayaan yang dialami, pesan ini mendatangkan
penghiburan yang sangat besar. Kemenangan dan kendali orang fasik dalam aniaya hanya
sementara, kemenangan umat di masa depan telah dipastikan.
5. Suatu dualisme yang telah dimodifikasi terlihat di dalam doktrin mengenai dua zaman, zaman
ini dan zaman yang akan datang
Suatu perang yang terus menerus sedang dilangsungkan antara kekuatan yang bertentangan yaitu
antara Allah dan Iblis, antara baik dan fasik. Zaman akhir akan diawali dengan kemenangan
lengkap oleh Allah dan akan ada tatanan yang baru. Orang yang miskin dan tertintas akan
mengalami pemuliaan di tangan Allah.
6. Penciptaan kembali atas kosmos
Dunia yang ada sekarang akan dihancurkan atau akan diubahkan dan terjadi penciptan kembali
atas kosmos dengan suatu langit dan bumi baru.
7. Ada perspektif eskatologis
Dalam poros waktu, hari Tuhan akan datang yang akan mengakhiri perkembangan sejarah umat
manusia sekarang ini. Poros ruang berpusat pada duniawi lawan sorgawi yang memperlihatkan
tentara sorgawi dilibatkan dalam masalah duniawi dan keduanya ada dalam tatanan kosmik yang
telah Allah dirikan.
Terdapat enam tipe simbol dalam sastra apokalipsis yaitu:
1. Simbol eksternal yang ajaib (semak yang menyala, tiang awan dan api).
2. Penglihatan-penglihatan (pohon zaitun – Zak 4: kain lebar berisi binatang haram – KPR 10).
3. Simbol-simbol materi (darah = hidup, kerup tutup pendamaian = kekudusan Allah, pokok
anggur = kekuatan penopangan Allah).
4. Bilangan-bilangan simbolis (7 dan 12 di Wahyu, nama-nama -nama anak Yesaya, Yesaya 7:3,
8:3, warna-warna (Zak 6, Wh 6), logam-logam (emas hingga tanah liat Dan 2), dan batu permata
(12 batu dasar tembok Yerusalem baru – Why 21).
5. Tindakan-tindakan simbolis (memakan gulungan kitab – Yeh 2, (Yehezkiel), Wh 10
(Yohanes), mengikat diri dengan ikat pinggang (KPR 21 – Agabus).
6. Peraturan-peraturan simbolis (hari-hari raya Yahudi (penuaian, sunat = tanda covenat, ekaristi
= pengorbanan kematian Yesus).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penafsiran
1. Memang ada sejumlah perbedaan antara nubuat dan sastra apokalipsis, namun dalam banyak
aspek mereka sangat dekat. Lagi pula sastra apokalipsis sangat mungkin lahir dari nubuat PL.
Berkenaan dengan ini, prinsip dan metode penafsiran yang diterapkan atas nubuat juga berlaku
pada sastra apokalipsis.
2. Sastra apokalipsis banyak membicarakan ajaran eskatologis. Penafsir masa kini perlu
mewaspadai rasa ingin tahu dirinya atau orang lain agar tidak tergoda menafsir secara spekulatif.
3. Penafsir masa kini perlu memperhatikan ciri sastra apokalipsis umum, dan juga sastra
apokalipsis biblikal. Perhatikan selalu topik, ramalan, latar belakang historis dan bahasa
simbolisnya.
4. Simbol dan bahasa kiasan dalam sastra apokalipsis biblikal dapat dipahami pembaca yang
sezaman dengan dengan penulis kitab. Jadi penafsir perlu memperhatikan penjelasan penulis
kitab, konteks dan sastra apokalipsis umum pada zaman itu.
5. Perhatikan selalu ciri bahasa kiasan yang penuh perasaan.
6. Beri perhatian kepada bagian-bagian paralel, dan nubuat-nubuat yang dicatat dalam PL.
Perhatikan apakah nubuat yang diberikan sastra apokalipsis biblikal sudah dipenuhi.
7. Ajaran utama dalam Alkitab bersifat universal dan kekal. Prinsip ini berlaku bagi ajaran yang
disampaikan simbol dalam sastra apokalipsis biblikal.

Anda mungkin juga menyukai