Layouter :
Dewi
Editor :
Prof. Dr. M. Khoirul Huda, SH., MH.
Design Cover :
Azizur Rachman
copyright © 2020
Penerbit
Scopindo Media Pustaka
Jl. Kebonsari Tengah No. 03 Surabaya
Telp. (031) 82519566
scopindomedia@gmail.com
ISBN : 978-623-92451-6-0
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku tanpa izin tertulis dari Penerbit
ii
Persembahan untuk ayah dan ibu tercinta,
KH. Muhammad Surbini dan Hj. Siti Khadijah rahimahumallah.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
iii
KATA PENGANTAR
iv
Tidak lupa Penulis haturkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Yohanes Sogar Simamora, SH.,
M.Hum., Prof. Dr. Eman, SH., M.S., Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko,
SH., MH., Prof. Dr. Moch. Isnaeni, SH., M.S., dan Prof. Dr. Herowati
Poesoko, SH., MH., atas segala bimbingan, nasihat, dan ilmu yang telah
diberikan kepada Penulis semasa merangkai buku ini.
Meskipun kajian dalam buku ini telah diuji dan mendapat predikat
cumlaude, Penulis menyadari bila buku ini tidak lebih dari setetes air di
tengah samudera ilmu yang sangat luas, maka kritik dan saran dari
pembaca sungguh penulis harapkan. Semoga buku ini dapat membawa
manfaat bagi masyarakat, khususnya untuk pengembangan ilmu hukum
kontrak.
Penulis
v
DAFTAR ISI
vi
D. Prinsip Penafsiran Kontrak Dalam Sistem Common Law ..........34
1. Four Corners Rule ..........................................................................35
2. Extrinsic Nonevidence Rule ............................................................36
3. Plain Meaning Rule ........................................................................36
4. Parol Evidence Rule ........................................................................37
5. Contra Proferentem Rule .................................................................38
6. Course Of Performance....................................................................38
7. Course Of Dealing ..........................................................................39
8. Usage Of Trade ..............................................................................40
E. Prinsip Penafsiran Kontrak Menurut Model Law ........................40
1. Intention of the Parties ..............................................................41
2. Relevant Circumstances .............................................................41
3. Reference to Contract or Statement as a Whole...........................41
4. All Terms to be Given Effect ....................................................42
5. Contra Proferentem Rule...........................................................42
6. Linguistic Discrepancies ............................................................42
vii
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK 69
A. Gugatan Dalam Sengketa Kontrak ...............................................69
1. Gugatan Wanprestasi .................................................................70
2. Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum
Berlandaskan Kontrak ...............................................................74
3. Gugatan Pembatalan Kontrak..................................................81
B. Kewenangan Hakim Menafsirkan Kontrak ................................88
1. Hakim Berwenang Menafsirkan Kontrak ..............................92
2. Kewenangan Hakim Menafsirkan Kontrak Bukan Tanpa
Batas. ............................................................................................94
3. Batas-Batas Kewenangan Hakim Menafsirkan Kontrak ......96
a. Fakta Hukum .........................................................................98
b. Teks Kontrak .........................................................................106
C. Putusan Hakim Dalam Sengketa Kontrak...................................110
1. Menyatakan Kontrak Sah dan Mengikat ................................114
2. Menyatakan Kontrak Batal dan Tidak Mengikat ..................116
3. Menyatakan Kontrak Batal Demi Hukum .............................118
D. Penerapan Penafsiran Kontrak Dalam Yurisprudensi ..............120
1. Yurisprudensi Nomor: 610 K/SIP/1968, dalam Perkara
R. Soegijono melawan Walikota Kepala Daerah
Tingkat II Kotamadya Blitar dkk .............................................121
a. Duduk Perkaranya ................................................................121
b. Ratio Decidendi Putusan ........................................................122
c. Analisis....................................................................................123
2. Yurisprudensi Nomor: 547 K/SIP/1969, dalam Perkara
Liang A Pey melawan Lo Keng alias Wa Heng.....................125
a. Duduk Perkaranya ................................................................125
b. Ratio Decidendi Putusan ........................................................126
c. Analisis....................................................................................128
viii
3. Yurisprudensi Nomor: 1787 K/Pdt/2005, dalam Perkara
Dirut PT Pertamina (Persero) melawan PT Wahana Seno
Utama ...........................................................................................130
a. Duduk Perkaranya ................................................................130
b. Ratio Decidendi Putusan ........................................................132
c. Analisis....................................................................................133
4. Yurisprudensi Nomor: 324 K/Pdt/2006, dalam Perkara
Ny. Beatrice Mercedes melawan PT Namoriam Garden
Estate ............................................................................................135
a. Duduk Perkaranya ................................................................135
b. Ratio Decidendi Putusan ........................................................137
c. Analisis....................................................................................138
ix
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kontrak merupakan conditio sine qua non dalam kehidupan manusia.
Karena seseorang tidak mungkin dapat memenuhi sarwa kebutuhan
sendiri tanpa bantuan yang lain. Hampir semua kebutuhan manusia
diperoleh melalui pertukaran, mulai dari kebutuhan sandang, pangan,
papan, pendidikan, pekerjaan, bahkan hiburan. Lazimnya dalam setiap
pertukaran terdapat perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak.
Perbedaan kepentingan inilah yang selanjutnya dipertemukan melalui
kontrak.1
Pada dasarnya kontrak merupakan peristiwa hukum, dimana satu
orang mengikat janji kepada seorang lainnya, atau beberapa orang saling
1 Sifat conditio sine qua non sesungguhnya tidak hanya sebatas kehidupan manusia di
dunia, karena pada hakikatnya manusia tidak hanya membuat perjanjian dengan
sesama manusia, melainkan juga perjanjian dengan Tuhan. Lihat Michael
Morrison, Sabbath, Circumcision, and Tithing: Which Old Testament Laws Apply to
Christian?, Writers Club Press-iUniverse, Lincoln, 2002, p. 271, yang menulis, God
has made several agreements or covenants with human. He gives commands and makes promises.
Lihat juga Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an, Gema Insani Press, Jakarta, 2002,
h. 269, yang menulis tentang sikap bani Israel terhadap perjanjian dengan Allah.
Disebutkan bahwa di bawah bayang-bayang perjanjian terhadap bani Israel inilah
terdapat perjanjian primordial pada fitrah semua manusia.
1
BAB I PENDAHULUAN
2 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, h. 6-7.
3 J.H. Nieuwenhuis, “Pembentukan Kontrak”, dalam Rosa Agustina et.al. eds.,
Hukum Perikatan, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, h.119. (selanjutnya disebut
J.H. Nieuwenhuis I)
4 Istilah pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti janji harus ditepati.
Di dalam hukum positif, asas kebebasan berkontrak dan asas kepastian kontrak
dirumuskan pada Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW),
yang memberikan kaidah bahwa setiap kontrak yang dibuat secara sah berlaku
mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
5
Lihat Mohammad Zamroni & Andika Persada Putera, “The Regulation of
Electronic Transaction in Indonesia”, Journal of Advanced Research in Law and
Economics, Volume IX, Winter 7(37): 2471-2477, p. 2474.
6 Lihat Alan Schwartz & Robert E. Scott, “Contract Interpretation Redux”, The
Yale Law Journal, Vol. 119 No. 5, March 2010, p. 928.
2
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
7 Perhatikan Astrid Bosch, “Citizens Enforcing the Law: The Legal Social Space for
Citizen’s Arrest”, Maklu, Groningen, 2013, p. 24, yang mengutip tulisan Van
Wifferen dan Kelk yang menyimpulkan bahwa perbuatan main hakim sendiri
(eigenrichting) merupakan perbuatan ilegal.
3
BAB I PENDAHULUAN
4
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
5
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Bersandar pada eksplikasi latar belakang di atas, tema sentral buku ini
adalah teori dan praktik penafsiran kontrak. Selanjutnya untuk
menemukan jawaban atas tema sentral tersebut, dirumuskan isu hukum
sebagai berikut :
a. Prinsip penafsiran kontrak.
b. Metode penafsiran kontrak.
c. Penafsiran hakim terhadap kontrak.
C. Kajian Teori
Secara etimologis, kata penafsiran berasal dari bahasa Arab fasaro,
yafsiru, fasron, tafsiirun yang berarti keterangan atau menerangkan.13 Atau
diambil dari kata dasar al-fasru yang berarti jelas dan terbuka.14 Sedangkan
istilah penafsiran berarti menjelaskan, mengungkapkan, dan menjabarkan
6
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
kata yang samar. Atau dalam kitab Lisan Al-Arab dimaknai sebagai
membuka apa yang dikehendaki dari kata yang rumit.15
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan penafsiran sebagai
proses, cara, perbuatan menafsirkan, upaya untuk menjelaskan arti sesuatu
yang kurang jelas. Sementara Black’s Law Dictionary memaknai penafsiran
sebagai suatu proses untuk menentukan apakah makna sesuatu, khususnya
hukum dan dokumen hukum; penetapan makna terhadap kata-kata atau
manifestasi maksud lain.16
Menurut Aharon Barak, penafsiran adalah an intellectual activity,
concerned with determining the normative message that arises from the text.17
Sedangkan Antonin Scalia dan Bryan A. Garner mendefinisikan penafsir-
an sebagai penetapan pemikiran atau makna dari penulis, atau para pihak
(dalam kontrak), dokumen hukum, sebagaimana dinyatakan didalamnya,
menurut ketentuan bahasa dan aturan hukum.18
Istilah penafsiran kadang digunakan secara bergantian dengan istilah
interpretasi, dengan anggapan keduanya memiliki makna serupa. Hal ini
kurang tepat, karena dalam konteks bahasa Indonesia, kata penafsiran dan
interpretasi memiliki makna berbeda. Penafsiran adalah proses memaknai,
sedangkan interpretasi merupakan hasil dari proses memaknai. Atau
dengan kata lain, interpretasi adalah hasil dari penafsiran. Di dalam Kamus
Besar bahasa Indonesia, interpretasi memiliki makna sama dengan tafsiran,
yang berarti penjelasan tentang suatu kata, kalimat, cerita, dan sebagainya,
atau hasil menafsirkan.19
7
BAB I PENDAHULUAN
8
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
also be made partly in writing and partly orally and sometimes (as we have seen) they
may even be made partly by conduct.24
Istilah kontrak secara normatif dimaknai sebagai suatu perbuatan
dimana satu pihak atau lebih mengikatkan diri terhadap satu pihak lain atau
lebih.25 Definisi normatif ini lebih dekat dengan pandangan sebagian ahli
hukum Islam pada zaman pra modern yang menganggap akad meliputi
juga kehendak sepihak seperti wasiat dan wakaf. Akan tetapi pandangan
ini kemudian disanggah oleh ahli hukum Islam modern, yang menganggap
kehendak sepihak atau irâdah munfaridah bukan merupakan akad, karena
makna akad adalah tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Kehendak sepihak merupakan tasharruf qauli ghairu aqdi, yaitu perkataan di
luar akad, baik dalam bentuk pernyataan (ikrar wakaf, pemberian hibah,
dan sebagainya), maupun dalam bentuk perwujudan (gugatan, sumpah,
dan sebagainya).26 Dalam pandangan mayoritas ahli hukum Islam, akad
adalah bertemunya ijab dan kabul yang merepresentasikan kehendak
kedua belah pihak.27
Pengertian kontrak sebagaimana dirumuskan pada Pasal 1313 BW
memang terlalu umum, disamping meliputi kehendak sepihak juga
mencakup semua persetujuan, baik yang memiliki kewajiban (obligation)
maupun tidak. Menurut Atiyah, not all agreements can form the basis of a contracts,
for instance, where one person (say a judge) agrees with the view of another (another
24 P.S. Atiyah, An Introduction to The Law of Contract, Fourth Edition, Clarendon Press,
Oxford, 1989, p.190. (selanjutnya disebut P.S. Atiyah I).
25 Perhatikan ketentuan Pasal 1313 BW. Lihat juga Mohammad Zamroni,
“Accountability in Government Contract: A Measure of Performance from the
Commitment-Making Officials?”, Hasanuddin Law Review, Volume 5 Issue 2,
August 2019, 199-208, yang menunjukkan bahwa kontrak tidak hanya dilakukan
pada sektor privat tetapi juga pada sektor publik.
26 Lihat Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan
Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, h. 54-55.
27 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih
Muamalat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 69.
9
BAB I PENDAHULUAN
10
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
11
BAB I PENDAHULUAN
12
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
D. Metode Penelitian
Ilmu hukum adalah ilmu yang bersifat sui generis, yaitu ilmu yang
memiliki genus tersendiri.45 Maka penelitian ini menggunakan metode
penelitian yang khas ilmu hukum, yaitu metode penelitian hukum. Pada
dasarnya penelitian hukum tidak hanya dilakukan untuk kebutuhan
praktis, tetapi juga untuk kepentingan akademis. Perbedaan dari keduanya
hanyalah pada fokus penelitian, seperti dinyatakan Terry Hutchinson, an
13
BAB I PENDAHULUAN
academic might be intending in-depth research within a specific area, whereas a practising
lawyer may be focused on finding a precise answer to legal problem or situation that has
already occured.46
Penelitian ini dimaksudkan untuk kepentingan akademis, maka tipe
penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.47 Sedangkan
pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan kasus (case
approach).
Mengingat perkembangan hukum kontrak internasional yang sangat
cepat, maka pendekatan perbandingan hukum digunakan, selain untuk
menemukan persamaan dan perbedaan antara hukum kontrak Indonesia
dengan hukum kontrak di Belanda, juga untuk menelaah praktik-praktik
yang berkembang dalam kontrak Internasional. Perbandingan hukum
dalam penelitian ini dilakukan terhadap Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek
(NBW), The Principles of European Contract Law (PECL), dan UNIDROIT
Principles of International Commercial Contracts (UPICC).
Hukum Indonesia menganut civil law system, maka bahan hukum
primer yang digunakan dalam buku ini adalah peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan hukum kontrak. Sedangkan bahan hukum
sekunder diantaranya tulisan-tulisan hukum (treatises) yang mempunyai
kualifikasi tinggi dalam buku, ebook, jurnal, naskah akademis, disertasi,
makalah, dan dokumen hukum lainnya.
Penelitian ini berbasis kepustakaan (library based). Bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dari berbagai
perpustakaan, baik perpustakaan konvensional maupun internet (digital
46 Lihat Terry Hutchinson, Researching and Writing in Law, Third Edition, Thomson
Reuters, Sydney, 2010, p. 21.
47 Lihat Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2009, h. 29 (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), yang
berpendapat bahwa penelitian hukum normatif adalah meneliti kaedah atau norm.
14
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
15
BAB I PENDAHULUAN
16
BAB II
PRINSIP PENAFSIRAN
KONTRAK
17
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
18
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
50 Jaap Hijma, “Isi dan Konsekuensi dari Kontrak”, Rosa Agustina et.al., Hukum
Perikatan (Law of Obligations), Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, h. 153. (selanjutnya
disebut Jaap Hijma I).
51 Ewan McKendrick, Contract Law, Text, Cases, and Materials, Sixth Edition, Oxford
University Press, Oxford, 2014, p. 383.
19
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
that a distinction between clear and unclear declarations cannot be drawn and that every
declaration needs interpretation in order to determine its meaning.52
Apabila melihat jejak yurisprudensi, maka dengan mudah dapat
dilihat bahwa Pengadilan tidak lagi menafsirkan kontrak secara harfiah.
Hakim lebih terbuka terhadap pembuktian yang melingkupi kontrak, dan
tidak lagi berpegang teguh pada asas kebebasan berkontrak. Pada dasarnya
penafsiran literal yang dirumuskan pada Pasal 1342 BW telah mengalami
pergeseran makna, yakni tidak lagi dimaknai sebagai pedoman untuk
menolak bukti-bukti ekstrinsik, akan tetapi dimaknai sebagai pedoman
awal untuk memahami teks kontrak sebenarnya. Mahkamah Agung
berpendapat bahwa pelaksanaan dan penafsiran isi kontrak tidak dapat
disandarkan pada kata-kata yang ada dalam kontrak semata.53 Karena
penafsiran yang hanya didasarkan pada bunyi huruf-huruf yang ada di
dalam kontrak terbukti tidak memberikan keadilan.54
Kaidah Mahkamah Agung di atas selaras dengan putusan Hoge Raad
dalam perkara Haviltex v. Ermes en Langerwerf (1981). Hoge Raad menegaskan
bahwa makna literal tidaklah menentukan, sehingga perlu memperhatikan
fakta-fakta yang ada.55 Mengenai hal ini Richard Posner menegaskan
bahwa seseorang tidak pernah sepenuhnya bisa percaya diri dapat
menentukan arti suatu dokumen dari dokumen itu sendiri.56
52 Arthur S. Hartkamp, Marianne M.M. Tillema and Annemarie E.B. ter Heide,
Contract Law in the Netherlands, Kluwer Law International, Alphen aan den Rijn,
2011, p. 102.
53 Periksa putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1245 K/Sip/1974 tanggal 9
November 1976, dalam perkara Rusli Ibrahim melawan Walikota Banda Aceh
dkk.
54 Periksa putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 547 K/Sip/1969 tanggal 6 Juni
1970, dalam perkara Liang A Pey melawan Lo Keng alias Wa Heng.
55 Periksa putusan HR 13 Maret 1981, NJ 1981, 635, dalam perkara Haviltex v. Ermes
en Langerwerf, dimuat dalam Ridwan Khairandy, Op. Cit., h. 223.
56 Richard A. Posner, “The Law and Economics of Contract Interpretation”, John
M. Olin Law & Economics Working Paper, No. 229, The University of Chicago Law
School, Chicago, November 2004, p. 23.
20
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
57 M.H. Wissink, “Interpretation”, Danny Busch et.al. eds., The Principles of European
Contract Law and Dutch Law: A Commentary, Kluwer Law International, The Hague,
2002, p. 244.
58 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 941 K/Pdt/2011, tanggal 5 Agustus
2011.
21
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
22
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
23
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
24
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
25
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
26
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
27
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
disebutkan bahwa succes fee berkaitan erat dengan sukses tidaknya si kuasa
membela kepentingan pemberi kuasa. Hal mana telah diatur dalam
kontrak yang telah disepakati para pihak. Karena kuasa (penggugat)
ternyata gagal dalam membela kepentingan pemberi kuasa, i.c. tergugat,
maka tidak beralasan apabila tergugat harus membayar succes fee tersebut.74
Merujuk pada pertimbangan hukum putusan Peninjauan Kembali di
atas, klausul-klausul kontrak tidak dapat ditafsirkan sendiri-sendiri,
melainkan harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan klausul-klausul
lainnya. Penafsiran terhadap klausul mengenai kewajiban membayar succes
fee harus pula dikaitkan dengan klausul mengenai syarat-syarat timbulnya
succes fee. Sehingga jika syarat-syarat timbulnya succes fee tidak terpenuhi,
maka kewajiban untuk membayar succes fee tidak sepatutnya ada. Penggugat
terbukti gagal membela kepentingan tergugat, maka tidak ada alasan bagi
tergugat untuk membayar succes fee.
28
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
dirinya pada perjanjian itu”. Sebab pada kontrak yang dibuat secara timbal
balik, kedua belah pihak sama-sama menjanjikan suatu hal kepada pihak
yang lain.76 Pendapat ini sebenarnya kurang tepat, karena sejatinya kontrak
senantiasa bersifat timbal balik. Lagipula tidak sulit menentukan ada
tidaknya inisiator kontrak melalui pembuktian. Apabila memang terbukti
kontrak dibuat bersama-sama oleh kedua belah pihak, tentu prinsip ini
tidak sepatutnya diterapkan.
Prinsip inisiator kontrak memberikan kaidah bahwa jika isi kontrak
terdapat ambiguitas, maka kontrak harus ditafsirkan menurut penafsiran
dari pihak yang bukan inisiator kontrak. Ahmadi Miru dan Sakka Pati
berpendapat, berdasarkan prinsip penafsiran ini, maka penafsiran kontrak
harus diarahkan untuk kerugian bagi pihak kreditur dan keuntungan bagi
pihak debitur.77
29
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
79 Lihat Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Ensiklopedi Shalat Menurut Al-Qur'an dan
As-Sunnah, Jilid II, Terjemahan M. Abdul Ghoffar, Pustaka Imam Asy-Syafi'i,
Jakarta, 2006 , h. 512, yang menulis bahwa salah satu syarat kambing kurban ialah
telah berumur enam atau tujuh bulan.
80 Herlien Budiono, Op. Cit., h. 127.
30
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
hanya didasarkan pada maksud para pihak, tetapi juga didasarkan pada
kebiasaan, kepatutan, dan hukum.
Penerapan prinsip penafsiran ini dapat ditilik dalam perkara Umar
Tahang bin Makkulle dkk. melawan P. Mahmud dkk. Duduk perkaranya,
Orang tua penggugat (H. Makkulle) membeli sebuah mobil milik orang
tua tergugat (Parenrengi) pada tanggal 8 Mei 1969, dengan syarat apabila
pada akhir Juli 1969 tidak dibayar, maka tanah milik H. Makkulle yang
dijadikan sebagai jaminan akan menjadi milik Parenrengi. Ketika kemudian
H. Makkulle wanprestasi, tanah miliknya diambil dan dikuasai oleh
Parenrengi. Setelah keduanya meninggal dunia, anak-anak H. Makkulle
selaku ahli waris menggugat ahli waris Parenrengi dengan tuntutan agar
mengembalikan tanah peninggalan orang tuanya. Tergugat menolak
dengan dalih bahwa tanah telah menjadi milik tergugat berdasarkan
perjanjian jual beli yang dibuat pada tanggal 8 Mei 1969.
Hakim Pengadilan Negeri Pinrang menolak gugatan penggugat
dengan pertimbangan bahwa tanah yang disengketakan merupakan
jaminan jual beli mobil. Dengan adanya perjanjian jual beli mobil, dimana
Parenrengi menyerahkan mobil, dan H. Makkulle menyerahkan tanah,
maka tanah sengketa bukan lagi menjadi milik penggugat.81 Putusan hakim
Pengadilan Negeri Pinrang kemudian dikuatkan oleh hakim Pengadilan
Tinggi Makasar.82 Tetapi di tingkat kasasi, Mahkamah Agung
membatalkan putusan judex facti. Dalam pertimbangan hukumnya,
Mahkamah Agung berpendapat bahwa perjanjian jual beli mobil dengan
peralihan kepemilikan atas jaminan berupa tanah tidak dapat dibenarkan
dalam hukum, sebab perbuatan hukum jual beli mobil dan peralihan
kepemilikan atas tanah merupakan perbuatan hukum yang berbeda satu
31
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
32
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
87 Arthur S. Hartkamp, Marianne M.M. Tillema and Annemarie E.B. ter Heide, Op.
Cit., p. 102-103
88 Ibid.
89 Jaap Hijma I, Op. Cit., h. 153-154.
33
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
90 Ibid.
91 Ibid.
34
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
35
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
93 Ibid.
94 Kenneth W. Clarkson et.al., West's Business Law: Text and Cases, Thomson Learning,
Ohio, 2006, p. 219.
95 Ibid.
36
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
96 Lihat Richard R. Orsinger, “The Law of Interpreting Contracts”, Papers, State Bar
of Texas Advanced Civil Appellate Practice Course, Four Seasons Hotel, Austin,
September 6-7, 2007, p. 13.
97 Lihat Steven L. Emanuel, Op. Cit., p. 22, yang menulis, a document is said to be an
“integration” of the parties’ agreement if it is intended as the final expression of the agreements.
98 Richard A. Posner, Op. Cit., p. 29-30.
99 Ibid.
100 Richard R. Orsinger, Op. Cit., p. 19
37
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
6. Course of Performance
Secara umum prinsip yang dirumuskan dalam The Uniform Commercial
Code (UCC) ini disandarkan pada perilaku para pihak dalam melaksanakan
kontrak. Prinsip ini memberikan pedoman bahwa penafsiran kontrak
101 Lihat Arthur S. Hartkamp et.al., Towards a European Civil Code, Kluwer Law
International, Nijmegen, 2004, p. 461.
102 Peter Cserne, “Policy Considerations in Contract Interpretation: The Contra
Proferentem Rule From a Comparative Law and Economics Perspective”, Papers,
The 3rd ISLE Conference Milan, 9-10 November 2007, p. 23.
103 Lihat Richard R. Orsinger, Op. Cit., p. 36.
104 Lihat putusan Court of Appeal 133 La. 178, 194, 62 So. 623, 629 (1913), dalam
perkara Rives v. Gulf Refining Co., dimuat dalam Patrick S. Ottinger, “Principles of
Contractual Interpretation”, Louisiana Law Review, Vol. 60 No. 3, 2000, p. 787.
38
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
7. Course of Dealing
Prinsip ini memberikan kaidah, penafsiran kontrak harus didasarkan
pada perilaku para pihak dalam kontrak tertentu sebelumnya, yang diang-
gap telah membentuk dasar pemahaman para pihak dalam menafsirkan
pernyataan dan perilaku selanjutnya.107 Atau dalam bahasa sederhana,
penafsiran kontrak harus didasarkan pada kontrak serupa yang telah
dilakukan para pihak sebelumnya. Menurut Steven Emanuel, prinsip course
of dealing mengacu pada bagimana para pihak bertindak sehubungan
dengan kontrak sebelumnya.108
Penerapan prinsip course of dealing dapat dilihat dalam perkara Spohrer
v. Spohrer. Pengadilan berpendapat bahwa salah satu cara terbaik untuk
menentukan maksud para pihak ialah dengan melihat perilaku para pihak
dalam kontrak, terutama apabila perilaku tersebut konsisten dilakukan
selama bertahun-tahun.109
105 Lihat Roger LeRoy Miller, Fundamentals of Business Law: Summarized Cases, South-
Western Cengage Learning, Mason, 2013, p. 623.
106 Steven L. Emanuel, Op. Cit., p. 26.
107 Lihat Roger LeRoy Miller, Loc. Cit.
108 Steven L. Emanuel, Loc. Cit.
109 Lihat putusan Court of Appeal 610 So. 2d 849 (La. App. 1st Cir. 1992), dalam
perkara Spohrer v. Spohrer, dimuat dalam Patrick S. Ottinger, Op. Cit., p. 780.
39
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
8. Usage of Trade
Prinsip ini memberikan pedoman, bahwa penafsiran kontrak harus
didasarkan pada praktik transaksi atau cara berbisnis yang telah menjadi
kebiasaan setempat dan telah dilakukan secara terus menerus. Menurut
Steven Emanuel, setiap praktik perdagangan memiliki keteraturan dan
kebiasaan yang berlangsung terus-menerus dalam suatu wilayah atau
industri tertentu, sehingga praktik yang dilakukan tersebut diterima sebagai
kelaziman. Bersandar pada hal tersebut, maka makna suatu kontrak harus
melekat pada istilah dalam praktik di wilayah atau industri tertentu di mana
kontrak dibuat.110
Penerapan prinsip usage of trade dapat dilihat dalam perkara Par-Co
Drilling, Inc. v. Franks Petroleum Inc. Pengadilan mempertimbangkan kebiasa-
an dalam industri minyak (custom in the industry) untuk menafsirkan kontrak
pengeboran minyak yang disengketakan para pihak (for the drilling of an oil
well).111
40
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
b. Relevant Circumstances.
c. Reference to contract or statement as a whole.
d. All terms to be given effect.
e. Contra proferentem rule.
f. Linguistic discrepancies.
2. Relevant Circumstances
Prinsip relevant circumstances memberikan pedoman penafsiran secara
terperinci. Ketika melakukan penafsiran kontrak, maka hakim harus
senantiasa memperhatikan hal-hal relevan sebagai berikut :
(a) Negosiasi awal antara kedua belah pihak;
(b) Praktik yang dilakukan dan ditetapkan maknanya oleh para pihak;
(c) Perilaku para pihak setelah menutup kontrak;
(d) Sifat dan tujuan kontrak;
(e) Makna umum yang diberikan dalam transaksi yang sama;
(f) Penggunaan; dan
(g) Iktikad baik dan transaksi yang jujur.
Prinsip relevant circumstances dirumuskan pada Pasal 4.3 UPICC dan
Pasal 5:102 PECL.
41
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
6. Linguistic Discrepancies
Prinsip linguistic discrepancies memberikan kaidah, apabila suatu kontrak
dirumuskan dalam beberapa versi bahasa yang memiliki otoritas yang
sama, maka penafsiran dilakukan berdasarkan pada versi bahasa yang
digunakan untuk menyusun kontrak pertama kali. Prinsip ini dirumuskan
pada Pasal 4.7 UPICC dan Pasal 5:107 PECL.
Merujuk pada komparasi prinsip-prinsip penafsiran kontrak di atas,
dapat dikemukakan bahwa prinsip penafsiran kontrak yang terdapat dalam
BW pada dasarnya seirama dengan prinsip penafsiran kontrak di Belanda
dan di negara-negara penganut sistem common law. Meskipun dalam tradisi
common law terdapat prinsip four corners rule yang tidak dikenal dalam tradisi
civil law seperti di Indonesia.
42
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
113 Lihat E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Saduran Moh. Saleh Djindang,
Ichtiar Baru, Jakarta, 1989, h. 206.
43
BAB II PRINSIP PENAFSIRAN KONTRAK
44
BAB III
METODE PENAFSIRAN
KONTRAK
45
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
119 Steven Shavell, “On the Writing and the Interpretation of Contracts”, The Journal
of Law, Economics & Organization, Vol. 22 No. 2, January 2006, p. 289.
120 Ibid.
121 Lihat Arief Sidharta dalam kata Pengantar buku karya Jazim Hamidi, Hermeneutika
Hukum: Sejarah – Filsafat & Metode Tafsir, Universitas Brawijaya Press, Malang,
2011, h. vii.
122 Lihat Abdul Manan, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum
Acara di Peradilan Agama”, Makalah, Rakernas Mahkamah Agung RI di
Balikpapan, Kalimantan Timur, 10-14 Oktober 2010, h. 11.
46
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
123 Lihat Paul Scholten, Dorsten Naar Gerechtigheid, Kluwer, Deventer, 2010, p. 70.
(selanjutnya disebut Paul Scholten I).
124 E. Utrecht, Op. Cit., h. 208-216.
125 Larry A. DiMatteo and André Janssen, “Interpretative Methodologies in the
Interpretation of CISG”, Larry A. DiMatteo ed., International Sales Law: A Global
Challenge, Cambridge University Press, New York, 2014, p. 82.
126 A. Pitlo II, Op. Cit., h. 37-45.
127 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 57-64.
128 Lihat Ibid., h. 67-71. Lihat juga A. Pitlo II, Op. Cit., h. 46-49.
129 Lihat A. Pitlo II, Ibid.
47
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
48
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
49
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
50
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
51
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
52
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
53
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
54
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
55
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
166 Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an,
Terjemahan Khoirun Nahdliyin, LKiS, Yogyakarta, 2001, h. 123-124.
167 Lihat Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Terjemahan Ali Audah, Litera
AntarNusa, Bogor, 2003, h. 757-758.
56
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
disandarkan pada teks ayat semata, melainkan didasarkan pada moral ideal
yang terkandung dalam teks. Peristiwa di atas setidaknya merefleksikan
penerapan metode penafsiran hermeneutik terhadap teks Al-Qur’an.
Istilah hermeneutik berasal dari kata hermêneia yang dalam bahasa
Yunani dimaknai sebagai penafsiran.168 Pada umumnya penulis Indonesia
menggunakan istilah hermeneutika sebagai kata serapan dari istilah dalam
bahasa Inggris hermeneutics. Tetapi Poespropodjo menggunakan kata
hermeneutika dan hermeneutik secara bergantian. Sedang Bernard Arief
Sidharta dan Peter Mahmud Marzuki senantiasa menggunakan istilah
hermeneutik yang bersufiks ‘-ik’.169 Secara etimologis, kata hermeneutik
yang bersufiks ‘-ik’ lebih tepat digunakan. Selain lebih mudah diucapkan,
kata hermeneutik juga telah memenuhi ketentuan penyerapan kata asing.170
Black’s Law Dictionary memaknai hermeneutik sebagai seni menafsir-
kan teks.171 Friedrich Shleiermacher dan Wilhelm Dilthey memaknai
sebagai cara atau metode penafsiran.172 Paul Ricoeur mendeskripsikan
sebagai teori operasional pemahaman dalam kaitannya dengan penafsiran
teks.173 Sedangkan Jovan Brkić dan Norman Anderson memaknai her-
57
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
174 Jovan Brkić and Norman Anderson, “Drafting and Interpreting Legal
Documents”, Roberta Kevelson ed., Law and Semiotics: Volume 2, Plenum Press,
New York, 1988, p. 88.
175 Gregory Leyh, Legal Hermeneutics: History, Theory, and Practice, University of
California Press, Los Angeles, 1992, p. xii.
176 Lihat W. Poespoprodjo, Op. Cit., h. 113.
177 Lihat Jazim Hamidi, Op. Cit., h. 59. Lihat juga Shoki Coe, “Kontekstualisasi
Sebagai Jalan Menuju Pembaruan”, Douglas J. Elwood ed., Teologi Kristen Asia:
Tema-tema yang Tampil ke Permukaan, Terjemahan B.A. Abednego, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2006, h. 10-18. Perhatikan Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur`an
Tema-Tema Kontroversial, elSAQ Press, Yogyakarta, 2005, h. 76 (selanjutnya disebut
Fakhruddin Faiz II).
178 Lihat James Farr, “The Americanization of Hermeneutics: Francis Lieber's Legal
and Political Hermeneutics”, in Gregory Leyh ed., Legal Hermeneutics: History,
Theory, and Practice, University of California Press, Los Angeles, 1992, p. 91-92.
58
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
59
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
Tetapi istilah integral dalam penelitian ini digunakan dalam teori hukum
sebagai metode penafsiran.
Pada dasarnya metode penafsiran integral merupakan pengembangan
dari metode hermeneutik. Sebagaimana hermeneutik, penafsiran integral
juga berakar pada unsur teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tetapi
penafsiran integral lebih komprehensif, karena memadukan elemen-
elemen penting penafsiran. Inti dari penafsiran integral ialah terintegrasi-
nya tiga unsur teks, konteks, kontekstualisasi, dengan empat metode
penafsiran dan sepuluh prinsip penafsiran kontrak.
Penggunaan empat metode penafsiran yaitu gramatikal, historis,
sistematis, dan sosiologis, selain didasarkan pada alasan harmonisasi
dengan unsur teks, konteks, dan kontekstualisasi, juga karena metode
penafsiran yang lain telah terangkum dalam empat metode penafsiran
tersebut.182 Mengenai hal ini Thomas Henninger menulis, dies entspricht einer
grammatikalischen, systematischen, historischen und teleologischen auslegung.183
Keempat metode penafsiran tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri,
yang secara sistemis saling mendukung satu sama lain. Sehingga tidak bisa
dikatakan bahwa metode yang satu lebih utama dari metode yang lain.
Menurut Pitlo, untuk sampai pada tujuan penafsiran, perlu mendaya-
gunakan berbagai metode penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi.184
Tujuan penafsiran ialah untuk memahami makna sebenarnya dari
suatu teks. Tetapi esensi memahami ini menjadi lebih rumit manakala
tujuan penafsiran lebih jauh dari sekedar memahami makna suatu teks.
Penafsiran kontrak misalnya, tidak cukup hanya memahami maksud
182 Lihat Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 57, yang menulis bahwa sejak awal
metode penafsiran dibagi menjadi empat, yaitu gramatikal, historis, sistematis, dan
teleologis. Lihat juga Martijn W. Hesselink, Op. Cit., p. 454.
183 Thomas Henninger, Europäisches Privatrecht und Methode: Entwurf Einer
Rechtsvergleichend Gewonnenen Juristischen Methodenlehre, Mohr Siebeck, Tübingen,
2009, p. 178.
184 Lihat A. Pitlo II, Op. Cit., h. 35.
60
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
sebenarnya para pihak, tetapi lebih jauh harus pula menentukan akibat
hukumnya. Oleh karena itu diperlukan metode penafsiran yang tidak
hanya komprehensif tetapi juga solutif. Metode penafsiran yang mampu
mengantarkan pada pemahaman yang hakiki, menyeluruh dan aplikatif.
Metode penafsiran integral merupakan sarana yang tepat.
Metode penafsiran integral merupakan perpaduan fungsional dari
elemen-elemen penting penafsiran, yaitu teks, konteks, kontekstualisasi,
gramatikal, historis, sistematis, sosiologis, dan prinsip-prinsip penafsiran.
Secara umum metode ini bekerja dengan mendayagunakan semua elemen
penafsiran dalam satu kesatuan fungsi (all in one function). Metode penafsiran
integral bekerja dalam tiga rangkaian fungsional sebagai berikut:
a. Pemahaman terhadap teks;
b. Pemahaman terhadap konteks; dan
c. Pemahaman terhadap kontekstualisasi.
Pada dasarnya tiga rangkaian fungsional di atas merupakan fase
operasional penafsiran yang bekerja secara berurutan. Proses penafsiran
secara integral dimulai dari memahami teksnya, kemudian dilanjutkan
dengan memahami konteksnya, dan diakhiri dengan memahami konteks-
tualisasinya. Penjabaran ketiga fase pemahaman teks, konteks, dan
kontekstualisasi akan dieksplikasikan dengan menggunakan sepuluh
prinsip penafsiran kontrak yang dirumuskan di dalam BW.
61
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
62
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
63
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
arti kata itu dengan sendirinya akan membimbing hakim ke arah cara-cara
penafsiran yang lain.190 Menafsirkan kontrak seyogianya tidak sebatas
memaknai isi kontrak secara harfiah semata, karena penafsiran harfiah
hanyalah langkah awal untuk menentukan isi suatu kontrak, yang untuk
selanjutnya harus dilakukan penyelidikan terhadap substansi kontrak ber-
dasarkan pada fakta-fakta persidangan.
64
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
192 Gerald L. Bruns, “Law and Language: A Hermeneutics of the Legal Text”, in
Gregory Leyh ed., Legal Hermeneutics: History, Theory, and Practice, University of
California Press, Los Angeles, 1992, p. 24-25.
193 Ewan McKendrick, Op. Cit., p. 375.
65
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
66
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
67
BAB III METODE PENAFSIRAN KONTRAK
68
BAB IV
PENAFSIRAN HAKIM
TERHADAP KONTRAK
197 Lihat perkara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk. melawan PT Berkah Karya
Bersama dkk. dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 862 K/Pdt/2013
tanggal 2 Oktober 2013. Perkara ini setidaknya dapat dijadikan sebagai gambaran
bahwa masih terdapat kecenderungan membawa sengketa kontrak kepada
peradilan umum, meskipun sengketa kontrak dilandasi adanya perjanjian arbitrase.
69
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
Negeri yang telah dipilih. Secara umum ada tiga bentuk gugatan yang kerap
digunakan dalam sengketa kontrak di pengadilan, yaitu:
1. Gugatan wanprestasi;
2. Gugatan perbuatan melanggar hukum berlandaskan kontrak; dan
3. Gugatan pembatalan kontrak.
1. Gugatan Wanprestasi
Wanprestasi atau dalam bahasa Belanda disebut wanprestatie diartikan
sebagai prestasi buruk.198 Wirjono Prodjodikoro memaknai wanprestasi
sebagai ketiadaan pelaksanaan janji.199 Sedangkan Subekti mendefinisikan
wanprestasi sebagai ingkar janji, atau tidak melaksanakan apa yang telah
dijanjikan.200 Debitur dikatakan wanprestasi bilamana tidak memenuhi
kewajiban kontraktual sama sekali, atau memenuhi kewajiban tetapi tidak
sesuai dengan kontrak, atau melaksanakan apa yang telah dilarang dalam
kontrak.201
Adanya wanprestasi melahirkan hak gugat bagi pihak yang dirugikan
untuk menuntut hak-hak kontraktualnya, atau menuntut pembatalan
kontrak.202 Hak gugat atas wanprestasi juga dapat diajukan bersama-sama
dengan tuntutan pemenuhan hak (nakoming), ganti rugi (vervangende
vergoeding; schadeloosstelling), pembubaran, pemutusan atau pembatalan
198 Lihat R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1992, h. 45. (selanjutnya
disebut R. Subekti II).
199 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011,
h. 49. (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II).
200 R. Subekti II, Loc. Cit.
201 Ibid,. Lihat juga Tim Redaksi, “Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI
dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari Empat Lingkungan Peradilan
Seluruh Indonesia Tahun 2009”, Varia Peradilan, Tahun XXV No. 288,
November 2009, h. 148-149, yang menyebutkan bahwa wanprestasi timbul
karena: (1) Tidak dipenuhinya seluruh kewajiban, (2) Hanya dipenuhi sebagian,
(3) Dipenuhi seluruhnya tetapi terlambat, (4) Melakukan perbuatan yang dilarang
atau tidak diperbolehkan. Lihat juga J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada
Umumnya, Alumni, Bandung, 1999, h. 122 (selanjutnya disebut J. Satrio I).
202 Lihat ketentuan Pasal 1267 BW.
70
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
71
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
205 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 646 K/Pdt/2005, tanggal 31 Januari
2007.
206 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2014 K/Pdt/2011, tanggal 26 Juli
2012.
207 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 980 K/Pdt/2014, tanggal 24
September 2014.
208 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2567 K/Pdt/2009, tanggal 29 April
2010, dalam perkara Karto Panjaitan melawan Basrul. Mahkamah Agung
72
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
73
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
214 Lihat Peter Haanappel et.al., The Civil Code of Netherlands Antilles and Aruba, Kluwer
Law International, The Hague, 2002, p. 253. Lihat juga Hans Warendorf, Richard
Thomas and Ian Curry-Summer, The Civil Code of the Netherlands, Wolters Kluwer,
Alpen aan den Rijn, 2013, p. 654.
215 Henk Snijders dan Jaap Hijma, The Netherlands New Civil Code: Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Belanda Yang Baru, National Legal Reform Program, Jakarta, 2010,
h. 93.
216 Bandingkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi RI dalam
putusan Nomor: 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006, dalam perkara
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang dalam pertimbangan hukumnya menerjemahkan onrechtmatigedaad
dan wederrechtelijkheid dalam pengertian yang sama yakni melawan hukum.
74
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
217 Periksa Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum: Dipandang dari Sudut
Hukum Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 2. (selanjutnya disebut Wirjono
Prodjodikoro III).
218 Lihat J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian Pertama,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 139 (selanjutnya disebut J. Satrio II). Periksa
J.H. Nieuwenhuis II, Op. Cit., h. 118. Periksa juga Rosa Agustina et.al., Hukum
Perikatan (Law of Obligation), Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, h. 8.
219 Tim Redaksi, Op. Cit., h. 149.
75
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
220 Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982,
h. 28.
221 Penafsiran sempit ini dapat dilihat pada Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905, dalam
perkara Singer Naaimachine Mij. Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan pedagang
mesin jahit yang tidak menjual mesin jahit merek Singer tetapi memasang reklame
di depan tokonya berbunyi “Verbeterde Singer Naaimachine Mij” (Tempat Perbaikan
Mesin Jahit Singer), bukanlah merupakan tindakan melanggar hukum, karena
tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata krama
dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melanggar hukum. Lihat R. Setiawan
I, Op. Cit., h. 75. Lihat juga Rosa Agustina et.al., Op. Cit., h. 6.
222 Perkara yang terjadi antara Max Lindenbaum melawan Samuel Cohen. Keduanya
merupakan pengusaha percetakan. Suatu ketika Cohen membujuk salah seorang
pegawai Lindenbaum untuk membocorkan daftar harga dan daftar nama
pelanggan Lindenbaum untuk memajukan usaha percetakannya sendiri.
Akibatnya usaha Lindenbaum mengalami kerugian. Setelah mengetahui
kecurangan tersebut, Lindenbaum menuntut ganti rugi kepada Cohen atas dasar
perbuatan melanggar hukum. Akan tetapi Cohen membantah gugatan itu atas
dasar bahwa undang-undang tidak melarangnya. Arrondissementrechtbank
Amsterdam mengabulkan gugatan Lindenbaum, tetapi di tingkat banding
dibatalkan oleh Gerechtshof Amsterdam dengan pertimbangan tidak ada ketentuan
undang-undang yang tegas-tegas mengatur. Pada tingkat kasasi, Hoge Raad
mengabulkan gugatan Lindenbaum dengan alasan bahwa Gerechtshof telah
menafsirkan pengertian perbuatan melanggar hukum dalam arti yang sempit,
yakni hanya sekedar melanggar undang-undang. Menurut Hoge Raad, perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad) harus diartikan sebagai perbuatan atau
kelalaian yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku, atau melanggar kesusilaan (goede zeden) atau kepatutan dalam
memperhatikan kepentingan diri dan barang orang lain dalam pergaulan hidup
(maatschappelijke betamelijkheid). Lihat R. Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan
Melanggar Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1991, hal. 10-11 (selanjutnya disebut R.
Setiawan II). Lihat juga Wirjono Prodjodikoro III, Op. Cit., h. 7-8.
76
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
223 J.H. Nieuwenhuis II, Loc. Cit. Lihat J. Satrio I, Ibid., h. 155-156.
224 Tim Redaksi, Op. Cit., h. 149.
225 Ibid., h. 133-134.
77
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
78
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
79
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
80
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
Coggs vs. Bernard (1702). Dalam pandangan Gilmore, kasus itu semestinya
merupakan sengketa kontrak (wanprestasi), akan tetapi pada kenyataannya
lebih mengarah pada perbuatan melanggar hukum.233
NBW juga masih mengatur mengenai kewajiban mengganti kerugian
sebagai akibat dari perbuatan melanggar hukum. Ketentuan Pasal 6:162
ayat (1) NBW secara garis besar merumuskan bahwa seseorang yang mela-
kukan perbuatan melanggar hukum dan menyebabkan kerugian pada
seorang lain sebagai akibat perbuatannya, wajib mengganti kerugian yang
diderita seorang lain tersebut sebagai konsekuensinya.234
81
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
237 Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian,
Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010, h. 5-6.
238 Lihat Yohanes Sogar Simamora, “Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Bentuk
Pelanggaran Terhadap Asas Kebebasan Berkontrak”, Yuridika, No. 4 Tahun VIII,
Juli-Agustus 1993, h. 54., yang menulis bahwa cacat kehendak merupakan suatu
alasan hukum yang dapat digunakan dalam pengajuan gugat pembatalan kontrak.
239 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 3641 K/Pdt/2001, tanggal 11
September 2002 dalam perkara Made Oka Masagung melawan PT Bank Artha
Graha dkk. Mahkamah Agung berpendapat, hakim berwenang meneliti dan
menyatakan bahwa kedudukan para pihak berada dalam keadaan tidak seimbang,
sehingga salah satu pihak tidak memiliki kehendak bebas.
82
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
83
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
243 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 666 PK/Pdt/2011, tanggal 29 Maret
2012 dalam perkara Liem Boen Siang dkk. melawan Liem Boen Thong alias
Bernardus Dong Darmajuwana SH. dkk. Mahkamah Agung berpendapat, Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli No. 18 tanggal 13 Februari 1990 adalah tidak sah
atau batal demi hukum, karena obyek jual beli adalah boedel waris yang belum
dibagi diantara ahli waris yang berhak.
244 Lihat ketentuan Pasal 1341 BW.
245 Lihat putusan H.R tanggal 21 Januari 1996, NJ 1966, 183, dalam perkara Wisman
vs Booy. Dikutip dari J.H. Nieuwenhuis, Op. Cit., h. 12. Duduk perkaranya, Wisman
membeli dari Booy sebuah mobile crane seberat 20 ton. Dalam perundingan
sebelum kontrak ditutup, Wisman menyatakan ingin membeli crane yang cocok
untuk membongkar muatan kapal, yaitu crane yang dapat berjalan sendiri dengan
tanda plat nomor pengenalnya. Booy menyatakan bahwa crane pasti akan
dikeluarkan tanda plat nomor pengenalnya. Setelah penutupan kontrak, ternyata
crane dengan ukuran 20 ton tidak dapat dikeluarkan plat nomor pengenalnya.
Wisman selanjutnya menggugat pembatalan kontrak atas dasar kekhilafan.
246 Periksa putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2964 K/Pdt/2010, tanggal 2
Pebruari 2010 dalam perkara Nonce Hendy Katrine Pesik dkk. melawan PT Bank
Pan Indonesia, Tbk. Dalam gugatannya, penggugat mengajukan petitum
penyalahgunaan keadaan. Akan tetapi karena penggugat tidak dapat membuktikan
dalil gugatannya, maka petitum penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan hakim.
84
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
85
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
86
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
87
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
88
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
254 Lihat Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2013, h. 95-96. (selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki III).
255 Ibid., h. 101.
89
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
hadirkan suatu aturan yang adil berdasarkan pada hak asasi manusia.
Menurut Huijbers, tujuan hukum akan tercapai bilamana pemerintah
senantiasa berpegang pada norma-norma keadilan dengan membuat
aturan-aturan yang adil. Hukum semestinya berada di atas kekuasaan, oleh
karenanya pemerintah selaku penguasa harus bersikap sebagai abdi
hukum.256
Menurut Pitlo, hukum bertujuan untuk memberikan keadilan dan
ketenteraman dalam hubungan antar sesama manusia.257 Hukum juga
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Karena hukumlah yang
dapat menjamin suatu kepastian di tengah-tengah masyarakat. Hukum
adalah alat untuk mencapai kepastian hukum.258 Sedangkan dalam pers-
pektif hukum Islam, tujuan hukum ialah untuk mencapai kemaslahatan
manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia maupun kemaslahatan di
akhirat.259 Kemaslahan ini dapat tercapai apabila direalisasikan dalam
maqashid syariah260, yakni dengan menjaga agama (hifzh al-din), menjaga
kehidupan (hifzh al-nafs), menjaga akal (hifzh al-aql), menjaga keturunan
(hifzh al-nasb) dan menjaga harta (hifzh al-maal).261
Secara umum tujuan hukum dapat dikelompokkan ke dalam tiga
aliran. Pertama, aliran etis yang menganggap tujuan hukum adalah untuk
memberikan keadilan. Kedua, aliran utilitis yang menganggap tujuan
hukum adalah untuk memberikan kemanfaatan. Dan ketiga, aliran yuridis
90
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
262 Achmad Ali, Tujuan dan Fungsi Hukum, Ghalia, Jakarta, 2001, h. 100-101.
263 Lihat Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara Fh., Ilmu Negara Dalam Multi
Perstektif, Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama, Pustaka Setia, Bandung,
2007, h. 25.
264 Lihat Luthfi Widagdo Eddyono, “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara oleh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, Juni 2010, h.
12.
91
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
265 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan B. Arief Sidharta, Alumni,
Bandung, 2013, h. 39. (selanjutnya disebut Paul Scholten II).
266 Gilbert Guillaume, “The Use of Precedent by International Judges and
Arbitrators”, Journal of International Dispute Settlement, Vol. 2 No. 1, Oxford
University Press, 2011, p. 6.
267 Mohammad Koesnoe, Loc. Cit.
268 Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, Majalah Hukum
Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.1, Tahun 2012, h. 6.
(selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II).
269 Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Pengadilan
dilarang menolak untuk mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
hukum tidak mengatur atau tidak jelas.
92
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
tidak mengikat dan tidak memiliki sifat memaksa, karena tidak dilandasi
dengan kewenangan.
Menurut Richard Austen-Baker dan Qi Zhou, penafsiran kontrak
adalah aktivitas yudisial dimana hakim diminta para pihak yang terikat
dalam kontrak untuk memaknai suatu istilah dalam kontrak. Dalam
sengketa penafsiran kontrak, para pihak memiliki pemahaman yang
berbeda tentang makna suatu istilah dalam kontrak yang mereka sepakati.
Ketika sengketa semacam itu muncul, hakim berkewajiban memberikan
penafsiran.270
Penafsiran hakim akan mengikat para pihak.271 Selain karena
dituangkan dalam bentuk putusan,272 juga karena hakim merupakan
pelaksana penegak hukum (upholders of the rule of law).273 Menurut kaidah
Yurisprudensi, jika terjadi perselisihan mengenai isi kontrak, maka tugas
utama hakim adalah melakukan penafsiran dengan menilai fakta-fakta
yang ada.274
Natalie Byrne menulis, ketika perselisihan mengenai makna suatu
istilah dalam kontrak muncul, hakim seringkali diminta untuk melakukan
penafsiran kontrak.275 Tugas menafsirkan memang mengejawantah dalam
kegiatan hakim.276 Hakim dapat secara aktif melakukan penafsiran kontrak,
seperti menyelesaikan ketimpangan, konflik dan ambiguitas bahasa dalam
kontrak, dan terkadang mengganti istilah yang digunakan para pihak dalam
270 Richard Austen-Baker and Qi Zhou, Contract in Context, Rouledge, New York,
2015, p. 120-121.
271 Wirjono Prodjodikoro I, Op. Cit., h. 28.
272 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 38.
273 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 854. (selanjutnya
disebut M. Yahya Harahap I).
274 Herlien Budiono, Op. Cit., h. 127.
275 Natalie Byrne, “Contracting for ‘Contextualism’ - How Can Parties Influence the
Interpretation Method Applied to Their Agreement?”, QUT Law Review, Vol. 13
No. 1, 2013, p. 52-53.
276 Lihat A. Pitlo I, Op. Cit., h. 76.
93
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
94
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
282 Lihat ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Amandemen yang merumuskan,
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
283 Paulus E. Lotulung, “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum”,
Makalah, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 6.
284 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, “Kebebasan Hakim Perdata dalam Penemuan
Hukum dan Antinomi Penerapannya”, Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 1, Februari
2011, h. 68.
285 Ahmad Kamil, Op. Cit., h. 167.
286 Paulus E. Lotulung, Loc. Cit.
287 Lihat ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
95
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
nilai hukum yang ada, baik yang telah dirumuskan dalam hukum positif,
maupun yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
96
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
289 HR. tanggal 28 Juni 1946, NJ 1946, No. 524, dimuat dalam Ibid.
290 David E. Pierce, “Interpreting Oil and Gas Instruments”, Texas Journal of Oil, Gas,
and Energy Law, Vol. 1 No. 1, 2005, p. 20.
97
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
a. Fakta Hukum
Dixon Jr. berpendapat, tugas pertama hakim ialah mencari tahu apa
yang terjadi. Hakim harus mengetahui fakta-faktanya. Dia harus tahu
artinya atau pentingnya fakta-fakta yang ada dan yang dia temukan.291
Pendapat senada dikemukakan Sudikno Mertokusumo, menurutnya hal
yang utama dan terpenting bagi hakim ketika mengadili perkara bukanlah
hukumnya, melainkan faktanya atau peristiwanya.292 Menurut Zeitune,
perkara haruslah diputuskan hanya berdasarkan pada fakta-fakta dan
hukum yang berlaku.293 Hakim tidak dibenarkan menjatuhkan putusan
tanpa pembuktian. Sedangkan menegakkan pembuktian haruslah didu-
kung dengan fakta-fakta.294
Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
pemeriksaan sengketa, karena akan menggambarkan peristiwa yang sebe-
narnya. Oleh karena itu hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan
harus memberikan kesempatan yang sama dan proporsional kepada para
pihak yang bersengketa untuk mengajukan bukti-bukti di persidangan.295
Melalui pembuktian yang obyektif, hakim akan mendapatkan kepastian
tentang kebenaran dari peristiwa yang disengketakan.296
Hakim wajib mengetahui dengan jelas fakta-fakta yang terungkap
dalam persidangan. Misalnya ia harus mengetahui adanya hubungan
kontraktual antara penggugat dan tergugat, dimana tergugat seharusnya
melaksanakan kewajiban tertentu terhadap penggugat, tetapi tergugat
wanprestasi. Apa yang diutarakan penggugat ini harus dibuktikan, dan
98
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
297 Lihat A. Pitlo, Pembuktian Dan Daluwarsa: Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Belanda, Terjemahan M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1978, h. 9.
(selanjutnya disebut A. Pitlo IV).
298 Mengkonstatir adalah tugas hakim untuk menentukan fakta. Sementara mengkualifisir
adalah menerapkan hukum yang sesuai dengan fakta. Sedang mengkonstituir adalah
menetapkan hukumnya. Lihat Habiburrahman, “Teknik Pembuatan Putusan”,
Makalah, Pelatihan Tematik Ekonomi Syariah bagi Hakim Peradilan Agama,
Komisi Yudisial RI, Savoy Homann Bidakara Hotel, Bandung, 15 Februari 2013,
h. 7-9. Lihat juga Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata: Mediasi, Class Action,
Arbitrase & Alternatif, Grafiti Budi Utami, Bandung, 2008, h. 114-115.
299 Tom Bingham, The Business of Judging: Selected Essays and Speeches, Oxford University
Press, Oxford, 2011, p. 1.
300 Lihat M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 502.
99
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
100
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
oleh satu pihak dan tidak cukup diperdebatkan oleh pihak lain harus
dianggap telah ditetapkan oleh pengadilan.304
Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara di pengadilan senantiasa
melalui dua tahap, yaitu:305
a. Pemeriksaan duduk perkara meliputi fakta dan pembuktian dimana
kepada hakim diberi kewenangan bertindak sebagai judex facti
memeriksa dan menilai masalah fakta dan peristiwa; dan
b. Penelitian dan penilaian tentang penerapan hukum atas fakta yang
telah terbukti.
Dalam konteks sengketa kontrak, kedua tahap pemeriksaan di atas
sangat penting untuk menghindari kesalahan hakim dalam memper-
timbangkan fakta hukum sebagai dasar menentukan isi kontrak. Karena
kesalahan dalam mempertimbangkan fakta hukum dapat mengakibatkan
putusan cacat hukum. Mahkamah Agung telah memberikan penegasan
mengenai keharusan menggunakan fakta hukum yang terungkap di dalam
persidangan. Hal ini dapat dilihat dalam perkara Taharudin melawan Firma
Medan Jaya dkk. Oleh karena Pengadilan Tinggi dianggap tidak memper-
hatikan fakta-fakta persidangan, Mahkamah Agung menyatakan judex facti
telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian.306
Duduk perkaranya, Kwang Kim Yew meminjam uang kepada
Taharuddin sebesar Rp. 5.000.000,- dengan jaminan 10 lembar cek atas
nama Firma Medan Jaya. Ketika hendak dicairkan ternyata semua cek
tersebut tidak ada dananya. Karena merasa dirugikan, Taharudin
kemudian menggugat Kwang Kim Yew, Firma Medan Jaya, dan Kwang
Hok Hai selaku direktur Firma Medan Jaya untuk secara tanggung renteng
(hoofdelijk) membayar pinjaman yang telah diterima.
304 Ibid.
305 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 243. (selanjutnya disebut
M. Yahya Harahap II).
306 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 665 K/SIP/1973 tanggal 28
November 1972.
101
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
102
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
103
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
313 Ibid.
104
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
314 Lihat putusan Court of Appeal WL 1732223 (2007), dalam perkara 7979 Airport
Garage, L.L.C. v. Dollar Rent A Car Systems, Inc., dimuat dalam Richard R. Orsinger,
Op. Cit., p. 31.
315 R. Subekti II, Op. Cit., h. 43.
105
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
b. Teks Kontrak
Teks kontrak adalah rangkaian huruf, angka, atau kata-kata yang
tertulis dalam suatu dokumen kontrak. Teks kontrak lazimnya berupa
rumusan keterangan-keterangan, pernyataan-pernyataan, klausul-klausul
atau syarat-syarat yang telah disepakati oleh para pihak. Teks kontrak
merupakan bukti penting dalam sengketa kontrak, karena apa yang
disengketakan para pihak bersumber dari teks kontrak.317 Pada dasarnya
kontrak tidak selalu harus tertulis, tetapi kontrak yang dibuat secara tertulis
bisa menjadi bukti bagi para pihak.
Pitlo membedakan bukti tulisan (schrifftelijke bewijs) menjadi tiga
macam, yaitu akta otentik, akta di bawah tangan, dan surat bukan akta.
Syarat suatu akta adalah ditandatangani, dimaksudkan untuk digunakan
sebagai bukti, dan digunakan oleh orang untuk siapa akta dibuat. Sedang-
kan surat bukan akta ialah surat yang tidak memenuhi syarat sebagai
akta.318 Seringkali orang salah memahami bukti tulisan (schrifftelijke bewijs),
sehingga menyamakan konsep akta (akten) dengan surat (de brief). Akta
haruslah ditandatangani, sedangkan surat tidak harus ditandatangani.
Kekuatan pembuktian akta (bewijs van akten) dan bukti surat (bewijs van brief)
bisa saja berbeda, meskipun memiliki kualitas yang sama sebagai bukti
tulisan (schrifftelijke bewijs).
316 Lihat Alf Ross, On Law and Justice, The Lawbook Exchange, Clark, 2004, p. 214,
yang menulis, the facts which according to the law can be relevant for a decision are called the
operative facts.
317 Lihat M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 556-557, yang menulis bahwa surat atau
akta dalam perkara perdata, memegang peran yang penting.
318 Lihat A. Pitlo IV, Op. Cit., h. 52-53. Lihat juga R. Subekti I, Op. Cit., h. 178. Periksa
A.I.M. van Mierlo en F.M. Bart, Op. Cit., p. 354.
106
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
Akta otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum, atau dibuat di
hadapan pejabat umum, dan bentuknya telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Sedangkan akta di bawah tangan ialah akta yang
dibuat sendiri oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum.319 Pejabat
umum (openbare ambtenaren) yang tugas dan fungsinya membuat akta adalah
notaris dan pejabat pembuat akta tanah.
Di Belanda, pengertian akta disebutkan pada Pasal 156 (1) Rv Belanda
yang menyebutkan bahwa akta adalah dokumen yang ditandatangani dan
dimaksudkan untuk difungsikan sebagai bukti. Menurut Maarten van
Stekelenburg, definisi ini menunjukkan bahwa secara kumulatif akta harus
memenuhi tiga syarat, yaitu dibuat dalam bentuk tulisan, ditandatangani,
dan berfungsi sebagai pembuktian.320
Salah satu fungsi utama dari akta ialah untuk pembuktian.321 Pitlo
membedakan kekuatan pembuktian akta menjadi tiga macam, yaitu
kekuatan pembuktian luar, formil, dan mateiil.322 Kekuatan pembuktian
luar pada intinya menekankan bahwa akta akan diperlakukan sebagai akta
yang benar sampai terbukti sebaliknya. Maksud benar di sini berkaitan
dengan eksistensi akta dan tandatangan yang ada di dalamnya. Hal ini harus
dipastikan lebih dulu sebelum mempertimbangkan isi akta. Hoge Raad
menegaskan, “bahwa undang-undang dalam mengatur kekuatan pem-
buktian dari surat-surat, bertitik tolak dari anggapan bahwa surat-surat itu
benar dan soal, kekuatan pembuktian mana yang dipunyai oleh suatu surat,
baru dapat dikemukakan, sesudah dipastikan dengan cara tersebut di atas,
319 Sudikno Mertokusumo III, Op. Cit., h. 211-218. Lihat ketentuan Pasal 1868 BW.
320 Maarten van Stekelenburg, De betere byte in de strijd om het gelijk: een onderzoek naar de
betrouwbaarheid van elektronische gegevens als bewijsmiddel in het Nederlandse, Duitse en
Amerikaanse civiele bewijsrecht, Eburon, Delft, 2009, p. 64.
321 Yahya Harahap menyebutkan tiga fungsi tulisan atau akta dari segi hukum
pembuktian, yakni sebagai formalitas kausa, sebagai alat bukti, dan sebagai alat
bukti satu-satunya (probationis causa). Lihat M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 563-
565.
322 A. Pitlo IV, Op. Cit., h. 56-57.
107
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
323 Ibid.
324 Pada masa lalu BW melarang untuk mengajukan saksi terhadap akta. Hal itu diatur
dalam Pasal 1934 BW Belanda (lama) atau Pasal 1897 BW. Tetapi karena dianggap
mengganggu dalam praktik pengadilan, maka Pasal tersebut kemudian dihapus.
Lihat Ibid., h. 100. Lihat juga Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 90-91.
325 Ibid., h. 63.
326 Sudikno Mertokusumo III, Op. Cit., h. 221.
327 A. Pitlo IV, Op. Cit., h. 67.
328 Lihat putusan HR. 4 Maret 1927, NJ, 1927, 1930, 730, dimuat dalam Ibid., h. 66.
108
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
jelas. Namun demikian, ketika isi kontrak mengandung ambiguitas, the plain
meaning rule is inapplicable.329
Di dalam praktik peradilan, penafsiran yang hanya berdasarkan pada
teks kontrak dianggap tidak dapat memastikan maksud para pihak. Hal ini
tercermin dalam perkara Pioneer Shipping Ltd v. BTP Tioxide Ltd (1982).
Terdapat perbedaan penafsiran kontrak antara arbiter dan hakim
Commercial Court. Arbiter mendasarkan pada kehendak para pihak,
sedangkan Commercial Court berpegang pada makna literal kontrak. Tetapi
Appeal Court dan House of Lord lebih menyetujui pendapat Arbiter.330
Diplock menyatakan, tujuan yang ingin dicapai dalam menafsirkan kontrak
adalah untuk memastikan maksud para pihak terhadap kewajiban hukum
masing-masing yang berusaha diungkapkan dengan kata-kata di dalam
kontrak.331
Menurut Posner, seseorang tidak pernah bisa sepenuhnya percaya diri
untuk menentukan arti suatu dokumen dari dokumen itu sendiri.332 Maka
fakta-fakta yang melingkupi pembentukan kontrak tetap diperlukan.
Mengenai hal ini Hoffmann menegaskan, tidak ada dua konstruksi yang
mungkin dalam situasi tertentu, yaitu yang murni literal, atau dengan latar
belakang faktual. Tetapi hanya satu yaitu penafsiran yang benar. Ini karena
obyek penafsiran adalah untuk menemukan makna dari apa yang
dipermasalahkan dalam konteksnya. Dengan demikian, pada prinsipnya
semua kontrak harus ditafsirkan berdasarkan latar belakang faktual yang
dipastikan atas dasar obyektif. Bahwa adanya kenyataan suatu dokumen
329 Lihat Carlton J. Snow, “Contract Interpretation: The Plain Meaning in Labor
Arbitration”, Fordham Law Review, Vol. 55 Iss. 5, 1987, p. 681-686.
330 Lihat putusan House of Lord, 3 WLR 292 (1982), dalam perkara Pioneer Shipping Ltd
v. BTP Tioxide Ltd., dimuat dalam N.J. Harrison, “Appeals From Arbitration
Under Section One of the Arbitration Act 1979”, The Trent Law Journal, Vol. 7,
1983, p. 123.
331 Catherine Mitchell, Op. Cit., p. 47.
332 Richard A. Posner, Op. Cit., p. 23.
109
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
110
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
san amar putusan sama dengan rumusan petitum gugatan yang dikabulkan.
Di dalam praktik pengadilan, terdapat tiga macam amar putusan, yaitu
amar gugatan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard), amar
menolak gugatan, dan amar mengabulkan gugatan.
Putusan dengan amar gugatan tidak dapat diterima dijatuhkan oleh
hakim apabila gugatan yang diajukan tidak memenuhi syarat formil dan
materiil.335 Putusan ini tidak memberikan pertimbangan atau penegasan
terhadap pokok perkara, akan tetapi hanya memberikan pertimbangan
terhadap formalitas gugatan, meskipun dalam proses persidangan
dilakukan pemeriksaan pokok perkara dan pembuktian-pembuktian.336
Sementara putusan dengan amar menolak gugatan dijatuhkan oleh
hakim apabila penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatannya,
atau sebaliknya tergugat mampu membuktikan dalil bantahannya (tegen
bewijs).337 Berbeda dengan putusan gugatan tidak dapat diterima, putusan
menolak gugatan memberikan pertimbangan atau penegasan terhadap
pokok perkara. Penegasan yang diberikan bersifat negatif, yaitu penegasan
mengenai tidak adanya hubungan hukum di antara para pihak maupun
dengan obyek perkara, atau tidak adanya kesalahan yang dilakukan oleh
tergugat.
335 Lihat H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h. 258.
336 Di dalam praktik peradilan, kecuali eksepsi kompetensi pengadilan, semua eksepsi
diputus bersamaan dengan pokok perkara. Hal ini tidak efisien, karena putusan
yang berkaitan dengan eksepsi harus melalui serangkaian proses persidangan dan
pembuktian yang panjang. Padahal putusan hanya terkait dengan formalitas
gugatan. Misalnya soal surat kuasa tidak sah, seharusnya di awal persidangan sudah
dapat diketahui dan diputus sela, tanpa harus memeriksa pokok perkara, bukti-
bukti dan saksi-saksi yang pada akhirnya tidak dipertimbangkan.
337 Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 570 K/Sip/1972, tanggal 8 Januari
1976, dalam perkara Kamin gelar Malintang Alam melawan Pr. Rosaja dkk.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa karena penggugat tidak dapat
membuktikan gugatannya, seharusnya gugatan ditolak, bukannya dinyatakan tidak
dapat diterima.
111
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
338 Periksa putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 3008 K/PDT/2011 tanggal 18 Juli
2012.
339 Periksa putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2786 K/Pdt/2012, tanggal 11 Juli
2013.
340 Periksa putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 348 K/Pdt/2012 tanggal 7
Agustus 2012.
112
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
113
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
114
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
115
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
352 Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor: 1007 K/Pdt/2014, tanggal 9 September
2014.
353 Lihat Agus Yudha Hernoko I, Op. Cit., h. 264, yang menulis bahwa tidak
dipenuhinya unsur subyektif, baik karena adanya cacat kehendak atau karena tidak
cakap berakibat kontrak dapat dibatalkan (vernietigbaar).
354 Lihat R. Subekti II, Op. Cit., h. 45, yang menulis bahwa terhadap kelalaian debitur
diancam sanksi pembatalan perjanjian.
355 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 650 PK/Pdt/2012 tanggal 19 Pebruari
2013.
116
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
117
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
360 Agus Yudha Hernoko I, Op. Cit., h. 264, menulis bahwa tidak dipenuhinya unsur
obyektif, baik karena tidak memenuhi syarat obyek tertentu, atau tidak
mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 BW angka 3 dan
4 jis. 1335, 1337, 1339 BW), berakibat kontrak batal demi hukum (nietig).
361 R. Setiawan I, Op. Cit., h. 3
118
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
119
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
365 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2838 K/Pdt/2011, tanggal 19 April 2012.
366 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 30 PK/Pdt/2014 Tahun 2014, tanggal 8
April 2014.
367 Lihat Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 57.
368 A. Pitlo I, Op. Cit., h. 35.
120
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
121
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
369 Periksa putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor: 38/1966, tanggal 21 Juli 1966.
370 Periksa putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 50/1967 Pdt., tanggal 21
Nopember 1967.
371 Periksa putusan Mahmakah Agung RI Nomor: 610 K/SIP/1968, tanggal 23 Mei
1970.
122
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
c. Analisis
Menilik putusan hakim pada semua tingkatan di atas, pertimbangan
hukum hakim Pengadilan Negeri Blitar dan Pengadilan Tinggi Surabaya
yang mengakui adanya hak bagi penggugat untuk mendapatkan ganti rugi,
tetapi dinyatakan tidak pantas karena alasan nilai ganti rugi yang diajukan
tidak lagi sesuai dengan fakta kekinian, sangatlah tidak adil. Apalagi
tergugat juga tidak menyangkal adanya kekurangan pembayaran sejumlah
Rp. 2.644.463,-. Menolak gugatan yang telah dapat dibuktikan di
persidangan hanya atas dasar tidak dapat mengabulkan petitum gugatan
yang berbeda jauh dengan kondisi riil akibat terjadi devaluasi, jelas tidak
selaras dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Apalagi
123
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
124
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
tidak adil apabila salah satu pihak harus menanggung beban kerugian lebih
besar dari pihak lainnya.
125
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
374 Periksa putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor: 80/1963 Pdt., tanggal 14
Desember 1963.
126
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
127
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
pengembalian” (de tijd der terug-gave), karena fakta peminjaman telah diakui
oleh kedua belah pihak yang berperkara;
- Bahwa putusan Pengadilan Negeri sudah benar, hanya saja mengenai jumlah
penggantian harga semen karena masih dalam mata uang lama, perlu dinilai
menjadi uang baru/sekarang;
- Bahwa penilaian harus dilakukan dengan menggunakan harga emas pada
waktu jumlah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri dan harga emas sekarang
(pelaksanaan) dengan membebankan risiko karena penilaian itu kepada kedua
belah pihak masing-masing separuh.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah Agung menja-
tuhkan putusan dengan amar yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Menerima permohonan kasasi dari penggugat;
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Ambon;
Dan dengan mengadili sendiri:
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ternate, dengan perbaikan sedemikian
rupa sehingga jumlah uang Rp. 720.000,- uang lama yang disebut dalam amar
ketiga dibaca Rp. 100.000,- uang baru/sekarang;
- Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara.
c. Analisis
Hal yang paling menarik dari semua putusan di atas adalah adanya
perbedaan penafsiran terhadap isi surat pengakuan pinjaman. Meskipun
berangkat dari fakta-fakta hukum yang sama, hakim Pengadilan Negeri
Ternate dan Mahkamah Agung tidak berhenti pada metode penafsiran
gramatikal dan prinsip kontrak jelas (vide Pasal 1342 BW) sebagaimana
dilakukan hakim Pengadilan Tinggi Ambon. Hakim Pengadilan Negeri
Ternate dan Mahkamah Agung tampak mendayagunakan semua metode
dan prinsip penafsiran kontrak yang ada.
Memaknai kata-kata yang telah jelas memang tidak salah, tetapi hanya
sebatas memaknai kata-kata saja tanpa mempertimbangkan fakta-fakta
hukum yang ada tentu tidak membawa pada suatu keadilan dan kepastian
hukum. Fakta adanya kerugian yang telah dialami oleh penggugat selama
128
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
129
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
130
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
131
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
- Atau apabila hakim berpendapat lain, mohon putusan yang adil (ex aequo et
bono).
Gugatan rekonvensi dan dalil-dalil tergugat tersebut ditolak oleh
penggugat selaku tergugat rekonvensi. Menurut penggugat, dalam Pasal
5.8 kontrak telah ditegaskan bahwa kenaikan harga bahan-bahan, alat-alat,
upah dan pekerjaan dalam jangka waktu pembangunan menjadi tanggung
jawab tergugat sepenuhnya, tanpa mengurangi mutu atau kualitas alat-alat
atau bahan-bahan bangunan yang telah disepakati bersama. Sehingga
menurut penggugat, tergugat berkewajiban untuk melaksanakan kontrak,
meskipun terjadi perubahan harga pasar. Penggugat juga berpendapat
bahwa perubahan kondisi perekonomian berupa krisis ekonomi tidak
termasuk kategori force majeure.
132
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
Dalam Rekonvensi:
- Mengabulkan gugatan rekonvensi sebagian yaitu:
1. Menyatakan tergugat rekonvensi melakukan perbuatan melawan hukum;
2. Menghukum tergugat rekonvensi untuk mengkaji ulang keekonomian
proyek dan merampungkan perubahan pasal-pasal perjanjian yang
disepakati bersama;
3. Menghukum tergugat rekonvensi untuk mengembalikan uang garansi yang
telah dicairkan;
4. Menolak gugatan selebihnya;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
- Membebankan ongkos perkara kepada penggugat konvensi/tergugat rekonvensi.
Pada tingkat banding, permohonan banding yang diajukan tergugat
dinyatakan tidak dapat diterima.378 Sedangkan di tingkat kasasi, Mahkamah
Agung menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan tergugat.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
judex facti tidak salah dan tidak keliru menerapkan hukum, karena seluruh
alat bukti telah diperiksa dan dipertimbangkan dengan cukup dan baik.379
c. Analisis
Mencermati ratio decidendi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
yang paling menarik untuk dianalisis adalah metode dan prinsip penafsiran
kontrak yang digunakan hakim dalam merangkai pertimbangan hukum
dan mengkreasi amar putusan. Selain tidak berpegang pada penafsiran
gramatikal semata, fakta-fakta hukum yang terjadi pada saat pelaksanaan
kontrak justru dijadikan hakim sebagai dasar pertimbangan utama. Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lebih memilih menggunakan metode
penafsiran sosiologis dan prinsip probabilitas kontrak terlaksana, meski-
133
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
pun di dalam kontrak telah disebutkan dengan jelas bahwa kenaikan harga
menjadi tanggungjawab penuh tergugat.
Berdasarkan pada fakta-fakta hukum yang terjadi pada saat pelaksa-
naan kontrak, yakni adanya krisis moneter yang sangat mempengaruhi
perekonomian pada saat itu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menetapkan bahwa kontrak kerjasama pembangunan Gedung Menara
Gas Pertamina tetap dapat dilaksanakan, tetapi dengan terlebih dahulu
harus dikaji ulang keekonomian proyek, dan melakukan perubahan pada
pasal-pasal kontrak untuk disesuaikan.
Pada dasarnya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menerap-
kan metode penafsiran integral dalam membangun pertimbangan hukum
putusan, dan terutama dalam mengkreasi amar putusan. Apa yang
diputuskan merupakan sebuah karya intelektual sekaligus kebijaksanaan
yang luar biasa, hal mana jarang terjadi di institusi Pengadilan. Pada
umumnya hakim terbiasa mengambil jalan win or lose dalam menjatuhkan
putusan, dan jarang sekali memberikan putusan yang win-win solution. Tetapi
dalam perkara ini, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan
solusi terbaik bagi kedua belah pihak.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengkreasi amar putusan
yang bersifat win-win solution, meskipun hal itu tidak dituntut oleh peng-
gugat konvensi maupun penggugat rekonvensi dalam petitum gugatannya.
Amar putusan yang berbunyi, “menghukum tergugat rekonvensi untuk mengkaji
ulang keekonomian proyek dan merampungkan perubahan pasal-pasal perjanjian yang
disepakati bersama”, merupakan sebuah karya intelektual hukum yang
mengagumkan, hal mana dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Jika dicermati, amar putusan tersebut bukanlah suatu bentuk
hukuman, meskipun didahului dengan kata ‘menghukum’. Karena inti dari
amar putusan tersebut adalah untuk tetap melanjutkan kontrak yang telah
disepakati para pihak. Amar putusan tersebut juga tidak tercantum dalam
petitum gugatan, baik gugatan konvensi maupun gugatan rekonvensi.
Meskipun demikian, amar putusan yang dikreasi oleh hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tersebut bukanlah termasuk ultra petitum partium,
134
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
135
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
136
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
137
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
c. Analisis
Menelisik putusan hakim di atas, pada dasarnya pertimbangan hukum
hakim pada tingkat Pengadilan Negeri, tingkat banding, dan tingkat kasasi
telah menerapkan metode penafsiran integral dalam membangun pertim-
bangan hukum, khususnya dalam menafsirkan kontrak. Hakim Pengadilan
138
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
Negeri Medan tidak hanya terpaku pada teks kontrak semata, tetapi
putusannya disandarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap di dalam
persidangan, baik fakta hukum yang ada pada saat penutupan kontrak,
maupun fakta hukum yang ada pada saat pelaksanan kontrak.
Fakta bahwa tergugat sampai pada tahun 2003 tidak juga membangun
rumah dan tidak menyerahkannya kepada tergugat, jelas wanprestasi.
Sementara fakta adanya krisis moneter dan kenaikan harga material bahan
bangunan, tidak serta merta dapat digunakan sebagai alasan untuk tidak
membangun rumah. Apabila alasan itu dimajukan pada tahun 1997 sampai
tahun 1999 barangkali masih wajar, mengingat pada saat itu terjadi krisis
moneter yang mempengaruhi harga-harga bahan bangunan. Akan tetapi
alasan tersebut menjadi tidak wajar ketika sampai tahun 2003, tergugat
tidak juga membangun rumah dan menyerahkannya kepada penggugat.
Karena notoire feiten, krisis moneter telah berangsur pulih pasca reformasi
tahun 1999. Pada aspek ini hakim terlihat telah mendayagunakan semua
metode penafsiran kontrak, termasuk dalam hal ini metode penafsiran
historis, sistematis, dan sosiologis. Sehingga perjanjian tidak hanya ditafsir-
kan secara harfiah, tetapi juga didasarkan pada fakta-fakta hukum yang
terjadi pada tahap pelaksanaan kontrak.
Mengenai alasan krisis moneter dan kenaikan harga-harga bangunan,
pertimbangan hukum Mahkamah Agung yang menganggap krisis moneter
dan kenaikan harga-harga bangunan tidak dapat meniadakan tanggung
jawab tergugat untuk melaksanakan kewajibannya, merupakan pertim-
bangan hukum yang kurang tepat. Karena bagaimanapun krisis moneter
dan kenaikan harga-harga bangunan dapat mempengaruhi pelaksanaan
kontrak. Memang krisis moneter tidak meniadakan tanggung jawab
tergugat, akan tetapi krisis moneter dan kenaikan harga-harga bangunan
tetap dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda atau merevisi
pelaksanaan kontrak. Sehingga pertimbangan hukum yang lebih tepat
dalam perkara ini ialah menyatakan bahwa alasan krisis moneter dan
kenaikan harga-harga bangunan yang dimajukan oleh tergugat tidak lagi
139
BAB IV PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KONTRAK
140
BAB V
PENUTUP
141
BAB V PENUTUP
kontrak yang disengketakan tetap dapat dilaksanakan secara adil, sekaligus tetap
memiliki kepastian hukum.
B. Saran
Prinsip penafsian kontrak jelas yang dirumuskan pada Pasal 1342 BW harus
dimaknai sebagai awal penafsiran. Prinsip penafsiran kontrak jelas seyogianya
tidak dimaknai meniadakan bukti-bukti ekstrinsik, meskipun teks kontrak yang
disengketakan dinyatakan sudah jelas.
Hakim seyogianya senantiasa menggunakan metode penafsiran integral
ketika melakukan penafsiran kontrak, agar hakim tidak terjebak pada penafsiran
yang hanya didasarkan pada pemahaman teks kontrak semata. Metode penafsiran
integral akan membimbing hakim untuk selalu mempertimbangkan fakta hukum,
prinsip-prinsip penafsiran, dan teks kontrak yang disengketakan.
Apabila terjadi perbedaan pendapat hakim dalam melakukan penafsiran
kontrak, perbedaan seyogianya terjadi karena metode penafsiran yang digunakan,
bukan karena suatu kepentingan lain. Oleh karena itu selain harus pandai, berbudi
luhur, dan bijaksana, seorang hakim seyogianya memiliki pengetahuan luas
terhadap prinsip penafsiran kontrak dan metode penafsiran kontrak.
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip penafsiran dan metode penafsian
sangatlah urgen terutama bagi sarjana hukum. Agar tidak ada lagi adagium buruk
yang menggambarkan bilamana ada dua orang sarjana hukum berdebat, maka
akan menghasilkan tiga sampai empat pendapat berbeda. Adagium ini sifatnya
mencemoooh, seolah-olah sarjana hukum tidak memiliki metodologi penafsiran
hukum.
142
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agustina, Rosa et.al., Hukum Perikatan (Law of Obligation), Pustaka Larasan,
Denpasar, 2012.
Ali, Achmad, Tujuan dan Fungsi Hukum, Ghalia, Jakarta, 2001, h. 100-101.
Al-Hushari, Syaikh Ahmad Muhammad, Tafsir Ayat-ayat Ahkam: Telaah Ayat-ayat
Hukum Seputar Ibadah, Muamalah, Pidana, dan Perdata, Terjemahan
Abdurrahman Kasdi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2014.
Al-Qahthani, Sa'id bin Ali bin Wahf, Ensiklopedi Shalat Menurut Al-Qur'an dan As-
Sunnah, Jilid II, Terjemahan M. Abdul Ghoffar, Pustaka Imam Asy-
Syafi'i, Jakarta, 2006.
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2005.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, RajaGrafindo Persada, Jakarta 2010.
Arto, H.A. Mukti, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007.
Asnawi, M. Natsir, Hermeneutika Putusan Hakim: Pendekatan Multidisipliner Dalam
Memahami Putusan Peradilan Perdata, UII Press, Yogyakarta, 2014.
Atiyah, P.S., Essays on Contract, Clarendon Press, Oxford, 1988.
--------, An Introduction to The Law of Contract, Fourth Edition, Clarendon Press,
Oxford, 1989.
Austen-Baker, Richard and Qi Zhou, Contract in Context, Rouledge, New York,
2015.
Barak, Aharon, Purposive Interpretation in Law, Princeton University Press,
Princeton, 2011.
143
DAFTAR PUSTAKA
Bingham, Tom, The Business of Judging: Selected Essays and Speeches, Oxford University
Press, Oxford, 2011.
Black, Gillian, “Contract Formation and Non-performance in Scots Law”, Riner
Schulze and Fryderyk Zoll eds., The Law of Obligations in Europe, A New
Wave of Codifications, Sellier European Law Publishers, Munich, 2013.
Brkić, Jovan and Norman Anderson, “Drafting and Interpreting Legal
Documents”, Roberta Kevelson ed., Law and Semiotics: Volume 2, Plenum
Press, New York, 1988.
Budiono, Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.
Canaris, Claus-Wilhelm and Hans Christoph Grigoleit, “Interpretation of
Contracts”, Arthur Hartkamp, et.al. eds., Towards a European Civil Code,
Kluwer Law International, Nijmegen, 2004.
Carr, Indira and Richard Kidner, Statutes and Conventions on International Trade Law,
Cavendish Publishing, Sydney, 2003.
Cauffman, Caroline, De Verbindende Eenzijdige Belofte, Intersentia, Antwerpen -
Oxford, 2005.
Clarkson, Kenneth W. et.al., West's Business Law: Text and Cases, Thomson
Learning, Ohio, 2006.
Coe, Shoki, “Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaruan”, Douglas J.
Elwood ed., Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang Tampil ke Permukaan,
Terjemahan B.A. Abednego, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006.
Collins, Hugh, Standard Contract Terms in Europe: A Basis for and a Challenge to
European Contract Law, Kluwer Law International, Alphen aan den Rijn,
2008.
Dewi, Gemala, Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013.
DiMatteo, Larry A. and André Janssen, “Interpretative Methodologies in the
Interpretation of CISG”, Larry A. DiMatteo ed., International Sales Law: A
Global Challenge, Cambridge University Press, New York, 2014.
Djamil, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam, Sejarah, Teori dan Konsep, Sinar
Grafika, Jakarta, 2013.
Djojodirdjo, Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982.
Dunne, J.M. van dan Gr. Van der Burght, Penyalahgunaan Keadaan, Kursus Hukum
Perikatan - Bagian III, Terjemahan Sudikno Mertokusumo, Dewan
144
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
145
DAFTAR PUSTAKA
146
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2013.
--------, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014.
McKendrick, Ewan, Contract Law, Text, Cases, and Materials, Sixth Edition, Oxford
University Press, Oxford, 2014.
Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993.
--------, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009.
--------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2010.
Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum, Terjemahan B. Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung, 2013.
Mierlo, A.I.M. van en F.M. Bart, Parlementaire Geschiedenis: Herziening van het
Burgerlijk Procesrecht Voor Burgerlijke Zaken, in het Bijzonder de Wijze van
Proceduren in Eerste Aanleg, Kluwer, Deventer, 2002.
Miller, Roger LeRoy, Fundamentals of Business Law: Summarized Cases, South-
Western Cengage Learning, Mason, 2013.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2013.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013.
Mitchell, Catherine, Interpretation of Contracts, Routledge-Cavendish, New York,
2007.
Morrison, Michael, Sabbath, Circumcision, and Tithing: Which Old Testament Laws
Apply to Christian?, Writers Club Press-iUniverse, Lincoln, 2002.
Nieuwenhuis, J.H, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih,
Universitas Airlangga, Surabaya, 1985.
--------, “Pembentukan Kontrak”, Rosa Agustina et.al. eds., Hukum Perikatan (Law
of Obligation), Pustaka Larasan, Denpasar, 2012.
Palmer, Richard E., Hermeneutic: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, Northwestern University Press, Evanston, 1969.
Pitlo, A., Suatu Pengantar: Azas-azas Hukum Perdata, Terjemahan Djasadin Saragih,
Alumni, Bandung, 1973.
--------, Pembuktian Dan Daluwarsa: Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda, Terjemahan M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1978.
147
DAFTAR PUSTAKA
148
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
Jurnal
Byrne, Natalie, “Contracting for ‘Contextualism’ - How Can Parties Influence the
Interpretation Method Applied to Their Agreement?”, QUT Law Review,
Vol. 13 No. 1, 2013.
Dixon Jr., John A., “Judicial Method of Interpretation of Law in Louisiana”,
Louisiana Law Review, Vol. 42 No. 5, 1982.
Eddyono, Luthfi Widagdo, “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara oleh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, Juni
2010.
149
DAFTAR PUSTAKA
150
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
151
DAFTAR PUSTAKA
Website
https://kbbi.kemdikbud.go.id
https://www.merriam-webster.com/dictionary
https://www.cnbcindonesia.com
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Burgerlijk Wetboek (BW), Stb. 1847-23.
Herziene Inlandsch Reglement (HIR), Stb. 1941-44.
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg), Stb. 1927-227.
Reglement op de Rechtsvordering (Rv), Stb. 1847-52 jo. 1849-63
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara RI Tahun 1970 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2951.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 3209.
152
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
153
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 146/U/2005 Tentang
Penyempurnaan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, tanggal 12
Nopember 2004.
Undang-Undang Asing
Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek (NBW), Stb. 2008-100.
Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), Stb. 2001-623.
Uniform Commercial Code (UCC), 2007.
154
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
155
DAFTAR PUSTAKA
156
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
157
DAFTAR PUSTAKA
158
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
159
DAFTAR PUSTAKA
160
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
Putusan Court of Appeal, 133 La. 178, 194, 62 So. 623, 629 (1913), dalam perkara
Rives v. Gulf Refining Co.
Putusan Court of Appeal, 610 So. 2d 849 (La. App. 1st Cir. 1992), dalam perkara
Spohrer v. Spohrer.
Putusan Court of Appeal, 360 So. 2d 642.644 (La. App. 3d Cir. 1978), dalam perkara
Par-Co Drilling, Inc. v. Franks Petroleum Inc.
Putusan Court of Appeal, WL 1732223 (2007), dalam perkara 7979 Airport Garage,
L.L.C. v. Dollar Rent A Car Systems, Inc.
Putusan Court of India, 98 Nob. 89, 152 NW 310, dalam perkara Habaska Seed Co.
v. Harsh.
161
DAFTAR PUSTAKA
162
GLOSARIUM
163
GLOSARIUM
164
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
165
GLOSARIUM
166
PENAFSIRAN HAKIM DALAM SENGKETA KONTRAK
167
GLOSARIUM
168
INDEKS
All Terms to be Given Effect, 41, 42, 43 133, 134, 135, 138, 139, 140, 141,
Contra Proferentem Rule, 35, 38, 41, 42 142
Course Of Dealing, 34, 35, 39 Metode Penafsiran Ekstensif, 54
Course Of Performance, 34, 35, 38, 39 Metode Penafsiran Futuristis, 48,
Extrinsic Nonevidence Rule, 35, 36, 97 53
Four Corners Rule, 34, 35, 42, 43, 63, Metode Penafsiran Gramatikal, 48,
97 63, 128, 129
Hubungan Kontraktual, 2, 17, 21, Metode Penafsiran Hermeneutik,
27, 65, 77, 79, 80, 88, 98 54, 56, 57
Inisiator Kontrak, 19, 28, 29, 43, 50 Metode Penafsiran Historis, 48, 50,
Intention of The Parties, 40, 41, 43 51, 64, 65, 68, 139
Kontrak, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, Metode Penafsiran Integral, 59, 60,
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 61, 67, 120, 129, 134, 138, 141, 142
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, Metode Penafsiran Komparatif, 48,
31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 52, 53
41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, Metode Penafsiran Restriktif, 48,
51, 52, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 52, 53, 54
67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 77, 79, Metode Penafsiran Sistematis, 48,
80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 49, 50
90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, Metode Penafsiran Teleologi, 48,
101, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 51
109, 110, 112, 114, 116, 117, 118, Metode Penafsiran, 6, 11, 15, 45,
119, 120, 121, 129, 130, 131, 132, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52 53, 54, 55,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,
169
GLOSARIUM
66, 67, 68, 120, 128, 129, 133, 134, Relevant Circumstances, 41
138, 139, 140, 141, 142 Sengketa Kontrak, 2, 3, 11, 12, 15,
Parol evidence Rule, 35, 37, 97 18, 69, 80, 81, 89, 92, 101, 106, 110,
Probabilitas Pelaksanaan Kontrak, 114
18, 19, 22, 43, 52, 66, 67, 68 Usage Of Trade, 40
Reference to Contract or Statement as a
Whole, 41, 43
170
TENTANG PENULIS
171