Gerakan kritik feminisme memiliki sejarah yang panjang. Meskipun sudah
digaungkan sebelum tahun 1960-an, pada masa itu perempuan masih berada di bawah kendali laki-laki. Keprihatinan sosial atas isu-isu feminisme pun mulai menemukan suasana yang baru. Kritikus feminis berpindah haluan dengan meneliti karya-karya sastra kanon dan menemukan banyak dominasi dan prasangka laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki menganggap perempuan sebagai "liyan", yakni makhluk yang tidak wajar atau menyimpang. Stereotip wanita berlimpah di tulisan kanon sastra. Mereka menganggap wanita adalah jenis kelamin maniak, dewi kecantikan, entitas tanpa pikiran, atau perawan tua. Sementara itu, Dickens, Wordsworth, Hawthorne, Thoreau, Twain dan sejumlah penulis laki- laki lainnya "dikanonisasi". Lalu, sebagian besar peran perempuan dalam karakter fiksi terbatas pada posisi sekunder. Cendekiawan wanita seperti Virginia Woolf dan Simone de Beauvoir diabaikan, tulisan mereka jarang disebut oleh perajin laki-laki dari kanon sastra. Pada tahun 1980-an, Elaine Showalter memunculkan istilah gynocriticism (ginokritisisme) yang kini telah menjadi identik dengan studi tentang perempuan sebagai penulis dan memaparkan empat model kritik sastra mengenai sifat tulisan wanita yang membantu menjawab beberapa keprihatinan utama kaum feminis. Masing-masing model Showalter adalah sekuensial, mengelompokkan dan mengembangkan model sebelumnya. Pertama, Gambar tubuh perempuan yang disajikan dalam teks. Misalnya, para penulis kanon laki-laki akan menyoroti berbagai bagian tubuh wanita, seperti rahim dan payudara. Kedua, bahasa wanita. Perhatian seperti itu berpusat pada perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan. Karena kita hidup dalam masyarakat patriarki, itu akan adil untuk berasumsi, kata para feminis, bahwa bahasa kita juga didominasi laki-laki. Apakah wanita berbicara atau menulis berbeda dari pria? Meskipun ada sedikit konsensus pada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, kritikus tertarik pada jenis ini penyelidikan menganalisis konstruksi gramatikal, tema berulang, dan unsur linguistik lainnya. Ketiga, jiwa perempuan dan hubungannya dengan proses penulisan. Seperti sebuah analisis menerapkan karya-karya psikologis Freud dan Lacan, menunjukkan bagaimana fisik dan perkembangan psikologis perempuan membuktikan dirinya bahwa dalam proses penulisan mereka melalui berbagai tahapan psikologis. Keempat, budaya. Dengan menganalisis kekuatan budaya (seperti pentingnya nilai peran perempuan dalam masyarakat tertentu), kritikus yang menekankan studi pada bidang ini menyelidiki bagaimana masyarakat membentuk pemahaman wanita tentang dirinya, masyarakatnya, dan dunianya. Ginokritisisme membuat kritik sastra feminisme tampak menarik karena berusaha membongkar praktik-praktik patriarki yang terdapat dalam karya sastra. Pendekatan yang dilakukan dengan empat model memudahkan para kritikus feminis mencari celah menemukan bahwa beberapa karya sastra mungkin sudah menggambarkan perempuan dengan sewenang-wenang. Tanpa sadar, para penulis terlalu menggambarkan perempuan berdasarkan prasangka-prasangka yang didorong oleh sikap superioritas laki-laki. Seperti halnya tokoh-tokoh penyihir yang dimuat dalam kartun disney. Tokoh tersebut selalu digambarkan sebagai sosok perempuan tua dan terasingkan. Penggambaran tentang penyihir yang selalu identik dengan perempuan tua hingga sekarang masih ada dalam benak beberapa orang.