Secara etimologis, Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea: 1951) atau
“corruptus” (Webster Student Dictionary: 1960). Kata “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu
bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt”
(Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/ korruptie” (Belanda). Secara harfiah korupsi
mengandung arti: kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap. Kamus Umum Bahasa Indonesia
karangan Poerwadarminta “korupsi” diartikan sebagai: “perbuatan yang buruk seperti: penggelapan
uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
“korupsi” diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.
Pada dasarnya sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain:
Faktor Individu
1) sifat tamak,
Korupsi, bukan kejahatan biasa dari mereka yang membutuhkan makan, tetapi kejahatan
profesional orang yang sudah berkecukupan yang berhasrat besar untuk memperkaya diri dengan
sifat rakus atau serakah.
Faktor Lingkungan
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan lingkungan. Lingkungan kerja yang korup akan
memarjinalkan orang yang baik, ketahanan mental dan harga diri adalah aspek yang menjadi
pertaruhan. Faktor lingkungan pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku,
yaitu:
c) masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi
pasti melibatkan anggota masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat
pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari. d) masyarakat
kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas dengan peran aktif
masyarakat. Pada umumnya berpandangan bahwa masalah korupsi adalah tanggung jawab
pemerintah semata.
3) Aspek Politis, instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan
sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi
4) Aspek Organisasi
c) Kurang memadainya sistem akuntabilitas Institusi, belum dirumuskan visi dan misi
dengan jelas, dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai berakibat instansi
tersebut sulit dilakukan penilaian keberhasilan mencapai sasaranya. Akibat lebih lanjut adalah
kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini
memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
Dalam Pancasila terdapat lima sila yang dimana setiap sila-sila itu memiliki arti yang
berbeda tetapi memiliki tujuan yang satu yaitu menciptakan dan mewujudkan cita-
cita negara Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan
salah 1 penyelewangan yang marak terjadi di Indonesia. Tindakan tersebut bukan
hanya melanggar aturan negara tetapi hal itu juga telah melanggar ideologi dan
prinsip terhadap Pancasila. Dengan menyelewengnya tindakan terhadap Pancasila
hal tersebut akan membuat cita-cita yang didambakan oleh negara dan bangsa
lama kelamaan akan menjadi hancur. Maka dari itu terdapat hal penting dalam
tindakan korupsi terhadap Pancasila yaitu dengan kita melakukan tindakan korupsi
kita sama saja telah menghancurkan Pancasila yang telah susah payah dibuat oleh
pendiri bangsa kita yang berjuang mati-matian.
Sila pertama yang berbunyi “Ke-Tuhanan Yang Masa Esa” jika kita
melakukan tindakan korupsi berarti sama saja kita telah membohongi Tuhan.
Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” sila ini memiliki
makna untuk memperlakukan sesama manusia sebagai mana mestinya dan
melakukan tindakan yang benar, bermartabat, adil terhadap sesama manusia
sebagaimana mestinya. Dengan melakukan korupsi, berarti sama saja telah
melangggar sila kedua ini karena telah melakukan tindakan yang memperlakukan
kekuasaan dan kedudukan sebagai tempat untuk mendapatkan hal yang diinginkan
demi kebahagiaan diri sendiri dan juga membuat orang lain menjadi rugi karena
tindakan korupsi tersebut .
1. Goverment
Pemerintah belum tegas dengan kebijakan terkait hukuman bagi pelaku korupsi, hukuman yang
memiliki efek jera dan proses hukum bagi pelaku korupsi tergolong lama. Terlihat dari kasus
korupsi menteri sosial yang hanya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara padahal menurut Pasal 2
UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, tersangka korupsi dana bantuan sosial
(bansos) harus dihukum mati.
Di dalam ketentuan itu, disebutkan hukuman mati bisa diterapkan dalam kondisi tertentu, seperti
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi.
2. Business
Kurangnya komitmen pelaku bisnis untuk menciptakan bisnis yang bersih, terlihat dari kasus
mantan menteri sosial
Juliari disinyalir menerima Rp 32,2 miliar dari 109 perusahaan yang ditunjuk menjadi penyedia d
alam proyek tersebut
3. Academic
Peran akademisi terlihat kurang dalam memberikan pendidikan anti korupsi, Wujud peran akademisi dapat
dilakukan dilingkungan kampus maupun diluar kampus. Dalam dunia akademik dapat diwujudkan dengan
membentuk kurikulum mata kuliah pendidikan anti korupsi dengan out put membentuk karakter mahasiswa
anti korupsi, serta pusat kajian anti korupsi dengan menganalis isu-isu aktual perkembangan tindak pidana
korupsi, menyelenggarakan diskusi publik, seminar lokal, seminar nasional, maupun seminar internasional
tentang korupsi
4. Community
Kurangnya kepedulian dan pemahaman masyarakat akan dampak dari korupsi, terlihat dari ada
beberapa warga yang menerima paket bansos yang tidak layak konsumsi namun tidak bisa
untuk melaporkan penyelewengan paket bansos tersebut.
5. Media
Peran media sangat penting bagi warga untuk mengedukasi dan mempublikasikan tentang
penyelewengan dana bansos, sehingga masyarakat pun tidak ragu untuk melaporkan kepada
pihak yang berwenang apabila ada penyelewengan anggaran bansos