Anda di halaman 1dari 6

TM 3

Review Buku
Judul : “Budaya dan Masyarakat” edisi paripurna
Halaman :218 halaman
Tahun : 2006
Penulis : Kuntowijoyo

Pemahaman Dasar: Analisa Sosio-Historik

Pada awal dari buku ini dibahas mengenai kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi
banyak kegiatan, diantaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi dan proses simbolis. Pusat perhatiannya pada proses simbolis yaitu menciptakan
makna yang merujuk pada realitas yang lain dari pada pengalaman sehari-hari. Sedangkan
proses simbolis tersebut meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mits, dan
bahasa. Dalam buku ini ingin meninjau perkembangan sejarah indonesia dalam kaitannya
dengan kreativitas simbolis. Pertama, kita harus meninggalkan konsepsi dan superstruktur.
Kondisi sosial ekonomi tidak secara langsung dikaitkan dengan superstruktur, melainkan
melalui jaringan yang kompleks dari langkah-langkah antara. Kedua tidak semata-mata
mengenai tradisi sosiologisme atau marxisme akan tetapi dari penggunaan konsep sejarah
ideals tentang semangat zaman. Misalnya dalam masyarakat patrimonial, raja dan petani
dapat mempunyai cita-cita dan cita rasa yang sama, karena mereka terlibat dalam suatu
semangat zaman yang sama. Dengan kelonggaran-kelonggaran berpikir seperti inilah
mendasari analisa mengenai dasar-dasar sosio-historik dari proses simbolis di Indonesia.
Mengapa suati proses simblosi mengalami transformasi, merupakan bahan studi tentang
anomali budaya. Kebudayaan dapat menjadi tidak fungisional jika simbol dan normanya
tidak lagi didukung oleh lembaga-lembaga sosialnya atau oleh modus organisasi sosial dari
budaya itu. Dengan melihat bagaimana proses simbolis telah terjadi di masa lalu dan masa
kini, kita berharap dapat menarik kesimpulan mengenai suatu kebijakan budaya baru di masa
yang akan datang. Barangkali secara sdar kita mempunyai kendala-kendala organis beruapa
batas-batas material dan lingkungan serta ekonomis, dan kendala logik berupa ideologi dan
konsep-konsep yongoyen yang justru diharapkan memeberikan integritas budaya, lebih
daripada membatasi kreativitas. Demikianlah kita menyadari peranan intelektual dalam
masyarakat teknokratis yang barangkali sedang berada di tengah-tengah kita.

Paralelisme historis ini dapat berarti bahwa sekarang kita – setelah seratus tahun – berada
kembali pada awal suatu zaman baru, setelah kekuatan-kekiatan yang mengubah sejarah
berjalan secara sempurna selama satu abad. Paralelisme itu dapat pula berarti bahawa
sekarang perubahan-perubahan memang sedang terjadi dalam skala dan kecepatan yang
lebih, sementara antara perubahan struktural dan perubahan kultural tidak sejalan, sehingga
terjadi anomie pada perangkat nilai. Anomie terjadi karena kesenjangan antara
industriaalisasi, teknologisasi, dan urbanisasi di satu pihak, dan konservatisme budaya
tradisional di lain pihak. Industrialisasi telah melahirkan budaya massa yang mengarah ke
semangat kolektif dalam tata nilai; teknologisasi telah menuntut penerapan metode teknik
dalam segala bidang; dan urbanisasi telah menyebabkan nilai-nilai komunal sebuat
masyarakat tradisional. Reaksi-reaksi terhadap gejala perubahan itu nampak dalam berbagai
bidang. Sebagai reaksi terhadap budaya massa, kita melihat privatisme dalam kesenian garda
depan, dan spiritualisme dalam cita-cita tentang kesempurnaan. Terhadap teknologisasi, kita
melihat derasnya kepercayaan kembali terhadap budaya magis-mistis dan paranormal.
Terhadap urbanisme kita melihat munculnya kelompok-kelompok kecil sekitar guru di
berbagai kota, dan hubungan persaudaraan keagamaan sekitar guru tarekat, kelompok wirid
dan majelis-majelis taklim. Reaksi-reaksi ini bertujuan untuk mengukuhkan kembali nilai-
nilai yang dikhawatirkan akan hilang.

Kita mulai dengan melihat peranan kaum intelektual, dengan pengertisn bahwa di ntara para
produsen wujud-wujud simbolis, kaum intelektuallah yang berada pada posisi paling depan
dalam pembentukn sistem pengetahuan masyarakat. Barangkali adanya kaum literati selalu
nampak dalam semua masyarakat, akan tetapi lembaga pujangga bukannya seorang
chroniclerm tetapi lebih sebagai simbol puncak kreativitas sastra pada jamannya. Dari tangan
pujangga muncul kearifan yang sah pada jamannya untuk konsumsi kraton dan masyarakat.
Latar belakang etnis jawa ini diambil semata-mata karena secara jelas menggambarkan
kedudukan sosial kaum intelektual dan karya-karyanya. Di suku lain, yang kedudukan pusat
kerajaan tidak begitu penting dalam tipe kerajaan-kerajaan maritim dan komersial, sulit dicari
kesinambungan lembaga yang memproduksi kearifan itu. Demikian pula perubahan sosial
mempunyai perjalanan sendiri bagi daerah-daerah di luar jawa. Perjalanan sastra Melayu,
misalnya, telah melahirkan orang seperti Abdullah Munsyi yang sudah mengenal dan menulis
sastra prosa dan jurnalistik pada pertengahan abad ke-19. Namun tokoh ini seolah terlepas
dari kerangka sosial dan budaya Melayu yang ada di Sumatera dan daerah berbahasa Melayu
lain. Demikian juga penelitian tentang sastra daerah lain, seperti Bali dan Makassar pada
periode peralihan ini, masih kurang. Beberapa hal yang penting:
1. Gejala retradisionalisasi sama kuatnya dengan gejala erosi nilai-niai tradisional,
sehingga di satu pihak ada bahaya retrogresi dan di lain pihak ada bahaya dekadensi.
2. Adanya dualisme budaya antara desa dan kota, dan disparitas budaya antara yang
mampu dan tidak mampu membeli kebudayaan dapat mengakibatkan keterasingan
budaya bagi sebagian warga negara dan tidak mendukung cita-cita integrasi
kebudayaan.
3. Di kota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada kebudayaan nasional,
sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin
jauh dari pusat kota. Sekalipun insiatif dan kreativitas kebudayaan daerah dan
tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense of belonging orang desa terhadap tradisi
jauh lebih besar.
4. Jatuhnya insiatif budaya dan produksi budaya ke tangan orang kota dan kelas
menengah telah menyebarluaskan nilai-nilai estetis, etis, dan simbolis golongan elite
ke tengah masyarakat yang kadang-kadang bertentangan dengan citra manusia
Indonesia. Di antaranya ialah individualisme, materialisme, elitisme, promiskuitas dan
kelimpahan.
5. Gejala di kalangan remaja dengan pemakaian bahan-bahan prikokemis sama tidak
sehatnya dengan gerakan-gerakan supermaturalisme dan spiritualisme di kalangan
generasi yang lebih tua.
6. Masalah etnosentrisme tidak lagi menjadi masalah budaya masa kini, karena di
samping adanya kebudayaan nasional, kebudayaan daerah tetap merupakan nlai-nilai
yang luhur.
7. Dalam penelitian tentang kebudayaan, sangat penting diperhatikan hubungannya
dengan masalah sosial-ekonomis, sehingga studi interdisipliner sangat relevan dalam
penelitian kebudayaan.

Humaniora: Proses Kesadaran Simbolis

Dalam masyarakat Jawa, semacam pendidikan humaniora yang mengajarkan nilai-nilai


kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan bagian integral dari sistem
budaya. Kandungan pendidikan humaniora ditentukan oleh sistem pengetahuan yang dimiliki
masing-masing subkultur, sehingga dapat ditemukn varian-varian pendidikan humaniora
sesuai dengan pengelompokkan masyarakat. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan
itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah lembaga pendidikan, maupun secara
informal melalui berbagai bentuk komunikasi sosial. Berdasarkan kandungan nilai-nilai
subkultur, kelompok sosial dan pelembagaan pendidikan humaniora, dapat ditemukan tiga
loci pendidikan humaniora dalam masyarakat Jawa tradisional, yaitu istana, pesantren, dan
perguruan. Tipologi ini bukan pembagian yang ekslusif, sebab selalu ditemukan pula
kandungan pendidikan yang secara lintas subkultur. Justru tiga tie inilah yang secara
keseluruhan membentuk budaya Jawa sebagai hasil akhir dari suatu proses interaksi
antarkelompok sosial. Pendidikan humaniora sebagai culture engineering masyarakat Jawa,
mempunyai kaitan erat dengan latar belakang struktural suatu masyarakat argaris. Dimasa
kini, kita tidak lagi dapat mengklaim adanya isolasi antara ketiga loci itu, dan sudah tiba
waktunya untuk menanyakan kembali keberadaan loci pendidikan humaniora itu. Istana –
istana sudah digantikan dengan birokrasi rasional, pesantren sudah disusutkan oleh berbagai
reformasi dan kurikulum umum, dan perguruan-perguruan sudah mengalami penataran P-4.
Apakah dengan demikian ciri-ciri dari manusia Jawa yang unik ini juga akan menghilang?
Dengan urbanisasi, industrialisasi masyarakatan pedesaan telah mengalami perubahan pesat
sejak permulaan abad ke-20, dan dalam kurun-kurun mutakhir perubahan itu semakin cepat
terjadi. Perubahan sensibilitas tentu pula terjadi bersama dengan perubahan-perubahan itu.
Kita dapat menyatakan bahwa yang ada sekarang ialah manusia pasca-Jawa. Sebuah tradisi
pendidikan humaniora juga sedang mengalami perubahan.

Dimasa lampau tradisi besar islam yang rasional dan historis ternyata tidak mampu
membendung pembentukan mitologi islam, termasuk di Jawa. Agama dan estetika
merupakan keharusan. Agama bukan hal yang esensial bagi seni, demikian juga sebaliknya
seni terhadap agama. Agama mempunyai unsur ritual, emosional, kepercayaan, dan
rasionalisasi. Dengan dua unsur pertama, menurut Read, agama dan seni saling berkaitan
sedangkan dalam unsur yang kedua dan ketiga mulai terjadi pemisahan antara agama dan
seni.

Manusia hidup di tengah-tengah tiga lingkungan, yaitu lingkungan material, lingkungan


sosial, dan lingkungan simbolik. Yang dimaksud dengan lingkungan material bukanlah
ekosistem, tempat ketiga lingkungan itu berkait, tetapi lingkungan buatan manusia, seperti
rumah, jembatan, sawah, peralatan-peralatan, gaya hidup dan sebagainya. Lingkungan
simbolik ialah segala sesuatu yang meliputi makna dan komunikasi, seperti kata, bahasa,
mite, nyanyian, seni, upacara, tingkah laku, benda-benda, konsep-konsep dan sebagainya.
Ketiga lingkungan buatan itu juga saling berkaitan, sehingga kita dapat melihat bahwa,
misalnya, antara kultur (budaya, seni, simbol dan struktur (lingkungan sosial) merupakan
sebuah kesatuan.
Perbenturan Nilai Dalam Proses Perubahan Sosial

Masalah keterasingan telah mendapat perhatian dari pemikir agama dan filsafat sebelum
menjadi bahan kajian bagi ilmu-ilmu sosial dan psikologi. Kasus Yogyakarta: 1) Teknologi,
sang juru selamat? 2) Pasaran Tradisional dan Pasaran Modern 3) Darul Hadis/Islam Jamaah:
Otoritas, Kepercayaan, Solidaritas 4) Jimat 5) Gnostisisme: Sufisme dan Kebatinan 6) Protes
Pemuda. Dalam kasus 1 dan 2, kesadaran balik yang lahir dari keterasingan ekonomi dapat
berupa kesadaran kelas. Sikap-sikap positif yang ditunjukkan oleh mereka yang terjatuh
dalam keterbelakangan ekonomi, sebagaimana ditunjukkan dalam usaha-usaha mereka untuk
mendapatkan jalan bagi mobilitas sosial ke atas, masih memeberikan petunjuk bahwa
keterasingan belum lagi memuncak. Namun, gejala itu semakin keras terasa dengan adanya
tindak-tindak kriminal yang semakin meningkat. Gejala ke-3,4, dan 5 merupakan kesadaran
balik dalam bentuk budaya balik. Barangkali benar bahwa dalam dunia modern ada
disharmoni yang tidak terelakkan antara budaya. Gejala ke-6 merupakan gejala gabungan dari
struktur dan kultur yang dengan mudah dapat diamati dan karena itu juga mudah ditindak.
Kebijaksanaan politik dalam hal ini dapat sekaligus menghilangkan gejala protes, meskipun
tidak berarti dapat menghilangkar akar-akar penyebabnya.

Integrasi adalah masalah sosial yang tidak pernah selesai; ia selalu menghadapi kekuatan-
kekuatan disintegrasi. Bukan itu saja, integrasi juga selalu meninjau kembali tujuan-
tujuannya sendiri ketika ia sampai pada suatu taraf perkembangan sejarahnya, karena setiap
pencapaian hanyalah satu titik dari sebuah proses yang berkelanjutan.

Sastra Sebagai Simbol

Karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai beberapa peranan di antaranya sebagai cara
pemahaman, cara perhubungan. Objek karya sastra adalah realitas – apa pun juga yang
dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka
karya sastra dapat, pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imaginer
dengan maksud untuk memahami peristiwa itu dalam bahasa imaginer dengan maksud untuk
memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra
dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan
tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Dan ketiga, seperti juga karya sejarah, karya
sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan
pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Karya sastra yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai bahan, dapat berupa puisi atau prosa.
Tetapi perlu dipertegas perbedaan antara tulisan sejarah dan karya sastra. Perbedaan antara
sejarah dan sastra nampak dalam skala yang dibuat Koestler dalam mengklasifikasikan
bentuk-bentuk penemuan manusia. Pertanggungjawaban sejarah dan sastra berbeda, sejarah
mempunyai tuga kembar. Pertama, sejarah bermaksud menceritakan hal yang sebenarnya
terjadi. Sejarah mengemukakan gambaran tentang hal-hal sebagai adanya dan kejadian-
kejadian sebagai sesungguhnya terjadi. Kedua, sejarah harus mengikuti prosedur tertentu:
harus tertib dalam penempatan ruang dan waktu, harus konsisten dengan unsur-unsur lain
seperti topografi dan kronologi, harus berdasarkan bukti-bukti. Tidak begitu halnya karya
sastra. Cukuplah bagi sebuah novel bila berhasil mengungkapkan hal-hal berupa gambaran
yang koheren, yang dapat dipahami. Karya sastra tidak tunduk kepada metode-metode
tertentu. Demikian pula dalam penggunaan bahasa, tulisan sejarah dan karya sastram berbeda.
Sejarah lebih cenderung menggunakan referential symbolism dengan menunjuk secara lugas
kepada objek, pikiran, kejadian dan hubungan-hubungan, sedangkan sastra lebih banyak
pesan-pesan subjektif pengarang.

Buku ini sangat berguna untuk orang-orang terutama mahasiswa dalam memhami budaya dan
masyarakat khususnya kebudayaan masyarakat yang terjadi di Indonesia. Mengetahui,
mempelajari dan memahami fenomena-fenomena budaya yang telah terjadi. Serta
mengetahui bagaimana peran masyarakat dan kebudayaan sehari-hari, baik secara kasus
ataupun peristiwa.

Anda mungkin juga menyukai