Nim : 1910010007
1). a. Dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam pasal 1 merumuskan
pengertian sebagai berikut:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa. Ada beberapa hal dari rumusan di atas yang perlu diperhatikan:
Maksud dari seorang pria dengan seorang wanita adalah bahwa perkawinan itu hanyalah
antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu
ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat. Sedangkan suami isteri mengandung arti
bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu
rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
Dalam definisi tersebut disebut pula tujuan perkawinan yang membentuk rumah tangga
yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perwakinan temporal sebagai mana
yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.
Disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu
bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.
b. Perkawinan sah menurut hukum apabila perkawinan tersebut dilaksanakan menurut hukum
perkawinan yang berlaku di Indonesia. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah
perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu :
berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Selain itu, dilihat dari Hukum Islam, ada yang dinamakan
dengan kawin hamil. Mengenai kawin hamil dijelaskan dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam
(“KHI”), yaitu seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu
lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Jika wanita tersebut telah
menikah dengan pria yang menghamilinya sebelum anaknya dilahirkan, maka berdasarkan Pasal
99 KHI, anak tersebut adalah anak yang sah. Ini karena anak yang sah adalah:
b. Persoalan pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina dapat mengakibatkan
permasalahan baru dalam hal status anak yang ada dalam kandungan si wanita tersebut. Kepada
siapakah anak tersebut dihubungkan nasab nya ? Apakah kepada lelaki yang menghamili si wanita
tadi kemudian menikahinya ? Ataukah bahkan kepada lelaki lain yang menikahinya meskipun
bukan dia yang menghamilinya ?
c. seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya (lihat Pasal 53 ayat [1] KHI ). Perkawinan wanita yang hamil di luar nikah dengan
pria yang menghamilinya dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya
(lihat Pasal 53 ayat [2] KHI ). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir (lihat Pasal 53 ayat [3] KHI ).
3). a. Pernikahan bisa dicegah, jika ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
pernikahan. (Pasal 13 UU No.1 / 1974 tentang Perkawinan) sedangkan Istilah pambatalan nikah
tidak dikenal dalam Islam, akan tetapi hukum Islam hanya mengenal fasakh nikah. Fasakh artinya
merusakkan atau membatalkan. Maka fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah
merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.
Putusnya perkawinan: perkawinan yang terputus atau tidak dapat diteruskan karena sebab-sebab
tertentu, seperti sebab kematian, perceraian, dan putusan hakim.
c. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah perkawinan orang tuanya dibatalkan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berpengaruh terhadap hak anak. Anak
tetap berhak atas hak-hak anak wajib dipenuhi oleh orang tuanya sampai anak beranjak dewasa.
Jadi kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anakanaknya sampai mereka kawin dan dapat
berdiri sendiri. Dasar hukumnya UU no 1 Thn 1974 pasal (22)