Anda di halaman 1dari 9

53

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan
Dalam bab ini penulis akan menyampaikan keterbatasan yang penulis
tuangkan pada penelitian ini. Penulis menyadari akan keterbatasan penelitan ini,
diantaranya karena keterbatasan waktu,, data, dana maupun sumber daya, Yang
diantaranya yaitu penulis melakukan penelitiannya memakai data sekunder
dengan memakai studi dokumentasi dan melihat formulir catatan, lalu
menggolongkan hasil ke dalam checklist, kemudian dikategorikan berdasarkan
kriteria dari masing-masing variable. Waktu pengambilan dan pengumpulan data
dilakukan secara bersamaan selama 1 minggu. untuk itu dalam penelitian
karakteristik wanita usia subur dengan kejadian lesi prakanker tidak semuanya
diteliti hanya 5 karakteristik saja yang penulis teliti. Akan tetapi dengan adanya
kekurangan dan keterbatasan ini semoga penelitian ini dapat menampilkan hasil
yang cukup baik dan hasilnya dapat mewakili sesuai dengan teori.

6.2 Pembahasan Penelitian


a. Lesi Prakanker
Berdasarkan hasil penelitian dari 85 responden yang dijadikan
sampel diperoleh responden yang mengalami lesi prakanker sebesar 25,9
% dan yang tidak mengalami lesi prakanker sebesar 74,1 %.
Walaupun secara statistik jumlah yang mengalami lesi prakanker
sedikit yaitu hanya 25,9 % tetapi keadaan ini tidak boleh dianggap remeh
karena keadaan ini merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma
leher rahim. Menurut Andrijono (2010) bahwa karsinoma leher rahim
diawali dengan NIS I (CIN I) karsinoma yang secara klasik dinyatakan
dapat berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III dan
selanjutnya berkembang menjadi karsinoma leher rahim. Konsep regresi
yang spontan serta lesi yang persistent menyatakan bahwa tidak semua lesi
prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa
masih cukup banyak faktor yang berpengaruh.

53
54

Menurut Depkes RI (2007) bahwa pemeriksaan IVA merupakan


skrining alternatif dari pap smear yaitu pemeriksaan dengan cara melihat
serviks yang telah diberi asam asetat 3-5% secara inspekulo. Asam asetat
ini akan mempengaruhi epitel abnormal dimana terjadi peningkatan
osmolaritas cairan ekstraseluler. Akibatnya apabila permukaan epitel
mendapat sinar, maka akan dipantulkan keluar dan permukaan epitel
abnormal akan berwarna putih. Untuk membedakanya dengan proses pra-
kanker sel epitel putih lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam
asetat berprentasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein yang
lebih banyak. Bila makin putih dan makin jelas, maka makin tinggi
derajat kelainan histologiknya dan makin tajam batasnya, makin tinggi
derajat jaringanya pula. Dibutuhkan waktu 1-2 menit untuk dapat melihat
perubahan-perubahan pada epitel. dengan pemberian asam asetat akan
didapatkan hasil gambaran serviks yag normal (merah homogen) dan
bercak putih (displasia). Luka yang tampak sebelum aplikasi larutan asam
asetat bukan merupakan epitel putih namun dikatakan suatu leukoplasia.
Menurut Suhaemi (2010) hal ini mengisyaratkan bahwa
perempuan yang memiliki displasia yang rendah dan ringan, tidak selalu
berkembang menjadi kanker leher rahim, karena dapat hilang dan lenyap
dengan sendirinya tergantung pada sistem kekebalan tubuh. Kondisi lesi
prakanker diklasifikasikan menjadi : NIS I adalah displasia ringan, NIS II
adalah displasia moderat dan NIS III adalah displasia parah . Perjalanan
lesi pra kanker leher rahim sebagai berikut : NIS I, Regresi 32%
persistent, 11% progres ke NIS III, dan 1% progres ke karsinoma. NIS 11,
43% regresi, 35% persistent, 22% progres ke NIS III dan 5% progres ke 8
karsinoma. NIS III, 32% regresi, 56% persistent, dan lebih dari 12%
progres ke karsinoma. Infeksi HPV merupakan faktor inisiator dari kanker
leher rahim. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan
awal dari proses yang mengarah transformasi. Integrasi DNA virus
dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi dan
menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53
dan pRB. Hambatan p53 dan pRB menyebabkan siklus sel tidak
55

terkontrol. Protein E6 akan berikatan dengan p53, dengan demikian fungsi


p53 (tumor suppressor gene / menghentikan siklus sel) akan hilang
sehingga pertumbuhan sel tidak terkontrol. Penghentian siklus sel
bertujuan untuk memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki
kerusakan yang timbul.

b. Hubungan Usia Dengan Kejadian Lesi Prakanker


Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran mereka
dengan kelompok usia > 35 tahun 17,8 % mengalami lesi prakanker pada
hasil pemeriksaan IVA, lebih besar proporsinya dibanding pada kelompok
umur < 35 tahun yaitu sebesar 41 % .
Secara proporsi hasil penelitian ini sesuai dengan yang
disampaikan oleh Novel (2010) bahwa semakin tua usia seseorang, maka
akan meningkatkan resiko terkena kanker leher rahim dan hal ini diperkuat
dari hasil. Depkes RI (2007) menggolongkan faktor resiko kanker leher
rahim dan kecenderungan nilai prediktif IVA positif pada golongan usia
30-50 tahun dan menganjurkan wanita usia 30-50 tahun untuk melakukan
tes IVA dengan tujuan untuk deteksi terhadap lesi pra kanker 10-20 tahun
lebih awal.
Dari hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai p = 0.037 ( p. value
< 0.05) yang menunjukkan hipotesis nol ditolak, artinya ada hubungan
antara usia dengan kejadian lesi prakanker. Hal ini sejalan dengan Wijaya
(2010) bahwa perempuan yang rawan menderita kanker leher rahim adalah
mereka yang berusia 35-50 tahun dan masih aktif berhubungan seksual
(prevalensi 5-10%). Meski fakta memperlihatkan bahwa masih terjadi
pengurangan risiko infeksi HPV seiring pertambahan usia, namun
sebaliknya risiko infeksi menetap atau persisten justru meningkat. Hal ini
diduga karena seiring pertambahan usia, terjadi perubahan anatomi
(retraksi) dan histologi (metaplasia).
Dan di dukung pula oleh Verralls (2003) bahwa umur wanita 35-
55 tahun mempunyai resiko ti nggi untuk timbunya kanker serviks, tetapi
sekarang telah terjadi peningkatan jumlah wanita muda yang sel-selnya
abnormal, bahkan dapat di diagnosis pada sitologis serviks. Juga menurut
56

penelitaian Melva (2008) yang penelitiannya di RSUP H. Adam Malik


tahun 2008 di Medan menybutkan bahwa insiden kanker serviks tertinggi
pad usia 35-55tahun. Sedangkan menurut Satya Ariza Suryapratama
(2012) dalam penelitiannya yaitu bahwa kanker leher rahim kejadian
tertinggi pada usia 41-50 tahun,

c. Hubungan Usia Pertamakali Hubungan Seksual Dengan Kejadian Lesi


Prakanker
Menurut Prawihardjo (2010) perilaku (aktivitas) seksual adalah
segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan
lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk aktivitas ini
bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku
berkencan, bercumbu dan bersenggama.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran mereka dengan
kelompok usia pertamakali berhubungan seks atau melakukan aktivitas
seksual < 17 tahun sebesar 28,1% mengalami lesi prakanker pada hasil
pemeriksaan IVA, lebih tinggi proporsinya dibanding mereka dengan
kelompok umur > 17 tahun saat pertamakali berhubungan seks yaitu
sebesar 24,5 %. Hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai p=0.806 (
p.value < 0.05) yang menunjukkan hipotesis nol gagal ditolak, artinya
tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian lesi prakanker.
Walaupun secara proporsi perbedaannya sangat kecil untuk usia
pertama melakuan hubungan seksual tetapi hal ini tetap menunjukkan
adanya kesesuaian dengan teori bahwa semakin muda seorang perempuan
melakukan hubungan seksual, semakin beresiko terkena kanker leher
rahim (Novel, 2010).
Hal ini sejalan dengan penelitian Amrantara, (2009) yang dalam
penelitiannya bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia
pertama kali melakukan hubungan seksual dengan hasil IVA.
Depkes RI (2007) menyatakan bahwa jenis dan pola aktivitas
seksual remaja <20 tahun merupakan faktor utama dalam menentukan
apakah seseorang terinfeksi HPV, karena pasalnya remaja yang telah
57

melakukan aktivitas seksual dibawah usia 20 tahun tersebut memiliki


jumlah pasangan seksual yang cukup banyak dan masing-masing pasangan
tersebut mungkin juga pernah memiliki banyak pasangan seksual,
sehingga pola aktivtas seksual tersebut dapat meningkatkan resiko terpapar
IMS, khususnya HPV.
Menurut Ambarwati (2010) menyatakan bahwa hubungan seksual
pada usia dibawah usia 17 tahun merangsang tumbuhnya sel kanker pada
perempuan, karena rentan pada usia 12-17 tahun perubahan sel dalam
mulut rahim sedang aktif. Saat sel sedang membelah secara aktif
(metamorfosis) idealnya tidak terjadi kontak atau rangsangan apapun dari
luar, termasuk masuknya benda asing dalam tubuh perempuan seperti alat
kelamin pria dan sperma yang akan mengarah pada gejala yang abnormal,
yang dapat mengakitkan luka dan infeksi dalam rahim. Dan keabnormalan
sel tersebut akan mengakibatkan kanker leher rahim.
Fitria (2010) menyatakan bahwa angka kejadian tertinggi kanker
leher rahim sekitar 20% terutama dijumpai pada perempuan yang telah
aktif secara seksual sebelum usia 16 tahun. Hubungan seksual pada usia
terlalu dini dapat meningkatkan risiko terserang kanker leher rahim dua
kali lebih besar dibandingkan perempuan yang melakukan hubungan
seksual setelah usia 20 tahun. Usia menikah kurang dari 20 tahun
mempunyai resiko lebih besar mengalami perubahan sel-sel mulut rahim.
Hal ini disebabkan oleh karena pada saat usia muda sel-sel rahim masih
belum matang. Maka sel-sel tersebut tidak rentan terhadap zat-zat kimia
yang dibawa oleh sperma dan segala macam perubahannya. Jika belum
matang, saat ada rangsangan sel yang tumbuh tidak seimbang dengan sel
yang mati, sehingga kelebihan sel ini bisa berubah sifat menjadi sel
kanker.
Peneliti berasumsi bahwa yang melakukan hubungan seksual di
bawah 17 tahun tidak selalu dapat meningkatkan resiko terinfeksi Human
Papilomavirus, asalkankan pasangannya setia, dan pada wanita yang
melakukan hubungan seksual di atas 17 tahun pun dapat meningkatkan
resiko untuk terinfeksi, hal ini disebabkan oleh faktor lainnya yang dapat
58

mempengaruhi seperti personal hygine yang kurang baik dapat


meningkatkan kontak atau rangsangan apapun dari luar seperti virus
Human Papilomavirus dan jumlah pasangan seksual dari wanita tersebut,
dimana akan terjadi masuknya benda asing dalam tubuh perempuan seperti
alat kelamin pria dan sperma yang dapat mengakibatkan luka dan infeksi
dalam rahim ( Depkes,2007).

d. Hubungan Frekuensi Melahirkan Dengan Kejadian Lesi Prakanker


Dari hasil analisis diperoleh gambaran mereka dengan paritas
tinggi sebesar 32,8 % mengalami lesi prakanker pada hasil pemeriksaan
IVA, lebih tinggi proporsinya dibanding mereka dengan paritas rendah
yaitu sebesar 4,7 %.
Dari hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai p=0.024 (p.value <
0.05) yang menunjukkan hipotesis nol ditolak, artinya ada hubungan
antara frekuensi melahirkan dengan kejadian lesi prakanker. Dan secara
proporsi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dimana paritas
tinggi lebih banyak terkena lesi prakanker
Hal ini sejalan dengan penelitian Suprijono ( 2008) yang
menyebutkan bahwa rerata paritas dalam penelitiannya adalah 2,9% dan
31,7% memiliki paritas lebih dari 3. Penelitian lain juga menyatakan
paritas lebih dari 3 mengakibatkan naiknya frekuensi kanker, multiparitas
juga erat hubungannya dengan usia menikah yang pada umumnya
ditemukan pada pernikahan muda. Dan sesuai dengan penelitian dari
Rini, (2009) bahwa dalam penelitiannya ada hubungan bermakna antara
jumlah melahirkan dengan hasil tes IVA.
Dan diperkuat oleh Sukaca (2009) bahwa paritas yang berbahaya
adalah dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak
persalinan terlampau dekat. Hal ini dikarenakan persalinan yang demikian
dapat menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada mulut
rahim. Jika jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak
dapat menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari sel epitel pada
mulut rahim, dan dapat berkembang menjadi keganasan.
59

Melva ( 2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor- faktor


yang mempengaruhi kejadian kanker leher rahim yang berobat di RSUP
H. Adam Malik Medan” bahwa paritas ≤ 3 kemungkinan merupakan
faktor protektif untuk terjadinya kanker serviks. Dan juga menurut
penelitian Pangesti, dkk ( 2012 ) bahwa yang berdasarkan paritas,
prosentase tertinggi adalah responden yang memiliki anak 2 ( 26,3%) dan
presentase terendah adalah responden berparitas 0 ( 2,6%). Hal ini
disebabkan karena ibu telah menerapkan program KB dengan baik yaitu 2
anak cukup. Ibu juga ikut mensukseskan program pemerintah untuk
menekan laju pertumbuhan penduduk.

e. Hubungan Jumlah Pasangan Dengan Kejadian Lesi Prakanker


Dari hasil analisis hubungan antara jumlah pasangan dengan
kejadian lesi prakanker pada pemeriksaan IVA, diperoleh mereka yang
pasangannya > 2 sebesar 32 % mengalami lesi prakanker pada hasil
pemeriksaan IVA, sedangkan pada mereka yang mengatakan pasangannya
1 sebesar 23,3 % hal test IVAnya menunjukkan adanya lesi prakanker.
Hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai p=0.598 (p.value <
0.05) yang menunjukkan hipotesis nol gagal ditolak, artinya tidak ada
hubungan antara jumlah pasangan dengan kejadian lesi prakanker. Hasil
penelitian di atas walapun secara uji ststistik menunjukkan tidak ada
hubungan tetapi secara proporsi menjukkan adanya perbedaan. Hasil ini
sejalan dengan pendapat Aziz (2002) yang menyebutkan bahwa perilaku
seksual yang berganti-ganti pasangan atau multi partner meningkatkan
risiko kanker leher rahim meningkat 10 kali lebih besar bila bermitra seks
lebih dari 6. Risiko juga meningkat bila melakukan hubungan seksual
dengan laki-laki yang bermitra seks multi patner atau mengidap kondiloma
akuminata. Wanita yang berganti-ganti pasangan seksual dan melakukan
hubungan seks pada usia kurang dari 20 tahun lebih berisiko untuk terjadi
kanker leher rahim, karena memperbesar kemungkinan terinfeksi virus
HPV.
60

Hal ini tidak sejalan dengan penelitaian Melva (2008) yang dalam
penelitiannya menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara responden yang mempunyai riwayat berganti-ganti pasangan
dengan yang tidak pernah berganti pasangan terhadap kanker leher rahim.
Menurut Rortkin, pergantian pasangan lebih dua kali akan
meningkatkan resiko terjadinya Kanker leher rahim, resiko meningkat 10 x
lipat pada wanita yang menpunyai mitra seksual enam atau lebih bila
aktivitas seksual di mulai sebelum 15 tahun (Evennett,2002).
Menurut asumsi peneliti bahwa kejadian lesi prakanker sangat
erat hubungannya denga perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan
atau mitra seks, ini akan terjadi resiko yamg meningkat lebih dari 10 kali
bila bermitra seks 6 atau lebih. Semakin banyak partner seksual yang
dimiliki oleh seorang wanita, maka semakin meningkat pula risiko
terjadinya kanker leher rahim pada wanita itu. Juga resiko meningkat bila
berhubungan denga pria beresiko tinggi yang melakukan seks dengan
multiple mitra seks atau yang mengidap kondiloma akuminatum. ( Aziz,
2002)

f. Hubungan Pemakaian Kontrasepsi Pil Dengan Kejadian Lesi


Prakanker
Dari data hasil penelitian diperoleh gambaran mereka dengan yang
mengkonsumsi kontrasepsi oral > 5 tahun sebesar 35,2 % mengalami lesi
prakanker pada hasil pemeriksaan IVA, hal ini jauh lebih besar dibanding
mereka dengan pemakaian kontrasepsi oral < 5 tahun yaitu hanya sebesar
9,7 %. Hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai p = 0.021 (p.value <
0.05) hal ini menunjukkan hipotesis nol ditolak, artinya ada hubungan
antara pemakaian kontrasepsi oral dengan kejadian lesi prakanker.
Hasil penelitian di atas sejalan dengan Wijaya (2010) pendapat
yang mengatakan bahwa penggunaan pil kontrasepsi pil kombinasi dalam
jangka waktu lama, yakni 5 tahun atau lebih, dapat meningkatkan risiko
kanker leher rahim dua kali lipat lebih besar. Penggunaan pil kontrasepsi
61

pilkombinasi dalam jangka waktu lama, yakni 5 tahun atau lebih, dapat
meningkatkan risiko kanker leher rahim dua kali lipat lebih besar.
Menurut Hidayati (2001) bahwa pemakaian kontrasepsi oral
dalam waktu lebih lama lebih dari 4 atau 5 tahun dapat meningkatkan
resiko terkena kejadian kanker serviks sebesar 1,5-2,5 kali. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kontrasepsi oral menyebabkan
wanita sensitif terhadap HPV yang dapat meyebabkan adanya
peradangan pada genitalia sehingga berisiko untuk terjadi kanker
serviks. Pil kontrasepsi oral diduga akan menyebabkan defisiensi
folat yang mengurangi metabolisme mutagen sedangkan estrogen
kemungkinan menjadi salah satu kofaktor yang membuat replikasi
DNA HPV.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lestari (2009) dalam
penelitiannya bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara alat
kontrasepsi hormonal pil dengan kejadian kanker leher rahim, Dan juga
didukung dengan penelitian Abdullah, dkk (2013) bahwa ada hubungan
antara pemakaian kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker serviks di
ruang inap D atas BLU, Prof. dr. R. D. Kandou Manado. Dan menurut
Manuaba (2010) bahwa salah satu peningkatan resiko kanker servik yaitu
pemakaian KB Pil, dalam hal ini KB Pil merupakan salah satu macam dari
alat kontrasepsi hormonal.

Anda mungkin juga menyukai