Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH UAS

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag

Disusun oleh:

Jahrotul muniroh

11200240000034

PROGRAM STUDI TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021/2022
A. Pendahuluan

Dari tahun ke tahun ilmu pengetahuan terus mengalami perkembangan yangsangat

pesat. Dari tahapan yang paling mitis, pemikiran manusia terus berkembanghingga

sampai pada pemikiran yang supra rasional. Atau kalau meminjamterminologi

Peursen, dari yang mitis, ontologis hingga fungsional. Sementaramenurut Comte dari

yang teologis, metafisik hingga positif. Perkembangan industridi abad 18 yang telah

menimbulkan berbagai implikasi sosial dan politik telahmelahirkan cabang ilmu yang

disebut sosiologi. Penggunaan senjata nuklirsebagaimana pada abad 20 telah

melahirkan ilmu baru yang disebut dengan polemologi (Koento Wibisono, 1988:8)

dan seterusnya entah apa lagi nanti namanya. Bagi orang Islam, pengetahuan bukan

merupakan tindakan atau pikiran yang terpencildan abstrak, melainkan merupakan

bagian yang paling dasar dari kemaujudan danpandangan dunianya Oleh sebab itu

tidaklah mengherankan jika ilmumemiliki arti yang demikian penting bagi kaum

muslimin pada masa awalnya,sehingga tidak terhitung banyaknya pemikir Islam yang

larut dalam upayamengungkap konsep ini. Konseptualisasi ilmu yang mereka lakukan

nampak dalamupaya mendefinisikan ilmu yang tiada habis-habisnya, dengan

kepercayaan bahwa ilmu tak lebih dari perwujudan “memahami tanda tanda

kekuasaan Tuhan”, seperti juga membangun sebuah peradaban yang membutuhkan

suatu pencarian pengetahuanyang komperehensif. Sebagaimana kata Rosentall,

sebuah peradaban Muslim tanpa hal itu tak akanterbayangkan oleh orang-orang Islam

abad pertengahan sendiri, lebih-lebih padamasa sebelumnya (Anees, 1991:73).

Reorientasi intelektual umat Islam harus dimulaidengan suatu pemahaman yang benar

dan kritis atas epistemologinya. Dengan begitu,sebuah reorientasi seharusnya bukan

merupakan suatu pengalaman yang baru bagikita, melainkan sekadar sebuah proses

memperoleh kembali warisan kita yang hilang.Jika umat Islam tidak ingin tertinggal
maju dengan dunia Barat, maka sudah saatnyauntuk menghidupkan kembali

(revitalisasi) warisan intelektual Islam yang selama initerabaikan, dan jika perlu

mendefinisikan kembali ilmu dengan dasar epistemologiyang diderivasi dari wahyu

(baca: Al-Qur’an dan al-Hadis)

B. Pembahasan

1. Integrasi antara ilmu modern dengan ilmu agama

Sebagaimana yang diungkap oleh Kuntowijoyo (l994: 350), bahwa

pendidikantinggi Islam saat ini sebagaimana pendidikan tinggi lainnya secara

empirik belummempunyai kekuatan yang berarti karena pengaruhnya masih kalah

dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik. Disinyalir, bahwa pusat-pusat

kebudayaan sekarangini bukan berada di dunia akademis, melainkan di dunia

bisnis dan politik. Dalam setting

seperti ini lembaga pendidikan tinggi Islam terancam oleh

subordinasi.Pendidikan tinggi Islam, baik dalam konteks nasional Indonesia

maupun sebagaibagian dari dunia Islam, kini tengah menghadapi tantangan

yang lebih berat. Agendabesar yang dihadapi bangsa Indonesia kini adalah,

bagaimana menciptakan negarayang aman, adil dan makmur dalam lindungan

Tuhan Yang Maha Esa, yangdidukung oleh warga negara yang

berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Denganbegitu maka pendidikan tinggi

Islam dituntut untuk berperan serta mewujudkantatanan Indonesia baru

dimaksud, dengan merumuskan langkah-langkah pengembangannya

(Zainuddin, 2003: 26 ).
Hingga saat ini masih ditengarai bahwa sistem pendidikan Islam belum

mampumenghadapi perubahan dan menjadi terhadap globalisasi

kebudayaan.Oleh sebab itu pola pengajaran.

Para ilmuwan dulu memang mengklasifikasi ilmu dalam berbagai macam

jenis,Ibn Khaldun misalnya membuat klasifikasi ilmu dalam dua jenis ilmu

pokok Naqliyah dan aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang berdasarkan

wahyu, dan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang berdasarkan rasio. Menurut

Khaldun yang termasuk ilmu naqliyah adalah: al-Qur’an, hadis, fiqh, kalam,

tasawuf dan bahasa; sedangkan yang termasuk ilmu aqliyah adalah: filsafat,

kedokteran, pertanian, geometri, astronomidst. Tetapi klasifikasi ilmu tersebut

menurut Azyumardi Azra (Perta, 2002:16) bukandimaksud mendikotomi ilmu

antara satu dengan yang lain, tatapi hanya sekadarklasifikasi. Klasifikasi

tersebut menunjukkan betapa ilmu tersebut berkembang dalamperadaban

Islam. Dalam konteks ini ilmu agama Islam merupakan salah sau saja

dariberbagai cabang ilmu secara keseluruhan. sangat penting untuk melihat

sejarah masa lalu, bahwa dalam sejarahkependidikan Islam telah terbelah dua

wajah paradigma

integralistik-ensiklopedik disatu pihak dan paradigm spesifik-paternalistik  di

pihak lain. Paradigmapengembangan keilmuan yang integralistik-ensiklopedik

ditokohi oleh ilmuwanMuslim, seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun,

sementara yang spesifik-  paternalistik diwakili oleh ahli hadis dan ahli fiqh.

Keterpisahan secara diametralantara keduanya (dikotomis) dan sebab lain

yang bersifat politis-ekonomis itumenurut Amin Abdullah (Perta, 2002: 49)

berakibat pada rendahnya kualitaspendidikan dan kemunduran dunia Islam

saat itu. Oleh sebab itu Amin Abdullahmenawarkan gerakan


rapproachment   (kesediaan untuk saling menerima keberadaanyang lain

dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan yang dianggap sebagaisebuah

keniscayaan. Gerakan ini juga disebut dengan reintegrasi epistemology. Di

sini pula Brian Fay (1996) menyarankan agar kita waspada terhadap

adanyadikotomi, menghindari dualisme buruk dan supaya berpikir secara

dialektis.Disarankan oleh Fay, agar kita tidak terjebak pada kategori-kategori

yang salingbertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu

harus disikapi secaraterbuka dan dipikirkan secara dialektis.Dalam perspektif

keilmuan Islam, posisi filsafat Islam adalah sebagai landasanadanya integrasi

berbagai disiplin dan pendekatan yang makin beragam, karenadalam konstruks

epistemologi Islam, filsafat Islam dengan metode rasional-transendentalnya

dapat menjadi dasarnya. Sebagai contoh, fiqh pada hakikatnyaadalah

pemahaman yang dasarnya adalah filsafat, yang kemudian juga

dikembangkandalam ushul fiqh. Tanpa filsafat, fiqh akan kehilangan semangat

inovasi, dinamisasidan perubahan. Oleh karena itu jika terjadi pertentangan

antara fiqh dan filsafatseperti yang pernah terjadi dalam sejarah pemikiran

Islam, maka menurut MusaAsy’ari (2002: 34), hal ini lebih disebabkan karena

terjadinya kesalahpahaman dalam memahami risalah kenabian. Filsafat bukan

anak haram Islam, melainkan anakkandung yang sah dari risalah kenabian

tersebut. Senada dengan Musa, Nursamad(tt:19-20) berpendapat, bahwa setiap

diskursus tentang metodologi haruslah dibangundi atas sentuhan-

sentuhan filsafat.

2. Antisipasi Masa Depan Pendidikan Islam


Merumuskan konsep pendidikan Islam memang bukanlah pekerjaan yang

ringan,sebab rumusan tersebut harus mengkaitkan Islam sebagai disiplin ilmu.

Dalam upayamerekonstruksi pendidikan Islam, kita perlu memperhatikan

prinsip-prinsippendidikan Islam, yang meliputi: (1) pendidikan Islam

merupakan bagian dari sistemkehidupan Islam, yaitu suatu proses internalisasi

dan sosialisasi nilai-nilai moralIslam melalui sejumlah informasi,

pengetahuan, sikap, perilaku dan budaya, (2)pendidikan Islam merupakan

sesuatu yang integrated artinya mempunyai kaitan yangmembentuk suatu

kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lain, (3) pendidikanIslam

merupakan life long process sejak dini kehidupan manusia, (4)

pendidikanIslam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni harus

mampumenciptakan iklim

dialogis dan interaktif antara pendidik dan peserta didik, (5)pendidikan Islam

dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai pesan-pesanmoral pada

peserta didik.Prinsip-pinsip di atas akan membuka jalan dan menjadi fondasi

bagi terciptanyakonsep pendidikan Islam. Dengan tawaran prinsip inilah,

konsep pendidikan Islamlebih pas apabila diletakkan dalam kerangka

pemahaman, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam,

bukan pendidikan tentang Islam. Pendidikan Islamhendaknya bukan saja

berusaha meningkatkan kesadaran beragama, melainkan jugauntuk melihat

perubahan-perubahan sosial dalam perspektif transedental, danmenempatkan

iman sebagai sumber motivasi perkembangan dalam menyelami

danmenghayati ilmu pengetahuan modern (Soedjatmoko, 1987). Ini berarti

bahwa dalamproses pendidikan Islam terkandung upaya peningkatan

kemampuanmengintegrasikan akal dengan nurani dalam menghadapi masalah


perubahan sosial.Dengan begitu diharapkan pendidikan Islam dapat memenuhi

fungsi yang luhurdalam menghadapi perkembangan sosial, apabila dalam

proses belajar mengajarmenggunakan pola pengajaran innovative learning

yakni: (1) berusaha memupukmotivasi yang kuat pada peserta didik untuk

mempelajari dan memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada, (2)

berusaha memupuk sikap berani menghadapitantangan hidup, kesanggupan

untuk mandiri dan berinisiatif, peka terhadapkepentingan sesama manusia dan

sanggup bekerja secara kolektif dalam suatu prosesperubahan sosial.

Pendidikan sebagai proses penyiapan peserta didik agar memiliki

kemampuanmengantisipasi persoalan hari ini dan esok harus dilihat dari

dimensi informasi.Dengan kata lain, kemampuan tersebut akan dicapai hanya

melalui intensitasmencari, mengolah dan mengintepretasikan informasi.

Menguasai informasi hari iniberarti mampu menguasai informasi hari esok.

Menguasai permasalahan hari iniberarti menguasai permasalahan hari esok.

Sekarang dan esok sebenarnya bersifatsaling berkaitan dan merupakan

jaringan-jaringan masalah yang kompleks meskidengan tingkat kompleksitas

yang beragam. Dengan gelombang informasi, makaproses belajar-mengajar

akan terhindar dari diskontinuitas kesejarahan dan sistemnilai dalam

pendidikan kemarin, sekarang dan esok. Sehingga pendidikan sebagai alihnilai

(transfer of value) tidak hanya memberi materi sesuai dengan program of

studies yang ada dalam jadwal kelas, tetapi yang lebih penting adalah

bagaimanamengkondisikan lingkungan yang memungkinkan dirinya secara

optimal dan menjadiberkualitas tinggi sesuai tuntutan zaman. Adalah benar

apa yang dideskripsikan olehH.A.R Gibb (seperti yang dikutip Abdussalam,

1983:17), bahwa tumbuh suburnyasains dalam masyarakat Islam lebih banyak


tergantung pada dukungan penguasa. Dimana masyarakat Islam mengalami

kemunduran, di situ sains kehilangan vitalitas dankekuatan. Tetapi selama di

salah satu negara masih terdapat penguasa yang masihmemberi dukungan

pada sains, maka obor ilmu akan tetap menyala. Jika tidak makaakan terjadi

kemerosotan intelektual. Indikasi dari situasi ini nampak dalam

peristiwapeledakan observatorium bintang di Istambul oleh meriam-meriam

angkatan laut atasperintah Sultan Murad III pada abad ke-16, dengan alasan

bahwa tugas observatoriumuntuk mengoreksi jadwal astronomi Ulugh Beg

telah selesai. Merumuskan konsep pendidikan Islam memang bukanlah

pekerjaan yang ringan,sebab rumusan tersebut harus mengkaitkan Islam

sebagai disiplin ilmu. Dalam upayamerekonstruksi pendidikan Islam, kita

perlu memperhatikan prinsip-prinsippendidikan Islam, yang meliputi: (1)

pendidikan Islam merupakan bagian dari sistemkehidupan Islam, yaitu suatu

proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moralIslam melalui sejumlah

informasi, pengetahuan, sikap, perilaku dan budaya, (2)pendidikan Islam

merupakan sesuatu yang integrated artinya mempunyai kaitan

yangmembentuk suatu kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lain, (3)

pendidikanIslam merupakan life long process sejak dini kehidupan manusia,

(4) pendidikanIslam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni

harus mampumenciptakan iklim dialogis dan interaktif antara pendidik dan

peserta didik, (5)pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak

mengenai pesan-pesanmoral pada peserta didik.Prinsip-pinsip di atas akan

membuka jalan dan menjadi fondasi bagi terciptanyakonsep pendidikan Islam.

Dengan tawaran prinsip inilah, konsep pendidikan Islamlebih pas apabila

diletakkan dalam kerangka pemahaman, bahwa pendidikan Islamadalah


pendidikan menurut Islam, bukan pendidikan tentang Islam. Pendidikan

Islamhendaknya bukan saja berusaha meningkatkan kesadaran beragama,

melainkan jugauntuk melihat perubahan-perubahan sosial dalam perspektif

transedental, danmenempatkan iman sebagai sumber motivasi perkembangan

dalam menyelami danmenghayati ilmu pengetahuan modern (Soedjatmoko,

1987). Ini berarti bahwa dalamproses pendidikan Islam terkandung upaya

peningkatan kemampuanmengintegrasikan akal dengan nurani dalam

menghadapi masalah perubahan sosial.Dengan begitu diharapkan pendidikan

Islam dapat memenuhi fungsi yang luhurdalam menghadapi perkembangan

sosial, apabila dalam proses belajar-mengajarmenggunakan pola pengajaran

innovative learning, yakni: (1) berusaha memupukmotivasi yang kuat pada

peserta didik untuk mempelajari dan memahami kenyataan-kenyataan sosial

yang ada, (2) berusaha memupuk sikap berani menghadapitantangan hidup,

kesanggupan untuk mandiri dan berinisiatif, peka terhadapkepentingan sesama

manusia dan sanggup bekerja secara kolektif dalam suatu prosesperubahan

sosial.Dalam al- Qur’an Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,

bertaqwalahkepada Allah dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa

yang telahdiperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr:18). Pesan Tuhan ini

bisa dipahamibahwa untuk menuju kemasa depan yang lebih baik, seseorang

haruslahmemperhatikan apa yang telah dan sedang terjadi di masyarakat.

Tentu ini terkaitdengan upaya menyadap sebanyak mungkin informasi,

kemudian menganalisisnya. Karena ilmuwan Muslim sebagai pewaris Nabi

(waratsat al- anbiya), maka iamemiliki tugas dan tanggung jawab yang besar.

Tugas ilmuwan muslim tersebutmenurut penulis adalah: Pertama, sebagai

saksi (terhadap perbuatannya sendirimaupun orang lain). Sebagai saksi ia


dituntut untuk adil dan jujur; kedua, penyeru

ke jalan Allah dan petunjuk ke jalan yang benar, amar ma’ruf nahi munkar

lihat QS.Al-Ahzab: 45-46); ketiga, sebagai khalifah Allah di bumi. Karena

sebagai hambayang dipercayai oleh Tuhan, maka ia harus bertanggung jawab

atas amanat yangdipikulkan. Dalam Islam, startegi pengembangan ilmu juga

harus didasarkan padaperbaikan dan kelangsungan hidup manusia untuk

menjadi khalifah di bumi dengantetap memegang amanah besar dari Allah

SWT. Oleh sebab itu ilmu harus selaluberada dalam kontrol iman. Ilmu dan

iman menjadi bagian yang integral dalam diriseseorang, sehingga dengan

demikian teknologi sebagai produk dari ilmu akanmenjadi sesuatu yang

bermanfaat bagi manusia di sepanjang masa. Dan inilah yangmesti menjadi

tanggung jawab ilmuwan muslim dalam mengembangkan ilmu.Kini kita harus

berpikir terus tentang kelangsungan perkembangan ilmu, lebih-lebih ilmu

sebagai proses yang menggambarkan aktivitas manusia dan masyarakatilmiah

yang sibuk dengan kegiatan penelitian, eksperimentasi, ekspidisi

danseterusnya untuk menemukan sesuatu yang baru

KESIMPULAN

Pengembangan pendidikan agama Islam memerlukan upaya

rekonstruksipemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap

perubahan yang terjadi pertama, subject matter  pendidikan Islam


harus berrientasi ke masa depan; kedua perlu dikembangkan sikap terbuka

bagi transfer of knowledge dan kritsis terhadapsetiap perubahan;

ketiga menjauhkan pandangan dikotomis terhadap ilmu (ilmuagama dan ilmu

umum), tidak terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolakbelakang.

Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus disikapi secara terbuka

dan dipikirkan secara dialektis. Karena “agama” dan “ilmu” merupakan entitas

yang menyatu (integral) tak dapat dipisahkan satu sama lain.Setiap diskursus

tentang metodologi memerlukan sentuhan-sentuhan filsafat.Tanpa

sense of philosophy maka sebuah metodologi akan kehilangan

substansinya.Metodologi Studi Islam (MSI) perlu visi epistemologis yang

dapat menjabarkansecara integral dan terpadu terhadap tiga arus utama dalam

ajaran Islam: aqidah, syari’ah dan akhlaq. Kecenderungan untuk memaksakan

nilai-nilai moral secaradogmatik ke dalam argumentasi ilmiah hanya akan

mendorong ilmu surut kebelakang set back ke zaman Pra-Copernicus dan

mengundang kemungkinan berlangsungnya Inquisi  ala Galileo (1564-1642

M) pada zaman modern ini.

Begitu juga sebaliknya bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral d

alampengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme.

Di sinilahperlunya paradigma integralisme dan desekularisasi terhadap ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1992. Aspek Epistemologi Filsafat Islam, makalah,

Yogyakarta: IAIN. Abdussalam .1983. Sains dan dunia Islam, terj. Baiquni,

Bandung: pustaka. Al-Qardhawi, Yusuf. 1989. Ar-Rasul wal ‘ilm, terjemahan,

Kamaluddin A. Marzuki,Bandung, CV. Rosda. Anees, Munawar Ahmad.


1991. “Menghidupkan Kembali Ilmu” dalam Al-Hikmah, Juranal Studi-studi

Islam, Juli-Oktober, Bandung: Yayasan Mutahhari.Asy’ary, Musa. 2002.

Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.

Departemen Agama RI. 1989.  Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta. Fay,

Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Science. Blackwell

Publishers, Oxford .Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk

Aksi, Bandung: Mizan. Nasr, Seyed Hussein.1989. “Masa Depan Islam”,

dalam Inovasi, Yogyakarta, UMY .Soeriasumantri, Jujun S. 1986. Filsafat

Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

Soedjatmoko. 1987. Etika Pembebasan, Jakarta: LP3ES. Wibisono, Koento.

1988.  Beberapa Hal Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah Sketsa UmumSebagai

Pengantar Untuk Memahami Hakekat Ilmu dan

KemungkinanPembangunannya,

 Yogyakarta: IKIP.

Anda mungkin juga menyukai