Anda di halaman 1dari 3

Nama : I Gede Ferry Ade Andika

Kelas : XII A 3

No : 09
SEJARAH INDONESIA

I. Revolusi Hijau
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan
perubahan fundamental dalam penggunaan teknologi budidaya pertanian yang
dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama
di Asia.

A. Upaya pemerintah untuk mensukseskan Revolusi Hijau


Di Indonesia, pemerintah punya berbagai cara untuk mendorong revolusi hijau,
misalnya:
• Intensifikasi Pertanian
Cara ini dikenal juga dengan sebutan Panca Usaha Tani. Cara pertama ini
meliputi pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah secara baik, pemupukan,
irigasi, hingga pemberantasan terhadap hama.
• Ekstensifikasi Pertanian
Cara ini adalah dengan memperluas lahan dengan membuka lahan-lahan baru
• Diversifikasi Pertanian
Cara ini ialah upaya menjadikan jenis tanaman di suatu lahan menjadi
beraneka ragam dengan sistem tumpang sari. Dengan diversifikasi pertanian,
kegagalan panen pokok dapat dicegah.
• Rehabilitasi Pertanian
Cara ini merupakan upaya dalam memulihkan produktivitas yang kritis atau
membahayakan kondisi lingkungan.
B. Hubungan Revolusi Hijau dengan ketahanan pangan
Tidak dapat disangkal bahwa Revolusi Hijau telah memberi dampak yang luar biasa,
baik terhadap sistem ketahanan pangan dunia secara keseluruhan maupun terhadap
ketahanan pangan Indonesia sebagaimana diperlihatkan oleh statistik yang
menunjukkan bahwa ketersediaan energi pada 2000, dari padi saja, sudah mencapai
2.032 kalori dari total ketersediaan kalori per kapita 3.103 kalori (BPS, 2004).
Bahkan menjadi bahan diskusi kebijakan pangan nasional, bahwa rata-rata konsumsi
beras dari penduduk Indonesia yang sudah terlalu tinggi adalah juga bagian dari
"keberhasilan" Revolusi Hijau.

Persoalan yang kemudian berkembang adalah apakah Revolusi Hijau juga memberi
dampak positif terhadap petani? Secara logika sederhana mestinya: ya. Tetapi secara
empiris bisa saja tidak. Buktinya adalah, kalau di Amerika Serikat, dengan
menggunakan ukuran kesejahteraan bahwa kesejahteraan rumah tangga petani secara
keseluruhan lebih baik daripada rata-rata kesejahteraan rumah tangga di sana (Mishra
et., al., 2002); di negara maju pada umumnya dengan menggunakan penguasaan luas
area lahan per rumah tangga petani yang terus meningkat; tapi ternyata pada
umumnya tidak demikian kondisinya untuk negara- negara berkembang, termasuk
Indonesia.
Apabila kita pakai tahun 1970 sebagai tahun awal Revolusi Hijau di Indonesia,
setelah dihasilkan pengetahuan hasil riset lapangan IPB di Karawang, yaitu Bimas
(Bimbingan
Massal), yang memulai gegap-gempitanya pembangunan pertanian pada saat itu,
maka
Sensus Pertanian 1973 menunjukkan bahwa rata-rata rumah tangga pertanian
indonesia (RTPI) masih menguasai lahan 0,99 ha. Ternyata, 30 tahun kemudian, pada
saat ketersediaan kalori dari beras saja sudah mencapai 2.000 kal, rata-rata luas lahan
per RTPI menurun menjadi 0,79 ha (BPS).

Selanjutnya, dari jumlah RTPI pada 2003 tersebut, 13,25 juta RT (53,29 persen)
berstatus petani gurem, yaitu menguasai tanah kurang dari 0,5 ha. Apabila RT
beranggotakan 3,9 orang, total RTPI pada 2003 berjumlah 96,9 juta jiwa, dengan
komposisi jumlah jiwa dari kelompok petani gurem 51,67 juta jiwa. Artinya,
keluarga petani gurem pada 2003 sekitar 24 persen dari total penduduk Indonesia,
sedangkan jumlah petani dan anggota keluarganya mencapai 44 persen dari populasi
Indonesia. Suhariyanto (2012) menyampaikan data bahwa 71,26 persen RT miskin
berada di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian.

Dengan menggunakan data di atas, kita dapat mengatakan bahwa Revolusi Hijau
telah berhasil meningkatkan ketahanan pangan dunia pada umumnya dan Indonesia
pada khususnya. Meski demikian, ketahanan pangan yang dicapai tersebut dapat
dikatakan tidak berkelanjutan mengingat pada akhirnya petani menjadi bertambah
miskin dan rasa ketidakadilan sosial lebih merebak. Lebih parah lagi, petani pada
akhirnya juga menjadi net consumers.
C. Berhasilkah Indonesia untuk menuju Swasembada pangan beras pada tahun 1979
dan 1985. Pada dua tahun tersebut Indonesia berhasil meningkatkan
produksi pangan sampai 49%. Sekalipun pada tahun-tahun setelahnya keberhasilan
swasembada beras ini tidak terulang lagi, tapi ini termasuk dampak positif dari proses
modernisasi pertanian dan menjadi salah satu prestasi penting yang dicapai Indonesia
pada jaman Orde Baru.

Indonesia, gerakan Revolusi Hijau ini terjadi pada zaman Orde Baru. Saat itu
pemerintah memasukkan program tersebut untuk meningkatkan hasil pertanian
melalui kebijakan modernisasi pertanian. Sekalipun program ini dilaksanakan secara
nasional dan intens di masa Orde Baru, tapi ternyata ide mengenai gerakan Revolusi
Hijau ini sudah ada di Indonesia sejak tahun 1950-an.

Ide modernisasi pertanian pertama kali digemakan pada tahun 1960 oleh mahasiswa
Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, dalam sebuah kegiatan yang dinamakan
Demonstrasi Massal atau yang disingkat Demas. Demas merupakan usaha untuk
memaksimalkan hasil pertanian, agar bisa mendapatkan keuntungan yang tinggi
dengan cara menerapkan prinsip-prinsip bertani yang modern di sekelompok petani
tradisional. Demas pada saat itu menerapkan penggunaan varietas bibit unggul,
pupuk kimia, pestisida, perbaikan tata cara bertanam, dan penyediaan sarana irigasi
yang baik. Kegiatan ini kemudian berkembang dan dikenal dengan nama Panca
Usaha Tani. Pemerintah Orde Baru kemudian pada tahun 1964 memformulasikan
program tersebut menjadi program pembangunan pertanian, dengan nama Bimbingan
Massal atau Bimas.

Program pengembangan pertanian melalui Revolusi Hijau berdampak pada


peningkatan
hasil pertanian, khususnya padi. Hal inilah yang membuat Indonesia mampu
melakukan swasembada

Anda mungkin juga menyukai