HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA
Dr. Sudirman Suparmin, Lc., M.A.
Diterbitkan Oleh:
CV. MANHAJI Medan
2020
HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA
Penulis :
Dr. Gomgom T.P Siregar, S.E., S.Sos.,S.H.,M.Si.,M.H
Rudolf Silaban, S.Kom.,S.H.,M.H
Editor :
Dr. Sudirman Suparmin, Lc., M.A.
Copyright © 2020
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved
Diterbitkan Oleh:
CV. Manhaji M e d a n
Jl. IAIN/Sutomo Ujung No.8 Medan
e-mail: cvmanhaji@yahoo.com - cvmanhaji@gmail.com
ISBN: 978-602-0000-00-0
PRAKATA
buku ini. Penulisan buku ini bersifat awal dan masih banyak kekurangan,
bahkan sangat jauh dari kesempurnaan. Kedepannya penulis akan
berupaya untuk melengkapi dan menyempurnakan substansinya.
Penulis menyadari tidak ada gading yang tak retak, tidak ada
pekerjaan manusia yang sempurna karena manusia juga tidak sempurna
dan karena itu saran dan kritik dari pembaca buku ini sangat penulis
nantikan untuk kesempurnaan buku ini di masa datang.
Akhir kata, penulis berharap buku ini dapat memberikan manfaat
untuk akademisi, praktisi dan masyarakat.
DAFTAR ISI
hal.
PRAKATA .................................................................................. iii
DAFTAR ISI .............................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1
BAB II PENGERTIAN, PERKEMBANGAN DAN RUANG
LINGKUP VIKTIMOLOGI ......................................... 7
A. Pengertian Viktimologi ........................................... 7
B. Perkembangan Konsep Kajian Viktimologi ............ 10
C. Perkembangan Viktimologi .................................... 13
D. Viktimologi Kritis Sebagai Perkembangan Kajian
Terhadap Korban. ..................................................... 17
E. Ruang Lingkup Viktimologi ................................... 19
F. Manfaat Viktimologi ................................................ 21
G. Hubungan Viktimologi dan Kriminologi ................. 24
H. Hubungan Viktimologi dengan Ilmu Hukum Pidana 35
BAB III HUBUNGAN KORBAN DENGAN KEJAHATAN
DAN PELAKU KEJAHATAN ................................... 39
A. Pengertian Korban ................................................... 39
B. Tipologi Korban ...................................................... 41
C. Hak dan Kewajiban Korban .................................... 43
D. Pengertian Kejahatan .............................................. 45
E. Hubungan Korban dengan Kejahatan, dan Pelaku
Kejahatan................................................................. 49
BAB IV HAK-HAK KORBAN KEJAHATAN DALAM
HUKUM POSITIF DI INDONESIA ........................... 57
A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hak-
Hak Korban Kejahatan. ............................................ 57
B. Pengaturan Hak-Hak Korban Kejahatan ................. 63
C. Perlindungan Hak-Hak Korban Kejahatan Dalam
Penegakan Hukum Pidana ........................................ 71
BAB I
PENDAHULUAN
N egara Indonesia adalah Negara hukum, ide gagasan ini tercantum secara
tegas dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 amandemen ke-IV (selanjutnya disebut UUD NRI
1945), disebutkan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
Konsep negara hukum menurut Aristoteles yang dikutip oleh
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, adalah :
Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar
dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap
manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi Aristoteles
yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya,
melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya
hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.1
Negara hukum (recht staat) memiliki keterkaitan yang erat
dengan Hak Asasi Manusia. Dengan kata lain, suatu negara yang
berdasarkan hukum harus mengakui eksistensi dari Hak Asasi Manusia,
hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri suatu negara hukum yang mencerminkan
esensi dari negara hukum itu sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh
Bambang Sunggono sebagai berikut :2
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau
kekuatan lain yang tidak memihak.
3. Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.
Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan
1
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta
: Sinar Bakti, 1998), hlm. 113.
2
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 4.
3
Adrian Atmaja, Persamaan Kedudukan Dihadapan Hukum (equality before of
the law), artikel hukum 06 Februari 2013, diakses melalui bloq: http://ardiandrian.
blogspot.co.id, tanggal 11 Februari 2019. Pkl. 13. 40 WIB.
4
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Naskah Akademik RUU Program
Bantuan Hukum, hlm. 6.
5
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, (Bandung: Alumni, 2010), hlm. 14.
6
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Komtemporer, (Jakarta: Prenada
Kencana Media Group, 2010), hlm. 86.
BAB II
PENGERTIAN, PERKEMBANGAN
DAN RUANG LINGKUP VIKTIMOLOGI
A. Pengertian Viktimologi
1
Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,
Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Utama, 2011), hlm. 34.
2
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), hlm. 43.
3
Ibid., hlm. 44-45.
4
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Akademika Pressindo,
1993), hlm. 40.
5
Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi,
C. Perkembangan Viktimologi
Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subjek yang paling
banyak disoroti adalah pelaku kejahatan. Padahal akibat dari kejahatan
tersebut, pihak yang paling dirugikan dan menimpa kerugian yang
paling besar adalah korban kejahatan itu sendiri. Akan tetapi, sedikit
sekali hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai korban serta perlindungan terhadapnya.
Melihat posisi korban dalam penegakan hukum pidana, seolah-
olah hukum pidana hendak menyatakan bahwa perlindungan terhadap
korban adalah dengan memastikan bahwa si pelaku mendapatkan
balasan yang setimpal. Padahal, jika hendak mengamati masalah
kejahatan secara komprehensif, maka kita tidaklah boleh mengabaikan
adanya peran korban dalam terjadinya kejahatan. Bahkan, didalam
mencari kebenaran materil yang menjadi tujuan dari penegakan hukum
pidana, peranan korban pun sangat strategis. Dengan perkataan lain,
korban sedikit banyaknya sangat menentukan dapat tidaknya pelaku
kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang
dilakukannya. Sehingga tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa
korban merupakan asset penting dalam upaya menghukum pelaku
kejahatan.
Sayangnya, posisi korban dalam kerangka proses peradilan
pidana seringkali terabaikan. Korban sebagai saksi dalam mengungkap
kejahatan hanya dijadikan sebagai instrument untuk membantu aparat
6
Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto, RS., G. Widiartama, Abortus
Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi , Kriminologi dan Hukum
Pidana, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2000), hlm. 173.
7
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta : CV Akademika Pressindo,
1989), hlm. 78.
8
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi
dan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Ghlmia Press, 2004), hlm. 21.
9
Prassel, Frank R., Criminal Law, Justice, and Society (Santa Monica California:
Goodyear Publishing Company Inc., 1979), hlm. 66
10
J.E. Sahetapi, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi (Bandung:
Eresco, 1995), hlm. v.
11
Arief Gosita, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hlm.
76.
12
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Dipenogoro, 2002), hlm. 65.
F. Manfaat Viktimologi
Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu pengetahuan
merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan
ilmu itu sendiri. Dengan demikian, apabila suatu ilmu pengetahuan
dalam pengembangannya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya
praktis maupun teoritis, sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari
dan dikembangkan. Hal yang sama akan dirasakan pula pada saat
mempelajari viktimologi. Dengan dipelajarinya viktimologi, diharapkan
akan banyak manfaat yang diperoleh.
Arif Gosita menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh
dengan mempelajari viktimologi, yaitu sebagai berikut:13
1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang
menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses
viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi.
Akibat pemahaman itu, akan diciptakan pengertian-pengertian,
etiologi kriminal, dan konsepsi-konsepsi mengenai usaha-usaha
yang preventif, refresif, dan tindak lanjut dalam menghadapi dan
menanggulangi permasalahan viktimisasi criminal di berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan.
2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik
tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan
penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya tidaklah untuk
menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan
beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta
hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan
ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap berbagai
macam viktimisasi demi menegakkan keadilan dan meningkatkan
kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak langsung
dalam eksistensi suatu viktimisasi.
3. Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu
mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai
bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan
dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau
nonstruktural. Tujuannya adalah bukan untuk menakut-nakuti,
13
Rena Yulia, Op.cit., hlm. 39.
14
Ibid., hlm. 40.
15
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta : Rajawali Pers,
2010), hlm. 9.
16
Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Jakarta : Laskbang
Grafika, 2013), hlm. 14.
17
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa., Op. cit., hlm. 10-11.
18
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung :
PT Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 5-6.
19
Yesmil Anwar Adang, Kriminologi, (Bandung : Refika Aditama, 2013), hlm. 9.
20
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa., Op.cit., hlm. 12.
21
Abintoro Prakoso., Op.cit., hlmam 14.
22
Ibid., hlm. 15.
23
Ibid., hlm. 21.
24
Yesmil Anwar Adang., Op. Cit., hlm. 56.
25
Ibid., hlm.14.
26
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa., Op.cit., hlm. 3.
27
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm.16.
28
Elly M. Setiadi, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan gejala
Permasalahan Sosial, Teori, Aplikasi dan Pemecahaannya, (Jakarta : Prenada Kencana
Media Group, 2010), hlm. 241.
2. Kriminologi Positivis
Aliran pemikiran ini betolak dari pandangan bahwa perilaku
manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik
berupa faktor biologis maupun kultural. Dengan demikian,
manusia tidak bebas untuk menentukan perbuatannya karena
dibatasi dan ditentukan oleh situasi biologis atau kulturalnya.
Aliran positivis ini mengarahkan fokusnya pada usaha untuk
menganalisis sebab-sebab terjadinya kejahatannya melalui studi
ilmiah terhadap cirri-ciri pelaku dari aspek fisik, sosial dan
kulturan.
3. Kriminologi Kritis
Aliran pemikiran ini mulai berkembanga setelah tahun
1960an sebagai pengaruh dari semakin populernya perspektif
labeling. Aliran ini tidak mempersoalkan apakah perilaku
manusia itu bebas atau dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, tetapi
lebih mengarahkan pada proses-proses yang terjadi. Dengan
demikian, aliran ini mempelajari proses-proses dan kondisi yang
memengaruhi pemberian batasan atau pendefinisian kejahatan
pada perbuatan-perbuatan tertentu, orang-orang tertentu, pada
waktu dan tempat tertentu. Pendekatan dalam aliran pemikiran ini
dapat dibedakan antara pendekatan interaksionis dan pendekatan
konflik.
Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan
bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau
dapat pula dikatakan bahwa viktimologi akan membahas bagian-bagian
yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa
viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban
dibahas secara tersendiri. Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk
ilmu viktimologi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang
beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut:
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan
dari kriminologi, diantaranya adalah von Hentig, H. Mannheim dan
Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan
ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan
segala aspkenya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui
penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan
29
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta : Rineka Cipta, Mei 1993),
hlm. 15
30
Utrecht, E., Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958), hlm. 136.
31
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionisme (Bandung: Putra A. Bardin, 1996), hlm. 17
32
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, hlm. 80.
33
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum (Bandung: Alumni,
2000): Edisi Pertama: Buku I, hlm 1.
34
Zen Zanibar M.Z. “Wilayah Kajian Ilmu Hukum,” dalam : Lex Jurnalica,
Transformasi Ide dan Objektivitas, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Universitas Indonesia Esa Tunggal, No. 1/2004, hlm. 44.
35
E. Y. Kanter & S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 15.
36
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang
Berlaku Di Indonesia, (BandungL PT. Citra Aditya Bakti, 2009) hlm. 10-11.
37
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramita,
1996), Cetakan Keduapuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino, hlm. 11.
38
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta : Prenada Kencana Media Group),
hlm. 77
BAB III
HUBUNGAN KORBANDENGAN KEJAHATAN
DAN PELAKU KEJAHATAN
A. Pengertian Korban
B. Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat
untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilih-milih jenis korban
hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut:
1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap
upaya penanggulangan kejahatan;
2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter
tertentu sehingga cenderung menjadi korban;
3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan ransangan
terjadinya kejahatan;
4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban;
5. False victimis, yaitu mereka yang menjadi korban karena
perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki
kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan
dan status korban, yaitu sebagai berikut:
1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya
sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan
D. Pengertian Kejahatan
Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada definisi
baku yang di dalamnya mencakup semua aspek kejahatan secara
komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dilihat dari
aspek yuridis, sosiologis, maupun kriminologis. Munculnya perbedaan
dalam mengartikan kejahatan dikarenakan perspektif orang dalam
memandang kejahatan sangat beragam, di samping tentunya perumusan
kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan
4
Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 125.
5
Ibid., hlm. 126.
6
Ibid., hlm. 127.
7
Kimball, Edward L., “Crime: Definition of Crime,” dalam: Sanford H. Kadish
(ed), Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press: A Division of
Macmillan Inc., 1983), Volume 1, hlm. 302.
8
W. A. Bonger dan G.h. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen,
Pengantar Tentang Kriminologi (Jakarta: PT Pembangunan, 1995), Cetakan ketujuh,
hlm. 23.
9
Richard Frase, “Victimless Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed.),
Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press: A Division of
Macmillan Inc., 1983), Volume 4, hlm. 1608.
10
Tutty Alawiyah, A.S, kata sambutan dalam buku Tindak Pidana Narkotika dari
Moh Taufik Makarao, et.al (Jakarta: Ghlmia Indonesia, 2003), hlm. vii.
11
Samuel Walker, Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide, (Monterey-
California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985) hlm. 145.
12
Kartini Kartono, Op.cit., hlm. 152.
13
Ibid., hlm. 154.
15
Bambang Waluyo, Viktimilogi, Perlindungan Korban & Saksi, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2014), hlm. 19.
16
Ibid., hlm. 20.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN KEJAHATAN
DALAM HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hak-Hak
Korban Kejahatan
1
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Prenada Kencana Media Group,
2011), hlm. 76.
2
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta :
Prenada Kencana Media Group, 2007). hlm. 1
3
Ibid., h. 23.
4
Ibid., h. 28.
5
Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, (Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2011),
hlm. 24.
6
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1999), h. 11.
7
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 23.
dikutip oleh Teguh Prasetyo, bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh
hukum pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan
sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi.
Kepentingan-kepentingan sosial tersebut adalah:8
1. Pemeliharaan tertib masyarakat;
2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau
bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh
orang lain;
3. Memasyarakatkan kembali (rasionalisasi) para pelanggar hukum;
4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-
pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat
kemanusian dan keadilan individu.
Tahap aplikasi kebijakan hukum pidana dapat diterapkan
dalam 2 (dua) bentuk, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non
penal. Penerapan kedua bentuk kebijakan hukum ini berkaitan
erat dengan penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat.
Barda Nawawi Arief, menyatakan masalah kebijakan hukum pidana
bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan
yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik
dogmatik. Di samping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa
pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya
dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan
nasional pada umumnya.9
Menurut Barda Nawawi, pola hubungan antar kebijakan hukum
pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau
mengatakan bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus
dilakukan denga pendekatan integral dan ada keseimbangan antara
penal dan non penal.10 Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan
sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement
policy, yang dapat dilakukan dengan fungsionalisasi kebijakan hukum
pidana yang dilakukan melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi
8
Teguh Prasetyo dan Abdul Hlmim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian
Kebijjakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 51.
9
Barda Nawawi Arief, Op.cit., h. 24.
10
Ibid., h. 36.
11
Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi
Kasus, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005) hlm. 6.
12
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016), hlm. 49.
13
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 2006), hlm. 102.
14
Solly Lubis, Serba Serbi Politik Hukum, (Medan : Soft Media, 2009), hlm. 54.
16
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 102.
17
Andi Hamzah. Op.cit, hlm. 98-99.
18
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempegaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 5.
19
Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religus, Dalam
Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Inddonesia.
(Semarang: Pustaka Magister, 2015), hlm. 43-44.
20
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 8.
21
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 99-100.
22
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan
Pidana (Integrated Criminal Justice System), (Semarang: Badang Penerbit Universitas
Diponegoro, 2016), hlm. 10-11.
23
Ibid., hlm. 19.
24
Heri Tahir, Op.cit., hlm. 7.
25
Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm. 78.
26
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yokyakarta :
Liberty, 2007), hlm. 68
27
Didik M Arief Mansur & Elisatris Gultom, Op.cit., hlm. 166.
28
Mahrus Ali dan Ari Wibowo, Kompensasi dan Restitusi Yang Berorientasi
Pada Korban Tindak Pidana, (Jurnal Hukum Volume 33 No. 2 Mei 2018), hlm. 265.
29
Chaerudin dan Syarif Fadilah, Op.cit., hlm. 64-65.
30
Ibid., hlm. 266.
BAB V
KEDUDUKAN KORBAN
DALAM PERADILAN PIDANA
A. Peradilan Pidana di Indonesia
1
Yesril Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), (Bandung : Widya
Padjajaran, 2009), hlm. 45.
2
Romli Atmasasmita, Op.cit,, hlm. 19.
3
Tholib Efendi, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses
Sistem Peadilan Pidana di Beberapa Negara, (Yokyakarta : Pustaka Yustisia, 2010),
hlm. 21.
4
Heri Tahir, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia, (Yokyakarta : Laskbang Pressindo, 2009), hlm. 24.
5
Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 7.
9
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.cit., hlm. 24.
10
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), hlm. 86.
11
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti
Kerugian dalam KUHAP, (Bandung : Mandar Maju, 2003). hlm. 86.
14
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm. 114.
18
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 15.
BAB VI
POTENSI TIMBULNYA KORBAN
DALAM PROSES PENEGAKAN
HUKUM PIDANA
A. Prinsip-prinsip Penegakan Hukum Pidana
2
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer Di Indonesia,
(Jakarta : Prenada Kencana Media Group, 2010), hlm. 19.
3
Tholib Efendi, Op.cit., hlm. 21.
4
Heri Tahir, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia, (Yokyakarta : Laskbang Pressindo, 2009), hlm. 24.
5
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 7.
6
Ibid., hlm. 5.
7
Ibid., hlm. 6.
8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 158.
9
M. Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule: Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan,
(Jakarta : Pustaka Yustitia, 2010), hlm. 66.
10
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 2010), hlm. 2
11
Ibid., hlm. 97.
12
Ibid., hlm. 239.
13
Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom, Op.cit., hlm. 39.
14
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 243.
15
Max Andrwe Ohadi, Minimalisir Korban Salah Tangkap, diakses melalui
website : https://www.kompasiana.com, tanggal 11 September 2018. Pukul. 11. 30
Wib.
16
Arif Rohman, Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Salah Tangkap Dalam
Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Volume 3 Nomor 1, Pebruari 2017, hlm. 30.
17
Andi Sofyan dan Abdul Azis, Op.cit., hlm. 11.
18
Ibid., hlm. 11.
sesuai dengan aturan yang ada, tetapi memastikan agar semua hak
tersangka/terdakwa yang telah ditentukan diterapkan. Proses hukum
adil juga wajib mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip
yang melandasi proses hukum yang adil tersebut (meskipun asas atau
prinsip tersebut tidak merupakan peraturan hukum positif).19
Peradilan yang adil dalam sistem peradilan pidana didalamya
terkandung sebuah asas yang disebut due process of law. Romli
Atmasasmita, menjelaskan bahwa :
Dalam due process of law hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana
dilindungi dan dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga
negara. Namun prakteknya sikap sewenang-wenang aparatur
penegak hukum masih diberlakukan, hal ini terlihat dari
proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka atau
terdakwa. Aparat penegak hukum masih memposisikan atau
mendudukkan tersangka /terdakwa sebagai objek pemeriksaan
tanpa memperdulikan hak-hak asasi kemanusiaannya dan
haknya untuk membela dan mempertahankan martabatnya serta
kebenaran yang dimilikinya.20
Prakteknya, pelaksanaan KUHAP maupun Undang-Undang
Bantuan oleh aparat penegak hukum seringkali tidak dilaksanakan
sesuai dengan yang digariskan oleh undang-undang. Akibatnya, dalam
proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana sangat jauh
dari keadilan. Proses peradilan pidana yang ada saat ini tidak saja
masih jauh dari pencapaian keadilan, bahkan dalam beberapa kasus
penegakan hukum justeru didalamnya terjadi pelanggaran hukum,
seperti kasus salah tangkap (error in persona) yang dilakukan oleh
Kepolisian, sampai pada tingkat pemeriksaan di pengadilan yang
kemudian dilanjutkan dengan penjatuhan vonis oleh Pengadilan.
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa, nilai-nilai yang
mendasari due process model adalah:
Kemungkinan adanya faktor “kelalaian yang sifatnya manusiawi”,
atau “human error” menyebabkan model ini menolak “informal
fact-finding process” sebagai cara untuk menetapkan secara
definitif “factual gulit” seseorang. Model ini hanya mengutamakan,
“formal-adjudicative dan adversary fact-findings” yang berarti
19
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas
Diponegoro, 2008), hlm.5
20
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 78.
21
Ibid., hlm. 23.
22
Ibid., hlm. 34.
23
Heri Tahir, Op.cit., hlm. 7.
24
Ibid., hlm. 9.
25
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm. 97.
26
Andi Sofyan dan Abd Azis, Op.cit., hlm. 186.
BAB VII
PENDEKATAN RESTORATIF JUSTICE
SEBAGAI UPAYA PELAKSANAAN
HAK-HAK KORBAN DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA
A. Restoratif Justice
1. Konsep Keadilan Restoratif (Restoratif Justice)
1
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, (Jakarta: FHUI, 2009), hlm. 3.
2
Rena Yulia, Op.cit, hlm. 105.
7
Unites Nations Office on Drugs and Crimes, Handbook On Restorative Justice
Programmes, (New York : United Nation, 2006), hlm. 5.
8
Ibid., hlm. 6.
9
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui
Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 9
10
Hadi Supeno, Keadilan Restoratif Justice, (Jakarta : Sinar Grafikan, 2015),
hlm. 196.
11
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Op.cit, hlm. 30.
12
Jecky Tengens, Pendekatan Restoratif Justice Dalam Sistem Peradilan
Indonesia, melalui : http://www.hukum.online.com, diakses tanggal 19 Februari 2019,
Pukul. 12. 45 Wib.
13
Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana di Luar
Pengadilan, (Semarang: Pustaka Magister Universitas Diponegoro, 2016), hlm. 12.
14
Ibid., hlm. 12-13.
15
Keadilan Restorasi, sumber http://www.negarahukum.com, diakes pada tanggal
18 Maret 2019. Pukul 17.30 Wib.
16
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
(Yokyakarta: Penerbit Publisihing, 2016), hlm. 1.
17
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Berbasis Restorative
Justice, (Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Cianjur, Vol.
V No. 01, 2016), hlm. 86.
18
Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 85.
19
Ibid, hlm. 86.
20
Ibid, hlm. 85.
21
Barda Nawawi, Op.cit, hlm. 4-5.
22
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan
Pancasila, (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 41.
23
Jonlar Purba, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana bermotif Ringan
Dengan Restoratif Justice, (Jakarta: Permata Aksara, 2017), hlm. 61.
24
Ibid., hlm. 203.
25
Rufinus. Op.cit, hlm. 126-128.
26
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 19.
27
Ibid, hlm. 20.
28
Tholib Efendi, Op.cit., hlm. 21.
29
Heri Tahir, Op.cit, hlm. 24.
30
Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm. 23.
31
Rufinus, Op.cit, hlm. 127.
32
Ibid, hlm. 128.
33
Ibid, hlm. 204.
34
Hadi Supeno, Op.cit, hlm. 165.
35
Ibid, hlm. 51.
36
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2015)
hlm. 196.
37
Ibid, hlm. 203.
38
Ibid, hlm. 204.
42
Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif, Dalam Bingkai Empirik, Teori dan
Praktek, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2015) Cetakan ke-I, hlm. 50.
43
Ibid, hlm. 51.
44
Marlina, Op.cit., hlm. 180.
Ibid, h. 204.
45
Ibid, h. 205.
46
47
Lihat, Pasal 6 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
50
Wagiati Soedtejo, Op.cit, hlm. 130.
51
Ibid, hlm. 132.
52
Jonlar Purba, Op.cit, hlm. 55.
53
Wagiati Soedtejo, Op.cit, hlm. 134.
54
Ibid, hlm. 135.
55
Pasal 24 Aya (1) International Covenant on Civil anda Political Right (ICCPR),
diakses melalui: https://treaties.un.org/doc/. 12 Maret 2019. Pukul. 18. 45. Wib.
56
Purnianti, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice
System) Di Indonesia, (Jakarta: Unicef, 2015), hlm. 19.
57
Ibid, hlm. 29-30.
58
Jonlar Purba, Op.cit, hlm. 59.
59
Ibid, hlm. 61.
60
R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2016), hlm. 36-37.
61
Lihat, Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
62
Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
63
Andi Hamzah, Hukum Acara ...Op.cit, hlm. 118.
64
Andi Sofyan, Op.cit., hlm. 83.
65
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 151-152.
66
Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 62-63.
67
Marlina, Op.cit, hlm. 168.
68
Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum
Perdata, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992), hlm. 45-46.
69
Taufik Makarao, Op.cit, hlm. 114-118.
70
Marlina, Op.cit, hlm. 207.
71
Lihat Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesi
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
72
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, menentukan, Proses
peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hlm: a. proses Diversi tidak menghasilkan
kesepakatan: atau b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.
73
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015), hlm. 70.
74
Pasal 6 huruf c Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana.
75
Pasal 8 Ayat (3) huruf a Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana.
76
Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana.
77
Lihat, Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 4 Tahun
2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
78
Jonlar Purba. Loc.cit.
79
Marlina, Op.cit, h. 168.
80
Tolib Efendi, Op.cit, hlm. 4-5.
kepuasan terhadap semua pihak. Oleh karena itu, perlu untuk melakukan
terobosan hukum yang menimbulkan konsep pemikiran baru dalam
penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan
restorative. Penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan
restorative dimaksudkan agar pelaku dan korban dapat menyelesaikan
konflik yang terjadi dengan mempertimbangkan keadilan dan
kepentingan kedua belah pihak yang didasari pada kesepakatan.
Terobosan hukum dalam sistem peradilan pidana mengupayakan
adanya keadilan restorative dilatar belakangi pemikiran adanya ide-ide
pembaharuan hukum pidana (penal reform). Latar belakang ide-ide
”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi,
ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem
yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana
dan sistem pemidanaan yang ada saat ini.
Ide pembaharuan dalam hukum pidana disebabkan hukum pidana
yang merupakan warisan dari kolonial belanda tidak lagi sesuai dengan
perkembangan masyarakat, bahkan dapat dikatakan tidak sesuai dengan
perkembangan sistem hukum nasional yang diwacanakan. Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh Barda Nawawi, sebagai berikut :
Meskipun sumber hukum pidana positif Indonesia saat ini
bersumber dari KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam
penegakan hukum harusnya berbeda dengan penegakan hukum
pidana seperti di zaman Belanda. Sebab, kondisi lingkungan
atau kerangka besar hukum nasional (nasional legal framework)
sebagai tempat dioperasionalisasikannya WvS, sudah berbeda dan
berubah. Artinya, penegakan hukum pidana harus berada dalam
konteks ke-Indonesiaan.81
Berdasarkan perkembangan dan ide pembaharuan hukum nasional
tersebut, maka dalam penegakan hukum di Indonesia senantiasa harus
memperhatikan sikap masyarakat terhadap hukum, sehingga tidak
boleh mengabaikan waktu saat hukum itu ditetapkan atau berlaku.
Hal ini berarti perlu dilakukan reorientasi atau reinterpretasi terhadap
asas legalitas dalam konteks sistem hukum nasional yang ada saat ini.82
Ditinjau dari perspektif yuridis, restorative justice dalam dimensi
hukum Negara (iu s constitutum) sejatinya memang belum banyak
81
Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan ....Op.cit, hlm. 80-81.
82
Ibid, hlm. 82.
83
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jurnal Pro
Yustitia Vol. 2 No. 1 Januari-April 2013), hlm. 3.
BAB VIII
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung.
-----------, 2010, Sistem Peradilan Pidana Komtemporer, Prenada
Kencana Media Group, Jakarta.
Ali, Hasbih dan Latif Abdul, 2011, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika,
Jakarta.
Arief, Nawawi Barda, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Hukum Pidana Penanggulangan Kejahatan, Prenada Kencana
Media Group, Jakarta.
-----------, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
-----------, 2015, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religus, Dalam
Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum
(Pidana) di Indonesia. Pustaka Magister, Semarang.
-----------, 2016, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem
Peradilan Pidana (Integrated Criminal Justice System),
Badang Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Adang, Anwar Yesril, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep,
Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum
Di Indonesia), Widya Padjajaran, Bandung.
-----------, 2013, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung.
B. Shidarta, Arief, B dan Kusumaatmadja Mochtar, 2000, Pengantar
Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup
Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Barkatullah, Hakim Abdul dan Prasetyo Teguh, 2005, Politik Hukum
Pidana : Kajian Kebijjakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ekotama, Suryono, dkk, 2000, Abortus Provocatus Bagi Korban
Perkosaan Perspektif Viktimologi , Kriminologi dan Hukum
Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Lubis, Solly, 2009, Serba Serbi Politik Hukum, Soft Media, Medan.
Lubis, Sofyan, M., 2010, Prinsip Miranda Rule: Hak Tersangka
Sebelum Pemeriksaan, Pustaka Yustitia, Jakarta.
Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Dipenogoro, Semarang.
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama,
Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty, Yokyakarta.
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung.
Mulyadi, Lilik, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum
Acara Pidana Indonesia, Alumni, Bandung.
Prakoso, Abintoro, 2013, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laskbang
Grafika, Jakarta.
Purnianti, 2015, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak
(Juvenile Justice System) Di Indonesia, Unicef, Jakarta.
Purba, Jonlar, 2017, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
bermotif Ringan Dengan Restoratif Justice, Permata Aksara,
Jakarta.
Van, L.J, Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya
Paramita, Jakarta.
R, Frank Prassel, 1979, Criminal Law, Justice, and Society, Goodyear
Publishing Company Inc. Santa Monica California.
Rusli, Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 2016, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Penerbit Publisihing, Yokyakarta.
Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sahetapi, J. E., 1995, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi,
Eresco, Bandung.
S. R. Sianturi, S. R dan Kanter, E.Y, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana
Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
jo Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undnag Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
JURNAL
Arif Rohman, Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Salah
Tangkap Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum
Volume 3 Nomor 1, Pebruari 2017, hlm. 30.
Kimball, Edward L., “Crime: Definition of Crime,” dalam: Sanford H.
Kadish (ed), Encyclopedia of Crime and Justice (New York:
The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983), Volume
1, hlm. 302.
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jurnal
Pro Yustitia Vol. 2 No. 1 Januari-April 2013), hlm. 3.
Mahrus Ali dan Ari Wibowo, Kompensasi dan Restitusi Yang
Berorientasi Pada Korban Tindak Pidana, (Jurnal Hukum
Volume 33 No. 2 Mei 2018), hlm. 265.
Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, Penerbit Ikatan Hakim
Indonesia, Juni 2006, h. 3.
Richard Frase, “Victimless Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed.),
Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press:
A Division of Macmillan Inc., 1983), Volume 4, hlm. 1608.
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Berbasis
Restorative Justice, (Mimbar Justitia Fakultas Hukum
Universitas Suryakancana, Cianjur, Vol. V No. 01, 2016),
hlm. 86.
Zen Zanibar M.Z. “Wilayah Kajian Ilmu Hukum,” dalam : Lex
Jurnalica, Transformasi Ide dan Objektivitas, Jakarta:
INTERNET
Adrian Atmaja, Persamaan Kedudukan Dihadapan Hukum (equality
before of the law), artikel hukum 06 Februari 2013, diakses
melalui bloq: http://ardiandrian. blogspot.co.id, tanggal 11
Februari 2019. Pkl. 13. 40 WIB.
Jecky Tengens, Pendekatan Restoratif Justice Dalam Sistem Peradilan
Indonesia, melalui : http://www.hukum.online.com, diakses
tanggal 19 Februari 2019, Pukul. 12. 45 Wib.
Keadilan Restorasi, sumber http://www.negarahukum.com, diakes pada
tanggal 18 Maret 2019. Pukul 17.30 Wib.
Max Andrwe Ohadi, Minimalisir Korban Salah Tangkap, diakses
melalui website : https://www.kompasiana.com, tanggal 11
September 2019. Pukul. 11. 30 Wib.
Catatan