Anda di halaman 1dari 203

HAK-HAK KORBAN

DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Dr. GOMGOM T.P SIREGAR, S.E.,S.Sos.,S.H.,M.Si., M.H


RUDOLF SILABAN, S.Kom.,S.H.,M.H

HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA
Dr. Sudirman Suparmin, Lc., M.A.

Diterbitkan Oleh:
CV. MANHAJI Medan
2020

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban i


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Penulis :
Dr. Gomgom T.P Siregar, S.E., S.Sos.,S.H.,M.Si.,M.H
Rudolf Silaban, S.Kom.,S.H.,M.H

Editor :
Dr. Sudirman Suparmin, Lc., M.A.

Copyright © 2020
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved

Penata Letak : Johan Iskandar, S.Si.


Perancang Sampul : Muhammad Hakiki, S.Kom.

Diterbitkan Oleh:
CV. Manhaji M e d a n
Jl. IAIN/Sutomo Ujung No.8 Medan
e-mail: cvmanhaji@yahoo.com - cvmanhaji@gmail.com

Cetakan Pertama : Januari 2020

ISBN: 978-602-0000-00-0

ii Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

PRAKATA

S yukur mendalam penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa, berkat nikmat kesehatan dan kesempatan yang diberikan dan
atas Izin-Nya buku ini dapat diselesaikan. Buku berjudul “Hak-Hak
Korban Dalam Peradilan Pidana” memaparkan pokok-pokok tentang
Viktomologi sebagai suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang
korban dan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang perlindungan korban, besertas perkembangannya.
Selanjutnya, dalam buku ini juga memaparkan bagaimana
kedudukan korban dan pelaksanaan hak-hak korban dalam proses
peradilan pidana dan bagaimana alternatif mengintegrasikan hak-
hak korban dalam proses peradilan pidana, sehingga hak-hak korban
kejahatan dapat benar-benar diperoleh dalam proses peradilan pidana
yang bermuara pada putusan pengadilan.
Mengingat, pemaparan dalam buku ini masih bersifat dasar
atau pokok-pokok saja, maka perlu untuk dilakukan kajian yang lebih
mendalam dan pengembangan konsep-konsep perlindungan hak-hak
korban kejahatan yang terintegrasi dalam proses peradilan pidana,
sehingga hak-hak korban dapat diperoleh secara efektif dan efisien.
Kedudukan korban dalam proses peradilan pidana tidak saja
dipandang sebagai pihak yang membantu aparat penegak hukum dalam
mengungkap dan membuktikan sauatu peristiwa pidana, melainkan juga
berperan serta dalam setiap tahap proses peradilan pidana, sehingga hak-
hak korban berupa pemulihan dan penggantian kerugian yang diderita
sebagai akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap
korban, juga menjadi perhatian aparat penegak hukum.
Dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah penulis
mengucapkan terima kasih kepada segenap pimpinan Universitas
Dharma Agung Medan, khususnya pimpinan Fakultas Hukum
Universitas Dharma Agung Medan yang telah memberikan dukungan
moril maupun materil bagi penulis, sehingga penulisan buku ini dapat
diselesaikan.
Terima kasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada Isteri,
anak-anaku serta semua pihak yang telah berperan dalam penyelesaian

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban iii


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

buku ini. Penulisan buku ini bersifat awal dan masih banyak kekurangan,
bahkan sangat jauh dari kesempurnaan. Kedepannya penulis akan
berupaya untuk melengkapi dan menyempurnakan substansinya.
Penulis menyadari tidak ada gading yang tak retak, tidak ada
pekerjaan manusia yang sempurna karena manusia juga tidak sempurna
dan karena itu saran dan kritik dari pembaca buku ini sangat penulis
nantikan untuk kesempurnaan buku ini di masa datang.
Akhir kata, penulis berharap buku ini dapat memberikan manfaat
untuk akademisi, praktisi dan masyarakat.

Medan, Januari 2020


Penulis

Dr. Gomgom T.P Siregar, S.E., S.Sos.,S.H.,M.Si.,M.H


Rudolf Silaban, S.Kom.,S.H.,M.H

iv Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

DAFTAR ISI
hal.
PRAKATA .................................................................................. iii
DAFTAR ISI .............................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1
BAB II PENGERTIAN, PERKEMBANGAN DAN RUANG
LINGKUP VIKTIMOLOGI ......................................... 7
A. Pengertian Viktimologi ........................................... 7
B. Perkembangan Konsep Kajian Viktimologi ............ 10
C. Perkembangan Viktimologi .................................... 13
D. Viktimologi Kritis Sebagai Perkembangan Kajian
Terhadap Korban. ..................................................... 17
E. Ruang Lingkup Viktimologi ................................... 19
F. Manfaat Viktimologi ................................................ 21
G. Hubungan Viktimologi dan Kriminologi ................. 24
H. Hubungan Viktimologi dengan Ilmu Hukum Pidana 35
BAB III HUBUNGAN KORBAN DENGAN KEJAHATAN
DAN PELAKU KEJAHATAN ................................... 39
A. Pengertian Korban ................................................... 39
B. Tipologi Korban ...................................................... 41
C. Hak dan Kewajiban Korban .................................... 43
D. Pengertian Kejahatan .............................................. 45
E. Hubungan Korban dengan Kejahatan, dan Pelaku
Kejahatan................................................................. 49
BAB IV HAK-HAK KORBAN KEJAHATAN DALAM
HUKUM POSITIF DI INDONESIA ........................... 57
A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hak-
Hak Korban Kejahatan. ............................................ 57
B. Pengaturan Hak-Hak Korban Kejahatan ................. 63
C. Perlindungan Hak-Hak Korban Kejahatan Dalam
Penegakan Hukum Pidana ........................................ 71

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban v


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB V KEDUDUKAN KORBAN DALAM PERADILAN


PIDANA ...................................................................... 93
A. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia .................... 93
B. Kedudukan Korban Dalam Peradilan Pidana .......... 96
C. Konsistensi Impelementasi Hak-Hak Korban Dalam
Proses Peradilan Pidana. ........................................... 103

BAB VI POTENSI TIMBULNYA KORBAN DALAM PROSES


PENEGAKAN HUKUM PIDANA .............................. 105
A. Prinsip-prinsip Penegakan Hukum Pidana ............... 105
B. Kesalahan Prosedural Dalam Proses Peradilan Pidana
Berpotensi Menimbulkan Korban Salah Tangkap. ... 109
C. Perlindungan Terhadap Korban Salah Tangkap
Menurut KUHAP . .................................................... 119

BAB VII PENDEKATAN RESTORATIF JUSTICE SEBAGAI


UPAYA PELAKSANAAN HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA ............ 127
A. Restoratif Justice ..................................................... 127
B. Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak.......................................................................... 146
C. Dasar Pemikiran Penerapan restorative justice Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak. ................................. 150
D. Penerapan Restorative Justice Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak . ........................................... 163
E. Restoratif Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana .. 184

BAB VIII PENUTUP ................................................................ 187

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 189

vi Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN

N egara Indonesia adalah Negara hukum, ide gagasan ini tercantum secara
tegas dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 amandemen ke-IV (selanjutnya disebut UUD NRI
1945), disebutkan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
Konsep negara hukum menurut Aristoteles yang dikutip oleh
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, adalah :
Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar
dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap
manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi Aristoteles
yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya,
melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya
hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.1
Negara hukum (recht staat) memiliki keterkaitan yang erat
dengan Hak Asasi Manusia. Dengan kata lain, suatu negara yang
berdasarkan hukum harus mengakui eksistensi dari Hak Asasi Manusia,
hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri suatu negara hukum yang mencerminkan
esensi dari negara hukum itu sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh
Bambang Sunggono sebagai berikut :2
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau
kekuatan lain yang tidak memihak.
3. Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.
Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan

1
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta
: Sinar Bakti, 1998), hlm. 113.
2
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 4.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 1


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

kebudayaan adalah upaya untuk mewujudkan keadilan yang dicita-


citakan dalam ide dasar negara hukum (recht staat) yang terkandung
dalam konstitusi. Salah satu konsekuensi dari negara hukum (recht staat)
dan merupakan perwujudan dari keadilan hukum adalah penerapan
prinsip atau asas persamaan di hadapan hukum (equality before of the
law). Asas persamaan di hadapan hukum adalah merupakan suatu konsep
dasar dalam proses penegakan hukum yang diatur dalam konstitusi.
Pemaknaan mengenai persamaan di hadapan hukum sendiri
secara filosofis telah tercermin dari perwujudan sosok dewi Themis
dalam mitologi Yunani kuno atau yang dikenal dalam peradaban
romawi sebagai dewi justitia (dewi keadilan). dalam perwujudan
sosok tersebut digambarkan seorang dewi dengan mata tertutup yang
bermakna bahwa hukum tidak membeda-bedakan setiap orang.3
Ketentuan mengenai asas persamaan di hadapan hukum diatur
secara jelas dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”.
Persamaan di hadapan hukum sebagai wujud dari pencapaian
keadilan dipertegas kembali dalam Pasal 28D UUD NRI 1945,
yang menyebutkan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum”. Berdasarkan ketentuan ini, maka setiap orang
berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and
impartial court). Hak untuk memperoleh peradilan yang adil dan tidak
memihak merupakan hak dasar setiap manusia. Hak ini bersifat universal,
berlaku di manapun, kapan pun dan pada siapapun tanpa ada diskriminasi.
Pemenuhan hak ini merupakan tugas dan kewajiban Negara.4
Asas persamaan di hadapan hukum merupakan manisfestasi
dari Negara hukum (recht staat), penerapan asas ini maka diharuskan
adanya perlakuan yang sama bagi setiap orang di hadapan hukum

3
Adrian Atmaja, Persamaan Kedudukan Dihadapan Hukum (equality before of
the law), artikel hukum 06 Februari 2013, diakses melalui bloq: http://ardiandrian.
blogspot.co.id, tanggal 11 Februari 2019. Pkl. 13. 40 WIB.
4
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Naskah Akademik RUU Program
Bantuan Hukum, hlm. 6.

2 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

(gelijkheid van leder voor de wet). Hakikatnya elemen yang melekat


dalam asas persamaan di hadapan hukum mengandung makna adanya
perlindungan yang sama di hadapan hukum (equal protection on the
law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal
justice under the law).5
Praktik penegakan hukum (law enforcement), khususnya
penegakan hukum pidana seringkali diwarnai dengan hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip persamaan dihadapan hukum. Misalnya
penganiayaan terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan,
intimidasi, rekayasa perkara, pemerasan, pungutan liar dan sebagainya.
Kemudian dari pihak korban juga merasakan diabaikan hak-haknya,
antara lain dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui
perkembangan penanganan perkara, tidak menerima kompensasi dan
tidak terpenuhinya hak-hak lain.
Hak-hak tersangka dan atau terdakwa lebih populer diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan perundang-undangan lain yang terkait, bahkan hak-hak
tersangka tercantum dan disebutkan dalam UUD NRI 1945. Apabila
diteliti, di dalam KUHAP tersebut lebih banyak mengatur hak-hak
tersangka dan terdakwa. Untuk hak-hak korban (victim) pengaturannya
tidak secara tegas dan tidak sebanyak hak-hak tersangka atau terdakwa.
Kemungkinan hal ini disebabkan pihak korban kejahatan/tindak pidana
sudah diwakili oleh negara (penyidik dan penuntut umum).
Proses penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu
pada hukum pidana dan hukum acara pidana memberikan wewenang
bagi negara melalui organ-organnya melakukan proses hukum
terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana dengan
melakukan proses peradilan pidana berupa tindakan penyidikan,
penuntutan dan penjatuhan hukuman pidana (ius puniendi). Dengan
kata lain, terhadap perbuatan pidana atau tindak pidana, maka terhadap
pelakunya akan ditindak melalui proses peradilan dengan memberi dan
menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku sesuai dengan ancaman
pidana yang diatur dalam pasal-pasal dalam hukum pidana, yang oleh
pelaku secara nyata telah dilanggar.

5
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, (Bandung: Alumni, 2010), hlm. 14.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 3


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sistem peradilan pidana menentukan bahwa kedudukan korban


tindak pidana secara otomatis diwakili oleh negara dengan cara
mengadili dan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan
terdakwa. Berbeda dengan zaman dahulu, korban atau keluarganya
dapat langsung minta ganti kerugian atau pembalasan kepada pelaku.
Fakta ini seperti diungkap Hezel B. Kerper yang dikutip oleh Romli
Atmasasmita, yang mengemukakan:
Pada masa lampau, menurut sejarah perkembangan hukum
di negara Barat (Inggris), negara (yang diwakili oleh raja)
tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap kejahatan yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain, kecuali jika kejahatan
itu dilakukan terhadap negara (raja). Pada saat itu, “pembalasan”
dari seseorang yang dirugikan terhadap pelaku kejahatan (asas
talio) masih diperkenankan. Bahkan seluruh keluarga korban
dapat melaksanakan pembalasan.6
Proses peradilan pidana yang dipraktekkan pada masa-masa
sebelumnya, di mana korban atau keluarganya dapat secara langsung
menuntut haknya berupa ganti kerugian kepada pelaku atau melakukan
pembalasan secara langsung terhadap pelaku lamban laun kemudian
ditinggalkan. Pada fase selanjutnya hak-hak korban untuk menuntut
ganti kerugian atau menuntut pembalasan terhadap pelaku diambil alih
oleh sang Raja, sehingga Raja atau negara berperan mewakili korban.
Bahkan Raja seorang di masa lampau bertindak merangkap menjadi
hakim dan menjatuhkan hukuman/pidana.
Seiring dengan perkembangan konsep negara hukum, maka
kemudian lahir suatu konsep pemerintahan yang didasari pada
pembagian kekuasaan atau yang dikenal dengan Trias Politica.
Penyelenggaraan pemerintahan melalui konsep pembagian kekuasaan
menempatkan lembaga/kekuasaan yudikatif sebagai lembaga yang
berwenang melakukan proses peradilan dalam rangka menciptakan
keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.
Sistem peradilan pidana yang berada di bawah naungan lembaga
yudikatif, maka korban (victim) kejahatan/tindak pidana tidak lagi dapat
langsung mengambil haknya, tanpa melalui proses hukum. Ketentuan
ini merupakan konsekuensi dari suatu negara hukum, di mana setiap

6
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Komtemporer, (Jakarta: Prenada
Kencana Media Group, 2010), hlm. 86.

4 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

perbuatan pidana yang terjadi di masyarakat, wajib diselesaikan melalui


proses hukum, baik itu penyelesaian melalui lembaga peradilan (litigasi)
ataupun diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi).
Di dalam konteks negara hukum, maka korban tidak dapat secara
langsung meminta atau mengambil (paksa) haknya dari tersangka
atau terdakwa. Apabila korban memaksakan diri untuk meminta atau
mengambil haknya dari tersangka/terdakwa, maka tindakan korban
dapat disebut dengan pemerasan. Demikian pula tindakan pembalasan
terhadap pelaku, korban juga tidak dibenarkan melakukan pembalasan
terhadap pelaku, karena tindakan pembalasan secara langsung yang
dilakukan oleh korban kejahatan merupakan perbuatan main hakim
sendiri (eigen riechting).
Proses peradilan pidana, tentunya yang bersangkutan akan
mengajukan/membuat laporan atau pengaduan. Pelaku tindak pidana
selanjutnya diproses melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan, putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam
proses tersebut, korban dapat menjadi saksi yang biasanya memberatkan
terdakwa.
Pada dasarnya ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101
KUHAP telah memberikan perlindungan terhadap korban. Dalam
KUHAP, seseorang yang menjadi korban atau orang lain yang dirugikan
diberikan hak untuk menuntut ganti kerugian, tetapi ketentuan tersebut
tidak berjalan secara efektif.
Ketentuan hukum dalam KUHAP yang mengatur mengenai
hak-hak korban memang tidak sebanding dengan banyaknya hak-hak
tersangka dan/atau terdakwa. Namun, seiring munculnya kesadaran
hukum akan arti pentingnya memberikan perlindungan yang setimpal
terhadap hak-hak korban kejahatan dalam proses penegakan hukum
pidana, terlihat bahwa regulasi atas hak-hak korban saat ini cukup
menggembirakan.
Perlindungan terhadap hak-hak korban kejahatan tidak terlepas
dari peran reformasi yang lebih membuka arus demokratisasi dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Adanya keinginan untuk
mengedepankan perlindungan terhadap hak asasi manusia di era
reformasi, kemudian menuntut dilakukannya perubahan (amandemen)
terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahkan sejak era

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 5


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

reformasi terhadap UUD NRI 1945 setidaknya telah dilakukan empat


kali perubahan (amandemen).
Pasca reformasi, berbagai regulasi yang ada banyak mengatur
mengenai hak-hak dari korban. Sehingga dengan kelengkapan perangkat
perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap hak-hak
korban, dan adanya komisi/lembaga yang menjalankan fungsi tersebut,
diharapkan perlindungan terhadap korban kejahatan dapat lebih baik
lagi. Perlindungan terhadap korban kejahatan menjadi penting dalam
menjaga keseimbangan dalam tatanan pergaulan hidup masyarakat.
Hal ini didasari pertimbangan bahwa kejahatan dalam masyarakat
tidak mungkin dapat dihilangkan secara total, melainkan hanya dapat
diminimalisir.
Di sisi lain, meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan di
masyarakat terus terjadi seiring perubahan sosial masyarakat yang
menjadi salah faktor pendorong berbagai gejala-gejala sosial dan
mengarah pada terjadinya kejahatan di tengah masyarakat. Apabila
hal tersebut terjadi, dapat dipastikan korban terus bertambah, yang
tidak hanya korban perorangan saja, tetapi kelompok, masyarakat,
institusi dan bahkan negara. Menyadari fenomena tersebut, pemerintah
dan DPR sebagai pembentuk undang-undang kemudian merumuskan
dan menerbitkan beberapa aturan hukum (regulasi), yang antara lain
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Penjelasan Umum undang-undang ini menyebutkan:
Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk
mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif
dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan
kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu
hal yang dapat membantu mengungkapkan tindak pidana yang
telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Kedudukan korban kejahatan dalam proses penegakan hukum
pidana, khususnya perlindungan terhadap hak-hak korban begitu penting
untuk dilakukan demi mencapai tujuan hukum yang paling hakiki, yaitu
mewujudkan keadilan. Oleh karena itu, kajian yang mendalam dan
komperehensif mengenai hak-hak korban dan penerapannya dalam
peradilan pidana perlu dilakukan secara terus menerus (continue),
sehingga kedepannya hak-hak korban kejahatan benar-benar dapat
diterapkan sebagaimana mestinya.

6 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB II
PENGERTIAN, PERKEMBANGAN
DAN RUANG LINGKUP VIKTIMOLOGI
A. Pengertian Viktimologi

D i dalam hukum pidana, terdapat beberapa kajian ataupun ilmu


pengetahuan yang memiliki keterkaitan dengan tindak pidana,
pelakunya, pemidanaannya, korban tindak pidana, pencegahannya
dan sebagainya. Seperti : Ilmu kriminologi, pemidanaan, penyebab
terjadinya kejahatan dan viktimologi yang merupakan ilmu
pengetahuan di bidang korban. Kesemuanya bidang ilmu pengetahuan
tersebut mempunyai pengertian dan cakupan kajian serta karakter
masing-masing, yang saling melengkapi satu sama lain dalam upaya
penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat dan dalam rangka
mewujudkan tujuan hukum yang bertujun untuk mencapai keadilan,
kepastian dan kemanfataan hukum.
Pembahasan mengenai korban kejahatan, paradigma dan
konstruktif berpikir yang ada dalam pikiran kita tentunya tidak dapat
dilepaskan dari ilmu viktimologi. Sebab, melalui kajian viktimologi,
maka dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban,
seperti: faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang
dapat menjadi korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan,
serta apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban korban kejahatan.1
Viktimologi, berasal dari bahasa latin “victim” yang berarti
korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi
berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban penyebab timbunya
korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah
manusia sebagai suatu kenyataan sosial.2
Viktimologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang relatif
baru jika dibandingkan dengan cabang ilmu lain, seperti sosiologi dan

1
Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,
Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Utama, 2011), hlm. 34.
2
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), hlm. 43.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 7


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

kriminologi. Sekalipun usianya relatif muda, namun peran viktimologi


tidak lebih rendah dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu yang
lain, dalam kaitan pembahasan mengenai fenomena sosial, khususnya
dalam studi kejahatan yang sebelum merupakan gejala-gejala sosial
yang ada di masyarakat.
Pengertian viktimologi mengalami tiga fase perkembangan.
Awalnya, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. Pada
fase ini dikatakan sebagai penal or special viktimology. Pada fase kedua,
viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja. Pada
fase ini disebut sebagai general victimology. Fase ketiga, viktimologi
sudah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban
penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia, pada fase ini
dikatakan sebagai new victimology.3
Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang
korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan
penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya adalah untuk
memberikan penjelasan mengenai peran yang sesungguhnya para
korban dan hubungan mereka dengan para korban serta memberikan
keyakinan dan kesadaran bahwa setiap orang mempunyai hak
mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya,
pekerjaannya, profesinya dan lain-lainnya.
Pembahasan mengenai korban perlu untuk mendapatkan
perhatian utama dalam studi tentang kejahatan yang ada dan terjadi
di masyarakat, sebab korban seringkali memiliki peran terjadinya
suatu kejahatan. Pembahasan mengenai korban kejahatan, diharapkan
memberikan pemahaman yang luas dan mendalam tentang korban
kejahatan, sehingga lebih memudahkan dalam menemukan upaya
penanggulangan kejahatan yang pada akhirnya akan bermuara pada
menurunnya kuantitas dan kualitas kejahatan.
Perkembangan viktimologi sebagai cabang ilmu baru berbanding
lurus dengan perlindungan terhadap hak-hak korban kejahatan dan
pelaksanaannya. Dalam kondisi yang demikian, maka viktimologi
dapat dipahami sebagai studi ilmiah yang mempelajari suatu viktimisasi
(kriminal) yang merupakan suatu kenyataan sosial. Perumusan ini
membawa akibat perlunya suatu pemahaman, yaitu:

3
Ibid., hlm. 44-45.

8 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

1. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang


sebenarnya secara dimensional;
2. Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interrelasi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;
3. Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh
unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.
Perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan
(viktimologi) tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pemikiran-pemikiran
brilian dari Hans von Hentig, seorang ahli kriminologi pada tahun 1941
serta Mendelsohn, pada tahun 1947. Pemikiran kedua ahli ini sangat
mempengaruhi setiap fase perkembangan viktimologi. Perkembangan
viktimologi hingga pada keadaan seperti sekarang tentunya tidak terjadi
dengan sendirinya, akan tetapi telah melewati tahapan atau fase-fase
perkembangan. Sebagai ilmu pengetahuan, tentunya viktimologi terus
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan zaman. Adapun fases perkembangan viktimologi dapat dibagi
dalam 3 (tiga) fase, yaitu:4
1. Fase pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan
saja, pada fase ini dikatakan sebagai “penal or special
victimology.”
2. Fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban
kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini
disebut sebagai “general victimology.”
3. Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi,
yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan
kekuasaan dan hak-hak asasi manusia.
Fase ketiga dikatakan pula sebagai “new victimology.” Dari
pengertian di atas, tampak jelas bahwa yang menjadi objek kajian
viktimologi, adalah : pihak-pihak mana saja yang terlibat/memengaruhi
terjadinya suatu viktimisasi (kriminal), bagaimanakah respons terhadap
suatu viktimisasi kriminal, faktor penyebab terjadinya viktimisasi
kriminal, upaya penanggulangannya, dan lain sebagainya. 5

4
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Akademika Pressindo,
1993), hlm. 40.
5
Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi,

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 9


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

B. Perkembangan Konsep Kajian Viktimologi


Korban pada awalnya dituntut untuk mampu membentengi
dirinya sendiri agar tidak menjadi korban kejahatan. Namun, tuntutan
terhadap korban untuk dapat membentengi dirinya sendiri tidak didesain
dan diformulasikan dalam setiap perangkat hukum pidana atau kitab
hukum pidana. Seyogyanya korban diberikan peran untuk menentukan
tindakan apa yang ditimpakan terhadap pelaku. Sayangnya peran
korban dalam proses peradilan pidana belum memperoleh tempat yang
memadai dalam sistem peradilan pidana yang diformulasikan dalam
perangkat hukum pidana dan Kitab Hukum Acara Pidana.
Peran korban untuk membetengi dan mengatasi masalahnya
sendiri menurut caranya sendiri, didalam masyarakat mengenal sistem
“retribution” dan “restitution” sebagai dasar tujuan pemidanaan terhadap
pelaku kejahatan. Retribution adalah pelaku kejahatan akan mengalami
penderitaan sebanding dengan tingkat kerugian yang diakibatkan oleh
perbuatannya. Sering terjadi “retribution” ini menjadikan dirinya
sebagai “restitution”. “Restitution” adalah pembayaran sejumlah uang
dalam rangka untuk memberikan bantuan kepada korban oleh pelaku,
dan apabila pelaku tidak dapat membayarnya, maka keluarganya
dipaksa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pelaku tersebut
pada pihak korban.
Sistem pertanggungjawaban tersebut berlandaskan pada prinsip
yang disebut “lex talionis”an eye for an eye, a tooth for a tooth.
Pidana disesuaikan dengan penderitaan korban. Di sini tampak bahwa
seolah-olah korban menjadi pertimbangan utama penderitaan apa yang
seharusnya ditimpakan pada pelaku kejahatan. model ini sebetulnya telah
menggambarkan suatu “sistem” yang disebut “sistem peradilan korban”
atau victim justice system”. Sistem penanganan perilaku kejahatan
semacam ini telah terdapat dalam hukum kuno yang terkodifikasikan
dalam Kitab Hamurabbi (2200 SM) dan Hukum Romawi. Sistem
ini menekankan pada unsur pertanggungjawaban individual atas
perilaku-perilaku yang menderitakan orang lain. Restitusi dan retribusi
merupakan ketentuan khusus yang bersumber dari kitab-kitab hukum
kuno itu. Bagian terbesar dari maksud ketentuan tersebut adalah
pencegahan terjadinya kejahatan di masa datang “deterrent effects”.

dalam Bunga Rampai Viktimisasi, (Bandung : Eresco, 1995), hlm. 200.

10 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Tujuan utama dari “deterrence” ini adalah pencegahan terjadinya


kejatan di masa mendatang. Apa yang terkandung dalam pemikiran itu
ialah bahwa besarnya resiko dari setiap niat untuk melakukan kejahatan
akan menjadikan orang untuk tidak tertarik melakukan kejahatan.
Retribusi dan restritusi mencoba untuk menegakkan kembali “status
quo” yang telah sebelum perilaku kejahatan terjadi. Pemindahan ke
bentuk finansial akan memunculkan petimbangan bahwa melakukan
kejahatan tidak ada untungnya sama sekali.
Sistem dasar penanganan perilaku kejahatan di atas masih
dapat ditemukan hingga abad pertengahan. Namun seiring terjadinya
perkembangan masyarakat secara perlahan-lahan sistem peradilan
pidana korban mulai ditinggalkan. Dua faktor yang menandai
berakhirnya sistem peradilan korban ini. Pertama, timbulnya gerakan
kaum bangsawan feodal (barons) untuk memindahkan tuntutan setiap
pembayaran ganti rugi pelaku kejahatan pada korban. Penguasa-
penguasa itu (kaum bangsawan) melihat uang ganti rugi itu merupakan
cara lukratif untuk meningkatkan kekayaan mereka sendiri.
Kaum bangsawan mengarahkan tujuan pembayaran dari individu
itu lewat pendefinisian kembali perilaku kejahatan sebagai bentuk
pelanggaran pada negara bukannya pada korban, (pengertian korban
dipindahkan dari individu atau kelompok menjadi negara). Strategi itu
menempatkan negara (yang tidak lain adalah para kaum bangsawan itu
sendiri sebagai penguasa negara) sebagai pihak yang menderita akibat
terjadinya kejahatan. Kedudukan korban kemudian disingkirkan dalam
ketentuan perangkat hukumnya dan dirumuskan bahwa kedudukan
korban adalah sebagai saksi bagi negara untuk membuktikan terjadinya
kejahatan pada negara dan pertanggungjawaban pelaku pada negara
(bukan pada korban). Melalui perangkat peraturan hukum yang
demikian, maka negara (dalam hal ini adalah Kaum bangsawan) dapat
akses dalam kasus-kasus kejahatan dan meraup keuntungan dari prinsip
restitutif model baru ini.
Kedua, terjadinya perubahan sosial yang cepat. Kehidupan masyarakat
mulanya diwarnai dengan suasana kehidupan masyarakat pedesaan yang
menyandarkan penghidupannya pada sektor agraris. Dalam suasana
kehidupan masyarakat pedesaan, orang-orang hidup dalam suasana yang
kecil dan sederhana, menjalani kehidupan di bidang pertanian, disibukkan
dengan upaya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 11


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Masyarakat selanjutnya mengalami perkembangan, terutama


dengan terjadinya revolusi industri. Kehidupan masyarakat industrial
memunculkan pola kehidupan masyarakat perkotaan. Pola hidup
masyarakat industri kemudian mendorong sebagian masyarakat untuk
meninggalkan kehidupan pedesaan dan pindah ke kota-kota besar.
Mereka tinggal di lingkungan yang lebih ramai, dilingkup orang-orang
“asing”. Para tetangganya tidak lagi mengetahui kehidupan orang-orang
disebelahnya. Sebegitu kehidupan menjadi kompleks, hubungan antar
mereka pun lalu mengarah pada sifat yang “depersonalized”, sehingga
kekerabatan yang dulu pernah tumbuh dan hidup dalam masyarakat
pedesaan menjadi sirna. Dalam model masyarakat perkotaan (modern),
maka praktek sistem peradilan korban (victim justice system) pun
semakin tidak popular dan mulai meredup, bahkan sirna.
Praktek sistem peradilan pidana yang didalamnya terdapat
adanya pemidanaan terhadap pelaku kejahatan, masih berpegang
pada pokok bahasan yang terarah pada pertanggungjawaban pidana
pelaku kejahatan. Didalamnya sama sekali tidak ditemukan adanya
“otoritas” untuk mengubah citra dalam upaya memberikan perlindungan
dan langkah-langkah kebijakan yang komprehensif untuk menolong
korban didalam proses penegakan hukum pidana, korban diharapkan
membentengi dirinya sendiri dan masyarakat ikut serta dalam
persepakatan itu.
Sistem peradilan pidana di Indonesia menentukan pihak-pihak
yang berperan didalamnya, yaitu kepolisian sebagai penyidik, pentuntut
umum sebagai pihak yang mengajukan dakwaan dan penuntutan,
hakim sebagai pihak yang memeriksa dan mengadili serta menjatuhkan
putusan, serta lembaga pemasyarakatan sebagai pelaksana putusan
pengadilan dan penasihat hukum yang berfungsi melakukan pembelaan
terhadap hak-hak tersangka. Pihak korban diwakili oleh penuntut
umum dan untuk menguatkan pembuktian lazimnya yang bersangkutan
dijadikan saksi (korban). Dalam kenyataannya seringkali penuntut
umum tidak merasa mewakili kepentingan korban dan bertindak sesuai
kemauannya, sehingga kewajiban perlindungan dan hak-hak korban
terabaikan.
Tidak terwakilinya kepentingan korban dalam penegakan hukum
pidana terlihat dari hasil akhir (out put) dari proses peradilan pidana itu
sendiri. Seperti, tuntutan pidana yang terlalu ringan terhadap pelaku,

12 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

putusan hakim yang terlalu ringan, dan berbagai penyimpangan yang


terjadi dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang
kerap kali tidak sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat,
khususnya tidak sesuai dengan rasa keadilan para korban sebagai
pencari keadilan.
Proses peradilan pidana yang berlangsung saat ini, menempatkan
kedudukan korban kejahatan hanya sekedar sebagai saksi dalam
mengungkap dan membuktikan suatu kejahatan. Korban tidak lagi
menangani masalahnya dengan caranya sendiri dalam memberikan
“retributif” dan “restitutif” dari pelaku kejahatan. Pada sebagian
besarnya sistem peradilan pidana telah melupakan kedudukan dan
kepentingan terbaik bagi korban kejahatan.

C. Perkembangan Viktimologi
Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subjek yang paling
banyak disoroti adalah pelaku kejahatan. Padahal akibat dari kejahatan
tersebut, pihak yang paling dirugikan dan menimpa kerugian yang
paling besar adalah korban kejahatan itu sendiri. Akan tetapi, sedikit
sekali hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai korban serta perlindungan terhadapnya.
Melihat posisi korban dalam penegakan hukum pidana, seolah-
olah hukum pidana hendak menyatakan bahwa perlindungan terhadap
korban adalah dengan memastikan bahwa si pelaku mendapatkan
balasan yang setimpal. Padahal, jika hendak mengamati masalah
kejahatan secara komprehensif, maka kita tidaklah boleh mengabaikan
adanya peran korban dalam terjadinya kejahatan. Bahkan, didalam
mencari kebenaran materil yang menjadi tujuan dari penegakan hukum
pidana, peranan korban pun sangat strategis. Dengan perkataan lain,
korban sedikit banyaknya sangat menentukan dapat tidaknya pelaku
kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang
dilakukannya. Sehingga tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa
korban merupakan asset penting dalam upaya menghukum pelaku
kejahatan.
Sayangnya, posisi korban dalam kerangka proses peradilan
pidana seringkali terabaikan. Korban sebagai saksi dalam mengungkap
kejahatan hanya dijadikan sebagai instrument untuk membantu aparat

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 13


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

penegak hukum didalam melaksanakan proses peradilan pidana sampai


pada dijatuhkannya hukuman bagi pelaku kejahatan. Namun, aparat
penegak hukum sebagai refresentasi dari negara sama sangat jarang
sekali memperhatikan kondisi dan dari hak-hak korban, sehingga
penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan seperti
keadaan sebelum terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya.
Terabaikannya hak-hak korban kejahatan dalam proses peradilan
pidana disebabkan pandangan yang keliru didalam memaknai masalah
kejahatan, yaitu :6
1. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proporsi yang
sebenarnya secara multi dimensional;
2. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang tidak
didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi kriminal;
3. Kurangnya pemahanan bahwa masalah kejahatan merupakan
masalah kemanusiaan, demikian pula masalah korban.
Perhatian kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai
pada saat Hans von Hentig pada tahun 1941 menulis sebuah makalah
yang berjudul “Remark on the interaction of perpetrator and victim.”
Tujuh tahun kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul The
criminal and his victim yang menyatakan bahwa korban mempunyai
peranan yang menentukan dalam timbulnya kejahatan,7 mempelajari
hubungan antara pelaku dan korban (victim-offender relationship)
dari aspek penderitaan korban dan aspek korban sebagai pemicu dan
mengakibatkan kejahatan.8 Dalam bukunya yang berjudul The criminal
and his victim tersebut, von Hentig membagi enam katagori korban
dilihat dari keadaan psikologis masing-masing, yaitu:
1. The dpressed, who are weak and submissive;
2. The acquisitive, who succumb to confidence games and racketeers;
3. The wanton, who seek escapimin forbidden vices;

6
Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto, RS., G. Widiartama, Abortus
Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi , Kriminologi dan Hukum
Pidana, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2000), hlm. 173.
7
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta : CV Akademika Pressindo,
1989), hlm. 78.
8
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi
dan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Ghlmia Press, 2004), hlm. 21.

14 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

4. The lonesome and heartbroken, who are susceptible to theft and


fraud;
5. The tormentors, who provoke violence, and;
6. The blocked and fightings, who are unable to take normal
defensive measures.9
Pada tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit,
Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-
sosial horizons: Victimology.” Pada saat inilah Benjamin Mendelsohn,
seorang pengacara di Jerusalem dianggap orang yang pertama kali
mempergunakan istilah victimology dalam bukunya yang berjudul “
Revue Internationale de Criminologie et de Police Technique.”
Pembahasan mengenai Korban oleh von Hentig dan Mendelsohn
kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana lain diantaranya seperti
Ellenberger (1945), yang melakukan suatu studi tentang hubungan
psikologis antara penjahat dengan korban, bersama dengan H.
Mainheim (1965), Schafer (1968), dan Fiseler (1978).” Kemudian,
pada tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan berbagai pengamatan
mengenai subjek ini dalam tulisannya berjudul “de Criminaliteit van
Oss, Groningen.” Sepuluh tahun kemudian dapat dikatakan viktimologi
menjadi isu yang menarik dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1959 P. Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi
dan viktimologi harus diperhatikan dalam membuat kebijakan kriminal
dan juga dalam pembinaan para pelaku kejahatan. Baik Cornil maupun
Nagel memperluas wilayah bahasan kriminologi sampai masalah
korban.
Perhatian terhadap korban kejahatan akhirnya diwujudkan dalam
suatu simposium internasional di Jerusalem pada tanggal 5-6 September
1973. Dalam simposium di Jerusalem ini berhasil dirumuskan beberapa
kesimpulan, yaitu: viktimologi dapat dirumuskan sebagai studi ilmiah
mengenai para korban, dan kriminologi telah diperkaya dengan suatu
orientasi viktimologi. Simposium kedua diadakan di Boston, pada tanggal
5-9 September 1976. Viktimologi dianggap penting karena dapat membantu
menambah kecerahan dalam menghadapi penjahat dan korbannya.

9
Prassel, Frank R., Criminal Law, Justice, and Society (Santa Monica California:
Goodyear Publishing Company Inc., 1979), hlm. 66

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 15


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Studi lebih lanjut tentang viktimologi juga dilakukan dalam


bentuk Postgraduate Course on the Victim of Crime in The Criminal
Justice Sistem yang telah dua kali dilakukan di Dubrovnick, Yugoslavia.
Setelah mengalami berbagai kesulitan pada saat diselenggarakannya
simposium yang kedua di Boston, maka pada tahun 1977 didirikanlah
World Society of Victimology. World Society of Victimology (WSV)
dipelopori oleh Schneider dan Drapkin.
Perjalanan panjang untuk menghasilkan prinsip-prinsip dasar
tentang perlindungan korban memang membutuhkan proses yang
cukup panjang. Sekalipun demikian, cita-cita tersebut akhirnya dapat
terwujud pada saat diadakan kongres di Milan, Italia pada tanggal
26 Agustus sampai dengan September 1985 dengan nama Congress
on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang
menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi
yang dinamakan Declaration of Basic Principle of Justice for Victims
of Crime and Abuse of Power.”.
Sejarah perkembangan viktimologi di atas memberikan
gambaran bahwa viktimologi pada mulanya berwawasan sempit
sebagaimana dikemukakan oleh von Hentig dan Mendelsohn,
kemudian dikembangkan oleh Mendelsohn. Selanjutnya viktimologi
yang berinklusif wawasan hak-hak asasi manusia (juga disebut the
new victimology) dikembangkan oleh Elias, kemudian diperluas lagi
sehingga mencakup penderitaan manusia (kemanusian) oleh Separovic,10
sampai munculnya konsep new victimology. Konsep new victimology
didalamnya mengandung beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu:
1. Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya
viktimisasi; dan
3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan
manusia.11

10
J.E. Sahetapi, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi (Bandung:
Eresco, 1995), hlm. v.
11
Arief Gosita, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hlm.
76.

16 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sejak awal dimulainya studi tentang kepribadian korban yang


dilakukan oleh Benyamin Mendelsohn pada tahun 1937, viktimologi
sebagai applied science bagi hukum pidana dan kriminologi terus
berkembang. Bahkan sampai saat ini telah dilakukan lima kali
simposium internasional tentang Viktimologi dan terakhir di Zagreb,
Yugoslavia pada tahun 1985, di samping pertemuan-pertemuan ilmiah
lain yang diselenggarakan di pelbagai Negara.12
Viktimologi sebagai suatu cabang ilmu hukum pidana memang
kurang diminati oleh kalangan akademisi maupun praktisi hukum,
sehingga perkembangannya masih sangat jauh tertinggal dibandingkan
dengan kajian lainnya seperti kriminologi, penetensier, dan lain
sebagainya. Hal ini dapat dibuktikan minimnya literatur dan kajian-
kajian ilmiah tentang viktimologi.
Minimnya kajian terhadap korban juga disebabkan fokus
perhatian dalam penegakan hukum pidana yang lebih tertuju kepada
pelaku, jika dibandingkan perhatian terhadap korban kejahatan. Prassell,
mengungkap bahwa: “Victim was a forgotten figure in the study of
crime. Victims of assaults, robbery, theft, and other offenceses were
ignored while police, courts, and academicians on known violators.”,
yang secara umum dapat diartikan: “Korban adalah sosok yang
terlupakan dalam studi kejahatan. Korban penyerangan, perampokan,
pencurian, dan pelanggaran lainnya diabaikan. Sementara polisi,
pengadilan, dan akademisi melakukan pelanggaran yang diketahui.
Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa viktimologi merupakan bidang
yang tidak memerlukan perhatian yang serius dibandingkan dengan
bidang kajian lainnya karena melalui viktimologi akan dapat diperoleh
masukan dalam menghadapi dan menanggulangi masalah kejahatan
yang semakin hari semakin meningkat.

D. Viktimologi Kritis Sebagai Perkembangan Kajian Terhadap


Korban
Adanya peran korban dalam terjadinya kejahatan dan begitu
besarnya peran korban dalam upaya penanggulangan kejahatan

12
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Dipenogoro, 2002), hlm. 65.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 17


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

menuntut dilakukannya perkembangan terhadap kajian terhadap korban


dalam viktimologi. Perkembangan terakhir kajian terhadap korban
dalam viktimologi adalah pergeseran fokus perhatian viktimologi dari
hal-hal yang bersifat umum menuju kearah apa yang disebut sebagai
Viktimologi Kritis (Critical Victimology).
Munculnya Viktimologi kritis karena kegagalan viktimologi
untuk mengajukan pertanyaan dasar yang menyangkut tentang apa yang
dimaksudkan sebagai kejahatan, melupakan pertanyaan dasar mengapa
perilaku tertentu dijatuhi sanksi dan akibatnya. Itu semua pada akhirnya
telah mengarahkan perkembangan viktimologi salah arah.
Mawby dan Walkiate, merumuskan viktimologi kritis sebagai:
“Viktimologi yang mencoba untuk memahami kejahatan dalam
konteks sosial yang lebih luas, yaitu menyangkut tentang tanggapan
yang bersifat kebijakan dan pelayanan yang diberikan kepada korban
kejahatan, yang sesungguhnya menjadi titik sentral dari perhatian
viktimologi.
Kemudian permasalahan tentang bagaimana dan mengapa
perilaku tertentu didefinisikan sebagai penjahat dan akibatnya disebut
sebagai kejahatan, perlu untuk dikorelasikan menjadi keseluruhan
kajian dalam bidang viktimologi, sehingga menjadi terfokuskan pada
satu set aksi nyata. Pemikiran ini tidaklah jauh berbeda dari kategorisasi
Mendelsohn yaitu “korban dan lingkungan sosial” Mawby dan
Walklate, menandaskan bahwa kebanyakan kejahatan diperbuat oleh
kekuatan dominan dalam masyarakat yang lazimnya tidak terlingkupi
oleh hukum pidana. Akibatnya korban dan kejahatan itupun tidak
termasuk ke dalam diskusi-diskusi viktimologi.
Melalui viktimologi kritis, kebanyakan dari orientasi korban
cenderung mengarah pada keberadaan definisi kejahatan yang
cenderung melupakan pertanyaan dasar menyangkut faktor sosial
yang menjadi sebab meningkatnya aksi-aksi dan tanggapan-tanggapan.
Alasan kegagalan itu bersifat multificent. Faktor penyumbang salah
satunya ialah ketergantungan pada definisi resmi dan data dari berbagai
analisis permasalahan korban.
Kecenderungan-kecenderungan itu menjadikan terlupakannya
pertanyaan dasar yang menyangkut adanya faktor sosial yang
menyebabkan timbulnya korban kejahatan. Faktor lain adalah

18 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

kemampuan agensi-agensi yang ada untuk kooptasi dan mendukung


terhadap gerakan-gerakan baru di masyarakat (seperti hak-hak anak,
hak-hak perempuan dan sebagainya) ke dalam sistem kontrol sosial
yang sudah ada. Argumentasi radikal ialah bahwa pengawasan dari
peradilan pidana dan viktimologi berada di tangan kekuatan dominan
dalam masyarakat yang melihat pendekatan-pendekatan kritis sebagai
ancaman atas posisi status quo kelompok dominan tersebut.
Viktimologi kritis menawarkan berbagai pokok-pokok bahasan
yang menarik dan mengangkat secara potensial mengenai perdebatan-
perdebatan yang mengusulkan pokok-pokok bahasan yang relevan
mengenai korban dan memungkinkan terus dikembangkan di masa-
masa mendatang. Sebagai contoh, diskusi-diskusi socio-kultural tentang
mengapa kekerasan terjadi dan penyidikan terhadap tantangan program-
program terhadap korban.
Gerakan-gerakan yang menyangkut korban dan perlindungannya
tampak antara lain dari “The Women’s Movement” sekitar pertengahan
tahun 1960-an yang memfokuskan kegiatannya pada perlindungan
wanita korban perkosaan dan pelecehan seksual (Children’s Right),
tahun yang sama, memfokuskan diri pada anak-anak korban
penyalahgunaan anak oleh orang dewasa, (Victim Compensation) yang
terarah pada penyusunan metode pemberian ganti rugi pada kerugian
yang diderita korban, dan (Legal Reform) berupa untuk menempatkan
posisi korban baik lewat pemberian peran korban, pemberian ganti
rugi pada korban, pemberian pertolongan pada korban kejahatan dan
sebagainya.

E. Ruang Lingkup Viktimologi


Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan
korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan
korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem
peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan
suatu studi yang bertujuan untuk:
1. Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya
viktimasi;

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 19


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan


manusia.
Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi
bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh
suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah
kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain
dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, dalam
perkembangannya di tahun 1985, Separovic mempelopori pemikiran
agar viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah
atau bencana alam karena korban bencana alam di luar kemauan
manusia (out of man’s will).
Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai objek kajian
viktimologi semakin luas setelah Kongres PBB Kelima di Geneva tahun
1975, Kongres Keenam Tahun 1980 di Caracas, yang meminta perhatian
bahwa korban kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian,
penganiayaan, dan lainnya, tetapi juga kejahatan inkonvensional, seperti
terorisme, pembajakan dan kejahatan kerah putih. Dalam Kongres
PBB Kelima di Geneva tahun 1975 dihasilkan kesepakatan untuk
memerhatikan kejahatan yang disebut sebagai crime as business, yaitu
kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan materiil melalui
kegiatan dalam bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan
secara terorganisasi dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kedudukan terpandang dalam masyarakat, seperti pencemaran
lingkungan, perlindungan konsumen, perbankan dan kejahatan-
kejahatan lain yang biasa dikenal sebagai organized crime, white collar
crime, dan korupsi.
Dalam Kongres PBB Keenam tahun 1980 di Caracas dinyatakan
bahwa kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan merugikan
bukan hanya kejahatan-kejahatan terhadap nyawa, orang, dan harta
benda, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),
sedangkan dalam Kongres PBB Ketujuh tahun 1985, menghasilkan
kesepakatan untuk memerhatikan kejahatan-kejahatan tertentu yang
dianggap atau dipandang membahayakan seperti economic crime,
environmental offences, illegal trafficking in drugs, terrorism,
apartheid, dan industrial crime.

20 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

F. Manfaat Viktimologi
Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu pengetahuan
merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan
ilmu itu sendiri. Dengan demikian, apabila suatu ilmu pengetahuan
dalam pengembangannya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya
praktis maupun teoritis, sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari
dan dikembangkan. Hal yang sama akan dirasakan pula pada saat
mempelajari viktimologi. Dengan dipelajarinya viktimologi, diharapkan
akan banyak manfaat yang diperoleh.
Arif Gosita menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh
dengan mempelajari viktimologi, yaitu sebagai berikut:13
1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang
menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses
viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi.
Akibat pemahaman itu, akan diciptakan pengertian-pengertian,
etiologi kriminal, dan konsepsi-konsepsi mengenai usaha-usaha
yang preventif, refresif, dan tindak lanjut dalam menghadapi dan
menanggulangi permasalahan viktimisasi criminal di berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan.
2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik
tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan
penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya tidaklah untuk
menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan
beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta
hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan
ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap berbagai
macam viktimisasi demi menegakkan keadilan dan meningkatkan
kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak langsung
dalam eksistensi suatu viktimisasi.
3. Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu
mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai
bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan
dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau
nonstruktural. Tujuannya adalah bukan untuk menakut-nakuti,

13
Rena Yulia, Op.cit., hlm. 39.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 21


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

tetapi untuk memberikan pengertian yang baik dan agar


waspada. Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang
meliputi pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana
menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya.
4. Viktimologi juga memerhatikan permasalahan viktimisasi yang
tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia
ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional,
akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi indurstri,
terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali
seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan
untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian, dimungkinkan
menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi
suatu kasus, mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi),
mengatasi akibat-akibat merusak, dan mencegah pelanggaran
kejahatan lebih lanjut (diagnosis viktimologis).
5. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah
penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi
dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan
reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal.
Mempelajari korban dalam proses peradilan kriminal, merupakan
juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia. Manfaat
viktimologi ini pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama dalam
mempelajari manfaat studi korban yaitu:
1. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban
dan perlindungan hukum;
2. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam
suatu tindak pidana;
3. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya
korban.14
Manfaat viktimologi ini dapat memahami kedudukan korban
sebab dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran. Dalam
usaha mencari kebenaran dalam usaha mengerti akan permasalahan
kejahatan, delikuensi dan deviasi sebagai satu proporsi yang sebenarnya
secara dimensional. Viktimologi juga berperan dalam hal penghormatan

14
Ibid., hlm. 40.

22 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai


warga Negara yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama
dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.
Viktimologi bermanfaat bagi kinerja aparatur penegak hukum,
seperti aparat kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Bagi aparat
kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan
kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang
yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban
pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operansi yang biasanya
dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspek-aspek
lainnya yang terkait.
Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara
pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan
diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai
korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.
Bagi kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai organ pengadilan
yang dianggap memahami hukum yang menjalankan tugas luhurnya,
yaitu menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggarakannya Negara Hukum Republik Indonesia, dengan
adanya viktimologi, hakim tidak hanya menepatkan korban sebagai
saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut
memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah
kejahatan atau tindakan pidana sehingga apa yang menjadi harapan
dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkretisasi
dalam putusan hakim. Hakim dapat mempertimbangkan berat ringan
hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat pada
seberapat bersar penderitaan yang dialami oleh korban pada terjadinya
kejahatan, misalnya hakim akan mempertimbangkan hukuman yang
akan dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat pada penderitaan yang
dialami oleh korban akibat perbuatan terdakwa.
Misalnya korban menderita cacat seumur hidup, korban
kehilangan penghasilan, korban kehilangan orang yang salami ini
menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Bahwa hakim yang bijak adalah
yang putusannya merupakan pancaran hati nuraninya, sehingga dapat
dipertanggunjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum, serta dapat
dipahami dan diterima para pencari keadilan pada khususnya dan

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 23


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

masyarakat pada umumnya. Akhirnya, viktimilogi dapat dipergunakan


sebagai pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai kebijakan atau
perundang-undangan yang selama ini terkesan kurang memerhatikan
aspek perlindungan korban.

G. Hubungan Viktimologi dan Kriminologi


Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang kejahatan. Kriminologi berasal dari kata “crimen’’ yang berati
kejahatan atau penjahat dan “logos’’ yang berarti ilmu Pengetahuan,
maka kriminologi dapat berarti ilmu kejahatan atau penjahat. Bonger
dalam Topo Santoso, Eva Acjhani Zulfa memberikan definisi
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelediki
gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger lalu
membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup:15
1. Antropologi Kriminil
Ilmu pengetahuan tentang manusia jahat (somatis). Ilmu
pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertayaan tentang
orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda tanda seperti apa,
apakah ada hubunganya antara suku bangsa dengan kejahatan
dan seterusnya.
2. Sosiologi Kriminil
Ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala
masyarakat. Pokok persoalan yang di jawab oleh bidang ilmu
ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam
masyarakat.
3. Psikologi Kriminil
Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut
jiwanya.
4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil
Ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
5. Penologi Ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukum.

15
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta : Rajawali Pers,
2010), hlm. 9.

24 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Kriminologi juga dapat dibagi berdasarkan ilmu terapan yang


dipergunakan dalam praktek hukum, antara lain: 16
1. Higiene Kriminil
Tujuan yang ingin dicapai bidang ilmu ini adalah untuk
mencegah terjadinya kejahatan. Usaha-usaha pemerintah seperti
menerapkan undang-undang secara konsisten menerapkan sistem
jaminan hidup dan kesejahteraan, dilakukan semata-mata untuk
mencegah timbulnya kejahatan.
2. Politik Kriminil
Usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan
telah terjadi.Di sini dilihat sebab-sebab seseorang melakukan
kejahatan.Bila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang
dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka
lapangan kerja.Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.
3. Kriminalistik (police scientific)
Dimanfaatkan untuk menerapkan teknik pengusutan dan
penyidikan secara scientific.
Sutherland menjelaskan kriminologi mencakup proses-proses
pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran
hukum, yang membagi kriminologi menjadi tiga cabang ilmu, yaitu:17
1. Sosiologi hukum
Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang
dan di ancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa
suatu perbuatan itu adalah kejahatan ialah hukum.
2. Etiologi kejahatan
Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab
musabab dari kejahatan. Dalam kriminologi, etiologi kejahatan
merupakan kajian yang paling utama.
3. Penology
Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan
tetapi Sutherland memasukan hak-hak yang berhubungan dengan
usaha pengendalian kejahatan baik respresif maupun preventif.

16
Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Jakarta : Laskbang
Grafika, 2013), hlm. 14.
17
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa., Op. cit., hlm. 10-11.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 25


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Barda Nawawi Arief menyarankan agar dalam upaya


penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan
kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik
sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan penal dan non-penal.18
Mengenai pengertian kriminologi, terdapat berbagai versi yang
dirumuskan oleh para sarjana, tentu saja menurut sudut pandang
masing-masing. Di bawah ini akan dijelaskan pendapat beberapa sarjana
mengenai pengertian dari kriminologi, yang antara lain:
1. Stephan Hurwitz: kriminologi sebagai bagian dari “Criminal
Science” yang dengan penelitian empiriknya atau nyata berusaha
untuk memberikan gambaran tentang faktor-faktor kriminalitas
(etiology crime)/
2. Whilhem Sauer: kriminologi merupakan ilmu pengetahuan
tentang kejahatan yang dilakukan oleh individu dan bangsa-
bangsa yang berbudaya.
3. J.M.van Bemmelen, kriminologi suatu ilmu yang mencari sebab-
sebab dari kelakuan yang asusila.19
Secara umum, kriminologi bertujuan untuk mempelajari
kejahatan dari berbagai aspek sehingga diharapkan dapat diperoleh
pemahaman tentang fenomena kejahatan yang lebih baik. Menurut
antropolog Prancis P. Topinard (1839-1911), kriminologi merupakan
ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan
seluas-luasnya (kriminologi teoritis/murni). Kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang berdasarkan pengalaman seperti ilmu pengetahuan
lainnya yang sejenis, memerhatikan gejala-gejala dan mencoba
menyelidiki sebab-sebab dari gejala-gejala tersebut (etiologi) dengan
cara-cara yang ada padanya.
Wolfgang, mengemkakan kriminologi adalah kumpulan ilmu
pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan
mempelajari menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan,

18
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,  (Bandung :
PT Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 5-6.
19
Yesmil Anwar Adang, Kriminologi, (Bandung : Refika Aditama, 2013), hlm. 9.

26 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal


yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi
masyarakat terhadap keduanya.20
Kriminologi merupakan sarana ilmiah bagi studi kejahatan
dan penjahat (crime and criminal). Dalam wujud ilmu pengetahuan,
kriminologi merupakan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian dari
berbagai disiplin, sehingga aspek pendekatan terhadap objek studinya
luas sekali, dan secara inter disipliner dari ilmu-ilmu sosial humaniora
serta dalam pengertian yang luas, mencakup pula kontribusi dari ilmu-
ilmu eksakta. Kriminologi tidak seperi ilmu-ilmu teknik, kedokteran,
sastra dan sebagainya, melainkan sebagai ilmu pengetahuan yang dapat
dimanfaatkan oleh penegak hukum, psikhiater, pendidik, ekonom dan
lain-lain.21
Berdasarkan pemaknaan kriminologi di atas, dapat diketahui
bahwa objek kajian atau studi dari kriminologi, meliputi:
1. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan
2. Pelaku kejahatan dan
3. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan
maupun terhadap pelakunya.
Kriminologi, berdasarkan ruang lingkup kajiannya adalah usaha
untuk memahami kejahatan dan berbagai perilaku yang menyimpang,
dan bukanlah sarana yang diterapkan bagi peradilan semata-mata seperti
kriminalistik, melainkan sebagai pure science yang hasil penelitiannya
secara obyektif dapat dimanfaatkan bagi kepentingan praktis, misalnya
sebagi input untuk bahan penyusunan peraturan perundang-undangan
pidana, strategi kepolisisan untuk mencegah kriminalitas tertentu dan
berbagai kegunaan lainnya.22
Berdasarkan fungsinya, maka ilmu kriminologi bertujuan
untuk memberi petunjuk bagaimana masyarakat dalam mencegah
dan memberantas kejahatan. Selain itu, kriminologi juga bertujuan
mengantisipasi dan bereaksi terhadap semua kebijaksanaan di lapangan
hukum pidana, sehingga dengan demikian dapat dicegah kemungkinan

20
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa., Op.cit., hlm. 12.
21
Abintoro Prakoso., Op.cit., hlmam 14.
22
Ibid., hlm. 15.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 27


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

timbulnya akibat-akibat merugikan, baik sipelaku korban, maupun


masyarakat secara keseluruhan.
Soerjono Soekanto dalam Abintoro Prakoso mengemukakan
tujuan kriminologi adalah untuk mengembangkan kesatuan dasar-
dasar umum dan terinci serta jenis-jenis pengetahuan ini diharapkan
akan memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial
guna memberikan sumbangan bagi pemahaman yang lebih mendalam
mengenai prilaku sosial.23
Sementara itu Paul Moedikdo, mengemukakan tujuan mempelajari
kriminologi adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
terhadap penyimpangan norma-norma dan nilai, baik yang diatur dalam
hukumm pidana maupun yang tidak di atur, khususnya prilaku yang
karena sifatnya sangat merugikan manusia dan masyarkat. Dan untuk
memperoleh pemahaman reaksi sosial terhadap penyimpangan itu.24
Kriminologi sebagi ilmu pengetahuan yang mencoba menjelaskan
masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan dan penjahat, dalam
perkembanganya tidak lepas dari bebagai studi yang juga berorientasi
pada ekstsitensi hubungan sosial dan produk yang di hasilkan dari
hubungan sosial yang ada seperti antropologi, sosiologi, psikologi,
kriminalistik serta ilmu hukum pidana. Semakin kompleks pusat
perhatian kriminologi maka semakin bermanfaat pula pemahaman-
pemahaman dari berbagai bidang ilmu dalam hal mengembangkan
kearah penjelasan yang lebih konprensif yang merupakan tugas dari
kriminologi tersebut. Perkembangan teori dan metodelogi pada disiplin
ilmu yang sangat berpengaruh terhadap perkembngan kriminologi
dalam menganalisis kejahatan.25
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat
dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian
kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa
kejahatn yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam pengalaman,
ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan. Kriminologi termasuk
cabang ilmu baru. Berbeda dengan hukum pidana yang muncul begitu
manusia bermasyarakat. kriminologi baru berkembang tahun 1850

23
Ibid., hlm. 21.
24
Yesmil Anwar Adang., Op. Cit., hlm. 56.
25
Ibid., hlm.14.

28 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

bersama-sama sosiologi, antropologi dan psikologi, yang kesemuanya


merupakan ilmu yang mencoba untuk mempelajari gejala/tingkah laku
manusia dalam masyarakat.26
Melalui cabang ilmu kriminologi, maka kajian hukum pidana
pengetahuan mengenai kejahatan menjadi lebih luas. kriminologi
akan memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana
menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan penjahatnya itu
sendiri. “Ilmu hukum pidana dan kriminologi seperti pandangan diatas
merupakan pasangan dwitunggal yang satu melengkapi yang lainya.
Dalam istilah jerman kedua ini dicakup dengan nama die gesammte
strafrechts wissenechaft.”27 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
kriminologi merupakan ilmu yang didalamnya terdapat berbagai teori
yang dapat diterapkan dalam penanggulangan terjadinya kejahatan
atau tindakan menyimpang yang dilakukan oleh anggota masyarakat.28
Intinya kriminologi merupakan ilmu yang menyelidiki kejahatan,
serta aspek-aspek yang menyertai kejahatan tersebut, yakni selain
mengenai pokok-pokok kejahatan yang dilakukan, juga orang-orang
yang melakukan kejahatan tersebut. Akan tetapi, kriminologi tidak
menyelidiki kejahatan dari segi yuridisnya ataupun perumusan jenis-
jenis kejahatan tersebut. Bahasan yang terakhir disebutkan merupakan
bahasan dari bidang hukum pidana.
Kriminologi merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang
usianya relatif muda. Kriminologi baru muncul pada abad ke-19,
bersamaan dengan lahirnya sosiologi. Hal ini disebabkan karena
perhatian khusus mengenai kejahatan hanyalah disinggung sepintas
lalu dalam buku-buku karangan para sarjana terdahulu, seperti pada
buku karangan Van Kan “Les Causes Economiques de la Criminalite”
(1903), yang mengemukakan pendapatnya tentang sebab-musabab
ekonomis kejahatan. Kemudian Havelock Ellis dalam bukunya The
Criminal (1889), Maro dalam bukunya I Caratteri dei Delinquenti
(1887), dan G. Antonini dalam bukunya I Precuri di lambroso (1909)

26
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa., Op.cit., hlm. 3.
27
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm.16.
28
Elly M. Setiadi, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan gejala
Permasalahan Sosial, Teori, Aplikasi dan Pemecahaannya, (Jakarta : Prenada Kencana
Media Group, 2010), hlm. 241.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 29


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

yang mencari pendapat tentang kejahatan menurut antropologi, tetapi


hasilnya sangat kecil.
Begitu pula halnya dengan hasil karya Plato dan Aristoteles yang
membahas mengenai kejahatan dalam hubungannya dengan kehidupan
suatu Negara. Lahirnya kriminologi ditandai dengan munculnya
gerakan-gerakan menentang pemerintahan yang dianggap sewenang-
wenang dalam menerapkan hukum pidana serta hukum acara pidananya,
di mana pada waktu itu hukum pidana diterapkan dengan tujuan
untuk menakut-nakuti masyarakatnya dengan menerapkan hukuman
penganiayaan yang mengerikan. Proses pemeriksaan orang yang
disangka melakukan kejahatan pun sama tidak berperikemanusiaan.
Pemeriksaan tersebut hanya bersifat formalitas saja. Tata cara
pemeriksaannya pun tergantung bagaimana keinginan si pemeriksa
serta dilakukan secara rahasia.
Ketika itu, pengakuan dari si tertuduh dipandang sebagai syarat
pembuktian yang utama. Gerakan penentangan semacam ini muncul
menjelang revolusi Prancis yang pada saat itu kekuasaan raja sangat
absolut. Pada masa itu, orang-orang yang ditengarai melakukan
penentangan terhadap kekuasaan raja langsung dijebloskan ke dalam
penjara Bastille. Penentangan-penentangan semacam ini dikeluarkan
oleh tokoh-tokoh Prancis seperti Montesquieu, Rosseau, dan Voltaire.
Ketiganya menyatakan penentangan kepada tindakan sewenang-
wenang, hukuman yang kejam serta banyaknya hukuman yang
dijatuhkan.
Selain ketiga tokoh tersebut, mulai bermunculan pula pemikiran-
pemikiran tokoh yang menyuarakan penentangan terhadap hukuman
yang berlaku pada saat itu, yang berlaku kejam terhadap penjahat.
Pada tahun 1777 oleh “Oeconomische Gisellschaft” di Bern diadakan
sayembara untuk merencanakan suatu hukum pidana yang baik.
Persertanya di antaranya adalah J.P. Marat (1774-1793) dengan
karangannya Plan de Legislation des lois Crimineles ( 1780), J.P.
Bnrissot de Warville (1745-1793) Theorie des lois Crimineles (1781),
dan juga C. Beccaria (1738- 1794) dengan karangannya Del Delitti e
Delle Pene (1764).
Hasil perjuangan para tokoh tersebut kemudian melahirkan hasil
yang baik. Pada tahun 1780 di Prancis penganiayaan dihapuskan, setelah

30 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

sebelumnya pada tahun 1740, Frederik Agung sudah menghapuskannya


lebih dahulu. Namun, jasa yang sangat besar dari John Howard (1726-
1790) dalam bukunya The State of The Prisons (1777), terutama
mengenai rumah penjara di Inggris dan dalam Cetakan yang belakangan
mengenai kepenjaraan di Negara lain, menunjukkan keadaan yang
menyedihkan baik dari segi kesehatan maupun kesusilaan.
Sekitar tahun 1880 di Amerika karena pengaruh golongan Quaker,
didirikan perkumpulan-perkumpulan yang memerhatikan masalah
kepenjaraan dengan tujuan memberantas akibat-akibat yang sangat
mendesak yang timbul dari adanya penutupan bersama dalam rumah
penjara. Penutupan tersendiri yang akan memberikan kesempatan pada
penjahat untuk memeriksa diri sendiri (dan karenanya menyesal), akan
menggantikan penutupan bersama.
Pada tahun 1786 hukuman mati di Pennsylvania dihapuskan.
Setelah berakhirnya masa penentangan terhadap hukum pidana dan
juga hukum acara pidana, barulah fokus terhadap kejahatan serta
pelakunya dapat terealisasi. Mulailah para ahli meneliti mengenai
kejahatan serta pelaku-pelakunya, hingga lahirnya banyak pemikiran
mengenai kejahatan. Dalam ilmu kriminologi modern dikenal tiga aliran
permikiran untuk menjelaskan gejala kejahatan, yaitu sebagai berikut:
1. Kriminologi Klasik
Dalam hal ini, gambaran tentang kejahatan dan penjahat
pada umunya dipandang dari sudut hukum, kejahatan diartikan
sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana
dan penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan. Orang
melakukan kejahatan sebagai pilihan bebas masing-masing
individu dengan menilai untung ruginya. Untuk mencegah agar
orang tidak melakukan kejahatan, kerugian atau risiko yang harus
ditanggung oleh pelaku harus ditingkatkan (misalnya dengan
ancaman sanksi yang berat atau tinggi). Dengan demikian,
perimbangan antara kerugian atu risiko dengan keuntungan
atau kenikmatan yang akan diperoleh dari kejahatan akan lebih
besar pada risikonya. Dalam kaitan ini, tugas kriminologi adalah
membuat pola dan menguji sistem hukumnya akan meminimalkan
kejahatan.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 31


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

2. Kriminologi Positivis
Aliran pemikiran ini betolak dari pandangan bahwa perilaku
manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik
berupa faktor biologis maupun kultural. Dengan demikian,
manusia tidak bebas untuk menentukan perbuatannya karena
dibatasi dan ditentukan oleh situasi biologis atau kulturalnya.
Aliran positivis ini mengarahkan fokusnya pada usaha untuk
menganalisis sebab-sebab terjadinya kejahatannya melalui studi
ilmiah terhadap cirri-ciri pelaku dari aspek fisik, sosial dan
kulturan.
3. Kriminologi Kritis
Aliran pemikiran ini mulai berkembanga setelah tahun
1960an sebagai pengaruh dari semakin populernya perspektif
labeling. Aliran ini tidak mempersoalkan apakah perilaku
manusia itu bebas atau dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, tetapi
lebih mengarahkan pada proses-proses yang terjadi. Dengan
demikian, aliran ini mempelajari proses-proses dan kondisi yang
memengaruhi pemberian batasan atau pendefinisian kejahatan
pada perbuatan-perbuatan tertentu, orang-orang tertentu, pada
waktu dan tempat tertentu. Pendekatan dalam aliran pemikiran ini
dapat dibedakan antara pendekatan interaksionis dan pendekatan
konflik.
Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan
bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau
dapat pula dikatakan bahwa viktimologi akan membahas bagian-bagian
yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa
viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban
dibahas secara tersendiri. Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk
ilmu viktimologi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang
beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut:
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan
dari kriminologi, diantaranya adalah von Hentig, H. Mannheim dan
Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan
ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan
segala aspkenya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui
penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan

32 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang


melingkupnya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi,
di antaranya adalah Mendelsohn. Beliau mengatakan bahwa
viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori
dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban,
viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu
sendiri. Khususnya mengenai hubungan antara kriminologi dan
hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan
atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan
mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap
penjahat maupun tentang pengertian mengenai timbulnya
kejahatan maupun mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara
pemberantasannya.29
Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran
hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan
perbuatan manusia sebagai suatu gejala sosial adalah kriminologi.30
Menurut pendekatan kriminologi, ada beberapa alasan perlunya korban
kejahatan mendapatkan perhatian, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberikan
perhatian kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan
(offender-centered). Bukti konkret padangan ini adalah
hanya beberapa pasal di dalam KUHAP yang mencerminkan
perlindungan terhadap korban. Pasal-pasal tersebut, antara lain
sebagai berikut:31
a. Pasal 80 KUHAP, permintaan untuk memeriksa sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat
diajukan oleh penyidik atau Jaksa Penuntut Umum, atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri
dengan menyebutkan alasannya.

29
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta : Rineka Cipta, Mei 1993),
hlm. 15
30
Utrecht, E., Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958), hlm. 136.
31
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionisme (Bandung: Putra A. Bardin, 1996), hlm. 17

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 33


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

b. Pasal 108 Ayat (1) Setiap orang yang mengalami, melihat,


menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa yang
merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan
atau pengaduan kepada penyidik atau penyidik, baik lisan
maupun tulisan.
c. Pasal 133 Ayat (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani korban baik luka, keracunan, ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli
lainnya.
d. Pasal 134 Ayat (1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk
keperluan bedah mAyat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik
wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban
e. Pasal 160 Ayat (1b), yang pertama-tama didengar keterangannya
adalah korban yang menjadi saksi.
2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk
memperjelas dan melengkapi penafsiran atas statistik kriminal
(terutama statistik yang terdapat pada kepolisian yang dilakukan
melalui survei tentang korban kejahatan).
3. Masyarakat yang berkembang akan semakin menyadari bahwa di
samping korban kejahatan konvensional (kejahatan jalanan/street
crime) tidak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian
kepada korban kejahatan nonkonvensional maupun korban dari
penyalahgunaan kekuasaan.
Dewasa ini, terdapat kecenderungan bahwa masalah korban
dibahas secara tersendiri dan terperinci dalam ilmu viktimologi dan
bukan merupakan cabang ilmu kriminologi, padahal antara viktimologi
dan kriminologi memiliki hubungan yang berkesinambungan dan saling
memengaruhi satu sama lain. Menurut von Hentig. H. Mannheim
dan Paul Cornil kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang
menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk
korban. Selain itu, viktimologi tidak hanya terfokus kepada korban
itu sendiri, tetapi juga melihat kedudukan kejahatan sebagai penyebab
timbulnya korban, dan sebaliknya peran korban atas terjadinya
kejahatan, sedangkan kejatahan merupakan ruang lingkup kajian

34 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

kriminologi, disinilah terlihat hubungan yang erat antara viktimologi


dengan kriminologi dalam studi tentang korban dan kejahatan.
Dengan demikian, antara viktimologi dan kriminologi terdapat
hubungan erat sebagaimana dihasilkan dalam Simposium Internasional
tahun 1973 di Jerusalem yang merumuskan kesimpulan mengenai
hubungan antara viktimologi dan kriminologi, adalah:
1. Bahwa viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi ilmiah
mengenai para korban;
2. Bahwa kriminologi telah diperkaya dengan suatu orientas
viktimologi.32
Dengan hanya memusatkan perhatian kepada pelaku kejahatan
dengan kejahatannya merupakan penolakan terhadap viktimologi, sebab
antara pelaku dan korban adalah suatu kesatuan akan terjadinya sebuah
kejahatan. Dengan perkataan lain, antara pelaku, korban dan kejahatan
memiliki hubungan yang saling berinteraksi satu sama lain. Di mana
korban juga dapat menjadi faktor penyebab (kriminogen) terjadinya
kejahatan. Oleh sebab itu, antara viktimologi dan kriminologi memiliki
hubungna yang erat, yaitu untuk memahami pelaku kejahatan, kejahatan
dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan, yang juga dilihat dari aspek
korban, sehingga dapat dirumuskan suatu kebijakan yang komprehensif
dalam penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan
berlandaskan pada asas keseimbangan antara kedudukan korban dan
pelaku kejahatan.

H. Hubungan Viktimologi dengan Ilmu Hukum Pidana


Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban,
penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban
yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Sementara itu ilmu hukum adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di
suatu Negara atau masyarakat tertentu, dan hukum dalam hal ini adalah
hukum positif (ius constitutum).33

32
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, hlm. 80.
33
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum (Bandung: Alumni,
2000): Edisi Pertama: Buku I, hlm 1.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 35


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Hukum yang menjadi kajian dari ilmu hukum adalah hukum


yang bertalian dengan kehidupan manusia dalam masyarakat.
Kehidupan masyarakat dalam hal ini adalah proses sosial, tempat
terjadinya pengaruh timbal balik antarberbagai segi kehidupan (politik,
ekonomi, agama, dan sebagainya) sebagai sebuah interaksi yang dapat
berlangsung dalam bentuk komunikasi, konflik, kompetisi, akomodasi,
asimilasi, dan kooperasi. 34 Dalam pembahasan ini, hukum yang
dimaksud adalah hukum pidana. Menurut E.Y. Kanter dan S.R.Sianturi,
Hukum pidana adalah :
Peraturan hukum mengenai pidana. Frasa kata pidana berarti hal
yang dipidanakan, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan
kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya
dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. Selanjutnya
beliau mengemukakan bahwa unsur pokok dari hukum pidana
adalah norma (larangan atau aturan) dan sanksi atas pelanggaran
norma tersebut berupa ancaman hukuman pidana dan yang
terpenting dari pada itu semua ialah bahwa dasar dari segala
hukum ialah rasa keadilan.35
Hukum pidana dapat dibedakan dari berbagai segi, yaitu: hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil yaitu
semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-
tindakan yang mana adalah merupakan tindakan yang dapat dihukum,
siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang
abstrak. Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan
yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat
abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut
jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.36
Aspek kehidupan yang digunakan dalam hal hubungan antara
ilmu hukum dan viktimologi adalah “konflik,” di mana terdapat

34
Zen Zanibar M.Z. “Wilayah Kajian Ilmu Hukum,” dalam : Lex Jurnalica,
Transformasi Ide dan Objektivitas, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Universitas Indonesia Esa Tunggal, No. 1/2004, hlm. 44.
35
E. Y. Kanter & S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 15.
36
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang
Berlaku Di Indonesia, (BandungL PT. Citra Aditya Bakti, 2009) hlm. 10-11.

36 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

konflik, terjadi pertentangan, dan dalam pertentangan pasti terdapat


sebuah viktimasi kriminal, yang berlaku menyeimbangkan dan
mempertahankan perdamaian.37 Sementara itu, bagi viktimologi, dalam
masyarakat terdapat hal yang dapat menyebabkan timbulnya korban dan
akibat-akibat yang timbul bagi korban, yang menjadi suatu fenomena
atau kenyataan sosial.
Suatu kejahatan dapat dipastikan akan menimbulkan korban,
sesuai dengan adagium bahwa “tiada kejahatan tanpa korban”.
Meskipun dalam kejahatan tertentu, adanya ungkapan bahwa tidak
terdapat korban didalamnya, sebab pelaku kejahatan dianggap sekaligus
sebagai korban. Sebagai contoh, dalam tindak pidana penyalahgunaan
narkotika, dimana selain dianggap sebagai pelaku, penyalahguna
narkotika dapat pula dipandang sebagai korban.
Hukum pidana telah merumuskan dan menentukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan tidak boleh dilanggar bagi setiap orang.
Hukum pidana bersifat memaksa, dimana setiap orang wajib untuk
mentaatinya, jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang
telah diatur dalam hukum pidana, maka negara berwenang untuk
menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelakunya.
Pemerintah sebagai refresentasi dari negara berkewajiban pula
mempunyai kewajiban untuk merumuskan, membuat kebijakan
yang komprehensif dalam upaya penanggulangan kejahatan yang
lazim disebut dengan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal dalam
penanggulangan kejahatan, selain upaya refresif berupa penindakan
terhadap pelaku kejahatan, didalamnya terkandung pula upaya
pencegahan, yaitu suatu usaha yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya kejahatan.
Menurut Barda Nawawi Arief upaya atau kebijakan untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk
bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas
dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri
dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan
atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat. Kebijakan
penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana

37
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramita,
1996), Cetakan Keduapuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino, hlm. 11.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 37


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

“penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana khususnya pada


tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan dan mengarah pada
tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu berupa “social welfare”
dan “social defence”.38
Berdasarkan tujuan perumusan kebijakan kriminal tersebut,
dapat dipahami bahwa dalam kebijakan kriminal terkandung pula
upaya perlindungan terhadap korban kejahatan. Di sinilah terlihat jelas
hubungan antara viktimologi dengan hukum pidana, dimana viktimologi
bermanfaat dan berfungsi sebagai dasar pertimbangan dalam
perumusan kebijakan kriminal. Viktimologi dapat dijadikan sebagai
dasar pertimbangan dalam melakukan analisis terhadap pencegahan
kejahatan dan hukuman yang patut diberikan dan diterapkan terhadap
pelaku kejahatan.

38
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta : Prenada Kencana Media Group),
hlm. 77

38 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB III
HUBUNGAN KORBANDENGAN KEJAHATAN
DAN PELAKU KEJAHATAN
A. Pengertian Korban

P emahaman mengenai korban dalam pembahasan mengenai korban


begitu penting dalam menentukan batasan konkret mengenai apa
yang dimaksud dengan korban, sehingga terdapat keseragaman dan
kesamaan cara pandang. Korban kejahatan tidaklah selalu harus berupa
individu atau orang perorangan, tetapi dapat pula berupa kelompok
orang, masyarakat, badan hukum, bahkan Negara. Pada jenis kejahatan
tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya
seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam ini
lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.1 Namun
dalam pembahasan ini, penulis lebih memfokuskan pembahasan pada
korban manusia, baik itu secara individu maupun kelompok.
Para ahli cukup banyak memberikan batasan pengertian tentang
korban, beberapa diantaranya seperti Arif Gosita, Muladi dan lain-lain.
Menurut Arif Gosita pengertian korban adalah sebagai berikut: “korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah atau rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi
yang menderita. Mereka dapat berarti individu atau kelompok baik
swasta maupun pemerintah”.2
Sementara itu, Muladi mengartikan korban sebagai orang-orang
yang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian,
termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau
gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui
perbuatan yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara,
termasuk penyalahgunan kekuasaan.3
1
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Op.cit, hlm. 45-46
2
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1985), hlm. 41
3
Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 108.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 39


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Secara yuridis normatif, pengertian korban dapat dilihat dalam


rumusan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah dilakukan
perubahan (revisi) dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Saksi
dan Korban, menyebutkan: “Korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana”.
Lebih lanjut, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban
Pelanggaran HAM yang Berat, korban adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun.
Memperhatikan beberapa definisi tentang korban di atas,
terkandung adanya beberapa persamaan unsur dari korban, yaitu:
1. Orang (yang menderita).
2. Penderitaan yang sifatnya fisik, mental, ekonomi.
3. Penderitaan karena perbuatan yang melanggar hukum.
4. Dilakukan oleh pihak lain.
Mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat
dikatakan bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan
atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-
perbuatan yang menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi diri/
kelompoknya. Bahkan lebih luas lagi termasuk didalamnya adalah
keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-
orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
Kerugian (harm) menurut Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
40/34 Tahun 1985, meliputi: kerugian fisik atau mental (physical ar
mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian
ekonomi (economic loss), atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi
para korban (substantial impairment of their fundamental rights).
Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa
kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal

40 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas


terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak
dilakukannya suatu pekerjaan. Walaupun yang disebut terakhir lebih
banyak merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja
termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik
secara materiil maupun secara mental.
Lebih lanjut, korban kejahatan dapat pula diklasifikasikan
berdasarkan sifatnya yaitu: ada yang sifatnya individual (individual
victims) dan kolektif (collective victims), korban kejahatan bersifat
langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri dan korban kejahatan
yang bersifat tidak langsung (korban semu/abstrak) yaitu masyarakat,
seseorang, kelompok masyarakat maupun masyarakat luas, selain itu
kerugian korban juga dapat bersifat materiil yang lazimnya dinilai
dengan uang dan yang bersifat immateriil yakni perasaan takut, sakit,
sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya.

B. Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat
untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilih-milih jenis korban
hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut:
1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap
upaya penanggulangan kejahatan;
2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter
tertentu sehingga cenderung menjadi korban;
3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan ransangan
terjadinya kejahatan;
4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban;
5. False victimis, yaitu mereka yang menjadi korban karena
perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki
kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan
dan status korban, yaitu sebagai berikut:
1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya
sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 41


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak


pada pelaku.
2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong
dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkug, di mana
korban juga sebagai pelaku.
3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan
tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik
memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
5. Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan
sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius,
judi, aborsi, prostitusi.
Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu
sebagai berikut:
1. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau
perorangan (bukan kelompok)
2. Secondary victimization,yaitu korban kelompok, misalnya badan
hukum
3. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas
4. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui,
misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu
produk.
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana,
Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe
korban, yaitu sebagai berikut:
1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap
menjadi korban
2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu
yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan untuk tipe
ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya
kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban
anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang

42 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-


orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak
dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung
jawab.
4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku inilah yang dikatakan
sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina,
merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa
korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai
pelaku.

C. Hak dan Kewajiban Korban


Masyarakat hampir setiap hari disungguhkan dengan informasi
tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai
media massa cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan
tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan/ kerugian bagi
korban dan juga keluarganya. Guna memberikan rasa aman dan nyaman
bagi masyarakat dalam beraktifitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini
perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemptif,
preventif maupun refresif, dan semuanya harus ditangani secara
professional oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, maka yang perlu disampaikan
dan diketahui oleh korban adalah mengenai hak-hak apa saja yang
dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari
mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan
yang menimpa diri dan keluarganya. Hak merupakan suatu yang
bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga
tidak, tergantung kondisi yang memengaruhi korban baik yang sifatnya
internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan
(fisik, mental atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa
dirinya, tidak mempergunakan hak-hakyang seharusnya dia terima
karena sebagai alasan, misalnya perasaan takut dikemudian hari
masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena
kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga
lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk
mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 43


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada


timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya
mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak yang
secara umum disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan,
yang meliputi:
1. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang
dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh
pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusus
yang dibentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban
kejahatan.
2. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi
3. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku
4. Hak utnuk memperoleh bantuan hukum
5. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya
6. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis
7. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari
tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan
8. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi
berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban
9. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti
merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Arif Gosita, menjelaskan bahwa hak-hak yang dimiliki oleh
seseorang maupun keluarganya, dalam kedudukannya sebagai korban
kejahatan mencakup:70
1. Mendapatkan ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian
ganti kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi
ganti kerugian pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban
dalam terjadinya kejahatan dan delinkuensi;
2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi
restitusi karena tidak memerlukannya);
3. Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak
korban meninggal dunia karena tindakan tersebut;
4. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi;
5. Mendapat hak miliknya kembali;

44 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pelaku bila melapor


dan menja disaksi;
7. Mendapat bantuan penasihat hukum;
8. Mempergunakan upaya hukum (rechtmidden).
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara
memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak
atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari
korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban
dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai
secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban
kejahatan, antara lain:
1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/
balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan)
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan
terulangnya tindak pidana
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai
terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang
4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu
berlebihan kepada pelaku
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang
menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban
dan keluarganya
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan
dalam upaya penanggulangan kejahatan.
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk
tidak menjadi korban lagi.

D. Pengertian Kejahatan
Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada definisi
baku yang di dalamnya mencakup semua aspek kejahatan secara
komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dilihat dari
aspek yuridis, sosiologis, maupun kriminologis. Munculnya perbedaan
dalam mengartikan kejahatan dikarenakan perspektif orang dalam
memandang kejahatan sangat beragam, di samping tentunya perumusan
kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 45


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dirumuskan. Sebagai contoh kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan


atau korporasi (corporate), telah menimbulkan jenis kejahatan baru
yang disebut kejahatan korporasi (corporate crime).
Kejahatan bukan merupakan peristiwa hereditas (bawaan sejak
lahir, warisan), juga bukan merupakan warisan biologis. Tindak
kejahatan bisa dilakukan siapapun, baik wanita maupun pria, dengan
tingkat pendidikan yang berbeda. Tindak kejahatan bisa dilakukan
secara sadar yaitu difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud
tertentu secara sadar benar. Kejahatan merupakan suatu konsepsi yang
bersifat abstrak, dimana kejahatan tidak dapat diraba dan dilihat kecuali
akibatnya saja.4
Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang
bertentangan dengan moral kemanusian. Kejahatan merupakan suatu
perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan
palng tidak disukai oleh rakyat. Black menyatakan bahwa crime is a
sosial harm that the law makers punishable; the breach of a legal duty
treated as the subject matter of a criminal proceeding, sedangkan Huge
D. Barlow, sebagaimana dikutif oleh Topo Santoso dan Eva A. Zulfa,
menyebutkan kejahatan adalah a human act that violate the crimal law.5
Definisi kejahatan menurut Kartono bahwa secara yuridis formal,
kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral
kemanusiaan (immoril), merupakan masyarakat, asosial sifatnya dan
melanggar hukum serta undang-undang pidana. Kejahatan secara
sosiologis menurut adalah semua ucapan, perbuatan dan tingkah
laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat
merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang
keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-
undang, maupun yang belum tercantum dalam undang-undang pidana).6
Van Bemmelen merumuskan kejahatan adalah tiap kelakuan
yang tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu
banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu sehingga
masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya

4
Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 125.
5
Ibid., hlm. 126.
6
Ibid., hlm. 127.

46 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan


karena kelakuan tersebut. Jika dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan
yang terdapat dalam KUHP, perumusan kejahatan didalam KUHP
adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-
ketentuan KUHP. Sekalipun perumusan kejahatan sangat beragam,
namun pada intinya memiliki kesamaan unsur. Adapun unsur-unsur
kejahatan menurut Kimball, antara lain adalah :
1. An actor
2. With a guilty mind (mens rea)
3. Who causes
4. Harm
5. In particular way or setting, and
6. A lawmaker who has decreed that these circumstances expose the
actor to imposition of fine, imprisonment, or death as a penalty.7
Pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap” yang
diberikan masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak
layak atau bertentangan dengan norma-norma atau kaidah-kaidah
yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, ukuran untuk
menentukan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan atau bukan
adalah “apakah masyarakat secara umum akan menderita kerugian
secara ekonomis serta perbuatan tersebut secara psikologis merugikan
sehingga di masyarakat muncul rasa tidak aman dan melukai perasaan.
Ukuran pertama dalam menentukan apakah suatu perbuatan
merupakan kejahatan atau bukan adalah norma-norma yang hidup dan
dianut oleh masyarakat setempat, tentunya sukar untuk menggolongkan
jenis-jenis perbuatan yang dapat disebut dengan kejahatan. Kesukaran
ini muncul sebagai dampak dari adanya keberagaman suku dan budaya.
Bagi suatu daerah suatu perbuatan mungkin merupakan sebuah
kejahatan, tetapi di daerah lain perbuatan tersebut bisa saja tidak
dianggap sebagai kejahatan.
Sebagai contoh dalam budaya Madura, membunuh orang sebagai
bentuk balas dendam yang lazim dikenal dengan sebutan carok, tentunya

7
Kimball, Edward L., “Crime: Definition of Crime,” dalam: Sanford H. Kadish
(ed), Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press: A Division of
Macmillan Inc., 1983), Volume 1, hlm. 302.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 47


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

lebih merupakan sebuah upaya membela harkat dan martabat keluarga


daripada disebut sebagai upaya pembunuhan sehingga ketika carok
dilakukan oleh seseorang, pihak keluarga pelaku menganggap tindakan
tersebut sebagai sebuah sikap “pahlawan.” Namun, kita tidak boleh
digiring kearah pendikotomian antara budaya dan kejahatan. Kejahatan
tetaplah kejahatan, tidak boleh dilegalkan dengan mengatasnamakan
adat dan budaya karena kejahatan tetap saja merupakan suatu perbuatan
yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh aksi kejahatan yang
selalu menimbulkan korban, baik secara finansial atau materiil, secara
fisik maupun psikis, tampak jelas digambarkan oleh Von Hentig dalam
bukunya Crime, Causes, and Conditions (1947), dikatakan bahwa pada
tahun 1941 saja, kerugian secara materiil diderita oleh 28.500.000
penduduk dari 231 kota di Amerika Serikat bisa mencapai $ US
13.000.000. Kerugian ini pun hanya merupakan angka dari tiga jenis
kejahatan saja, yaitu perampokan, pencurian dengan kekerasan, serta
pencurian biasa. Angka ini belum lagi ditambah dengan biaya yang
harus dikeluarkan untuk membiayai tugas kepolisian, kejaksaan serta
kehakiman berserta aparatur lainnya yang berhubungan.8
Sebagai perbandingan, di Indonesia akibat dari terjadinya kasus
peledakan bom di Legian Bali pada 12 Oktober Tahun 2002 (Bom Bali
I), kerugian yang diderita adalah korban jiwa lebih kurang 192 orang,
korban luka-luka sebanyak kurang lebih 161 orang, menghancurkan
bangunan Sari Club dan Paddy’s Pub, dan merusakkan bangunan lainnya
berjumlah kurang lebih 422 unit, serta merusak fasilitas publik. Kerugian
ini belum termasuk pembatalan paket-paket wisata asing dan domestik
yang akan berkunjung ke Bali dan ke daerah-daerah Indonesia lainnya
serta perekonomian nasional yang mengalami penurunan secara drastis.
Di samping pengertian kejahatan sebagaimana diuraikan di atas,
dalam kriminologi dikenal pula apa yang disebut dengan kejahatan
tanpa korban (victimless crime). Menurut Black, victimless crime
adalah: “A criem is considered to have no direct victim. Because only
consenting adults are involved. Examples are possession of drugs,

8
W. A. Bonger dan G.h. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen,
Pengantar Tentang Kriminologi (Jakarta: PT Pembangunan, 1995), Cetakan ketujuh,
hlm. 23.

48 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

deviant sexual intercourse between consenting adults, and prostitution.


Victimless crime tidak menimbulkan keluhan di masyarakat kecuali
pihak penegak hukum seperti polisi, sebagaimana dikatakan Frase:
“The practical arguments against Victimless crime appear to derive
from there attributes of these offenses:
a. Most involve no complaining parties other than police officers.
b. Many involve the exchange of prohibited goods or services that
are strongly desired by the participants
c. All seek to prevent individual or sosial harms that are widely believed
to be less serious than the harms involved in crimes with victims.9
Kejahatan tanpa korban (victimless crime) biasanya terjadi pada
tindak pidana narkotika, perjudian, prostitusi, pornografi, di mana
hubungan antara pelaku dan korban tidak kelihatan akibatnya. Tidak
ada korban sebab semua pihak adalah terlibat dalam kejahatan tersebut.
Namun demikian, jika dikaji secara mendalam, istilah kejahatan tanpa
korban (victimless crime) ini sebetulnya tidak tepat karena semua
perbuatan yang masuk ruang lingkup kejahatan pasti mempunyai korban
atau dampak baik secara langsung maupun tidak langsung, atau dalam
bahasa agamanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan ini lebih banyak
mudharatnya daripada manfaatnya.10

E. Hubungan Korban Dengan Kejahatan, dan Pelaku Kejahatan


Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya
suatu kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain
menjadi korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker
bahwa hubungan antara korban dan pelaku, adalah hubungan sebab
akibat. Akibat perbuatan korban, yaitu suatu kejahatan dan korban yang
menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus
menderita karena kejahatan.11

9
Richard Frase, “Victimless Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed.),
Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press: A Division of
Macmillan Inc., 1983), Volume 4, hlm. 1608.
10
Tutty Alawiyah, A.S, kata sambutan dalam buku Tindak Pidana Narkotika dari
Moh Taufik Makarao, et.al (Jakarta: Ghlmia Indonesia, 2003), hlm. vii.
11
Samuel Walker, Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide, (Monterey-
California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985) hlm. 145.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 49


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Kerugian yang dialami oleh korban akibat terjadinya suatu


kejahatan tidak selalu berupa kerugian materiil, atau penderitaan fisik
saja, tetapi yang paling bersar pengaruhnya adalah kerugian atau dampak
psikologis. Korban kejahatan bisa terus merasa dibayang-bayangi oleh
kejahatan yang telah menimpanya yang dapat menghalanginya untuk
beraktivitas dalam kehidupannya sehari-hari.
Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan
masyarakat, semua warga Negara berpartisipasi penuh atas terjadinya
kejahatan sebab masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem
kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Tanpa
kepercayaan ini, kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik
sebab tidak ada patokan yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercayaan
terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur
organisasional.
Kartini Kartono menjelaskan bahwa suatu kejahatan berdasarkan
objek hukum yang diserangnya, dapat dibagi dalam beberapa bentuk,
yaitu:
1. Kejahatan ekonomi, seperti: freud, penggelapan, penyelundupan,
perdagangan barang-barang terlarang, penyuapan, monopoli
tertentu, dan lain-lain.
2. Kejahatan politik dan pertahanan keamanan, pelanggaran
ketertiban umum, pengkhianatan, penjualan rahasia-rahasi
negara, penghinaan terhadap martabat pemimpin negara, atau
berkolaborasi dengan musuh, dan lain-lain.
3. Kejahatan kesusilaan, pelanggaran seks, perkosaan, fitnah.
4. Kejahatan terhadap jiwa orang dan harta benda.12
Bagi korban kejahatan, dengan terjadinya kejahatan yang menimpa
dirinya tentu akan menghancurkan sistem kepercayaan tersebut. Dengan
kata lain, dapat merupakan suatu bentuk trauma kehilangan kepercayaan
terhadap masyarakat dan ketertiban umum, yang berwujud menculnya
gejala-gejala rasa takut, gelisah, rasa curiga, sisnisme, depresi, kesepian,
dan berbagai perilaku penghindaran yang lain.
Sebagai contoh seorang wanita korban kekerasan dalam rumah
tangga, khususnya yang mengalami kekerasan dalam hubungan intim.

12
Kartini Kartono, Op.cit., hlm. 152.

50 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa


takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala
tindaktanduknya. Bahkan, ketakutan dapat mengganggu pola tidurnya,
memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur
dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur dan
obat penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya.
Bahkan, akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka
mulut, atau bila ia berusaha meninggalkan lelaki itu.
Kadang kala, hubungan antara korban dan pelaku kejahatan
seringkali bersifat personal. Hal ini dapat ditemui dalam berbagai jenis
kejahatan yang melibatkan keluarga atau yang terjadi dalam rumah
tangga. Pada jenis kejahatan semacam ini, seringnya terjadi kontak
dengan pelaku akan semakin menambah ketakutan dari korban untuk
mengambil tindakan. Apabila korban mengambil tindakan dengan cara
melaporkan kepada pihak lain tentunya akan mengundang kemarahan
tidak hanya kemarahan pelaku, tetapi juga dari pihak lainnya. Oleh
karena itulah, perlindungan terhadap korban sangat diperlukan, tidak
hanya dari si pelaku itu sendiri, melainka juga dari pihak-pihak yang
cenderung tidak menyukai korban maupun perbuatan korban dengan
melaporkan pelaku.
Studi mengenai kejahatan, dapat dipastikan kejahatan selalu
akan menimbukan korban. Dengan demikian, korban adalah partisipasi
utama, meskipun pada sisi lain dikenal pula kejahatan tanpa korban
“crime without victim”, misalnya penyalahgunaan obat terlarang,
perjudian, aborsi. Akan tetapi kejahatan yang tidak menimbulkan
korban tersebut dapat diartikan tetap menimbulkan korban yaitu korban
menyatu sebagaipelaku
Pihak korban yang mempunyai status sebagai partisipan pasif
maupun aktif dalam suatu kejahatan, memainkan berbagai macam
peranan yang mempengaruhi terjadinya kejahatan tersebut. Pelaksanaan
peran korban dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, baik
langsung atau tidak langsung. Pengaruh tersebut hasilnya tidak selalu
sama pada korban. Hentig beranggapan bahwa peranan korban dalam
menimbulkan kejahatan adalah:
1. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh korban untuk
terjadi;

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 51


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

2. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan korban untuk


memperoleh keuntungan yang lebih besar;
3. Akibat yang merugikan korban mungkin merupakan kerjasama
antara pelaku dan korban;
4. Kerugian akibat tindakan kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila
tidak ada provokasi dari korban.
Berdasarkan studi kriminologi, terkadang korban memiliki
peran atau andil dalam terjadinya kejahatan. Peranan korban disini
lazim disebut faktor kriminogen, faktor yang mendorong terjadinya
kejahatan yang berasal dari korban itu sendiri. Korban kejahatan dalam
keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung,
telah mendorong pelaku untuk melakukan kejahatan terhadap dirinya
(korban).
Korban dalam situasi dan kondisi tertentu dapat pula mengundang
pihak pelaku untuk melakukan kejahatan pada dirinya akibat sikap
dan tindakannya. Dalam hal ini, antara pihak korban dan pelaku tidak
ada hubungan sebelumnya. Misalnya, pihak korban bersikap dan
bertindak lalai terhadap harta miliknya (meletakkan atau membawa
barang berharga, tanpa mengusahakan pengamanannya) sehingga
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengambil harta
bendanya tersebut.
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana,
Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe
korban, yaitu:
1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap
menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada padapelaku.
2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu
yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan.
Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam
terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku
dankorban.
3. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.
Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang
miskin, golongan minotitas dan sebagainya merupakan orang-orang
yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat
disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

52 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang dikatakan


sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina,
merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa
korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai
pelaku. Peranan korban akan menentukan hak untuk memperoleh
jumlah restitusi, tergantung pada tingkat peranannya terhadap
terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, demikian juga dalam
proses peradilan pidana.
Antara korban dan pelaku mungkin sudah pernah ada hubungan
sebelumnya. Hubungan bisa terjadi karena saling mengenal, mempunyai
kepentingan bersama, tinggal bersama di suatu tempat atau daerah, atau
karena kegiatan bersama. Hubungan ini tidak perlu berlangsung terus
menerus, tidak juga harus secara langsung.Dalam hubungan ini situasi
dan kondisi pihak korban serta pihak pelaku adalah sedemikian rupa
sehingga pihak pelaku memanfaatkan pihak korban untuk memenuhi
kepentingan dan keinginannya berdasarkan motivasi serta rasionalisasi
tertentu (bahkan kadang-kadang melegitimasi tindakan jahatnya atas
motivasi dan rasionalisasi tersebut).
Keterkaitan antara pihak pelaku dan korban kejahatan nampaknya
dipengaruhi oleh perkembangan aliran kriminologis modern yang
melihat pelaku kejahatan tidak lagi sebagai pelanggar hukum
semata-mata, begitu pula halnya dengan korban. Menurut Drapkin,
kecenderungan pelaku kejahatan atau pelanggar hukum dianggap
sebagai korban dari tindakannya, dan korban dianggap sebagai pelaku
dari pelanggaran yang mengorbankan dirinya.
Kejahatan adalah suatu hasil interaksi, karena adanya interrelasi
antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Pelaku dan korban
kejahatan berkedudukan sebagai partisipan, yang terlibat secara aktif
atau pasif dalam suatu kejahatan. Masing-masing memainkan peran
yang penting dan menentukan. Korban membentuk pelaku kejahatan
dengan sengaja atau tidak sengaja berkaitan dengan situasi dan kondisi
masing-masing (relatif), dimana antara korban dan pelaku kejahatan
ada hubungan fungsional. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh E.
Kristi Poerwandari, hubungan antara pelaku dengan korban sangat
beragam pelaku, dapat berupa:13

13
Ibid., hlm. 154.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 53


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

1. Orang asing/tidak saling kenal; suami; pasangan hubungan intim


lain (pacar, tunangan, bekas suami, dan lain-lain); kenalan/teman;
anggota keluarga inti dan/atau luas; teman kerja;
2. Orang dengan posisi otoritas; atasan kerja/majikan; guru/dosen/
pengajar; pemberi jasa tertentu (konselor, dokter, pekerja sosial,
dan lain-lain);
3. Negara dan/atau wakilnya polisi/anggota militer, dan pejabat
(individu dalam kedudukan sebagai pejabat).
Umumnya hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak
yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan, sebagaimana ungkapan
pribahasa yang mengatakan tidak akan ada asap, jika tidak ada api.
Artinya, terjadinya kejahatan tentunya karena adanya faktor penyebab
dan musabab. Hal lain yang disepakati dalam hubungan ini ialah
bahwa korban adalah pihak yang dirugikan. Pelaku merupakan pihak
yang mengambil untung atau merugikan korban. Kerugian yang
sering diterima atau diderita korban (lihat pengertian-pengertian
korban), misalnya, fisik, mental, ekonomi, harga diri dan sebagainya.
Ini berkaitan dengan status, kedudukan, posisi, tipologi korban dan
sebagainya.
Uraian tersebut menegaskan bahwa korban “murni” dari
kejahatan. Artinya korban memang korban yang sebenar-benarnya dan
senyata-nyatanya menjadi korban. Di mana korban tidak bersalah hanya
semata-mata sebagai korban. Mengapa menjadi korban, kemungkinan
penyebabnya dikarenakan kealpaan, ketidaktahuan, kekurang hati-
hatian, kelemahan korban atau mungkin nasih apes yang memang
menimpa korban. Korban dapat pula disebabkan karena kelalaian dan
kelemahan negara dalam melindungi warganya.
Perkembangan global, faktor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun
faktor-faktor negatif yang lain, memungkinkan adanya korban yang
tidak “murni”. Di sini korban tersangkut atau menjadi bagian dari
pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya. Lebih mendalam
tentang masalah ini, Hentig seperti dikutip Rena Yulia, beranggapan
bahwa korban memiliki peran dalam timbulnya kejahatan, yaitu:14
a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk
terjadi;
14
Rena Yulia, Op.cit., hlm. 81.

54 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

b. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban


untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar;
c. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama
antara si pelaku dan si korban;
d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila
tidak ada provokasi si korban.
Hubungan korban dengan kejahatan dan pelaku kejahatan juga
dapat diidentifikasi berdasarkan tingkat kesalahannya. Berdasarkan
derajat kesalahannya, korban dapat dibedakan dalam 5 (lima) macam,
yaitu:15
a. Yang sama sekali tidak bersalah;
b. Yang menjadi korban karena kelalaiannya;
c. Yang sama salahnya dengan pelaku;
d. Yang lebih bersalah daripada pelaku;
e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini
pelaku dibebaskan).
Sebenarnya banyak hubungan korban dengan pelaku, di antaranya
juga dapat dikaji melalui hubungan darah, persaudaraan, famili, ataupun
kekeluargaan. Misalnya pencurian dalam keluarga, pelecehan seksual
dan bahkan penganiayaan atau pembunuhan untuk memperebutkan
harta waris serta kekuasaan/dalam pengaruh keluarga. Sejenis hubungan
ini atau hubungan orang-orang dekat pelaku ataupun korban seperti
teman, sahabat, pacar, rekan bisnis dan sebagainya.
Selain itu, hubungan korban dengan kejahatan dan pelaku
kejahatan dapat pula diidentifikasi berdasarkan hubungan dengan
sasaran tindakan pelaku, yaitu sebagai berikut:16
a. Korban langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi
sasaran atau objek perbuatan pelaku.
b. Korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak
secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga
mengalami penderitaan atau nestapa. Pada kasus pembunuhan
terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab

15
Bambang Waluyo, Viktimilogi, Perlindungan Korban & Saksi, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2014), hlm. 19.
16
Ibid., hlm. 20.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 55


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki


tersebut merupakan korban langsung. Sedangkan istri dan
anaknya itu merupakan korban tidak langsung.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar korban merupakan
korban yang murni atau senyatanya. Korban-korban dimaksud terjadi
dalam tindak pidana misalnya, terorisme, pencurian (biasa, pemberatan
dan kekerasan), dan tindak pidana lain yang sering terjadi di masyarakat.
Korban di sini dalam posisi pasif, tidak menjadi faktor-faktor penyebab
terjadinya tindak pidana. Pihak pelaku yang menghendaki penuh
kejahatannya dan korban yang menjadi sasaran atau tujuan kejahatan
tersebut. Dengan demikian, umumnya berdasarkan derajat kesalahan
korban adalah “yang sama sekali tidak bersalah”.
Diakui memang pada sebagian peristiwa kejahatan adapula peran atau
andil dari korban ikut dalam terjadinya kejahatan. Derajat kecilnya peran
korban, misalnya korban lalai, sehingga muncul atau terjadi tindak pidana.
Dapat terjadi pula dalam hal korban menarik perhatian pelaku, misalnya
korban menyukai memperlihatkan kekayaannya, overacting, atau perilaku
lain yang dapat menggugah pelaku melakukan tindak pidana.
Kejahatan dapat pula terjadi karena dorongan dari korban itu
sendiri, misalnya seorang perempuan yang sering berpakaian atau
berperilaku seksi dan merangsang atau tidak sopan. Bukan saja ikut
andil, sering terjadi korban “sama salahnya dengan pelaku”. Dalam
hal tertentu, terkadang korban berpura-pura menjadi korban, padahal
sebenarnya ia adalah pelaku kejahatan itu snediri. Misalnya pelaku bom
bunuh diri, seorang penjaga barang atau uang yang melaporkan terjadi
kejahatan padahal yang bersangkutan turut serta dalam kejahatan itu
(pagar makan tanaman) dan sebagainya.
Di luar daripada itu, dalam kondisi tertentu terdapat pula
hubungan antara korban dengan kejahatan dan pelaku, di mana korban
dan pelaku merupakan “dwi tunggal”. Dalam kondisi ini korban dan
pelaku adalah tunggal atau satu, dimana pelaku adalah korban dan
korban adalah pelaku. Hubungan yang demikian dapat dilihat pada
tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh pemakai (drug users).
Dalam penyalahgunaan narkotika terkadang sangat sulit membedakan
mana pelaku dan mana yang disebut sebagai korban, bahkan oleh
sebagian ahli menyatakan bahwa jenis kejahatan narkotika adalah
kejahatan tanpa korban.

56 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB IV
HAK-HAK KORBAN KEJAHATAN
DALAM HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hak-Hak
Korban Kejahatan

K ebijakan hukum pidana berkaitan erat dengan perumusan suatu


perbuatan yang dianggap melanggar hukum atau nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat ke dalam suatu peraturan perundang-undangan
yang dalam ilmu hukum disebut dengan kebijakan kriminal (criminal
policy). Barda Nawawi Arief menjelaskan, kebijakan hukum pidana
adalah:
Suatu konsep atau asas dalam menentukan perbuatan apa yang
dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan
hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Kebijakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk
dalam kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal sangat luas,
meliputi kebijakan sosial (social policy) dan kesejahteraan
sosial (sosial welfare policy) dan kebijakan untuk perlindungan
masyarakat (social defence policy).1
Kebijakan kriminal merupakan bagian dari upaya perlindungan
terhadap masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari kebijakan
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Sudarto, mengemukakan tiga arti mengenai
kebijakan kriminal yaitu: 
1. Dalam arti sempit, adalah keseluruhan asas dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
berupa pidana.
2. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

1
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Prenada Kencana Media Group,
2011), hlm. 76.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 57


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

3. Dalam arti paling luas (diambil dari Jorgen Jepsen), adalah


keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-
undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.2
Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi menyatakan
bahwa penal policy (kebijakan hukum pidana), adalah: ”Suatu ilmu
sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik
dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-
undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan”.3
Lebih lanjut, A. Mulder dalam Barda Nawawi mengemukakan
bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan:
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
dilakukan perubahan atau diperbaharui. 
2. Apa yang diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan. 
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.4 
Kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian
yang penting dari kebijakan kriminal. Penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan
hukum. Dengan perkataan lain, pembuatan undang-undang (hukum)
pidana merupakan bagian dari usaha perlindungan masyarakat. Dalam
arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup
kebijakan di bidang hukum pidana materil. Sebagaimana pendapat
yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam Abdul Latief, yang
menjelaskan bahwa:
Politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu

2
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta :
Prenada Kencana Media Group, 2007). hlm. 1
3
Ibid., h. 23.
4
Ibid., h. 28.

58 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dalam masyarakat. Secara substansial politik hukum diarahkan


pada hukum yang seharusnya berlaku (Ius constituendum). Politik
hukum menurut Muchtar Kusumatmadja, adalah kebijakan
hukum dan perundang-undangan dalam rangka pembaruan
hukum. Proses pembentukan hukum harus dapat menampung
semua hal yang relevan dengan bidang atau masalah yang hendak
diatur dalam undang-undang itu, apabila perundang-undangan itu
merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif.5
Kebijakan hukum pidana, berarti cara untuk bertindak atau
kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana
dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi
kejahatan. Pemerintah, dalam menanggulangi kejahatan memiliki
berbagai macam cara, yang salah satu diantaranya adalah melalui
kebijakan hukum pidana. Hal ini sesuai dengan definisi dari kebijakan
atau politik hukum pidana yang menurut Sudarto, politik hukum adalah:
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang
baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Sudarto dalam Aloysius Wisnubroto menyatakan bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.6 Politik hukum
pidana berarti pula sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Kata
sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi
yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu
sanksi apa yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana.

5
Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, (Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2011),
hlm. 24.
6
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1999), h. 11.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 59


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Kriminalisasi dan penaliasi menjadi masalah sentral yang untuk


penanganannya diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan
(policy oriented approach). Kriminalisasi (criminalisation) mencakup
lingkup perbuatan melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban
pidana (mens rea) maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa
pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).
Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai
menimbulkan kesan refresif yang melanggar prinsip ultimum remedium
dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi
yang berlebihan (over criminalisation), yang justru mengurangi wibawa
hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula
oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk
kepentingan penyidikan dan penuntutan. Berkaitan dengan kebijakan
kriminaliasasi, menurut Sudarto bahwa perlu diperhatikan hal-hal yang
intinya sebagai berikut:7
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil
makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan dengan
Pancasila; sehubungan dengan ini (penggunaan) hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
(materiil dan sprituil) atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
biaya dan hasil (cost and benefit principle);
4. Penggunanan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badn penegak hukum yaitu
jaringan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Hal lain yang diperlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan
hukum pidana adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin
dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Bassiouni sebagaimana

7
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 23.

60 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dikutip oleh Teguh Prasetyo, bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh
hukum pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan
sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi.
Kepentingan-kepentingan sosial tersebut adalah:8
1. Pemeliharaan tertib masyarakat;
2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau
bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh
orang lain;
3. Memasyarakatkan kembali (rasionalisasi) para pelanggar hukum;
4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-
pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat
kemanusian dan keadilan individu.     
Tahap aplikasi kebijakan hukum pidana dapat diterapkan
dalam 2 (dua) bentuk, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non
penal. Penerapan kedua bentuk kebijakan hukum ini berkaitan
erat dengan penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat.
Barda Nawawi Arief, menyatakan masalah kebijakan hukum pidana
bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan
yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik
dogmatik. Di samping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa
pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya
dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan
nasional pada umumnya.9
Menurut Barda Nawawi, pola hubungan antar kebijakan hukum
pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau
mengatakan bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus
dilakukan denga pendekatan integral dan ada keseimbangan antara
penal dan non penal.10 Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan
sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement
policy, yang dapat dilakukan dengan fungsionalisasi kebijakan hukum
pidana yang dilakukan melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi

8
Teguh Prasetyo dan Abdul Hlmim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian
Kebijjakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 51.
9
Barda Nawawi Arief, Op.cit., h. 24.
10
Ibid., h. 36.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 61


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

(kebijakan legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan Eksekusi


(kebijakan Administratif).
Sementara itu, pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan
sarana non penal merupakan usaha rasional untuk mengendalikan atau
menanggulangi kejahatan, dalam hal ini adalah kejahatan perdagangan
orang. Sehingga pencegahan terjadinya kejahatan perdagangan orang
tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana),
tetapi dapat pula dengan menggunakan sarana-sarana yang non-penal.
Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap terjadinya
kejahatan. Upaya preventif yang di maksud adalah upaya yang
dilakukan sebelum terjadinya suatu kejahatan, dengan cara menangani
faktor-faktor pendorong terjadinya kejahatan tersebut, yang dapat
dilaksanakan dengan beberapa cara:11
1. Cara Moralistik
Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah
dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
2. Cara Abolisionik
Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu
kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali
sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan kepada usaha-usaha
untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Dilihat dari sudut pandang politik kriminal, keseluruhan kegiatan
preventif non penal mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam
pencegahan terjadinya kejahatan. Oleh karena itum kebijakan kriminal
harus dapat mengintegrasikan seluruh kegiatan preventif kedalam sistem
kegiatan Negara yang teratur, termasuk dalam mengintegrasikan hak-
hak korban kejahatan dalam penegakan hukum pidana.
Upaya penanggulangan kejahatan dan perlindungan hukum
terhadap masyarakat melalui kebijakan kriminal dilakukan dengan
cara merumuskan peraturan perundang-undangan oleh pembuat
undang-undang (legislatif). Dengan demikian, kebijakan perlindungan
korban kejahatan hakekatnya merupakan bagian integral yang tidak

11
Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi
Kasus, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005) hlm. 6.

62 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dapat dipisahkan dari kebijakan hukum pidana. Berdasarkan konsep


tersebut, maka peran Negara guna meciptakan suatu kesejahteraan sosial
sebagaimana amanat UUD 1945 dan Pancasila, tidak hanya terbatas
pada pemenuhan kebutuhan-kebutuan materiil dari warga negaranya,
tetapi lebih dari itu, diperlukan penegakan hukum yang mempunyai
aspek perlindungan kepada korban kejahatan guna terpenuhinya rasa
keadilan dan kepastian hukum dalam kehidupan bernegara. Kebijakan
hukum pidana yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap
korban dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan
yang akan diuraikan pada subbab berikutnya.

B. Pengaturan Hak-Hak Korban Kejahatan


Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”,
makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, oleh karena tiap anggota
masyarakat mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain.12
Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu
melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dan hubungan hukum
(rechtsbetrekkingen) tiap-tiap perbuatan hukum tersebut membutuhkan
perlindungan hukum atau perlindungan dari hukum. C.S.T. Kansil,
menjelaskan:
Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan,
dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan
yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan
kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai
subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan
kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.13
Perlindungan hukum menurut Solly Lubis adalah ”perlindungan yang
diberikan oleh hukum (legal protection) terhadap sesuatu status (kedudukan)
ataupun hak, misalnya: hak milik, hak pilih, hak berusaha, hak khusus
warga negara, dan sebagainya”.14 Dengan demikian, perlindungan hukum
erat kaitannya dengan kepastian hukum, yakni kejelasan peraturan hukum
mengenai hak, kewajiban dan status seseorag atau suatu badan hukum.

12
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016), hlm. 49.
13
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 2006), hlm. 102.
14
Solly Lubis, Serba Serbi Politik Hukum, (Medan : Soft Media, 2009), hlm. 54.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 63


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Kepastian hak, kewajiban dan kepastian status ini mendatangkan ketertiban,


karena dengan adanya kejelasan seperti diatur oleh hukum, maka seseorang
tahu benar-benar bagaimana status atau kedudukannya, seberapa jauh hak
maupun kewajibannya dalam kedudukan tersebut.
Beberapa faktor yang tidak menunjang kepastian dan perlindungan
hukum, antara lain:
1. Sikap tidak responsif dari pembuat aturan hukum, baik
perencanaan (drafting), maupun pembuat keputusan (decision)
dan akhirnya pelaksanaan (enforcement) serta penindakan setiap
pelanggarannya (punishment).
2. Tiadanya kesadaran dan ketaatan yang sesungguhnya dari semua
pihak, baik pihak pencari keadilan maupun pihak aparat sebagai
penegak keadilan, serta warga masyarakat seluruhnya.
3. Sikap tidak adil dan obyektif dari aparat penegak hukum dan
penegak keadilan.15
Dari pengertian perlindungan hukum di atas, dapat dipahami
bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan oleh
hukum (legal protection) terhadap sesuatu status (kedudukan) ataupun
hak, misalnya: hak milik, hak pilih, hak berusaha, hak khusus warga
negara, dan sebagainya. Perlindungan hukum erat kaitannya dengan
kepastian hukum, maka dari itu perlindungan hukum hanya dapat
dicapai apabila telah ada aturan hukum yang mengatur tentang hak-
hak individu, atau kelompok dalam suatu aturan perundang-undangan.
Demikian pula halnya dengan perlindungan terhadap korban, adanya
aturan (regulasi) yang mengatur hak-hak korban akan memberikan
kepastian hukum terhadap hak-hak korban, berupa substansi hukum
yang mengatur tentang hak-hak korban, lembaga dan tata cara
pelaksanaan hak-hak korban, dan keberlakuan aturan hukum yang
mengatur tentang pelaksanaan hak-hak korban.
Upaya penanggulangan kejahatan dan perlindungan hukum
terhadap masyarakat melalui kebijakan kriminal adalah merumuskan
peraturan perundang-undangan oleh pembuat undang-undang (legislatif).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan perlindungan pada
korban kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral yang tidak
dapat dipisahkan dari kebijakan hukum pidana.
15
Ibid., h. 56.

64 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Berdasarkan konsep tersebut, peran Negara guna meciptakan


suatu kesejahteraan sosial sebagaimana amanat UUD 1945 dan
Pancasila, tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan-kebutuan
materiil dari warga negaranya, tetapi lebih dari itu, diperlukan
penegakan hukum yang mempunyai aspek perlindungan kepada korban
kejahatan guna terpenuhinya rasa keadilan dan kepastian hukum dalam
kehidupan bernegara. Kebijakan hukum pidana yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap korban kejahatan dapat dilihat dalam
beberapa Undang-Undang, diantaranya:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHP memberikan perlindungan kepada korban berupa
penggantian kerugian yang diderita korban oleh pelaku melalui
ketetapan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat atau sebagai
pengganti pidana pokok. Sekalipun KUHP mencantumkan aspek
perlindungan korban kejahatan berupa pemberian ganti kerugian,
namun ketentuan ini tidak luput dari berbagai kendala dalam
pelaksanaannya, yaitu:
a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai
sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, jadi
hanya sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakannya atau
dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana.
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapat
diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu
tahun atau pidana kurungan.
c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya
bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana atau KUHAP
Selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan dengan
diperiksa dan diadilinya pelaku kejahatan, telah melindungi
korban kejahatan secara tidak langsung karena pelaku kejahatan
tidak akan lagi mengganggu masyarakat/korban, namun pelaku
kejahatan tidak cukup hanya bertanggung jawab secara pidana/
dihukum tetapi juga harus bertanggung jawab secara keperdataan
supaya semakin menambah efek jera sekaligus bertanggung jawab
secara pribadi kepada korban.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 65


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur


beberapa hak hukum yang dapat digunakan korban dalam suatu
proses peradilan pidana. Hak-hak tersebut antara lain:
a. Hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut
umum, terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau
penuntutan. Hal ini penting untuk diberikan guna menghindari
adanya upaya dari pihak-pihak tertentu dengan berbagai motif
(politik, uang, dan sebagainya) yang bermaksud menghentikan
proses pemeriksaan, karena bagaimanapun juga dalam suatu proses
pemeriksaan pidana, sekalipun pelaku/tersangka berhadapan
dengan negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum, tetapi
korban sebagai pihak pelapor dan/atau yang menderita kerugian
tetap berkepentingan atas pemeriksaan tersebut.
b. Hak korban kejahatan yang berkaitan dengan kedudukannya
sebagi saksi. Kesaksian dari (saksi) korban sangat penting
untuk memperoleh suatu kebenaran materil, oleh karena itu,
untuk mencegah korban mengundurkan diri sebagai saksi perlu
sikap proaktif dari aparat penegak hukum untuk memberikan
jaminan keamanan bagi korban dan keluarganya pada saat
mengajukan diri sebagai saksi.
c. Hak untuk menuntut ganti kerugian yang diderita akibat
kejahatan. Hak ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
kepada korban suatu tindak pidana dalam mengajukan gugatan
ganti kerugian, yaitu melalui cara percepatan proses pemberian
ganti kerugian kepada pihak korban kejahatan atau keluarganya
oleh tersangka melalui penggabungan perkara pidananya
dengan gugatan ganti kerugian. Perlu kiranya diketahui bahwa
permintaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian hanya
dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak
hadir maka permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya
sebelum hakim menjatuhkan putusan.
d. Hak bagi keluarga korban untuk mengijinkan atau tidak
mengijinkan polisi melakukan otopsi.
e. Mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melakukan
otopsi juga merupakan suatu bentuk perlindungan korban
kejahatan, mengingat masalah otopsi ini bagi beberapa

66 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

kalangan sangat erat kaitannya dengan masalah agama, adat


istiadat, serta aspek kesusilaan/kesopanan lainnya.
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan
Hak Asasi Manusia
Perlindungan korban sebagai akibat dari terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak
Asasi Manusia berupa perlindungan fisik dan mental terhadap
saksi dan korban dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi ini
dapat diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif
dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan dan atau
dari permohonan yang disampaikan oleh korban. Bentuk
perlindungan hukum lainnya adalah dalam bentuk pemberian
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban. Khusus
mengenai pemberian restitusi terhadap korban kejahatan,
Soedjono Dirjosisworo berpendapat: “Namun, mengenai restitusi
betapapun akan sukar dilaksanakan karena apabila apa yang harus
diterima korban dari pelaku atau orang ketiga tidak dapat dipenuhi
karena ketidakmampuan yang benar-benar dapat dibuktikan atau
karena pelaku tidak rela membayar sebab ia harus menjalani
pidana yang berat”.16
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
Banyaknya kasus kekerasan serta perdagangan anak yang
terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya
kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu
untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang
sebagai tempat berlindung. Rendahnya kualitas perlindungan

16
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 102.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 67


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai elemen


masyarakat.
Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana
pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum
kepada anak sehingga anakdapat memperoleh jaminan atas
kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak
asasi manusia. Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak
adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
Dasar pertimbangan perlunya Undang-Undang yang
mengatur perlindungan korban kejahatan (dan saksi) untuk
segera disusun dengan jelas dapat dilihat pada bagian menimbang
dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yang antara lain
menyebutkan: “Penegak hukum sering mengalami kesukaran
dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat menghadirkan
saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik
maupun psikis dari pihak tertentu”.
Saat saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan,
tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan
terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat dan setelah
memberikan kesaksian. Hal inilah yang menjadi tujuan dari
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Dalam Undang-Undang ini, juga diatur
adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau yang
dapat disingkat dengan LPSK yaitu lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada saksi dan/atau korban.
6. U n d an g-U n d an g N omor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan

68 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

definisi yang lebih khusus lagi dibandingkan KUHP dan


memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku
tindak pidana perdagangan orang sebagai wujud perlindungan
terhadap korban perdagangan manusia. Pasal-pasal tersebut
antara lain:
a. Pasal 2 Pasal ini mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan
seorang pelaku perdagangan manusia baik secara melawan
hukum maupun memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk
mengeksploitasi.
b. Pasal 3 memberikan pengaturan pidana terhadap orang yang
memasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia
untuk dieksploitasi baik di wilayah Negara Republik Indonesia
maupun di Negara lain.
c. Pasal 4 memberikan pidana kepada setiap orang yang
membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara
Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar
wilayah Negara Republik Indonesia.
d. Pasal 5 memberikan larangan kepada setiap orang untuk
melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu
atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi.
e. Pasal 6 memberikan larangan untuk melakukan pengiriman
anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang
mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.
f. Pasal 9 mengatur tentang sanksi pidana yang dapat dikenakan
kepada setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain
supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, namun
tindak pidana itu tidak terjadi.
g. Pasal 10, 11 dan 12; menyebutkan bahwa setiap orang yang
membantu atau melakukan percobaan, merencanakan atau
melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang, menggunakan atau memanfaatkan korban
tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban
tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 69


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik


eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak
pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama
seperti pelaku tindak pidana perdagangan manusia.
h. Pasal 17 memberikan perlindungan hukum terhadap korban
perdagangan manusia yang masih anak-anak. Jika tindak
pidana seperti Pasal 2, 3, dan 4 dilakukan terhadap anak, maka
ancamannya ditambah sepertiga.
i. Pasal 19 pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang. Seperti hal nya
tindak pidana memberi keterangan palsu pada dokumen
Negara atau memalsukan dokumen Negara.
j. Pasal 20; pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang yang berkaitan
dengan kesaksian palsu, alat bukti palsu atau barang bukti
palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum.
k. Pasal 21 pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang yang berupa
penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan
dalam perkara tindak pidana perdagangan orang.
l. Pasal 22 pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang yang berupa
mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan.
m. Pasal 23 pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang yang memberikan
atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya
kepada pelaku, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku,
menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi
keberadaan pelaku.
n. Pasal 24 pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang yang memberitahukan
identitas saksi atau korban yang harus dirahasiakan.

70 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

C. Perlindungan Hak-Hak Korban Kejahatan Dalam Penegakan


Hukum Pidana
Penegakan hukum merupakan upaya aparat penegak hukum
untuk melaksanakan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah hukum
yang terwujud dalam bentuk tindakan untuk menciptakan, memelihara
dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Satjipto Rahardjo
dalam Andi Hamzah memberikan definisi penegakan hukum sebagai
usaha untuk mewujudkan ide-ide hukum menjadi kenyataan.
Mewujudkan ide-ide hukum seperti keadilan yang menjadi inti
penegakan hukum, bukanlah pekerjaan menerapkan undang-undang
terhadap peristiwa konkret, akan tetapi merupakan kegiatan manusia
dengan segenap karateristiknya untuk mewujudkan harapan-harapan
yang dikendaki oleh hukum.17 Lebih lanjut, Soerjono Soekanto
mendefinisikan penegakan hukum sebagai berikut :
Secara konsepsional inti dan arti dari penegakan terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. Di dalam penegakan hidup pasangan nilai-nilai
ketertiban dan nilai ketentraman, nilai kepentingan umum dan
nilai kepentingan pribadi, nilai kelestarian dan nilai inovatisme
yang dijabarkan dalam kaidah-kaidah hukum yang kemudian
menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak
yang dianggap pantas yang bertujuan untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian.18
Sistem penegakan hukum di Indonesia merupakan satu
kesatuan berbagai subsistem (komponen) yang terdiri dari
“substansi hukum” (legal substance), struktur hukum (legal
stucture) dan “budaya hukum (legal substance). Sebagai suatu
sistem penegakan hukum, proses penegakan hukum terkait
erat dengan ketiga komponen itu, yaitu substansi hukum, yaitu
keseluruhan dari peraturan perundang-undangan, struktur hukum

17
Andi Hamzah. Op.cit, hlm. 98-99.
18
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempegaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 5.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 71


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

yang mencakup keseluruhan aparat penegak hukum dan budaya


hukum, yaitu nilai-nilai budaya hukum.19
Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur dari
sistem hukum, yang terdiri dari beberapa komponen yaitu substansi
hukum, pranata hukum dan budaya hukum. Keseluruhan unsur-unsur
sistem hukum tersebut dapat memberi pengaruh positif dan sebaliknya
dapat pula memberikan pengaruh negatif dalam proses penegakan
hukum. Soerjono Soekanto memandang bahwa penegakan hukum
tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang mempengaruhi daya
bekerjanya hukum secara efektif dalam masyarakat. Faktor-faktor
tersebut yaitu:20
1. Faktor hukum itu sendiri, undang-undang
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
dan menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan; dan
5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan kepada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
Kelima faktor tersebut di atas, menurut Soerjono Soekanto
saling berkaitan, dikarenakan faktor-faktor tersebut merupakan
esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur efektivitas
dari penegakan hukum. Soedarto mengmukakan bahwa dalam
membicarakan masalah penegakan (hukum) tidak membicarakan
bagaimana hukumnya, melainkan apa yang dilakukan oleh aparatur
penegak hukum dala menghadapi masalah-masalah dalam penegakan
hukum.21
Penegakan hukum dipandang sebagai pelaksanaan kekuasaan
kehakiman. Pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luar tidak

19
Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religus, Dalam
Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Inddonesia.
(Semarang: Pustaka Magister, 2015), hlm. 43-44.
20
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 8.
21
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 99-100.

72 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

hanya berarti mengadili, juga mencakup kekuasaan menegakan hukum


dalam seluruh proses penegakan hukum. Perspektif sistem peradilan
pidana, kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana mencakup
kewenangan dalam menegakan hukum pidana, mulai penyidikan,
penuntutan dan kekuasaan mengadili oleh lembaga pengadilan, serta
pelaksanaan putusan pidana.22
Proses penegakan hukum, faktor manusia sangatlah menentukan
dalam usaha penegakan hukum tersebut. Oleh karena itu, penegakan
hukum bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan
keterlibatan manusia di dalamnya. Penegakan hukum tidak dapat
dipandang sebagai usaha deduksi yang logis, akan tetapi merupakan
hasil dari pilihan-pilihan. Dengan demikian penegakan tidak dapat
didasarkan pada ramalan lokiga semata, akan tetapi juga hal-hal yang
tidak menurut logika.
Penegakan hukum pidana berkaitan erat dengan kebijakan
hukum pidana (penal policy) sebagai politik kriminal yang dilakukan
oleh pemerintah bersama dengan aparat penegak hukum dalam rangka
mewujudkan keadilan. Kebijakan hukum pidana itu sendiri meliputi
penegakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal dan hukum
pelaksanaan pidana.23
Wujud perlindungan hukum dalam penegakan hukum pidana
adalah dengan melaksanakan penegakan hukum yang adil (fire trial).
Tanpa penerapan prinsip peradilan yang adil, orang-orang yang
tak bersalah akan banyak memasuki sistem peradilan pidana dan
kemungkinan besar akan masuk dalam penjara. Tanpa penerapan prinsip
peradilan yang adil, hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap
hukum serta sistem peradilan akan runtuh.24
Penegakan hukum (law enforcement) tentu akan mendinamisasikan
sistem hukum. Dalam hal ini penegakan hukum. Betapa pun ideal suatu
peraturan perundang-undangan, apabila tidak didukung dan ditegakkan
oleh aparatur-aparatur hukum yang jujur, bersih, berani dan profesional,

22
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan
Pidana (Integrated Criminal Justice System), (Semarang: Badang Penerbit Universitas
Diponegoro, 2016), hlm. 10-11.
23
Ibid., hlm. 19.
24
Heri Tahir, Op.cit., hlm. 7.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 73


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

maka sistem hukum itu niscaya tidak berfungsi. Aturan-aturan hukum


yang ideal serta memenuhi rasa keadilan akan sia-sia ketika tidak
didukung dan ditegakkan oleh aparatur-aparatur yang jujur dan bersih.
Oleh karena itu, penegakan hukum sangat bergantung pada aparat
penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan.25 Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa tujuan
dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, kepastian
dan kemanfaatan hukum.26
Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling
menderita dalam hal terjadinya suatu tindak pidana. Namun sayangnya,
hak-hak korban dalam penegakan hukum pidana tidak memperoleh
porsi dan perlindungan sebanyak yang diberikan undang-undang kepada
pelaku kejahatan. Akibatnya, setelah pelaku kejahatan telah dijatuhi
sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban seringkali terabaikan,
bahkan sama sekali tidak diperdulikan.
Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari perlindungan
hukum terhadap masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan. Oleh
karena itu, sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, maka
didalam proses peradilan pidana dalam kaitannya dengan mewujudkan
perlindungan hak-hak korban dapat dilakukan dalam berbagai bentuk
atau model. Beberapa bentuk atau model perlindungan yang dapat
diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, yaitu:27
1. Pemberian Kompensasi dan Restitusi.
Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli
warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi
ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau
penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis
dan atau psikologis serta kerugian lain yang diderita korban
sebagai akibat perdagangan orang. Dilihat dari kepentingan
korban dalam konsep ganti rugi terkandung dua manfaat,
yaitu untuk memenuhi kerugian materiil dan segala biaya
yang telah dikeluarkan dan merupakan pemuasan emosional

25
Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm. 78.
26
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yokyakarta :
Liberty, 2007), hlm. 68
27
Didik M Arief Mansur & Elisatris Gultom, Op.cit., hlm. 166.

74 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

korban. Adapun dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban


mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana
yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu yang konkret dan
langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.
Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk
lain perlindungan korban tindak pidana sebagai danti kerugian
yang diberikan oleh Negara. Ganti kerugian oleh Negara tersebut
merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena
Negara bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk
melindungi masyarakatnya.
2. Layanan Konseling dan Pelayanan Medis.
Pelayanan yang konseling dan medis yang diberikan kepada
korban yang menderita akibat suatu tindak pidana, antara lain
pendampingan konseling, pengobatan dan laporan tertulis atau
visum. Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban menegaskan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana
perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban
tindak pidana kekerasan seksual dan korban penganiayaan berat
berhak mendapatkan bantuan medis.
Sementara itu, untuk korban kejahatan lainnya pemerintah
menyediakan Unit Pelayanan Kesehatan atau Rumah Sakit
tertentu yang ditunjuk untuk melayani penanganan medis
korban yang mengalami luka fisik akibat suatu tindak pidana
dan hasil pemeriksaan tersebut oleh dokter yang bersangkutan
dibuat dalam bentuk laporan tertulis yang disebut sebagai visum
et Repertum. Bantuan medis ini selain diajukan oleh korban
juga atas permintaan penyidik sehubungan dengan permintaan
keterangan ahli. Visum et Repertum merupakan alat bukti yang
sah yaitu sebagai alat bukti surat, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 184 Ayat (1) KUHAP.
3. Bantuan Hukum.
Berkaitan dengan proses peradilan pidana dan untuk
kepentingan hukumnya korban kejahatan memerlukan bantuan
hukum dan nasihat hukum sebagaimana jaminan hak tersebut
diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) sub n Undang-Undang Perlindungan

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 75


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Saksi dan Korban, pemberian bantuan hukum kepada korban


diberikan dalam bentuk pendampingan yang lebih banyak
diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
Organisasi atau Lembaga pemerhati korban kejahatan.
Bantuan hukum sangat dibutuhkan korban kejahatan
sehubungan dengan keterkaitannya dengan proses peradilan
pidana yang memposisikannya sebagai saksi korban sebagai
salah satu alat bukti keterangan saksi, yang berhak memberikan
keterangan tanpa tekanan dan bebas dari pertanyaan yang
menjerat. Di samping itu pula bantuan hukum akan diperlukan
bilamana korban hendak memperjuangkan pemulihan atas
kerugian yang telah dialaminya melalui pranata-pranata hukum
yang ada. Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 KUHAP, dan gugatan perdata
ganti kerugian atas dasar Pasal 1365 KUHPerdata, mengajukan
permohonan ke LPSK merupakan pranata hukum yang dapat
dipergunakan oleh korban kejahatan untuk mengembalikan ganti
kerugian yang dideritanya. Kedua pranata hukum ini diserahkan
sepenuhnya atas inisiatif korban untuk mengajukan permohonan
kepada pengadilan dan untuk hal tersebut korban memerlukan
bantuan dan nasihat hukum agar dapat bertindak tepat secara
hukum.
4. Pemberian Informasi.
Bekerjanya sistem peradilan pidana korban kejahatan harus
dipandang sebagai pihak yang kedudukan dan kepentingannya
harus dilindungi oleh hukum sehubungan dengan kasus yang
ditangani oleh pihak yang berwajib. Seringkali korban hanya
berperan dalam pemberian kesaksian baik di tingkat penyidikan
maupun di persidangan tetapi korban tidak mengetahui
perkembangan kasus yang bersangkutan.
Setelah terbitnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban, jaminan hak korban untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus telah diatur dalam Pasal 5 huruf f.
Bahkan jika terdakwa dibebaskan, dikenakan pidana bersyarat
atau bahkan mendapatkan pelepasan bersyarat, maka korban berhak
untuk memperoleh ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasl

76 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

7A Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yang


menentukan bahwa korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi
berupa: a) ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b) ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan
langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c) penggantian biaya
perawatan medis dan/atau psikologis.
Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita
korban atau ahli warisnya. Restitusi lebih diarahkan pada tanggung
jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan,
sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian
yang diderita korban. Tolok ukur untuk menentukan jumlah atau
besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status sosial pelaku
dan korban. Biasanya korban dengan status sosial yang lebih rendah
dengan pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk
materi dan pemulihan harkat serta nama baik akan lebih diutamakan
bagi korban yang berstatus sebaliknya.
Khusus bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dan korban tindak pidana terorisme, selain berhak mendapatkan
restitusi, korban juga mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi
yang dapat diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK). Berbeda dengan restitusi yang dibayarkan oleh pelaku atau
pihak ketiga, kompensasi justru dibayarkan dan menjadi kewajiban/
tanggung jawab negara.
Kewajiban negara untuk memberikan kompensasi kepada
korban atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan
didasarkan kepada teori kegagalan untuk melindungi. Teori ini
menyatakan bahwa seorang individu yang menjadi korban suatu
tindak pidana pada dasarnya disebabkan oleh kegagalan masyarakat
untuk mengeliminasi kejahatan dan kegagalan penegakan hukum
untuk mencegah suatu tindak pidana.28
Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari
aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Adanya gagasan mewujudkan

28
Mahrus Ali dan Ari Wibowo, Kompensasi dan Restitusi Yang Berorientasi
Pada Korban Tindak Pidana, (Jurnal Hukum Volume 33 No. 2 Mei 2018), hlm. 265.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 77


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

kesejshteraan sosial masyarakat dengan berlandaskan pada komitmen


kontrak sosial (social contract) dan solidaritas sosial (social solidarity)
menjadikan masyarakat dan negara bertanggung jawab untuk
melindungi warganya khususnya yang mengalami musibah sebagai
korban kejahatan. Kompensasi merupakan santunan yang tidak
tergantung pada bagaimana berjalannya proses peradilan. Aspek tujuan
berbeda dengan restitusi, kompensasi tidak bertujuan mengembalikan
korban dalam keadaan semula, akan tetapi lebih pada sikap simpatik
pada masyarakat dan negara terhadap korban.29
Menurut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban,
pemberian kompensasi terhadap korban merupakan skema yang terkait
dengan pemberian dana publik kepada seseorang yang menjadi korban
kejahatan. Hal penting yang perlu dicatat disini adalah dana tersebut
merupakan dana publik yang bersumber dari eksternal kejahatan dan
diberikan atas kebutuhan-kebutuhan khusus korban.
Pemberian kompensasi bagi korban bertujuan untuk memastikan
adanya respon yang lebih efektif kepada korban dalam sistem peradilan
pidana. Kompensasi yang diberikan kepada korban meliputi biaya
berobat, konseling kesehatan mental, biaya pemakaman, kehilangan
gaji, biaya pembelian kacamata, lensa kontak, perawatan gigi, pembelian
alat-alat prostetik, biaya berpindah atau relokasi, biaya transportasi
untuk memperoleh perawatan medis, rehabilitasi pekerjaan, layanan
pengganti bagi perawatan bayi/anak-anak, dan bantuan domestik.30
Sebelum menguraikan beberapa peraturan perundang-undangan
yang memberikan jaminan kompensasi dan restitusi, berikut ini akan
dipaparkan penafsiran otentik tentang arti kompensasi dan restitusi
Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia memberikan makna kompensasi sebagai
berikut : “Yang dimaksud dengan kompensasi adalah ganti kerugian
yang diberikan oleh negara, kerena pelaku tidak mampu memberikan
ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya”.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-

29
Chaerudin dan Syarif Fadilah, Op.cit., hlm. 64-65.
30
Ibid., hlm. 266.

78 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Undang Pasal 36 Ayat (1) dalam penjelasannya merumuskan bahwa:


“kompensasi adalah penggantian yang bersifat materiil dan immateriil”.
Pengertian kompensasi secara lebih jelas dan tegas dapat dilihat
dalam rumusan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan:“Kompensasi
adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya kepada korban atau keluarganya”.
Pengertian yang hampir sama dapat pula dilihat dalam Pasal 1
Angka 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2002 tentang Kompensasi, Restitusi Dan Rehabilitasi Terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, yang menyebutkan:
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena
pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggung jawabnya”.
Lebih lanjut, dalam Pasal 1 Angka 4 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban,
menyebutkan: “Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan
oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggungannya”.
Dalam proses pengajuan kompensasi oleh korban, ketentuan Pasal
4 Ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2008, menentukan bahwa selain memuat identitas pemohon
dan pelaku pelangggaran HAM berat dan uraian tentang peristiwa
pelanggaran HAM berat, juga harus memuat “uraian tentang kerugian
yang nyata-nyata diderita dan bentuk kompensasi yang diminta”.
Adapun yang dimaksud dengan kerugian yang nyata-nyata diderita
oleh korban, menurut Penjelasan Pasal 4 huruf d adalah kerugian yang
berdampak dan secara langsung diderita oleh korban sebagai akibat
perbuatan pelaku, seperti: hilangnya pekerjaan dan/atau musnah/
rusaknya harta benda milik korban. Sementara itu, bentuk kompensasi
yang dimaksud dalam ketentuan ini dapat berupa sejumlah uang atau
bentuk lain.
Penafsiran berbeda dengan kompensasi terlihat dalam makna
restitusi yang diuraian dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 79


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Dalam Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000


tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa : Yang
dimaksud dengan restitusi adalah kerugian yang diberikan kepada
korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi berupa :
1. Pengembalian harta milik;
2. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;
atau
3. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Pasal 36 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme Menjadi
Undang-Undang juga ditegaskan bahwa: “Restitusi sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan
oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya”. Adapun yang dimaksud
dengan ahli waris korban menurut Penjelasan Pasal 36 Ayat (3) adalah
ayah, ibu, istri/suami, dan anak.
Pengertian restitusi juga dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 13
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan, yang menyebutkan: Restitusi adalah pembayaran
ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/
atau immateril yang diderita oleh korban atau ahli warisnya.
1. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
Restitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa ganti
kerugian atas :
2. Penderitaan;
3. Biaya untuk tindakan perawatan media dan/atau psikologis; dan/
atau
4. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan
orang. (Pasal 42 Ayat(2)).
Adapun yang dimaksud dengan kerugian lain dalam ketentuan
ini misalnya:
1. Kehilangan harta milik;
2. Biaya transportasi dasar;

80 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

3. Biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses


hukum;atau
4. Kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku (Penjelasan Pasal
48 Ayat(2)).
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2014
tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan bahwa: Restitusi
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga. Sementara itu, dalam Pasal 1 Angka 5
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Yang Berat menegaskan bahwa: “Restitusi adalah
ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh
pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu”.
Lebih lanjut, menurut Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi
dan Bantuan kepada Saksi dan Korban dirumuskan sebagai berikut:
“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian
harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu”.
Jaminan kompensasi dan restitusi yang diatur dalam berbagai
Peraturan Perundang-Undangan untuk saat ini belum sepenuhnya
memberikan jaminan terhadap korban kejahatan. Banyak korban yang
belum mendapat askes pemulihan kerugian dari pelaku kejahatan dan
seakan diperhadapkan oleh jalan buntu, sementara itu pemerintah
seakan melihat persoalan ini masih sebagai persoalan privat yang tidak
perlu campur tangan negara.
Politik hukum perlindungan korban kejahatan saat ini masih
terfokus pada jenis kejahatan tertentu, yaitu di prioritas terhadap jenis
kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian dunia internasional, seperti
kejahatan HAM dan Terorisme. Hal ini dapat dilihat dalam peraturan
perundang-undangan yang memberikan jaminan perlindungan dalam
bentuk kompensasi hanya terhadap korban kejahatan HAM berat dan
korban kejahatan terorisme.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 81


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sementara itu, jaminan restitusi bagi korban kejahatan melalui


permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98
KUHAP) dan permohonan ke LPSK (Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2008) tampaknya masih menemukan berbagai kendala, baik
secara yuridis maupun kelembagaan. Oleh karena itu, diperlukan upaya
atau kebijakan hukum pidana yang memadai agar perlindungan korban
kejahatan dalam mendapatkan ganti kerugian dapat diperoleh secara
cepat, efektif dan memberikan rasa keadilan.
Perlindungan korban dan saksi yang diatur KUHAP. Bab XIII
tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada Pasal 98-
101 KUHAP, antara lain mengatur :
1. Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas
permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan
perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
2. Permintaan tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya
sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam
hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-
lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
3. Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara
gugatannya pada perkara pidana, maka pengadilan negeri
menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan.
4. Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang
mengadili gugatan atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,
putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan.
5. Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapatkan
kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat
kekuatan hukum tetap.
Menyimak rumusan di atas, dapat dipahami bahwa kerugian
yang dimaksudkan disini adalah kerugian materiil atau nyata (riil)

82 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

bukan bersifat immateriil. Sementara untuk kerugian yang bersifat


immateriil dapat diajukan tersendiri melalui gugatan perdata. Tentu
saja hal ini tidak memuaskan korban, sebab apabila tuntutan terhadap
gugatan immateril diajukan melalui gugatan perdata akan memakan
waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, ditambah lagi gugatan yang
diajukan belum tentu akan dikabulkan seluruhnya.
Proses pengajuan tuntutan ganti kerugian Pasal 98-101 KUHAP,
maka pihak-pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Kerugian yang terjadi harus ditimbulkan oleh tindak pidana itu
sendiri.
2. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang lain
yang menderita kerugian (korban) sebagai akibat langsung dari
tindak pidana tersebut.
3. Gugatan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana tadi
ditujukan kepada “pelaku” (terdakwa).
4. Tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa tadi
digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan
pada pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan
kepada terdakwa dan dalam bentuk satu putusan.
Proses atau prosedur dan substansi pengaturan perlindungan
terhadap korban dalam KUHAP dianggap mengandung kelemahan-
kelemahan. Pada praktiknya, sangat jarang sekali dan bahkan hampir
tidak pernah dilakukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
oleh korban.
Kelemahan pengaturan mengenai hak-hak korban untuk
memperoleh kompensasi dan restitusi dan pelaksanaannya tidak saja
terdapat dalam KUHAP, melainkan juga dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang hak-hak korban
dan perlindungan terhadap korban. Beberapa peraturan perundang-
undangan yang memberikan jaminan kompensasi dan restitusi bagi
korban kejahatan yakni sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
Pasal 35 Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap
korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan
atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 83


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

rehabilitasi. Pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi


sebagaimana harus dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan
HAM. Mengenai pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi,
dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pelaksanaan pemberian kompensasi terhadap korban
kejahatan pelanggaran HAM untuk saat ini berpedoman pada
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban,
yang merupakan peraturan pemerintah pelaksana Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pengesahan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi
Undang-Undang.
Ketentuan Pasal 36 Undang-undang ini menyatakan
bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana
terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
Pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan terorisme
dibiayai atau dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Kompensasi atau restitusi merupakan ganti kerugian
yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahliwarisnya.
Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan
sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Lebih lanjut, dalam Pasal 38 Undang-Undang Pemberrantasan
Tindak Pidana Terorisme menentukan bahwa proses pengajuan
kompensasi oleh korban atau kuasanya, diajukan kepada Menteri
Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri yang
didalammnya memuat tentang kompensasi/restitusi terhadap
korban. Hal ini berarti bahwa dalam putusan pengadilan, harus
memuat besarnya ganti kerugian yang akan diberikan kepada
korban. Tanpa adanya putusan pengadilan yang memuat tentang
pemberian kompensasi terhadap korban tindak pidana teroris,
maka korban sama sekali tidak dapat mengajukan pembayaran
(klaim) kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan pembayaran.
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
yang telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sisitem Peradilan Pidana Anak.

84 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Pasal 23 Ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997


tentang Pengadilan Anak, menegaskan bahwa selain pidana
pokok, terhadap terhadap Anak Nakal dapat pula dijatuhkan
pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan
atau pembayaran ganti rugi. Menurut Penjelasan Pasal 23 Ayat
(3), bahwa pembayaran ganti rugi yang dijatuhkan sebagai pidana
tambahan merupakan tanggung jawab dari orang tua atau orang
lain yang menjalankan kekuasaan orang tua.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mencabut
berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan sayangnya
sanksi pidana tambahan pembayaran ganti rugi sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) dihapuskan dan sudah tidak diatur
dalam undang-undang baru tersebut. Padahal filosofi pengaturan
sanksi pembayaran ganti kerugian bukan dimaksudkan untuk
tujuan efek penjeraan bagi pelaku kejahatan tapi semata-mata
untuk mencapai tujuan pemulihan bagi korban yang dalam perkara
anak tanggungjawab pembayaran ganti rugi itu diserahkan kepada
orang tua atau orang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua.
Perkembangannya, Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak membuka kesempatan bagi korban untuk meminta
ganti kerugian yang layak dan juga kepada pelaku untuk
melakukan ganti kerugian terhadap perbaikan dan pemulihan
korban melalui penerapan keadilan restoratif (restoratif justice)
yang wajib dilaksanakan dalam setiap tingkatan peradilan pidana
anak. Penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana
anak, maka korban bersama-sama dengan pelaku diberikan
kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan secara non litigasi
(di luar pengadilan) dengan melaksanakan diversi.
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Ketentuan Pasal 63 Undang-undang ini menegaskan bahwa
selain sanksi pidana sebagaimana disebutkan dalam dalam Pasal
62, terhadap pelaku usaha yang terbukti melanggar ketentuan
pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat
dijatuhi pidana tambahan, yang salah satunya berupa pembayaran
ganti rugi terhadap konsumen.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 85


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Menurut ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan


konsumen, menegaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa
konsumen antara pelaku usaha dengan konsumen dapat
dilakukan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen
di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali
atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh
konsumen. Dengan demikian, korban memiliki peran yang sangat
menentukan terkait dengan tindakan apa yang seharus diterapkan
bagi pelaku pada penyelesaian tindak pidana konsumen.
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Seperti telah dijelaskan pada bagian awal, bahwa korban
kejahatan tidak saja bersifat individual atau kelompok secara
kolektif, dalam keadaan tertentu, negara dapat pula menjadi
korban kejahatan. Kedudukan korban sebagai korban kejahatan
dapat dilihat dalam tindak pidana korupsi.
Korupsi merupakan suatu kejahatan yang bersifat sistematis
dan terstruktur yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
tertentu, sehingga kejahatan ini disebut pula sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime). Alasan mendasar korupsi
disebut sebagai kejahatan luar biasa, dikarenakan kejahatan
ini melibatkan pejabat dan birokrasi, serta orang-orang yang
mempunyai akses atau terlihat dalam pengelolaan barang atau
keuangan pemerintah. Selain itu, pembuktian terhadap kejahatan
ini mengalami tingkat kesulitan yang cukup tinggi, mengingat
para pelaku korupsi (koruptor) adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan berfikir dan keilmuan yang mumpuni, hanya saja
tidak dibarengi dengan moralitas dan integritas diri.
Kedudukan negara sebagai korban kejahatan korupsi
dikarenakan objek dari kejahatan ini adalah keuangan negara
dan perekonomian negara”. Sehingga rumusan tindak pidana ini
menekankan pada ada tidaknya kerugian keuangan negara. Dalam
hal terjadinya tindak pidana korupsi, maka terhadap pelakunya

86 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

selain diterapkan pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal


10 KUHP, dapat pula diterapkan pidana tambahan. Menurut
ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, bahwa selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam KUHP, terhadap pelaku tindak pidana korupsi
dapat dijatuhi sanksi pidana tambahan, berupa:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
Adanya ketentuan mengenai pembayaran uang pengganti
yang jumlahnya sebanyak-banyaknya atau paling tidak sama
dengan nilai kerugian keuangan negara yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi merupakan kebijakan yang dilakukan
pemerintah untuk mengembalikan kerugian negara. Dalam hal
ini dapat dikatakan bahwa, uang pengganti yang dibebankan
terhadap terdakwa dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (TIPIKOR) merupakan untuk memulihkan kembali
kondisi keuangan negara yang rusak sebagai akibat terjadinya
kejahatan korupsi.
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis
Persamaaan hak dihadapan hukum dan dalam tatanan
pergaulan hidup masyarakat Indonesia sebagai negara hukum
merupakan suatu keniscayaan yang harus diwujudkan. Dalam
mewujudkan persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, maka
diskriminasi dalam bentuk Ras dan Etnis maupun dalam bentuk
lainnya harus dihapuskan.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 87


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Upaya pemerintah dalam menghapuskan diskriminasi Ras


dan Etnis dilakukan dengan menerbitkan aturan (regulasi) yang
mengatur tentang penghapusan tindakan diskriminasi atas Ras
dan Etnis dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Ketentuan Pasal 18 undang-undang ini menentukan bahwa selain
pidana yang disebutkan dalam Pasal 16 dan Pasal 17, terhadap
pelaku dapat pula dijatuhi pidana tambahan berupa restitusi
atau pemulihan hak korban. Dengan kata lain, terhadap pelaku
tindak pidana diskriminasi Ras dan Etnis, selain diterapkan
pidana pokok, dapat pula dibebankan pidana tambahan berupa
pembayaran restitusi terhadap korban.
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Dalam hal terjadinya peristiwa kecelakaan lalu lintas, sudah
barang tentu menimbulkan kerugian bagi pihak korban, baik itu
berupa harta benda maupun kerugian immateril berupa luka-luka
yang dialami oleh korban, bahkan tidak menutup kerugian yang
sangat fatal, yaitu menyebabkan kematian korban.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, menentukan beberapa hak-hak korban yang
harus diperoleh korban kecelakaan lalu lintas, antara lain:
a. Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggungjawab
terjadinya kecelakaan lalu lintas dan/atau pemerintah;
b. Ganti kerugian dari pihak yang bertanggungjawab atas
terjadinya kecelakaan lalu lintas; dan
c. Santunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan asuransi.
Hak-hak korban kecelakaan lalu lintas merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku. Bahkan,
penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tidak menghapus
kewajiban pelaku untuk membayar ganti rugi terhadap korban
kecelakaan lalu lintas. Ketentuan ini sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 55 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan
bahwa pengenaan sanksi pidana tidak membebaskan dirinya
membayar ganti rugi bagi korban.

88 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Kemudian dalam Pasal 314 Undang-Undang Nomor 22


Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menentukan
bahwa : Selain pidana penjara, kurungan atau denda, pelaku
tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang
diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa
perlindungan terhadap hak-hak korban kecelakaan secara
substansial telah mengedepankan pelaksanaan keadilan restoratif.
Di mana dalam penyelesaian perkara tindak pidana kecelakaan
lalu lintas, pembayaran ganti rugi terhadap korban oleh pelaku
bersifat wajib (imperatif) dan tidak menghapuskan sanksi pidana
terhadap pelaku. Dengan kata lain, meskipun pelaku telah
memberikan kompensasi atau restitusi terhadap korban, bukan
berarti pelaku terlepas dari jeratan hukum atau sanksi pidana.
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang ini menegaskan bahwa dalam tindak
pidana lingkungan idup penggunaan hukum pidana merupakan
upaya terakhir (ultimum remedium) yang dapat ditempuh setelah
upaya lainnya tidak berhasil dilakukan. Dalam penegakan hukum
lingkungan, undang-undang memberikan hak bagi masyarakat
atau kelompok masyarakat sebagai korban untuk melakukan
gugatan tuntutan ganti melalui gugatan class action. Ketentuan ini
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 91 Undang-Undang PPLH,
yang menyebutkan hak masyarakat untuk mengajukan gugatan
secara perwakilan (class action). Hak masyarakat tersebut dapat
diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar
hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan hidup.
Kemudian, hak korban untuk memperoleh ganti rugi dari
pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha yang berdampak
pada terjadinya pencemaran atau pengrusakan lingkungan hidup
secara ekplisis diatur dalam Pasal 87 Ayat (1) Undang-Undang
PPLH, yang menyebutkan bahwa setiap penanggung jawab
usaha atau kegiatan yang melakukan perbuatan yang berdampak

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 89


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

pada pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang


menimbulkan kerugian kepada orang lain, wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Dalam penegakan hukum lingkungan hidup, kepada pelaku
yang terbukti melanggar ketentuan pidana yang diatur dalam
pasal-pasal Undang-Undang PPLH, selain dikenakan sanksi
pidana pokok, juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa
perbaikan akibat tindak pidana, pewajiban mengerjakan apa yang
dilalaikan tanpa hak.
9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Kesehatan
menyebutkan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang ini, setiap
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban
tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, juga berhak atas kompensasi.
Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada
Pengadilan Hak Asasi Manusia melalui Lembaga Perlindungan
Saksi Korban (LPSK).
Selanjutnya, dalam Pasal 7A undang-undang ini
menyebutkan bahwa korban tindak pidana berhak memperoleh
restitusi berupa:
a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang
berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan

90 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Bantuan kepada Saksi dan Korban, menyebutkan bahwa korban


pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh
kompensasi. Permohonan untuk memperoleh kompensasi dapat
diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat
kuasa khusus. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada pengadilan
melalui LPSK.
LPSK setelah menerima permohonan kompensasi dari
korban, segera akan memeriksa kelengkapan permohonan
kompensasi dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan kompensasi diterima (Pasal
5 Ayat (1)). Apabila berkas permohonan dinyatakan lengkap,
LPSK segera melakukan pemeriksaan subtantif (Pasal 6).
Hasil pemeriksaan permohonan kompensasi ditetapkan
dengan keputusan LPSK disertai dengan pertimbangan dan
rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak
permohonan kompensasi (Pasal 9 Ayat (1) (2)), selanjutnya
menyampaikan permohonan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia
(berlaku juga bagi permohonan kompensasi yang dilakukan
setelah putusan pengadilan HAM yang berat telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 10 Ayat (1) dan (2)). Dalam hal
LPSK berpendapat bahwa pemeriksaan permohonan kompensasi
perlu dilakukan bersama-sama dengan pokok perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat maka permohonan oleh LPSK
disampaikan kepada Jaksa Agung (Pasal 10 Ayat(3)).
Dalam hal permohonan kompensasi oleh LPSK diajukan
kepada pengadilan HAM maka pengadilan HAM memeriksa dan
mengeluarkan penetapan dalam jangka waktu paling lama 30 hari
terhitung tanggal permohonan dan penetapan pengadilan tersebut
disampaikan kepada LPSK paling lambat 7 hari terhitung sejak
tanggal penetapan (Pasal 11 Ayat (1) dan (2)).
LPSK melaksanakan penetapan pengadilan HAM mengenai
pemberian kompensasi dengan membuat berita acara pelaksanaan
penetapan pengadilan kepada instansi pemerintah terkait. Instansi
pemerintah terkait melaksanakan pemberian kompensasi dalam
jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal berita
acara dibuat (Pasal 15 Ayat (1) dan (2)).

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 91


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

LPSK didalam mengajukan permohonan kompensasi


kepada Jaksa Agung, penuntut umum pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dalam tuntutannya mencantumkan
permohonan kompensasi beserta keputusan dan pertimbangan
LPSK (Pasal 12). Selanjutnya Pengadilan HAM yang memeriksa
dan memutus permohonan kompensasi (Pasal 14 Ayat (1)). LPSK
menyampaikan kutipan putusan pengadilan HAM kepada instansi
pemerintah terkait. Pelaksanaan putusan pengadilan HAM
mengenai pemberian kompensasi dilakukan oleh Jaksa Agung
sebagai pelaksana putusan pengadilan. (Pasal 19 Ayat (1) (2)).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan
hukum yang mengatur tenang hak-hak korban dan mekanisme
perlindungan serta upaya korban untuk memperoleh hak-haknya
secara substansial telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Bahkan pemerintah telah menerbitkan aturan (regulasi)
khusus mengatur tentang korban melelaui Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban secara
substansial telah mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan
terhadap hak-hak korban, khususnya korban kejahatan pelanggaran
HAM berat dan terorisme. Di mana perwujudan hak-hak korban dapat
dilakukan dalam beberapa bentuk, mulai dari pemberian restitusi dan
kompensasi, layanan konseling maupun medis, bantuan hukum atau
pendampingan dan juga pemberian informasi.

92 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB V
KEDUDUKAN KORBAN
DALAM PERADILAN PIDANA
A. Peradilan Pidana di Indonesia

P eradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak


hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan,
penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan disidang
pengadilan, serta pelaksanaan putusan pengadilan. atau dengan kata lain
bekerjanya institusi kepolisian, institusi kejaksaan, institusi kehakiman,
hingga diakhiri institusi lembaga pemasyarakatan. yang mempunyai
tujuan dalam hal ini adalah usaha pencegahan kejahatan (prevention
of crime) baik jangka pendek, yaitu resosialisasi kejahatan, jangka
panjang, yaitu terwujudnya kesejahteraan sosial.
Di indonesia pelaksanaan peradilan pidana dilakukan oleh
lembaga penegak hukum yang tergabung dalam suatu sistem, yang
disebut sistem peradilan pidana. Sitem pidana peradilan merupakan
sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa dirugikan
atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan perbuatan
pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Sistem peradilan pidana,
sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana mengoperasionalkan
hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini berupa hukum
pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana.1
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses
penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali
dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif
maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu
pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto”
yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”.2
Pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system)
terdapat berbagai teori yang digunakan, ada yang menggunakan

1
Yesril Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), (Bandung : Widya
Padjajaran, 2009), hlm. 45.
2
Romli Atmasasmita, Op.cit,, hlm. 19.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 93


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

pendekatan dikotomi dan atau pendekatan trikotomi. Pendekatan


dikotomi umumnya digunakan oleh teoritisi hukum pidana di Amerika
Serikat. Herbert Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford,
menggunakan pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai
praktis dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.
Terdapat dua model dalam pendekatan dikotomi. Pertama, crime
control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting dan
harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana, sehingga perhatian
utama harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana. Penekanan
penting pada model ini adalah efektifitas, yaitu kecepatan dan kepastian.
Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses
pemeriksaan oleh petugas kepolisian. Presumption of guilty digunakan untuk
mempercepat memproses tersangka atau terdakwa ke sidang pengadilan.
Nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah tindakan refresif
terhadap suatu tindakan kriminal yang merupakan fungsi terpenting
dari suatu proses peradilan.3 Dengan demikian, penegakan hukum harus
dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas, dan model yang dapat
mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model administratif
dan merupakan model manajerial. Akan tetapi, penerapan asas praduga tak
bersalah secara tidak langsungakan menyebabkan sistem ini tidak berjalan
efisien. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas
temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan
membawa ke arah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau
kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.
Pendekatan kedua yang digunakan dalam sistem peradilan pidana
adalah due process model, model ini menekankan seluruh temuan-temuan
fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh melalui prosedur formal
yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Setiap prosedur adalah
penting dan tidak boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan
yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan
serta adanya suatu reaksi untuk setiap tahap pemeriksaan, maka dapat
diharapkan seorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah akan dapat
memperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan kejahatan.4

3
Tholib Efendi, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses
Sistem Peadilan Pidana di Beberapa Negara, (Yokyakarta : Pustaka Yustisia, 2010),
hlm. 21.
4
Heri Tahir, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia, (Yokyakarta : Laskbang Pressindo, 2009), hlm. 24.

94 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Presumption of innocence merupakan tulang punggung model


ini. Adapun nilai-nilai yang melandasi due process model adalah
mengutamakan, formal-adjudicative dan adversary fact findings, hal ini
berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke rnuka pengadilan
yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka rnemperoleh
hak yang penuh untuk rnengajukan pembelaannya. Menekankan pada
pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan rnekanisme
administrasi dan peradilan.
Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah
penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung
disalahgunakan atau memilih potensi untuk menempatkan individu pada
kekuasaan yang koersif dari Negara. Memegang teguh doktrin legal
audit yaitu: seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya
dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki
kewenangan untuk tugas itu.
Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan
akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-
undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan
kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak
memihak. Gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan. Lebih
mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
Muladi mengemukakan, bahwa dari teori-teori sistem peradilan
pidana dengan berbagai bentuk model pendekatannya, untuk konteks
diindonesia yang cocok adalah model yang mengacu kepada daad-dader
strafrechf, atau model keseimbangan kepentingan. Model ini merupakan
model yang realistik, yang memperhatikan pelbagai kepentingan
yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara,
kepentingan umum, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan
korban kejahatan. Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :5
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatannya.

5
Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 7.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 95


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat


dikategorikan sebagai berikut:6
1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi
dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
2. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas
yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks
politik kriminal (criminal policy).
3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah
kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik
sosial (social policy).
Lebih lanjut, Muladi menjelaskan bahwa :
Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang
lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi
struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat
substansial (substancial syncronization) dan dapat pula
bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal
sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan
dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana
dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.7
Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini
mengandung makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya
dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural
mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghAyati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.

B. Kedudukan Korban Dalam Peradilan Pidana


Kelemahan mendasar dalam penegakan hukum pidana melalui
pelaksanaan fungsi sistem peradilan pidana (criminal justice system)
adalah terabaikannya hak korban kejahatan dalam proses penanganan
perkara pidana maupun akibat yang harus ditanggung oleh korban
kejahatan, karena perlindungan hukum terhadap korban kejahatan
belum mendapat pengaturan yang memadai.8 Hal ini dapat dilihat dalam
KUHAP, sedikit sekali pasal-pasal yang membahas tentang korban,
6
Ibid., hlm. 5.
7
Ibid., hlm. 6.
8
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM
Press, 2002), hlm. 2.

96 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

pembahasannya pun tidak fokus terhadap eksistensi korban tindak


pidana melainkan hanya sebagai warga Negara biasa yang mempunyai
hak yang sama dengan warga Negara lain. Terlihat dengan bermacam-
macamnya istilah yang digunakan dalam menunjuk seorang korban.
Kedudukan korban dalam KUHAP dapat dilihat dari rumusan
Pasal 160 Ayat (1) b KUHAP, yang menyebutkan bahwa “yang
pertama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi”.
Dengan demikian posisi korban tindak pidana di sini hanyalah sebagai
saksi dari suatu perkara pidana yang semata-mata untuk membuktikan
kesalahan tersangka/terdakwa. Korban kejahatan yang pada dasarnya
merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana,
justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh
undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku
kejahatan telah dijatuhkan sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi
korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal masalah
keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku
terhadap pelaku kejahatan tetapi juga korban kejahatan.
Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling
menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh
perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada
pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah
dijatuhkan sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan
seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan
penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku
kejahatan tetapi juga korban kejahatan.9
Penyelesaian perkara pidana melalui sistem peradilan pidana lebih
dominan mengedepankan dan fokus pada hak-hak tersangka/terdakwa.
Sementara hak-hak korban kurang mendapatkan perhatian, bahkan
dapat dikatakan terabaikan. Dalam penyelesaian perkara pidana melalui
sistem peradilan pidana, hak-hak korban kejahatan kurang memperoleh
perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya
immateriil maupun materiil.
Kedudukan korban kejahatan dalam penyelesaian perkara pidana
ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya
sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh

9
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.cit., hlm. 24.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 97


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

keleluasaan dalam memperjuangkan haknya sangatlah kecil. Asas-


asas hukum Acara Pidana yang dianut KUHAP pun hampir semua
mengedepankan hak-hak tersangka. Paling tidak terdapat sepuluh asas
yang dianut oleh KUHAP dengan maksud untuk melindungi hak warga
negara dalam proses hukum yang adil, yaitu:
1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun
2. Praduga tidak bersalah
3. Pelanggaran atas hak-hak individu warganegara (yaitu dalam
hal penangkapan, penahanan, penggledahan dan penyitaan harus
didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat
perintah;
4. Seorang tersangka hendak diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya;
5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan
penasehat hukum;
6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan
7. Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta
sederhana;
8. Peradilan harus terbuka untuk umum;
9. Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi
(ganti rugi) dan rehabilitasi.10
Memperhatikan keseluruhan asas-asas dalam KUHAP, dapat
dipahami bahwa secara normatif KUHAP hanya memperhatikan
hak-hak pelaku kejahatan, tanpa memberi ruang kepada korban untuk
memperjuangkan hak-haknya. Sebagaimana dikemukakan pada bab-
bab terdahulu, korban dalam KUHAP hanya diatur dalam beberapa
pasal saja yaitu Pasal 98- 101. Bunyi pasal dimaksud secara lengkap
seperti di bawah ini:
Pasal 98 Ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa suatu jika
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka hakim ketua siding atas permintaan orang itu dapat

10
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), hlm. 86.

98 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian


kepada perkara pidana itu.
Kemudian didalam Pasal 99 KUHAP, ditegaskan bahwa apabila
pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan
negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebernaran dasar gugatan dan tentang hukum
penggantian biaya yang dirugikan tersebut. Dalam hal pengadilan negeri
menyatakan tidak berwenang untuk mengadili gugatan atau gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima, maka putusan hakim hanya memuat
tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan
oleh pihak yang dirugikan. Putusan mengenai ganti kerugian dengan
sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila putusan pidananya juga
mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 100 KUHAP menyebutkan, apabila terjadi penggabungan
antara perkara perdata dan perkara pidana maka penggabungan itu
dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
Jika ternyata terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan
banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak
diperkenankan. Lebih lanjut, dalam Pasal 101 KUHAP, menentukan
bahwa ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan
ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.
Ketentuan Pasal 98-101 KUHAP, merupakan pasal-pasal
yang berkaitan dengan hak korban dalam menuntut ganti kerugian.
Mekanisme yang ditempuh adalah penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian pada perkara pidana. Penggabungan perkara ganti kerugian
merupakan acara yang khas dan karakteristik, yang ada didalam isi
ketentuan dari KUHAP.
Asas penggabungan perkara ganti kerugian pada perkara pidana
dapat disebutkan sebagai berikut:11
1. Merupakan praktik penegakan hukum berdasarkan ciptaan
KUHAP sendiri bagi proses beracara (pidana dengan perdata)
untuk peradilan di Indonesia. KUHAP memberi prosedur hukum

11
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti
Kerugian dalam KUHAP, (Bandung : Mandar Maju, 2003). hlm. 86.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 99


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

bagi seorang korban (atau beberapa korban) tindak pidana, untuk


menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa
bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang
berlangsung;
2. Penggabungan pemeriksaan dan putusan gugatan ganti kerugian
pada perkara pidana sekaligus adalah sesuai dengan asas
keseimbangan yang dimaksud KUHAP.
Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam hal ini
adalah dimaksudkan agar dalam perkara gugatan tersebut pada suatu
ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara
pidana yang bersangkutan. Penggabungan perkara merupakan
perwujudan asas beracara dengan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Dengan demikian, orang lain termasuk korban dapat sesegera mungkin
memperoleh ganti ruginya tanpa harus melalui prosedur perkara perdata
biasa yang dapat memakan waktu yang lama.12
Pelaksanaan penggabungan perkara dalam penyelesaian perkara
pidana pada dasarnya bertujuan agar orang lain atau saksi korban dalam
tindak pidana sesegera mungkin mendapatkan ganti kerugian, serta
tidak lagi dibebani melalui prosedur dan proses perdata yang terpisah dan memakan waktu lama.13
Namun, untuk dapat mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:14
1. Haruslah berupa dan merupakan kerugian yang dialami oleh orang
lain termasuk korban (saksi korban) sebagai akibat langsung dari
tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
2. Jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat diminta hanya
terbatas sebesar jumlah kerugian materiil yang diderita orang
lain, termasuk korban tersebut;
3. Bahwa sasaran subjek hukumnya pihak-pihak adalah terdakwa;
4. Penuntutan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara
pidananya tersebut hanya dapat diajukan selambatlambatnya
sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisitor);

Ibid., hlm. 86.


12

Ibid., hlm. 87.


13

14
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm. 114.

100 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

5. Dalam hal penuntutan umum tidak hadir, tuntutan diajukan


selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan;
6. Perkara pidananya tersebut menimbulkan kerugian bagi orang
lain. Kerugian bagi orang lain termasuk kerugian pada korban;
7. Penuntutan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada
perkara pidana tersebut tidak perlu diajukan melalui panitera
pengadilan negeri, melainkan dapat langsung diajukan dalam
sidang pengadilan melalui majelis hakim.
8. Gugatan ganti kerugian Pasal 98 Ayat (1) KUHAP adalah, harus
sebagai akibat kerugian yang timbul karena perbuatan terdakwa
dan tidak mengenai kerugian-kerugian lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa didalam
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian hanya terbatas pada
tuntutan ganti kerugian yang secara nyata-nyata (riil) dikeluarkan atau
dengan kata lain ganti kerugian materiil. Pembatasan tuntutan ganti
kerugian oleh korban melalui penggabungan perkara dimaksudkan
agar:15
1. Proses penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut
harus berjalan cepat, tidak memakan waktu yang lama dan
seketika dan sesegera mungkin dapat direalisasikan, serta
adanya prinsip pemeriksaan peradilan yang cepat dan sederhana.
Misalnya, hanya membuktikan bukti-bukti surat dan kwitansi,
biaya pengobatan, biaya perawatan, biaya memperbaiki
kendaraan, dan lain-lain.
2. Kerugian materiil yang berupa kerugian yang secara nyata (riil)
tersebut mudah pembuktiannya;
3. Karena hanyalah kerugian yang immateriil tidak dapat diterima
untuk penggabungan perkara gugatan ganti kerugian;
4. Karena itulah, imbalan ganti kerugian immateriil harus dipisahkan,
dengan maksud agar diajukan tersendiri pada gugatan perdata
biasa, karena dipandang tidak sederhana dan tidak mudah;
5. Karena pemeriksaan dan pembuktiannya sulit serta memakan waktu,
pula menghambat pemeriksaan pidananya, sehingga bertentangan
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
15
Ibid., hlm. 88-89.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 101


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Adanya ketentuan pembatasan tuntutan ganti kerugian oleh korban


melalui penggabungan perkara dalam proses peradilan pidana sebagaimana
diatur dalam KUHAP, secara tidak langsung telah melemahkan korban
dalam mengupayakan hak-haknya sebagai korban melalui penggabungan
gugatan ganti kerugian. Kelemahan-kelemahan dalam KUHAP terkait
dengan hak-hak korban untuk mengajukan tuntutan ganti rugi melalui
penanggabungan perkara, dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati
hakikat tujuan ganti kerugian itu sendiri;
2. Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita langsung
kerugian atau pihak korban untuk memperoleh jumlah besarnya
ganti kerugian dibatasai hanya pada kerugian materiil yang nyata-
nyata dikeluarkan oleh orang yang dirugikan langsung tersebut.
Jadi KUHAP dalam ketentuan-ketentuannya membatasi hak;
3. Untuk kerugian non materiil, yaitu kerugian immaterial terpaksa
harus mengajukan lagi dengan gugatan perdata biasa tersendiri,
yang mungkin dapat memakan waktu lama;
4. Kondisi seperti ini berarti mengaburkan maksud semula dari
penggabungan itu sendiri, yang bertujuan untuk menyederhanakan
proses;
5. Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran ganti
kerugian tersebut;
6. Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang
bersifat immateriil juga, hasilnya akan nihil, karena putusan
selalu menyatakan: gugatan ganti kerugian immateriil tersebut
dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak berdasarkan hukum;
7. Majelis hakim/hakim harus cermat, sebab selalu harus
memisahkan antara kerugian materiil dengan kerugian immateriil,
sehingga tidak efisien;
8. Karena gugatan ganti kerugian pada perkara pidana hanya bersifat
assesor;
9. Pada setiap putusan perdatanya, pihak korban/penggugat dalam
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut selalu
menggantungkan pihak terdakwa atau jaksa penuntut umum jika
mau banding, sehingga melenyapkan hak bandingnya sebagai
upaya hukum.

102 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Dari berbagai kelemahan-kelemahan yang terkandung didalam


KUHAP tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa secara substansial
kedudukan dan perlindungan terhadap korban kejahatan belum
mendapatkan tempat yang proporsional, dalam KUHAP belum mampu
untuk mendorong korban. Ketentuan yang diatur dalam KUHAP justeru
mempersempit ruang korban untuk mengajukan hak-haknya melalui
penggabungan perkara, karena adanya pembatasan dalam KUHAP
yang menentukan bahwa gugatan ganti rugi melalui penggabungan
perkara hanya dapat diajukan oleh korban untuk kerugian yang bersifat
materiil. Sedangkan untuk pemulihan kerugian immateriil masih harus
diajukan secara terpisah melalui gugatan perdata yang pada prakteknya
tidak sederhana.

C. Konsistensi Implementasi Hak-Hak Korban Dalam Proses


Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana merupakan suatu lembaga yang
menunjukkannya bekerjanya aparatur penegak hukum dalam menegakan
hukum pidana materil dan formil. Sistem peradilan pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian.
Kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.16 Dikemukakan
pula bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network)
peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,
baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana. Namun demikian, kelembagaan substansial ini
harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu
formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum,
akan membawa kepada ketidakadilan.17
Tujuan utama yang terkandung dalam pelaksanaan sistem
peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi objek/korban,
menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan

Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 15.


16

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit


17

Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 18.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 103


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak


mengulangi lagi kejahatannya.18
Hakim dalam menjatuhkan putusannya memiliki kewajiban untuk
menggali nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-
Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menyebutkan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
Praktiknya, dalam penegakan hukum pidana melalui proses
peradilan pidana yang bermuara pada penjatuhan putusan pengadilan,
tidak jarang mengabaikan rasa keadilan masyarakat, bahkan tidak jarang
putusan hakim mencederai rasa keadilan masyarakat. Ketidakadilan
dalam penegakan hukum pidana melalui proses peradilan pidana dapat
dilihat dari hasil akhir proses peradilan pidana (out put) berupa putusan
pengadilan.
Pengabaian hak-hak korban dalam peradilan pidana dapat dilihat
dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3096 K/
Pid. Sus/2018, dalam perkara tindak pidana penipuan jamaah umroh
yang dilakukan oleh pemilik First Travel. Mahkamah Agung dalam
putusannya menyatakan bahwa: berdasarkan fakta di persidangan,
barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan
oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti
selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan
tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan
Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut
dirampas untuk Negara”.
Perampasan asset Fisrt Travel oleh negara jelas mengabaikan hak-
hak korban (dalam hal ini jamaah umroh). Dalam kasus tersebut pihak
yang paling dirugikan adalah masyarakat (jamaah), bukanlah negara.
Perampasan asset Fisrt Travel oleh negara dengan alasan apapun jelas
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan bentuk pengabaian
terhadap hak korban.

18
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 15.

104 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB VI
POTENSI TIMBULNYA KORBAN
DALAM PROSES PENEGAKAN
HUKUM PIDANA
A. Prinsip-prinsip Penegakan Hukum Pidana

P enegakan hukum pidana dalam kedudukannya sebagai hukum


pidana materiil tidak dapat terlepas dari peran hukum pidana
formal, yang bertujuan untuk menegakan keseluruhan hukum pidana
materiil yang telah ditetapkan dalam berbagai undang-undang. Di
Indonesia, ketentuan hukum pidana formal telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut
KUHAP). Oleh karena itu, setiap proses peradilan pidana yang dimulai
dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka
persidangan sampai saat ini tetap mengacu kepada ketentuan KUHAP.
Penegakan hukum pidana dalam arti formal menuntut bekerjanya
sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana Indonesia menempatkan
instansi, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) sebagai pilar penegakan hukum di Indonesia yang mempunyai
peranan penting dalam pelaksanaan fungsi penegakan hukum. Sistem
peradilan pidana adalah sebuah lembaga yang dengan sengaja di bentuk
dengan sebuah tujuan untuk menjalankan penegakan hukum, khususnya
hukum pidana yang dalam proses pelaksanaannya dibatasi oleh sebuah
mekanisme kerja yang telah ditetapkan dalam suatu aturan tentang
prosedur hukum atau yang dikenal dengan hukum acara pidana.
Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak
adanya pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan
seseorang telah melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan
putusan hakim. Sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem
peradilan pidana mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana
utama, dan dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana
formil dan hukum pelaksanaan pidana.1
1
Yesril Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana ..., hlm. 45.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 105


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses


penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali
dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif
maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu
pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana “in abstracto” yang
akan diwujudkan dalam penegakan hukum “in concreto”.2
Pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system)
terdapat berbagai teori yang digunakan, ada yang menggunakan
pendekatan dikotomi dan atau pendekatan trikotomi. Pendekatan
dikotomi umumnya digunakan oleh teoritisi hukum pidana di Amerika
Serikat. Herbert Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford,
menggunakan pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai
praktis dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.
Terdapat dua model dalam pendekatan dikotomi. Pertama, crime
control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting
dan harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana, sehingga
perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana.
Penekanan penting pada model ini adalah efektifitas, yaitu kecepatan
dan kepastian. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di
dalam proses pemeriksaan oleh petugas kepolisian. Presumption
of guilty digunakan untuk mempercepat memproses tersangka atau
terdakwa ke sidang pengadilan. Nilai-nilai yang rnelandasi crime
control model adalah tindakan refresif terhadap suatu tindakan kriminal
merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan.3
Penegakan hukum harus dilaksahakan berlandaskan prinsip cepat
dan tuntas, dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum
tersebut adalah model administratif dan merupakan model manajerial.
Asas praduga tak bersalah akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan
secara efisien. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada
kualitas temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut
akan membawa ke arah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan,
atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.

2
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer Di Indonesia,
(Jakarta : Prenada Kencana Media Group, 2010), hlm. 19.
3
Tholib Efendi, Op.cit., hlm. 21.

106 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Pendekatan kedua yang digunakan dalam sistem peradilan


pidana adalah due process model, model ini menekankan seluruh
temuan-temuan fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh melalui
prosedur formal yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Setiap
prosedur adalah penting dan tidak boleh diabaikan, melalui suatu
tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan,
penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi untuk setiap tahap
pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang nyata-
nyata tidak bersalah akan dapat rnemperoleh kebebasan dari tuduhan
melakukan kejahatan.4
Presumption of innocence merupakan tulang punggung model
ini. Adapun nilai-nilai yang melandasi due process model adalah
mengutamakan, formal-adjudicative dan adversary fact findings, hal ini
berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke rnuka pengadilan
yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka rnemperoleh
hak yang penuh untuk rnengajukan pembelaannya. Menekankan pada
pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan rnekanisme
administrasi dan peradilan.
Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah
penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung
disalahgunakan atau memilih potensi untuk menempatkan individu pada
kekuasaan yang koersif dari Negara. Memegang teguh doktrin legal
audit yaitu: seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya
dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki
kewenangan untuk tugas itu.
Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan
akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-
undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan
kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak
memihak. Gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan. Lebih
mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
Muladi mengemukakan, bahwa dari teori-teori sistem peradilan
pidana dengan berbagai bentuk model pendekatannya, untuk konteks
diindonesia yang cocok adalah model yang mengacu kepada daad-dader

4
Heri Tahir, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia, (Yokyakarta : Laskbang Pressindo, 2009), hlm. 24.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 107


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

strafrechf, atau model keseimbangan kepentingan. Model ini merupakan


model yang realistik, yang memperhatikan pelbagai kepentingan
yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara,
kepentingan umum, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan
korban kejahatan. Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :5
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah
dipidana.
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat
dikategorikan sebagai berikut:6
1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi
dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
2. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas
yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks
politik kriminal (criminal policy).
3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah
kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik
sosial (Social Policy).
Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana,
sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik
dalam arti sinkronisasi struktural (struktural syncronization), dapat
pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula
bersifat kultural (cultural syncronization) . Dalam hal sinkronisasi
struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme
administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga
penegak hukum.7
Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini
mengandung makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya

5
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 7.
6
Ibid., hlm. 5.
7
Ibid., hlm. 6.

108 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural


mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghAyati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

B. Kesalahan Prosedural Dalam Proses Peradilan Pidana


Berpotensi Menimbulkan Korban Salah Tangkap
Penegakan hukum pidana terhadap berbagai bentuk kejahatan
yang terjadi di masyarakat dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
diawali dari pelaksanaan kewenangan Kepolisian Republik Indonesia
dalam kedudukannya sebagai penyidik. Rangkaian panjang dalam
proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang
dinamakan penyelidikan. Apabila hasil dari penyelidikan tersebut
penyelidik menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
(delict), maka statusnya akan ditingkatkan pada tahap penyidikan
yang ditujukan untuk mencari bukti dan menemukan tersangkanya.
Selanjutnya, penyidik apabila telah menemukan bukti permulaan
yang cukup dan mengarah kepada seseorang sebagai tersangka, dapat
melakukan penangkapan guna kepentingan penyidikan.
Pengaturan dan mekanisme penangkapan terhadap tersangka telah
diatur sedemikian rupa di dalam KUHAP. Hal ini guna menghindari
terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (disebut dengan HAM)
dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam proses penangkapan
yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian. Oleh karena itu, pelaksanaan
penangkapan harus sesuai dengan cara-cara yang sudah ditentukan
dalam KUHAP, yakni pada Bab V Bagian Kesatu Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19 KUHAP.
Penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka oleh
penyidik pada dasarnya merupakan bentuk pengurangan dari hak
asasi seseorang (hak kebebasan kemerdekaan). Tindakan penangkapan
haruslah benar-benar diletakkan pada proporsinya, yaitu hanya demi
kepentingan hukum dan benar-benar sangat diperlukan. Pasal 17
KUHAP, menentukan bahwa dalam proses penangkapan harus dipenuhi
2 (dua) syarat, yaitu seseorang tersangka harus diduga keras melakukan
tindak pidana, dan dugaan kuat itu didasarkan pada bukti permulaan
yang cukup. Pasal tersebut menunjukan bahwa perintah penangkapan

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 109


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan


kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.8
Kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi
hukum yang cukup besar, jika kekeliruan tersebut tidak segera
diperbaiki, maka bisa saja kekeliruan tersebut terus berlangsung pada
tahap-tahap selanjutnya. Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas
penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkap suatu peristiwa pidana
tidak jarang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur
hukum. Akibatnya, masyarakat yang tidak bersalahpun menjadi korban
salah tangkap dan korban peradilan sesat.
Selain itu, penyidik juga tidak jarang melakukan cara-cara
yang tidak manusiawi seperti menyiksa tersangka, bahkan memaksa
tersangka untuk mengakui bahwa tersangka telah melakukan suatu
tindak pidana, padahal cara-cara demikian tidak dibenarkan dalam
KUHAP.9 Ketentuan ini diatur dalam Bab VI tentang hak-hak Tersangka
dan Terdakwa dalam proses peradilan pidana, yang diatur mulai Pasal
50 sampai 68 KUHAP.
Kasus salah tangkap yang kerap terjadi dalam proses peradilan
pidana menunjukkan betapa tidak cermat dan cerobohnya aparat penegak
hukum, khususnya penyidik dalam menjalankan dan melaksanakan
tugasnya. Salah satu contoh kasus salah tangkap dapat dilihat peristiwa
yang dialami oleh dua orang pengamen yakni Andro dan Benges. Kasus
salah tangkap tersebut berawal dari kasus pembunuhan terhadap korban
yang bernama Dicky Maulana (Alm). Korban merupakan pengamen
pendatang baru di kawasan Kebayoran tempat dimana para tersangka
sering mengamen dan berkumpul dengan teman sesama pengamen
lainnya. Akibat penangkapan dan proses peradilan pidana yang dialami
oleh korban, telah menimbulkan kerugian materiil dan immateriil karena
korban telah menjalani proses penangkapan, penahanan, penuntutan
dan penjatuhan hukuman selama 7 (tujuh) tahun penjara berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Perkara Nomor : 1273/
Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel. tanggal 16 Januari 2014.

8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 158.
9
M. Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule: Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan,
(Jakarta : Pustaka Yustitia, 2010), hlm. 66.

110 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Keadaan tersebut seharusnya tidaklah dialami oleh para terdakwa,


jika aparatur penegak hukum sungguh-sungguh melaksanakan tugas
dan fungsinya. Namun akibat dari ketidakcermatan dan kecerobohan
dari aparatur penegak hukum dalam penegakan hukum yang dilakukan
oleh aparatur penegak hukum, maka dalam penegakan hukum tersebut
telah menimbulkan korban, bahkan melanggar hak asasi manusia.
Sehubungan dengan timbulnya korban salah tangkap dalam proses
peradilan pidana, maka kemudian muncul pertanyataan yang sangat
mendasar, yaitu apakah kesalahan penyidik Kepolisian melakukan
penangkapan dapat dianggap sebagai bentuk kejahatan dan apakah
orang yang ditangkap tersebut dapat dipandang sebagai “korban” atau
dinyatakan sebagai korban salah tangkap. Menurut sudut pandang
secara sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang
selain merugikan si penderita, juga merugikan masyarakat yaitu berupa
hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.10
Hak dan wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai
penyelidik dan penyidik diatur dalam Pasal 1 Ayat (4) KUHAP, serta
ada juga pasal-pasal lain yang mendukung kepolisian sebagai alat negara
yang mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan, penyelidikan
dan penyidikan, namun Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Polri menegaskan bahwa: “Kepolisian Negara Indonesia
bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Kemudian
muncul pertanyaan, bagaimana jika kepolisian salah menjalankan
wewenangnya? dan tidak menjadi penegak hukum yang baik? Apakah
tindakan kepolisian dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan, dan
bagaimana pula sanksi bagi polisi pelaku salah tangkap?.
Tindakan Kepolisian yang menangkap orang yang nyata bukan
pelaku tindak pidana yang sebenarnya (salah tangkap) merupakan
suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan
undang-undang. Tindakan ini biasanya dianggap sebagai kesalahan
prosedur (kesalahan administratif), padahal sebenarnya tindakan

10
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 2010), hlm. 2

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 111


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

kepolisian yang melakukan salah tangkap merupakan perbuatan pidana


(kejahatan) yang menimbulkan korban, yaitu korban salah tangkap.
Dari beberapa kasus salah tangkap yang terjadi di Indonesia
terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian, yaitu
adanya unsur ancaman dan tindak kekerasan terhadap tersangka pada
proses pemeriksaan dan penyidikan. Tindakan demikian tidaklah patut
dipandang sebagai kesalahan administrasi belaka, melainkan sudah
merupakan suatu bentuk perbuatan pidana sesuai dengan ketentuan
Pasal 88 KUHP.
Pasal 88 KUHP menyatakan bahwa permufakatan jahat
(samepspanning) dianggap ada, bila saja dua orang atau lebih
bermufakat untuk melakukan kejahatan itu. Menurut R. Soesilo, yang
masuk dalam pengertian “permufakatan jahat” ialah permufakatan
untuk berbuat jahat, sedangkan segala pembicaraan atau rundingan
untuk mengadakan permufakatan itu belum masuk dalam pengertian
“permufakatan jahat”.11
Apabila tersangka pada saat pemeriksaan atau penyidikan oleh
penyidik kepolisian untuk mengakui perbuatan orang lain, maka
perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai permufakatan jahat. Sebab,
sudah barang tentu penyidik kepolisian yang bertugas untuk melakukan
penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana lebih dari satu orang, jadi
tindakan salah tangkap yang didalamnya terdapat unsur intimidasi dari
pihak penyidik tidaklah termasuk dalam kategori kesalahan prosedur
(kesalahan administrasi).
Tindakan salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik kepolisian
yang didalamnya terdapat unsur ancaman dan tindakan kekerasan, maka
terhadap tindakan penyidik tersebut dapat diberlakukan ketentuan Pasal
335 Ayat (1) ke-1e KUHP, yang menyebutkan:
Barang siapa dengan melawan hak memaksa orang lain untuk
melakukan, tiada melakukan atau membiarkan barang sesuatu
apa dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun
dengan perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan
ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain,
ataupun ancaman dengan perbuatan yang tidak menyenangkan,
akan melakukan sesuatu itu baik terhadap orang itu, maupun
terhadap orang lain.

11
Ibid., hlm. 97.

112 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sekilas penafsiran yang diberikan oleh R. Soesilo terhadap


ketentuan Pasal 335 KUHP, memiliki penafsiran yang berbeda dengan
konteks ancaman dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh penyidik
kepolisian dalam proses pemeriksaan dan penyidikan terhadap
terdakwa. Perbuatan yang dimaksudkan dalam pasal ini oleh R. Soesilo
ditafsirkan sebagai perbuatan memaksa dengan cara sebagai tersebut,
seseorang pekerja untuk bekerja atau untuk tidak bekerja, untuk masuk
dalam organisasi politik atau untuk tidak masuk, atau sopir memaksa
seorang penumpang untuk masuk dalam taksinya.12
Perbuatan yang dimaksudkan dalam Pasal 335 Ayat (1) KUHP,
yakni adanya tindakan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang
lain untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perbuatan
dengan ancaman atau dengan kekerasan. Sedangkan dalam konteks
salah tangkap, tindakan yang dilakukan oleh kepolisian bukanlah
menyuruh si tersangka untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan, melainkan bertujuan untuk mengakui suatu perbuatan yang
bukan dilakukan oleh si tersangka. Namun, apabila dicermati secara
seksama, ketentuan pasal ini termasuk pula tindakan penyidik kepolisian
yang menyuruh tersangka untuk mengakui perbuatan orang lain atau
untuk tidak berbuat sesuatu, yakni tidak menyangkal bahwa perbuatan
yang telah disangkakan pada dirinya.
Praktiknya, ketentuan Pasal 88 KUHP dan Pasal 355 KUHP
belum pernah diterapkan terhadap penyidik kepolisian yang melakukan
tindakan ancaman atau kekerasan terhadap terdakwa. Hal ini berarti
bahwa penafsiran yang digunakan terhadap pasal ini adalah penafsiran
yang diberikan oleh R, Soesilo, sehingga dalam konteks tindakan
ancaman dan kekerasan yang dilakukan penyidik terhadap tersangka
bukanlah termasuk dalam kategori yang dimaksudkan dalam Pasal
355 KUHP.
Apabila ternyata tindakan penyidik kepolisian yang melakukan
ancaman dan kekerasan terhadap tersangka pada saat pemeriksaan dan
penyidikan dianggap sebagai kesalahan prosedur, sehingga berimplikasi
hukum pada tanggung jawab administrasi, maka tentunya tidaklah
pantas untuk menyebut tersangka sebagai “korban”. Sebab, adanya

12
Ibid., hlm. 239.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 113


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

“korban” berkaitan dengan “kejahatan”, tanpa adanya kejahatan maka


sesungguhnya tidak akan muncul korban.
Salah satu proses yang mengawali penegakan hukum pidana
adalah dilaksanakannya proses penyelidikan dan penyidikan. Dengan
dilaksanakannya proses penyidikan, dapatlah diketahui apakah suatu
perbuatan atau tindakan itu termasuk tindak pidana atau tidak. Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, menjadikan Polri sebagai alat Negara
penegak hukum, penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta
sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.
Tugas dan fungsi Polri dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjadi
tantangan tersendiri bagi Polri. Sebab dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya tersebut dibutuhkan keahlian manajerial yang berkaitan
erat dengan masalah-masalah pelaksanaan koordinasi. Di sisi lain juga
dituntut penguasaan tentang penyidikan yang ruang geraknya senantiasa
dibatasi oleh ketentuan hukum yang berlaku. Dengan kata lain,
tindakan penyidikan yang dilakukan Kepolisian sangat berpengaruh
terhadap pelaksanaan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, karena
penyidikan merupakan langkah awal dalam proses penegakan hukum
dalam proses peradilan pidana dan bekerjanya sistem peradilan pidana
(criminal justice system).
Kasus salah tangkap (error in persona) menunjukkan bagaimana
proses peradilan pidana tidak berjalan dengan baik, karena berbagai
kesalahan dan kekurangan penyidik Polri dalam melakukan fungsi
penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa pidana. Penyelidikan
yang dilakukan penyidik dalam mengungkap suatu peristiwa pidana
memang tidak dapat dianggap remeh, karena hal ini menyangkut
dapat atau tidaknya sebuah tindakan dikatakan memenuhi unsur-
unsur kejahatan sehingga pelaku dikenakan hukuman. Kesalahan
dan kekeliruan dalam proses penyelidikan dan penyidikan, jika tidak
dihentikan akan mengakibatkan timbulnya korban salah tangkap,
terlebih proses hukum berlanjut pada penjatuhan hukuman oleh
pengadilan.
Ilmu yang mempelajari mengenai korban kejahatan disebut
ilmu Viktimologi. Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah
atau studi yang mempelajari Victimisasi (kriminal) sebagai suatu

114 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.


Perumusan ini membawa akibat perlunya pemahaman yaitu: 13
1. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut porsi yang
sebenarnya secara dimensional.
2. Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interrelasi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.
3. Sebagai suatu tindakan seorang (individu) yang dipengaruhi oleh
unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.
Terjadinya kasus salah tangkap menurut teori viktimologi, yakni
bukan saja karena pelaku kejahatan dalam hal ini penyidik Kepolisian,
tetapi juga adanya peran korban. Peran korban dalam hal ini nadalah
ketidaktahuan korban mengenai hak-hak yang dimilikinya dalam
proses peradilan pidana. Rendahnya pengetahuan korban oleh hukum
telah diberikan upaya perlindungan dengan adanya kewajiban untuk
didampingi penasehat hukum bagi pelaku tindak pidana, khususnya
pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatan pidana yang diancam
dengan ancaman pidana pidana penjara 5 tahun atau lebih.14
Menurut Alm Adnan Buyung Nasution, dalam sebuah diskusi
yang dilaksanakan oleh YLBHI, mengungkap bahwa kasus salah
tangkap dan peradilan sesat umumnya disebabkan pelanggaran hak-hak
tersangka/terdakwa, meliputi :15
1. Minimnya informasi masyarakat tentang hak-hak tersangka/
terdakwa, khususnya hak bantuan hukum. Seperti : dampingan
paralegal, salin berita acara, hak praduga tidak bersalah, hak
mendapatkan bantuan hukum, dan sebagainya.
2. Sering kali terjadi penyiksaan dan penggunaan kekerasan, dan
intimidasi untuk memperoleh informasi.
3. Proses Pemeriksaan (penahanan) di setiap tingkatan berlangsung
lama. Contoh jika tersangka tidak diperiksa 1 X 24 jam. Maka
tersangka berhak untuk dibebaskan.

13
Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom, Op.cit., hlm. 39.
14
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 243.
15
Max Andrwe Ohadi, Minimalisir Korban Salah Tangkap, diakses melalui
website : https://www.kompasiana.com, tanggal 11 September 2018. Pukul. 11. 30
Wib.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 115


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

4. Hak untuk menghadirkan saksi/ahli yang meringankan tidak


seimbang dengan saksi/ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.
5. Sulitnya menuntut ganti rugi akibat penangkapan dan penahanan
yang tidak sah.
Dilihat dari aspek aparat penegak hukum, terjadinya korban
salah tangkap disebabkan kurangnya profesionalisme dari aparat
penegak hukum, khususnya pihak penyidik Kepolisian. Sebab, penyidik
Kepolisian merupakan pintu gerbang dari proses peradilan pidana.
Berhasil tidaknya suatu penegakan hukum, maka sangat bergantung
pada institusi Kepolisian, karena fungsi penegakan hukum yang dimiliki
kepolisian adalah mengungkap suatu peristiwa pidana dengan cara
melaksanakan penyelidikan dan penyidikan.
Dilihat dari aspek penegak hukum, khususnya penyidik
Kepolisian, faktor penyebab terjadinya salah tangkap yang berdampak
pada timbulnya korban salah tangkap, antara lain:
1. Dinamika kerja kepolisian yang begitu kompleks.
Institusi kepolisian dihadapkan pada dinamika kerja yang
begitu kompleks, yakni banyaknya kasus yang harus diselesaikan,
mulai dari kejahatan teroris, konflik yang terjadi di masyarakat,
dan berbabagi laporan kejahatan dari masyarakat. Tentunya
masyarakat mengharapkan kinerja polisi yang cepat, namun
penyelesaian kasus oleh kepolisian juga mendapat sorotan
dari masyarakat. Polisi yang bertindak tegas dan cepat akan
mendapat reaksi dari masyarakat, sebaliknya Kepolisian yang
terlalu mengikuti prosedur, juga mendapat respon dan negatif
dari masyarakat karena kinerja terlalu lamban.
2. Sumber daya manusia
Harus diakui bahwa tuntutan profesionalisme kerja
Kepolisian sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas dari
personel Kepolisian itu sendiri atau yang sering disebut dengan
sumber daya manusia (SDM). Sumber daya manusia, khususnya
yang berkaitan dengan kualitas dari personel kepolisian yang
masih rendah, menyebabkan proses penyidikan yang kurang
profesional, sehingga penyidik lazim menggunakan cara-cara
lama untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.

116 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Proses penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik


Kepolisian masih menggunakan metode atau cara-cara lama
dengan mengedepankan pengakuan tersangka. Sehingga untuk
memperoleh pengakuan tersangka dalam proses penyidikan,
tidak jarang penyidik Kepolisian menggunakan tekanan berupa
ancaman dan tindak kekerasan. Padahal, menurut KUHAP
pengakuan tersangka bukanlah hal krusial yang dibutuhkan dan
menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
3. Proses penyidikan yang rumit
Proses penyidikan bukanlah suatu hal yang mudah, sebab
para tersangka seringkali tidak mengakui perbuatannya bahkan
menyangkal perbuatan yang disangkakan terhadap dirinya. Hal
ini dikarenakan penyidik masih memposisikan tersngka sebagai
objek, bukannya subjek. Akibatnya penyidik harus memperoleh
pengakuan tersangka, agar proses penyidikan sampai pada
kesimpulan bahwa tersangka adalah pelaku dari tindak pidana
tersebut.
4. Adanya target penyelesaian penyidikan
Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu perkara
pidana yang ditangani oleh kepolisian oleh undang-undang
diberikan batasan waktu, dan berkaitan pula dengan batas waktu
penahanan terhadap tersangka oleh penyidik. Apabila batas
waktu yang telah ditetapkan undang-undang terlampaui, maka
berimplikasi pada bebasnya tersangka atau tersangka demi hukum
wajib dibebaskan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Ayat (1) KUHAP, telah
ditentukan batas waktu lamanya penangkapan, tidak boleh lebih dari
“satu hari”. Lewat dari satu hari berarti telah terjadi pelanggaran
hukum, dan dengan sendirinya penangkapan dianggap “tidak sah”.
Konsekuensinya tersangka harus “dibebaskan demi hukum”. Atau
jika batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasihat hukumnya,
atau keluarganya dapat meminta pemeriksaan kepada Pra-peradilan
tentang sah tidaknya penangkapandan sekaligus dapat menuntut
ganti rugi.
Adanya batasan waktu tersebut, menyebabkan penyidik
Kepolisian harus menyelesaikan proses penyidikan sesuai dengan batas

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 117


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

waktu yang telah ditentukan, sehingga seringkali hal ini menyebabkan


terabaikannya hak-hak tersangka. Bahkan, tidak jarang dalam proses
penyidikan tersebut tersangka mengalami tekanan dan tindak kekerasan
dari penyidik Kepolisian.
Tekanan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap tersangka
tersebut biasanya adalah untuk memenuhi batasan waktu penyidikan
yang telah ditetapkan oleh undang-undang, yang memiliki konsekuensi
hukum adanya tuntutan ganti kerugian dan sanksi bagi penyidik apabila
tidak menyelesaikan proses penyidikan, sesuai dengan ketentuan Pasal
19 Ayat (1) KUHAP.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa faktor
penyebab terjadinya salah tangkap adalah karena rendahnya
pengetahuan masyarakat (khususnya tersangka) mengenai hak-
haknya sebagai tersangka dalam proses pemeriksaan dan penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian. Selain itu, adanya
pengabaian hak-hak tersangka, khususnya hak untuk didampingi
oleh penasihat hukum dalam proses pemeriksaan dan penyidikan.
Praktinya, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum hanya
diberlakukan pada pemeriksaan di persidangan, sehingga dalam
proses pemeriksaan dan penyidikan seringkali terjadi pelanggaran
hak-hak tersangka oleh penyidik karena tidak adanya kontrol dari
pihak penasihat hukum.
Faktor penyebab terjadinya salah tangkap di atas, apabila
dihubungkan dengan teori kriminologi, maka penyebab terjadinya salah
tangkap oleh aparat penyidik kepolisian adalah tidak adanya aturan
yang secara eksplisit mengatur tentang tindakan pelanggaran hak-hak
asasi tersangka dalam proses pemeriksaan dan penyidikan atau yang
disebut dengan terjadinya anomie (ketiadaan norma).
Selain itu, terjadinya salah tangkap juga dikarenakan lemahnya
kontrol sosial (lembaga-lembaga) yang ada terhadap kinerja aparat
penegak hukum, khususnya penyidik Kepolisian. Lemahnya kontrol
sosial dapat dilihat dari tidak didampinginya tersangka oleh penasihat
hukum sejak awal dilakukannya proses pemeriksaan atau penyidikan.
Kondisi inilah yang disebut oleh teori kontol sosial, menjadi penyebab
terjadinya kejahatan atau penyimpangan oleh aparat penegak hukum,
khususnya penyidik Kepolisian.

118 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

C. Perlindungan Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut


KUHAP
Didalam KUHAP, tidak ditemukan pasal yang mengatur dan
menyebutkan secara ekplisit mengenai korban salah tangkap. Namun,
frasa kata ”salah tangkap” merupakan kata yang tersirat di dalam
KUHAP. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 98 KUHAP, yang
menyatakan: tersangka, terdakwa atau terpidana berhak untuk menuntut
ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau
dikenakan tindakan lain, tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Pasal 98 KUHAP memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud
dengan salah tangkap adalah adanya kekeliruan dalam proses peradilan
pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu oleh Polisi,
Kejaksaan maupun Pengadilan. Kekeliruan tersebut menyangkut
mengenai “orangnya”, yaitu terjadinya kekeliruan terhadap tersangka
atau terdakwa atau orang yang ditangkap. Artinya, orang yang ditangkap
atau ditahan bukanlah pelaku kejahatan yang sebenarnya, melainkan
adalah orang lain, tetapi karena kekeliruan dari aparat penegak hukum
menjadikan orang tersebut berkedudukan sebagai tersangka ataupun
terdakwa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 98 KUHAP, dapat diketahui bahwa
kekeliruan mengenai orangnya disini adalah bukan karena kekeliruan
mengenai objek yang didakwakan atau error in persona, melainkan
kekeliruan mengenai terdakwanya atau orang yang ditangkap. Sehingga
ada beberapa tahapan mengenai salah tangkap atau kekeliruan mengenai
orang yang ditangkap, yaitu:16
1. Salah tangkap ketika masih dalam penyidikan, yakni setelah
statusnya dinaikkan dari saksi menjadi tersangka dan dengan
alibi serta bukti-bukti yang cukup, ternyata bukti tersebut tidak
mengarah pada tersangka. Atas dasar tersebut, pada tahap ini
tidak perlu untuk dilanjutkan proses selanjutnya.
2. Salah tangkap ketika dalam proses pengadilan, yakni dalam proses
persidangan baru diketahui bahwa, terdakwa sama sekali tidak
terlibat dalam suatu tindak pidana, dan

16
Arif Rohman, Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Salah Tangkap Dalam
Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Volume 3 Nomor 1, Pebruari 2017, hlm. 30.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 119


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

3. Salah tangkap ketika sedang menjalani pidana (bagi yang sudah


mendapatkan putusan tetap), yakni didapati barang bukti baru
yang mengarah pada tidak terbuktinya seseorang terhadap suatu
tindak pidana ketika sedang menjalani masa pidana.
Harus dipahami bahwa pengertian salah tangkap dalam penegakan
hukum pidana tidak saja diartikan sebagai tindakan penyidik yang keliru
dalam melakukan penangkapan terhadap tersangka, salah tangkap dapat
pula terjadi pada tahap persidangan, bahkan pada tahap menjalani masa
hukum (pidana).
Perlindungan korban dalam penegakan hukum pidana adalah
suatu keniscayaan agar masyarakat tidak menjadi korban dari
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Penegakan hukum
pidana materiil di Indonesia, dalam rangka mencari kebenaran materiil
sebagai tujuan hukum acara pidana sangat bergantung pada KUHAP.
Sebagaimana dikemukakan oleh Moch Faisal, bahwa tujuan hukum
acara pidana ialah :
Untuk mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya memintra pemeriksaan
dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan.17
Sesuai dengan tujuan hukum acara pidana yang dikemukakan
oleh Moch Faisal, maka penegakan hukum acara pidana merupakan
cara-cara untuk menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat yang
sekaligus bertujuan melindungi hak-hak asasi tiap-tiap individu baik
yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum.18 Perlindungan
hukum terhadap hak asasi individu, baik itu korban maupun pelaku,
dapat diwujudkan dengan pelaksanaan peradilan yang adil (fire trial).
Pengadilan yang adil merupakan suatu usaha perlindungan paling
dasar untuk menjamin bahwa para individu tidak dihukum secara tidak
adil. Proses hukum yang demikian terjadi apabila aparat penegak hukum
yang terkait dengan proses tersebut, tidak hanya melaksanakan tugasnya

17
Andi Sofyan dan Abdul Azis, Op.cit., hlm. 11.
18
Ibid., hlm. 11.

120 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

sesuai dengan aturan yang ada, tetapi memastikan agar semua hak
tersangka/terdakwa yang telah ditentukan diterapkan. Proses hukum
adil juga wajib mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip
yang melandasi proses hukum yang adil tersebut (meskipun asas atau
prinsip tersebut tidak merupakan peraturan hukum positif).19
Peradilan yang adil dalam sistem peradilan pidana didalamya
terkandung sebuah asas yang disebut due process of law. Romli
Atmasasmita, menjelaskan bahwa :
Dalam due process of law hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana
dilindungi dan dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga
negara. Namun prakteknya sikap sewenang-wenang aparatur
penegak hukum masih diberlakukan, hal ini terlihat dari
proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka atau
terdakwa. Aparat penegak hukum masih memposisikan atau
mendudukkan tersangka /terdakwa sebagai objek pemeriksaan
tanpa memperdulikan hak-hak asasi kemanusiaannya dan
haknya untuk membela dan mempertahankan martabatnya serta
kebenaran yang dimilikinya.20
Prakteknya, pelaksanaan KUHAP maupun Undang-Undang
Bantuan oleh aparat penegak hukum seringkali tidak dilaksanakan
sesuai dengan yang digariskan oleh undang-undang. Akibatnya, dalam
proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana sangat jauh
dari keadilan. Proses peradilan pidana yang ada saat ini tidak saja
masih jauh dari pencapaian keadilan, bahkan dalam beberapa kasus
penegakan hukum justeru didalamnya terjadi pelanggaran hukum,
seperti kasus salah tangkap (error in persona) yang dilakukan oleh
Kepolisian, sampai pada tingkat pemeriksaan di pengadilan yang
kemudian dilanjutkan dengan penjatuhan vonis oleh Pengadilan.
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa, nilai-nilai yang
mendasari due process model adalah:
Kemungkinan adanya faktor “kelalaian yang sifatnya manusiawi”,
atau “human error” menyebabkan model ini menolak “informal
fact-finding process” sebagai cara untuk menetapkan secara
definitif “factual gulit” seseorang. Model ini hanya mengutamakan,
“formal-adjudicative dan adversary fact-findings” yang berarti

19
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas
Diponegoro, 2008), hlm.5
20
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 78.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 121


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan


yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh
hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya.21
Model ini menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam proses
peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal sangat memperhatikan
kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan
pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh negara.
Proses peradilan dipandang sebagai coercive (menekan), restricting
(membatasi), dan merendahkan martabat (demeaning).
Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah
penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung
disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu
pada kekuasaan yang koersif dari negara. Model ini bertitik tolak
dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan sehingga model ini
memegang teguh doktrin (legal-guilt). Doktrin ini memiliki konsep
pemikiran sebagai berikut :22
1) Seseorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya
dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang
memiliki kewenangan untuk tugas tersebut.
2) Terkandung asas praduga tidak bersalah atau Presumption of
innocence.
3) Persamaan di muka hukum atau “equality before the law” lebih
diutamakan.
Heri Tahir menyatakan bahwa, dalam proses hukum yang adil
ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan
terdakwa. Hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat dalam sistem
peradilan pidana merupakan prasyarat terselenggaranya proses hukum
yang adil.23 Dengan demikian, bantuan hukum sebagai hak tersangka dan
terdakwa adalah salah satu aspek dan prasyarat yang penting dan harus
dipenuhi dalam proses hukum yang adil (due process of law). Sebab, bantuan
hukum memberikan kontribusi yang penting dalam proses hukum yang
adil (due process of law) dan menciptakan peradilan yang adil (fire trial).24

21
Ibid., hlm. 23.
22
Ibid., hlm. 34.
23
Heri Tahir, Op.cit., hlm. 7.
24
Ibid., hlm. 9.

122 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa


pemberian bantuan hukum terhadap tersangka sejak awal pemeriksaan
merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan demi terciptanya
proses peradilan yang adil. Namun faktanya, pada tahap pemeriksaan
atau penyidikan hak-hak tersangka untuk didampingi oleh penasehat
hukum sangatlah terbatas, terlebih jika tersangka menggunakan jasa
bantuan hukum. Pendampingan tersangka dalam proses pemeriksaan
atau penyidikan di Kepolisian tidak dapat dilakukan secara maksimal,
sehingga dalam proses pemeriksaan dan penyidikan oleh Kepolisian
rawan terjadi pelanggaran hak-hak tersangka.
Perlindungan korban salah tangkap dapat dikatakan bersifat
abstrak, sebab perlindungan yang diberikan terhadap korban salah
tangkap terpecah dalam berbagai undang-undang dan tidak secara
eksplisit diatur dalam undang-undang. Pengaturan mengenai
perlindungan korban salah tangkap secara tidak langsung dirumuskan
dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, KUHP dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Peraturan
Pelaksanaan KUHAP.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tidak secara eksplisit
mengatur perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap, sebab
dalam undang-undang ini hanya memberikan perlindungan terhadap
korban kejahatan, khususnya kejahatan pelanggaran HAM berat dan
terorisme. Sementara itu, korban salah tangkap dalam paradigma
penegakan hukum bukanlah termasuk dalam kategori kejahatan,
melainkan merupakan kesalahan prosedural yang berimplikasi pada
kesalahan kode etik profesi dan admisitrasi. Meskipun pada dasarnya
kasus salah tangkap merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
tersangka oleh aparat penegak hukum.
Instrumen perlindungan hukum bagi korban salah tangkap di
dalam KUHAP, yakni dengan memberikan hak bagi untuk menuntut
ganti kerugian terhadap tindakan kekeliruan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Pasal 98 sampai dengan
101 KUHAP. Ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
Ayat (22) KUHAP, menyebutkan:

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 123


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Ganti kerugiaan adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan


atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
oleh undang-undang ini.
Dasar tuntutan ganti kerugian bagi korban salah tangkap
disebutkan secara eksplisit di dalam Pasal 95 Ayat (1), yang berbunyi:
Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti rugi karena
ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain,
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Tuntutan ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam Pasal
95 Ayat (1) dapat diajukan oleh terdakwa ataupun ahli warisnya
ke pengadilan negeri yang berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan. Apabila tuntutan ganti kerugian tidak diajukan ke
pengadilan negeri, maka diputuskan melalui sidang praperadilan
sesuai dengan ketentuan Pasal 77 Ayat (b) KUHAP, yang menyatakan:
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, tentang ganti
kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Berdasarkan ketentuan di atas, mekanisme gugatan ganti kerugian
oleh korban dapat dilihat pendapat yang dikemukakan oleh Darwan
Prinst dalam Andi Hamzah, sebagai berikut:
Gugatan ganti kerugian adalah suatu gugatan ganti kerugian
yang timbul akibat dilakukannya suatu tindak pidana. Dengan
demikian maka, gugatan ganti kerugian dalam hal ini bersifat
asesoir dari perkara pidana yang ada. Artinya bahwa tidak
mungkin ada gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam pasal 98 KUHAP tanpa adanya perkara pidana terlebih
dahulu. Selanjutnya untuk memperjelas maksud dari ketentuan
pasal 98 KUHAP diatas, Darwan Prinst memberikan ilustrasi
sebagai berikut: “A menggigit teling B hingga putus. Akibatnya A
diadili dengan dakwaan penganiayaan. Sementara bagi B timbul
kerugian seperti biaya pengobatan. Dalam ketentuan pasal 98
KUHAP ini, maka disamping A didakwa dan dituntut melakukan
penganiayaan, dia juga dapat dihukum untuk membayar ganti
kerugian kepada B akibat perbuatannya tersebut”. Menurut
Pasal 98 Ayat (2) permintaan penggabungan perkara pidana dan

124 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

perdata diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum


mengajukan tuntutan pidana.25
Pada kasus salah tangkap, seringkali korban mengetahui bahwa
dirinya telah menjadi korban salah tangkap setelah penjatuhan
putusan, bahkan setelah menjalani masa hukuman (pidana) di lembaga
pemasyarakatan. Berdasarkan fakta tersebut, maka lazimnya instrumen
hukum yang dilakukan oleh korban dalam menuntut ganti kerugian
adalah melalui pra-peradilan. Praperadilan menurut Pasal 1 angka 10
KUHAP adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:26
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun
2015 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah 27 Tentang Pelaksanaan
KUHAP, besarnya jumlah ganti rugi bagi korban salah tangkap, yaitu:
1. Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp
500 ribu dan paling banyak Rp 100 juta (yang sebelumnya 5
ribu sampai 1 juta).
2. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka
berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan,
besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp 25 juta dan paling
banyak Rp 300 juta (sebelumnya Rp 0-Rp 3 juta).
3. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati,

25
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm. 97.
26
Andi Sofyan dan Abd Azis, Op.cit., hlm. 186.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 125


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp 50 juta dan paling


banyak Rp 600 juta (sebelumnya Rp 0-Rp 3 juta). Adapun
untuk proses eksekusi, pemerintah wajib memberikan ganti rugi
tersebut maksimal 14 hari sejak surat dari Ketua Pengadilan
Negeri yang memberitahukan adanya ganti rugi tersebut,
diterima pemerintah. Sebelumnya, tidak dibatasi waktunya
hingga korban menerima gemerincing uang bisa bertahun-tahun
lamanya.

126 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB VII
PENDEKATAN RESTORATIF JUSTICE
SEBAGAI UPAYA PELAKSANAAN
HAK-HAK KORBAN DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA
A. Restoratif Justice
1. Konsep Keadilan Restoratif (Restoratif Justice)

R estorative justice sebagai sebuah konsep dimaknai secara berbeda-


beda oleh para ahli. Eva Achjani Zulfa memberikan pengertian
restorative justice sebagai berikut: ”Keadilan restoratif yang merupakan
sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan
korban dan masyarakat yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme
yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini”.1
Agustinus Pohan dalam Rena Yulia mendefinisikan restorative
Justice sebagai berikut:
Restorative justice adalah sebuah pendekatan untuk membuat
pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.
Restorative justice dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas
yang positif dan sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak
asasi manusia (HAM). Prinsip-prinsip Restorative justice adalah
membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas
dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara
yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga, sekolah atau
teman bermainnya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah
yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya.2
Menurut Marlina, restorative Justice adalah proses penyelesaian
tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa
korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu

1
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, (Jakarta: FHUI, 2009), hlm. 3.
2
Rena Yulia, Op.cit, hlm. 105.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 127


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

pertemuan untuk bersama-sama berbicara.3 Sedangkan Bagir Manan


secara umum memberikan pengertian restorative justice sebagai
penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi
pelaku, korban, maupun masyarakat.4
Siswosoebroto, menerangkan bahwa dalam keadilan restorative
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restorative
makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum
pidana pada umumnya yaitu serangan pada individu, masyarakat dan
hubungan kemasyarakatan.5
Berdasarkan definisi keadilan restorative menawarkan di atas,
dapat dipahami bahwa keadilan restorative merupakan suatu jalan
untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat,
korban dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapainya keadilan
bagi seluruh pihak, sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang
sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya
kejahatan lebih lanjut.

2. Sejarah Perkembangan Restorative Justice


Restorative justice merupakan suatu ide atau gagasan yang timbul
dari pemikiran manusia. Restorative justice sebagai sebuah ide didasari
pada pemikiran dari ketidakpuasan terhadap sistem peradilan pidana
formal yang terkadang tidak sesuai dan bertentangan dengan nilai-nilai
keadilan masyarakat.6 Sejarah timbulnya restorative justice, diketahui
sebagai berikut :
In many countries, dissatisfaction and frustation wiht the
formal justice system or resurging interest in preserving and
strengthening customary law an tradisional justice practices
have led to calls for alternative responses to crimes and social
disorder. Many of these alternative provide the parties involved,
3
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama,
2009), hlm. 180.
4
Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia,
Juni 2006, h. 3.
5
Koesriani Siswosoebroto, Pendekatan Baru dalam Kriminologi, (Jakarta:
Universitas Trisakti, 2009), hlm. 6.
6
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Bermotif Ringan
Dengan Restoratif Justice, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2018), h. vii.

128 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

and often also surrounding community, and opportunity to


participate in resolving conflict and addresing its consequenses.
Restorative justice programmes are based on the belief that
parties to a conflict ought to be actively involved in resolving it
and mitigating its negative consequenses, they are also based, in
some instance, on a will to return to local decision making and
community building. These approaches are also seen as means
to encourrage the peacful expression of conflict, to promote
tolerance and inclusivenees, build respect for diversity and
promote responsible community practis.7
Terjemahaan bebasnya, yaitu: Dibanyak negara, ketidakpuasan
dan frustrasi dengan sistem peradilan formal telah membangkitkan
minat untuk kembali melestarikan dan memperkuat hukum adat,
praktik peradilan tradisional telah menyebabkan usaha untuk mencari
alternatif pertanggungjawaban terhadap kejahatan dan gangguan sosial.
Beberapa alternatif memberikan kesempatan dan melibatkan para pihak,
dan masyarakat sekitar untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan
konflik dan menangani konsekuensinya. Program keadilan restorative
didasarkan pada keyakinan bahwa pihak-pihak yang terlibat konflik
harus secara aktif terlibat dalam menyelesaikan dan mengurangi
konsekuensi negatif.
Restorative justice juga didasarkan, dalam beberapa kasus,
pada keinginan untuk kembali ke pengambilan keputusan lokal
yang mengarah kepada pembangunan masyarakat. Pendekatan ini
dipandang sebagai sarana untuk mendorong ekspresi konflik damai
dan mempromosikan toleransi yang inklusif, dengan tetap menjaga
dan membangun rasa hormat terhadap keragaman dan mempromosikan
praktik masyarakat yang bertanggung jawab.8
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa restorative
justice timbul sebagai akibat dari ketidakpuasan dengan sistem
peradilan pidana yang telah ada, yang tidak melibatkan para pihak yang
berkonflik, melainkan hanya dengan dengan pelaku.
Pratek peradilan pidana yang selama ini diterapkan menunjukkan
pengabaian terhadap hak korban, karena tidak disertakannya korban

7
Unites Nations Office on Drugs and Crimes, Handbook On Restorative Justice
Programmes, (New York : United Nation, 2006), hlm. 5.
8
Ibid., hlm. 6.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 129


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dan juga masyarakat dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian


yang demikian dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan dan tidak
mengurangi konsekuensi negatif antara korban dengan pelaku dan
juga dengan masyarakat. Berbeda halnya dengan penyelesaian melalui
pendekatan restorative justice, korban dan masyarakat dilibatkan
sebagai pihak dalam penyelesaian konflik.
Pendekatan restorative justice merupakan perkembangan
pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan
dari peradaban bangsa-bangsa Arab purba, bangsa Yunani dan
bangsa Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaan
masalah tindak pidana. Istilah umum tentang pendekatan restorative
diperkenalkan untuk pertama kali oleh Albert Eglash yang menyebutkan
istilah restorative justice yang dalam tulisannya mengulas tentang
reparation menyatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif
pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan
keadilan rehabilitatif.9
Konsep asli praktek keadilan restorative berasal dari praktik
pemeliharaan perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori,
penduduk asli Selandia Baru Menurut Helen Cowie keadilan restorative
pada intinya terletak pada konsep komunitas yang peduli dan inklusif.10
Bilamana timbul konflik, praktek restorative justice akan menangani
pihak pelaku, korban, dan para stakeholders komunitas tersebut, yang
secara kolektif memecahkan masalah.
Penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program
penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat
yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun
1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai
alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, di mana sebelum
dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk
menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari
sekian banyak pertimbangan hakim. Melalui program ini maka korban
akan mendapatkan manfaat karena memperoleh perhatian secara khusus

9
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui
Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 9
10
Hadi Supeno, Keadilan Restoratif Justice, (Jakarta : Sinar Grafikan, 2015),
hlm. 196.

130 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

terkait dengan hak-haknya sebagai korban, demikian pula sebaliknya


bagi pelaku. Dikalangan pelaku anak, program ini mampu mendorong
anak sebagai pelaku tindak pidana untuk lebih bertanggung jawab atas
kesalahan yang telah diperbuatnya, dengan memberikan ganti rugi pada
pihak korban. Dalam pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil
tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku dibandingkan
dengan proses peradilan.11
Berdasarkan uraian di atas, maka restorative justice theory
menjadi sangat penting dikarenakan kegagalan atas teori pemidanaan
yang ada terutama retributive justice theory. Dalam sistem peradilan
pidana anak, restorative justice dianggap sebagai sarana dalam
melindungi anak dari sistem pemidanaan yang mengalami kegagalan,
terutama retributive justice theory. Oleh karena itu, perlu diupayakan
perwujudan dari penyelesaian perkara anak yang menjauhkan anak dari
proses peradilan formal.
Restorative justice merupakan pendekatan yang menitikberatkan
pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak
pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan
pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog
dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara
pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.12
Konsep restorative justice pada dasarnya bukanlah suatu hal yang
baru di Indonesia, penyelesaian sengketa ataupun persoalan hukum yang
termasuk dalam ranah hukum pidana secara musyawarah di Indonesia
telah sejak lama dipraktekkan dalam peradilan pidana adat. Namun,
seiring dengan berlakunya hukum pidana dan sistem peradilan pidana
dan perkembangan masyarakat, konsep penyelesaian sengketa secara
musyawarah yang dulunya telah dipraktekkan di Indonesia melalui
lembaga atau peradilan adat lamban laun mulai memudar, untuk tidak
dikatakan telah lenyap.
Konflik hukum yang terjadi di masyarakat, khususnya berkenaan
dengan pelanggaran hukum pidana cenderung diselesaikan melalui

11
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Op.cit, hlm. 30.
12
Jecky Tengens, Pendekatan Restoratif Justice Dalam Sistem Peradilan
Indonesia, melalui : http://www.hukum.online.com, diakses tanggal 19 Februari 2019,
Pukul. 12. 45 Wib.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 131


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

proses peradilan pidana. Tetapi, penyelesaian konflik hukum melalui


proses peradilan pidana faktanya seringkali mengabaikan rasa keadilan
atau bahkan bertolak belakang dari rasa keadilan masyarakat. Selain
itu, penyelesaian perkara pidana melalui proses peradilan pidana juga
menimbulkan berbagai persoalan, diantaranya terjadinya kelebihan
atau penumpukan perkara di pengadilan. Dalam laporan Nomor 112
Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-9 Tahun 1995 tentang “the
prevention of crime and the tretment of offenders, dikemuakan bahwa
: untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan perkara)
di pengadilan, para peserta kongres menekankan pada upaya pelepasan
bersyarat, mediasi, restitusi, dan kompensasi, khususnya untuk
pelaku pemula dan pelaku muda.13 Menteri Kehakiman Perancis, Ms
Toulemonde menyatakan bahwa :
Mediasi penal (penal mediation) merupakan suatu alternatif
penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian
negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban. Mediasi
penal berdasarkan International Penal Reform Conference
yang diselenggarakan di Royal Holloway College University
of London, tanggal 13-14 April 1999, mengemukakan bahwa
salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum
pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah
perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau
mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai
dengan standar hak asasi manusia.14
Restorative Justice (keadilan restoratif) atau dikenal dengan
istilah “reparative justice” adalah suatu pendekatan keadilan yang
memfokuskan kepada kebutuhan dari pada para korban, pelaku
kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak
semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan
pidana. Dalam hal ini korban dilibatkan dalam proses, sementara pelaku
kejahatan didorong untuk bertanggung jawab atas tindakannya, yaitu
dengan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat dengan meminta
maaf, mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan
pelayanan masyarakat.

13
Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana di Luar
Pengadilan, (Semarang: Pustaka Magister Universitas Diponegoro, 2016), hlm. 12.
14
Ibid., hlm. 12-13.

132 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris, Tony F.


Marshall, dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”
mengatakan:
Restorative Justice is a process whereby all the parties with a
stake in a particular offence come together to resolve collectively
how to deal with the aftermath of the offence and its implication
for the future” (Terjemahan Bebas Restorative Justice adalah
sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam
pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan
persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat
dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).15
Restorative Justice sendiri berarti penyelesaian secara adil yang
melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait dalam
suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian terhadap
tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula. Mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku,
adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak secara
progresif, yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu
menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu
bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.
Satjipto Rahardjo, menjelaskan bahwa :
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum
adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai
institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai
institusi bermoral, bernurani dan karena itu sangat ditentukan
oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum
adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat
manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari
segalanya dalam berkehidupan hukum. Maka kalimat “hukum
untuk manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”.16
Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan
sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif
menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam
konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban

15
Keadilan Restorasi, sumber http://www.negarahukum.com, diakes pada tanggal
18 Maret 2019. Pukul 17.30 Wib.
16
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
(Yokyakarta: Penerbit Publisihing, 2016), hlm. 1.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 133


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan


persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.17
Ketidakefektifan dari pelaksanaan pidana pemenjaraan dalam
upaya mencegah seseorang melakukan kejahatan pernah diungkapkan
oleh Beccaria, yang menyatakan: “the purpose of punishment is to dter
persons from the commission of crime and not provide social revenge”,
yang dapat diartikan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah
seseorang melakukan kejahatan, bukan menjadi sarana balas dendam
masyarakat.18
Lebih lanjut, Beccaria menyatakan bahwa pidana yang kejam
tidak membawa manfaat bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Upaya penanggulangan kejahatan menurut Beccaria lebih baik
dilakukan dengan upaya preventif daripada melakukan pemidanaan.19
Masalah yang seringkali muncul adalah tidak dipenuhinya
nilai keadilan, terutama rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai yang hidup
di masyarakat (the living law) seperti yang telah diamanatkan oleh
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dengan alasan terkait dengan
aturan hukum formal yang sebenarnya kaku, yang seringkali melenceng
dari rasa keadilan masyarakat.
Disinilah penegakan hukum telah mengalami kebuntuan legalitas
formalnya untuk menghadirkan keadilan substantif. Hal yang perlu
dilakukan untuk menembus kebuntuan legalitas formal itu, yaitu
dengan melakukan non of enforcement of law yaitu kebijakan tidak
menegakan hukum.
Pendekatan restorative justice merupakan jawaban atas kebuntuan
yang dialami oleh sistem peradilan pidana dalam menghadirkan
substansi dari keadilan dalam penyelesaian permasalahan hukum
pidana yang terjadi di masyarakat, khususnya dalam menjawab isu
perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

17
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Berbasis Restorative
Justice, (Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Cianjur, Vol.
V No. 01, 2016), hlm. 86.
18
Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 85.
19
Ibid, hlm. 86.

134 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sesuai dengan Pendapat yang dikemukakan oleh G. P.


Hoefnagels, yang menyatakan: “a rational total of the respons to
crime”, bahwa politik kriminal harus rasional. Pendekatan restorative
justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai
dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab
ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat
ini.20
Penyelesaian melalui pendekatan restorative justice dirasakan
lebih memenuhi keadilan bagi masyarakat, karena memungkinkan
korban, pelaku dan anggota yang terkena dampak dari masyarakat
untuk terlibat secara langsung dalam menanggapi kejahatan. Dengan
kata lain, restorative justice didasarkan pada pemahaman yang logis
terhadap kesalahan. Meskipun akan dinyatakan secara berbeda dalam
budaya yang berbeda, pendekatan ini mungkin umum bagi sebagian
besar masyarakat tradisional.
Sesuai pendapat yang dikemukakan Barda Nawawi Arief diatas,
pengembangan mediasi penal atau restorative justice bertolak belakang
dari ide dan prinsip kerja (working principles), sebagai berikut:21
a. Penanganan konflik (conflict handling)
b. Berorientasi pada proses (process orientation)
c. Proses informal (informal proceeding informalitat)
d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (active and
autonomous participation).
Restorative justice sebagai suatu konsep peradilan pidana yang
memandang tindak pidana sebagai kejahatan terhadap masyarakat,
bukan terhadap negara dan untuk itu menciptakan kewajiban bagi
pelaku dan juga masyarakat untuk memperbaikinya. Model keadilan
restorative memberikan dialog yang tepat, langsung maupun tidak
langsung, antara korban dan pelaku kejahatan dalam bentuk mediasi
antara korban dengan pelaku sehingga didapati penyelesaian konflik.
Hakekat dari restorative justice sesungguhnya adalah penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia. Manusia adalah makhluk pribadi
dan makhluk sosial, yang secara kodratnya sebagai tempat salah dan

20
Ibid, hlm. 85.
21
Barda Nawawi, Op.cit, hlm. 4-5.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 135


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dosa. Kemudian yang menjadi persoalan kemudian adalah orang


atau pihak yang berwenang menjatuhkan dan memberikan hukuman
terhadap orang yang dianggap melakukan kejahatan atau melanggar
aturan hukum, belum tentu lebih baik dari orang yang telah dijatuhi
hukuman tersebut, bahkan belum tentu hukum yang dijadikan dasar
memiliki integritas keadilan.
Berdasarkan filsafat ketuhanan, Tuhanlah yang paling adil, paling
bersih dari kesalahan, paling kuasa dan paling kekal. Oleh karena itu
hanya Tuhanlah yang paling pantas memberikan hukuman. Selain itu,
manusia harus memiliki sifat saling memaafkan, saling memperbaiki
dan melindungi antara sesamanya dalam eksistensi manusia manusia
sebagai mahkluk sosial.
Penyelesaian dengan pendekatan restorative Justice akan
dirasakan lebih bermanfaat bagi korban karena adanya ganti kerugian,
diobati, direhabilitasi. Di lain pihak manfaat restorative justice juga
dirasakan oleh pelaku, karena pelaku diberikan kesempatan menyadari
dan sekaligus memperbaiki kekeliruan yang telah dilakukannya, serta
mengintegrasikan kembali hubungan baik antara korban dan pelaku.
Restorative justice sebagai konsep merupakan hal yang baru
dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Namun, pada tataran praktik
restorative justice sdah sejak lama dikenal dan juga dipraktekkan oleh
masyarakat adat Indonesia melalui pelaksanaan sistem hukum adat oleh
berbagai macam masyarakat adat Indonesia. Seperti masyarakat adat
Papua, Toraja, Minangkabau, Kalimantan, Jawa Tengah dan komunitas
masyarakat adat lainnya yang masih memegang kuat kebudayaan.
Negara Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
(filosofis bangsa), dalam kedudukannya yang demikian, maka Pancasila
merupakan norma tertinggi dalam struktur hukum yang kedudukannya
lebih tinggi dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar. 22 Nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam Pancasila sesungguhnya telah memiliki
konsep restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk
ke dalam sistem peradilan pidana anak. Hal ini dapat dilihat dalam
rumusan Sila ke-4 Pancasila, yang menyebutkan bahwa “kerakyatan

22
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan
Pancasila, (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 41.

136 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan.”
Mencermati rumusan Sila ke-4 Pancasila tersebut, berarti bawah
bangsa Indonesia telah sejak lama mengagungkan prinsip musyawarah
sebagai suatu kebiasaan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat, termasuk mengatasi permasalahan bangsa
dalam skala nasional.
Musyawarah dan mufakat dalam konteks restorative justice dapat
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya mediasi, ganti kerugian,
ataupun cara lain yang disepakati antara korban dengan pelaku. Pihak
lain dapat terlibat dalam proses penyelesaian sebagai penengah, apabila
ternyata tidak tercapai kesepakatan antara korban dan pelaku, maka
selanjutnya masalah tersebut diproses melalui jalur pengadilan (litigasi).
Musyawarah dan mufakat yang terdapat dalam Sila ke- 4
Pancasila adalah suatu konsep penyelesaian masalah atau sengketa
yang bertujuan menciptakan keseimbangan antara para pihak yang
bersengketa, sehingga persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan
tercapainya kesepakatan dengan mengakomodir kepentingan para
pihak yang bersengketa. Penyelesaian dengan cara seperti ini tentunya
akan lebih mampu dalam memenuhi dan memberikan keadilan bagi
semua pihak, yang merupakan tujuan akhir dari sistem hukum negara
Pancasila. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam Sila Ke-5 Pancasila, yang bermakna bahwa kehidupan berbangsa
dan bernegara, didasari pada “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Secara historis, keadilan restorative memperoleh inspirasi dari
“community justice” (peradilan atau keadilan masyarakat) yang masih
dipergunakan pada beberapa budaya masyarakat non-Barat, khususnya
masyarakat adat (indigenous populations). Perkembangannya,
restorative justice banyak dipengaruhi oleh pemikiran mengenai
persamaan dan hubungan masyarakat. Walaupun ide atau gagasan
restorative justice tidak datang dari budaya masyarakat Indonesia,
namun pola-pola restorative justice tertanam dalam beberapa tradisi
masyarakat adat di Indonesia.23

23
Jonlar Purba, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana bermotif Ringan
Dengan Restoratif Justice, (Jakarta: Permata Aksara, 2017), hlm. 61.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 137


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Persesuaian restorative justice dengan nilai-nilai dasar Pancasila


sebagai bukti bahwa restorative justice sudah sejak lama dikenal
dan dipraktekkan oleh bangsa Indonesia. Namun sebagai penerapan
restorative justice merupakan hal yang baru, terlebih dalam sistem
hukum pidana. Restorative Justice mulai dikenal dan diterapkan dalam
sistem hukum Indonesia setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mengatur
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum melalui
pendekatan keadilan restorative.

3. Prinsip, Tujuan dan Manfaat Restorative Justice


Peradilan model restorative justice berangkat dari asumsi bahwa
reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif tanpa adanya
kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip
yang menjadi dasar, bahwa keadilan paling baik terlayani apabila setiap
pihak menerima perhatian secara adil, dan dilibatkan dalam proses
peradilan.24
Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal
yang melekat dalam konsep pendekatan restorative justice dalam
menyelesaikan tindak pidana, antara lain:25
a. Prinsip Penyelesaian yang adil (Due Process of Law)
Pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice
system) terdapat berbagai teori yang digunakan, ada yang
menggunakan pendekatan dikotomi dan atau pendekatan
trikotomi. Pendekatan dikotomi umumnya digunakan oleh
teoritisi hukum pidana Amerika Serikat. Herbert Packer, seorang
ahli hukum dari Universitas Stanford, menggunakan pendekatan
normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam
melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.26
Pendekatan dikotomi dalam sistem peradilan pidana,
mengenal dua model pendekatan, yang pertama disebut crime
control model dan kedua disebut due process. Pendekatan crime

24
Ibid., hlm. 203.
25
Rufinus. Op.cit, hlm. 126-128.
26
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 19.

138 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

control model pemberantasan kejahatan merupakan fungsi


terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses peradilan
pidana, sehingga perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi
proses peradilan pidana.27 Penekanan penting pada model ini
adalah efektifitas, yaitu kecepatan dan kepastian. Pembuktian
kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan
oleh petugas kepolisian.
Presumption of guilty digunakan untuk mempercepat
memproses tersangka atau terdakwa ke sidang pengadilan. Nilai-
nilai yang rnelandasi crime control model adalah tindakan refresif
terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting
dari suatu proses peradilan.28
Pendekatan kedua yang digunakan dalam sistem peradilan
pidana adalah due process model, model ini menekankan seluruh
temuan-temuan fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh
melalui prosedur formal yang sudah ditetapkan oleh undang-
undang. Setiap prosedur adalah penting dan tidak boleh diabaikan,
melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat, yaitu mulai dari
proses penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta
adanya suatu reaksi untuk setiap tahap pemeriksaan, maka dapat
diharapkan seorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah
akan dapat rnemperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan
kejahatan.29
Due process model merupakan salah satu model dalam
pendekatan normatif yang dipelopori oleh H. L Packer, secara
singkat penerapan due process model pada sistem peradilan
pidana dilatar belakang pada nilai-nilai sebagai berikut :
Kemungkinan adanya faktor “kelalaian yang sifatnya
manusiawi”, atau “human error” menyebabkan model
ini menolak “informal fact-finding process” sebagai cara
untuk menetapkan secara definitif “factual gulit” seseorang.
Model ini hanya mengutamakan, “formal-adjudicative dan
adversary fact-findings” yang berarti dalam setiap kasus
tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak

27
Ibid, hlm. 20.
28
Tholib Efendi, Op.cit., hlm. 21.
29
Heri Tahir, Op.cit, hlm. 24.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 139


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh


hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya.30
Proses peradilan (due process) haruslah dianggap sebagai
bentuk perlindungan untuk memberi keseimbangan bagi
kekuasaan negara untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan
hukuman dari suatu putusan penghukuman. Diantara proteksi-
proteksi yang diidentifikasi yang telah diterima secara
internasional dan termasuk sebagai gagasan due process adalah
hak untuk diduga tak bersalah (presumption of innocence) dan
hak mendapatkan persidangan yang adil (fair) serta hak untuk
mendapatkan bantuan penasihat hukum.
Penyelesaian proses peradilan melalui pendekatan keadilan
restorative, maka batas proses formal selalu diberikan bagi
tersangka setiap saat, baik selama dan setelah restorative agar hak
tersangka mendapatkan pengadilan yang fair tetap terjaga. Namun
demikian jika tersangka diharuskan untuk melepaskan haknya dan
memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah proses restorative,
maka tersangka harus diberitahu implikasi keputusannya memilih
intervensi restorative.
Sebaliknya bila dalam putusan penyelesaian melalui
restorative pelaku tidak dapat memenuhi putusan karena dianggap
mengurangi hak atau membebani tersangka terlalu berat, maka
kepada pelaku diberi perlindungan tambahan, terdakwa diberi
hak untuk melakukan banding terhadap kegagalan dari proses
restorative justice tersebut, sehingga hakim menjatuhkan putusan
atau vonis penjatuhan hukuman terhadap terdakwa.
b. Perlindungan yang setara
Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative,
mensyaratkan adanya sikap saling memahami makna dan tujuan
dalam penyelesaian melalui pendekatan keadilan restorative itu
sendiri, yaitu adanya prinsip kesetaraan antara korban dan pelaku
tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama, asal bangsa dan
kedudukan sosial lainnya.

30
Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm. 23.

140 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Realita di masyarakat, dimungkinkan adanya keraguan


tentang kemampuan sistem pendekatan restorative dalam
penyelesaian suatu masalah untuk mendudukan korban dan
pelaku dalam keadaan setara sehingga dapat memberikan “rasa
keadilan” bagi para pihak. Diantara partisipan yang berbeda-
beda, karena salah satu pihak mempunyai kelebihan kekuatan
ekonomi, intelektual, politik atau bahkan fisik, akan menimbulkan
suatu ketidaksetaraan diantara para pihak yang berpartisipasi
dalam suatu proses restorative. Karenanya, penyelesaian melalui
restorative justice, perlu adanya menciptakan kesetaraan diantara
para pihak.
Menurut Wright, terdapat tiga cara untuk mengkompensasi
ketidaksetaraan yang dapat diimplementasikan, sebagai berikut:31
1) Pertama, mediator dapat mendukung pihak yang lemah dalam
proses restorative. Misalnya, mediator dapat membantu
partisipan yang kurang pandai berbicara mengungkapkan
perasaan, pikiran dan emosi.
2) Kedua, penasihat hukum dapat memberi nasihat para pihak
yang mempunyai daya tawar menawar lemah untuk tidak
menerima suatu perjanjian yang tidak setara atau yang
dihasilkan dengan cara yang tidak fair.
3) Ketiga, kasus-kasus tertentu bisa ditolak.
c. Hak-Hak Korban
Penyelesaian masalah melalui pendekatan restorative,
maka prinsip terpenting yang harus diperhatikan adalah
terpenuhinya hak-hak korban. Hak-hak korban perlu mendapat
perhatian, karena korban adalah pihak yang berkepentingan yang
mempunyai kedudukan (hukum) dalam proses penyelesaian
tersebut.
Sistem peradilan pidana umumnya kurang memperhatikan
hak-hak korban, dan korban tidak menerima perlindungan
yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan pidana,
sehingga kepentingan yang hakiki dari korban sering terabaikan

31
Rufinus, Op.cit, hlm. 127.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 141


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dan kalaupun ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi


atau manajemen peradilan pidana.
Rowland berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan
korban sering bersimpangan dengan kepentingan-kepentingan
negara. Para pendukung terhadap konsep perlindungan bagi
hak-hak korban juga berpandangan adalah jelas tidak adil bagi
korban bila negara lebih mengindahkan kebutuhan material,
psikologi, hukum, bagi pelaku. Sementara disatu sisi negara tidak
memberikan perhatian dan tanggung jawabnya atas kehidupan
yang layak bagi korban.32
d. Proporsionalitas
Gagasan fairness dalam sistem restorative didasarkan pada
persetujuan yang memberikan alternatif dalam menyelesaikan
masalah. Sedangkan pengertian proporsionalitas adalah berkaitan
dengan lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus
dikarenakan pada pelanggar yang melakukan pelanggaran.
Sistem peradilan pidana, secara umum asas proporsionalitas
dianggap terpenuhi apabila telah memenuhi suatu perasaan
keadilan retributif (keseimbangan timbal balik antara punish
dan reward). Sebaliknya, pendekatan restorative dapat saja
memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding tehadap
pelaku yang melakukan pelanggaran yang sama.
Diantara beberapa korban mungkin hanya menginginkan
suatu permintaan yang bersahaja, sementara korban-korban
lainnya mungkin mengharapkan restorasi penuh dari pelaku.
Dalam pendekatan restorative justice, maka harus terdapat
kesetaraan antara korban dan pelaku secara proporsional, yaitu
dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kepentingan para
pihak, khususnya kepentingan korban.
e. Asas praduga tak bersalah
Proses peradilan pidana, negara memiliki beban pembuktian
untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Sejak awal
proses peradilan dimulai sampai beban pembuktian ini dilakukan,

32
Ibid, hlm. 128.

142 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

tersangka/terdakwa harus dianggap tidak bersalah. Berbeda


halnya dalam proses restorative, yang mensyaratkan suatu
pengakuan bersalah merupakan syarat dapat dilanjutkannya
lingkaran penyelesaian.
Dalam proses restorative, hak-hak tersangka mengenai
praduga tak bersalah dapat dikompromikan dengan cara, yaitu
tersangka memiliki hak untuk melakukan terminasi proses
restorative dan menolak proses pengakuan bahwa ia bersalah, dan
selanjutnya memilih opsi proses formal di mana kesalahan harus
dibuktikan, atau tersangka dapat memperoleh hak untuk banding
ke pengadilan dan semua perjanjian yang disepakati dalam proses
restorative dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
f. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasihat Hukum
Proses restorative, advokat atau penasihat hukum memiliki
peran yang sangat strategis untuk membangun kemampuan
pelanggar dalam melindungi haknya vis a vis bantuan penasihat
hukum. Dalam semua tahapan proses informal yang restorative,
tersangka dapat diberi informasi melalui bantuan penasihat
hukum mengenai hak dan kewajibannya yang dapat dipergunakan
sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan. Namun
demikian, sekali tersangka memilih untuk berpartisipasi dalam
sebuah proses restorative, maka tersangka haruslah bertindak
dan berbicara atas namanya sendiri.
Penyerahan tindakan hukum kepada pengacara yang
dianggap mewakili partisipan dalam semua titik tahapan proses
restorative, akan menghancurkan banyak manfaat atau esensi
yang mendasar dari restorative itu sendiri. Dalam penyelesaian
melalui pendekatan restorative justice, dilakukan dengan cara
mempertemukan antara korban dan pelaku, yang di dalam
“perjumpaan” (encounter) itu diharapkan terpulihkannya hak-hak
korban/keluarga, termasuk pula terobatinya luka hati dari korban
dan keluarganya akibat dari perbuatan pelaku, dengan adanya
pengakuan kesalahan dari pelaku secara suka rela.
Esensi dari pertemuan korban dan pelaku dalam penyelesaian
masalah secara restorative justice, tentunya tidak akan terwujud
apabila dalam proses komunikasi itu, pelaku diwakili oleh

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 143


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

pengacara atau penasihat hukum pelaku. Dengan demikian, dalam


proses restorative justice dibutuhkan komunikasi langsung antara
korban dan pelaku.
Helen Cowie dan Dawn Jennifer sebagaimana dikutip
oleh Hadi Supeno, mengidentifikasikan tujuan dilaksanakan
restorative justice atau keadilan restorative sebagai berikut:33
a. Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau
menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam,
tetapi tentang keadilan.
b. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku
kriminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan
memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi melalui
proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara
korban dan pelaku kriminal, yang berpotensi mengubah cara
berhubungan satu sama lain.
c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena
tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang
adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi
kekerasan dan kriminalias serta memahami dampak perilaku
mereka terhadap orang lain.
Model keadilan restorative lebih pada upaya pemulihan
hubungan pelaku dan korban, misalnya, seseorang mencuri
buku professor, proses keadilannya adalah bagaimana cara dan
langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga hubungan baik
antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula
tanpa ada yang dirugikan. Keadilan retributive, masyarakat
tidak dilibatkan karena sudah diwakilkan pengacara, sementara
alam keadilan restorative masyarakat dilibatkan melalui
tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam
lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh,
dan sebagainya.34
Natangsa Surbakti, menjelaskan bahwa musyawarah
dalam penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan

33
Ibid, hlm. 204.
34
Hadi Supeno, Op.cit, hlm. 165.

144 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

peradilan restorative selalu diarahkan tercapainya kepuasan


bagi semua pihak, dan dapat diwujudkan oleh si pelaku tindak
pidana, dimana kesepakatan yang dihasilkan itu memuat hal-hal
seperti:35
a. Permohonan maaf dari pelaku tindak pidana kepada korban;
b. Melakukan berbagai pekerjaan tak berbayar kepada pihak
korban;
c. Kompensasi finansial kepada pihak korban;
d. Pekerjaan sukarela untuk organisasi sosial;
e. Santunan berupa uang yang bersifat untuk kepentingan sosial;
f. Memberikan pertolongan pertama pada saat kejadian;
g. Menaati kesepakatan dengan sepenuh hati. Aneka macam
kesepakatan yang mungkin dihasilkan dari perundingan
bersifat tidak terbatas, dan variasinya bergantung pada masing-
masing perundingan.
Penyelesaian perkara di muka pengadilan negara
(Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah
Agung), tergantung pada putusan yang ditetapkan oleh para
hakim tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah, yang
seringkali memerlukan waktu pemeriksaan hingga bertahun-
tahun dan banyak mengeluarkan biaya. Selanjutnya setelah
putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti, justru
tidak membuahkan kerukunan kekeluargaan kedua belah
pihak, dan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang
bersangkutan belum tentu dapat dikembalikan dengan baik.
Gambaran demikian sangat berbeda dengan sistem penyelesaian
perselisihan secara damai dalam peradilan adat, yang tujuannya
tidak semata-mata mendapatkan putusan yang tetap melainkan
memperoleh penyelesaian secara bijaksana sehingga tidak
terganggunya keseimbangan masyarakat dan para pihak
yang bersengketa dapat menjadi rukun kembali. Penyelesaian
perkara pidana melalui konsep restorative justice mampu
untuk mengakomodir kepentingan dua pihak yang bersengketa
sehingga mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat luas.

35
Ibid, hlm. 51.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 145


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

B. Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak


Konsep asli praktek keadilan restorative berasal dari praktik
pemeliharaan perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori,
penduduk asli Selandia Baru Menurut Helen Cowie keadilan restorative
pada intinya terletak pada konsep komunitas yang peduli dan inklusif.36
Bilamana timbul konflik, praktek restorative justice akan menangani
pihak pelaku, korban, dan para stakeholders komunitas tersebut, yang
secara kolektif memecahkan masalah.
Peradilan model restorative berangkat dari asumsi bahwa
anggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif
tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan
masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling
baik terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan
seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan.37
Menurut Helen Cowie dan Dawn Jennifer dalam Hadi Supeno,
mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restoratif sebagai
berikut:38
1. Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau
menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi
tentang keadilan.
2. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku
criminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan
memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi melalui proses
komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan
pelaku kriminal, yang berpotensi mengubah cara berhubungan
satu sama lain.
3. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena
tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil.
Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan
dan kriminalias serta memahami dampak perilaku mereka
terhadap orang lain.

36
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2015)
hlm. 196.
37
Ibid, hlm. 203.
38
Ibid, hlm. 204.

146 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sementara itu, Howar Zehr mengemukakan beberapa perbedaan


yang terdapat didalam retributive justice dengan restorative justice, yaitu:39
Retributive justice:
1. Kejahatan adalah pelanggaran system;
2. Fokus pada menjatuhkan hukuman;
3. Menimbulkan rasa bersalah;
4. Korban diabaikan;
5. Pelaku pasif;
6. Pertanggung jawaban pelaku adalah hukuman;
7. Respon terpaku pada prilaku masa lalu pelaku;
8. Stigma tidak terhapuskan;
9. Tidak di dukung untuk menyesal dan dimaafkan;
10. Proses bergantung pada aparat;
11. Proses sangat rasional.
Restorative justice:
1. Kejahatan adalah perlukaan terhadap individu dan/atau
masyarakat;
2. Fokus pada pemecahan masalah;
3. Memperbaiki kerugian;
4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan;
5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab;
6. Pertanggung jawaban pelaku adalah menunjukan empati dan
menolong untuk memperbaiki kerugian;
7. Respon terpaku pada prilaku menyakitkan akibat perilaku-
perilaku;
8. Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat;
9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk
diberikan oleh korban;
10. Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang
terpengaruh oleh kejadian;
11. Dimungkinkan proses menjadi emosional.
39
Rena Yulia, Op.cit, hlm. 164.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 147


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Model keadilan restorative lebih pada upaya pemulihan


hubungan pelaku dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku,
maka proses keadilannya adalah begaimana cara dan langkah apa agar
persoalan bisa selesai sehingga hubungan baik antara orang tersebut
dan professor berlangsung seperti semula tanpa ada yang dirugikan.
Sedangkan keadilan retributive, masyarakat tidak dilibatkan karena
sudah diwakilkan pengacara, sementara dalam keadilan restoratif
masyarakat dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki
kewibawaan dalam lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang
berpengaruh, dan sebagainya.40
Restorative justice menurut Agustinus adalah sebuah pendekatan
untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan
keadilan yang dibangun berdasarkan pada nilai-nilai tradisional
komunitas yang positif dengan menghargai hak asasi manusia
(HAM). Pada prinsipnya restorative justice mendorong pelaku untuk
bertanggung jawab dan membuktikan kapasitas dan kualitasnya
sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif,
dengan melibatkan korban, orang tua, keluarga.41
Penerapan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana,
khususnya perkara pidana yang dilakukan oleh anak yang berhadapan
dengan hukum, Natangsa Surbakti memberikan penjelasan sebagai
berikut:
Proses penyelesaian perkara pidana dengan pemberian maaf
merupakan suatu sikap dan perbuatan yang dilakukan dalam
kerangka penyelesaian perkara pidana yang terjadi di antara
individu di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-
nilai kearifan tradisional. Sebagai sikap dan perilaku yang
melembaga, pemberian maaf merupakan pilihan sikap dari
seseorang yang berposisi sebagai korban dari suatu perbuatan
yang merugikan, baik kerugian yang bersifat materil ataupun
immateril, yang dilakukan oleh orang atau pihak lain. 42
Pelaksanaan musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana
melalui pendekatan peradilan restorative menurut Natangsa Surbakti

Hadi Supeno, Op.cit, hlm. 165.


40

Rena Yulia. Op.cit, hlm. 105.


41

42
Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif, Dalam Bingkai Empirik, Teori dan
Praktek, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2015) Cetakan ke-I, hlm. 50.

148 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

selalu diarahkan pada tercapainya kepuasan bagi semua pihak dan


dapat diwujudkan oleh si pelaku tindak pidana, di mana kesepakatan
yang dihasilkan itu memuat hal-hal seperti:43
1. Permohonan maaf dari pelaku tindak pidana kepada korban;
2. Melakukan berbagai pekerjaan tak berbayar kepada pihak korban;
3. Kompensasi finansial kepada pihak korban;
4. Pekerjaan sukarela untuk organisasi sosial;
5. Santunan berupa uang yang bersifat untuk kepentingan sosial;
6. Memberikan pertolongan pertama pada saat kejadian;
7. Menaati kesepakatan dengan sepenuh hati. Aneka macam
kesepakatan yang mungkin dihasilkan dari perundingan bersifat
tidak terbatas, dan variasinya bergantung pada masing-masing
perundingan.
Pemberian maaf dalam penyelesaian perkara pidana melalui
pendekatan restorative justice adalah sebagai wujud sikap atau reaksi
yang dihadirkan oleh seorang korban tindak pidana atau keluarganya
dalam menghadapi tindakan pelaku yang telah menimbulkan kerugian
bagi korban. Sebagai sikap atau reaksi dari korban, maka pemberian
maaf berlangsung manakala pelaku perbuatan yang merugikan itu
telah menyampaikan rasa penyesalan dan permohonan maaf kepada
pihak korban dan atau keluarganya.
Restorative justice, merupakan proses penyelesaian pelanggaran
hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku
(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-
sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut, mediator memberikan
kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang
sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya.44
Di Indonesia pengembangan restorative justice merupakan suatu
hal yang baru. Restorative merupakan suatu proses pengalihan dari
proses pidana formal ke informal sebagai alternatif terbaik penanganan
perkara anak yang berhadapan dengan hukum dengan cara semua
pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama

43
Ibid, hlm. 51.
44
Marlina, Op.cit., hlm. 180.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 149


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan anak di masa


yang akan datang.45
Restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak merupakan
upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 16 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak). Adanya
pelaksanaan restorative justice tidak berarti bahwa semua perkara
anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan dikembalikan kepada
orang tua, karena hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria
tertentu, antara lain :46
1. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan (fisrt
offender);
2. Anak tersebut masih sekolah;
3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan
yang serius, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa,
luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang
mengganggu merupakan kepentingan umum;
4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan
mengawasi anak tersebut secara lebih baik.

C. Dasar Pemikiran Penerapan restorative justice Dalam Sistem


Peradilan Pidana Anak
Penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum
dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative dilakukan
dengan cara pelaksanaan diversi. Pelaksanaan diversi menurut Undang-
Undang SPPA, memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
2. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.47

Ibid, h. 204.
45

Ibid, h. 205.
46

47
Lihat, Pasal 6 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

150 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Memperhatikan tujuan pelaksanaan diversi di atas, dapat dipahami


bahwa diversi merupakan pengalihan proses penyelesaian permasalahan
hukum yang sedang dihadapi oleh anak dari proses peradilan formal
ke proses peradilan informal. Dasar hukum pelaksanaan diversi pada
penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum oleh penyidik
mengacu pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang
SPPA, yang menyatakan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan, wajib diupayakan diversi.
Pelaksanaan diversi dilakukan terhadap tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana.
Diversi merupakan suatu konsep untuk mengalihkan suatu kasus
dari proses formal ke proses informal. Proses pengadilan ditujukan
untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum.48 Diversi merupakan suatu pembaharuan dalam hukum pidana
dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak sesuai dengan
amanat Undang-Undang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan beberapa
prinsip perlindungan terhadap anak, yang meliputi :49
1. Non diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Mewujudkan prinsip-prinsip perlindungan anak, maka
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum harus
senantiasa memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Menurut
Wagiati Soedtejo, yang dimaksud dengan kepentingan terbaik bagi
anak (the best interest of the child) adalah dalam semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan pemerintah, masyarakat, badan

Marlina, Op.cit, hlm. 168.


48

Lihat, Pasal 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun


49

2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 151


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

legislatif, dan badan yudikatif, harus demi kepentingan terbaik bagi


anak harus menjadi pertimbangan.50
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak, meskipun telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadian
Anak, namun prinsip tersebut belum sepenuhnya mengakomodir dan
mendorong terlaksananya perlindungan bagi anak yang berhadapan
dengan hukum secara konperehensif. Akibatnya, penyelesaian perkara
anak yang berhadapan dengan hukum masih banyak mengabaikan
hak-hak anak dan juga tidak didasari pada pertimbangan kepentingan
terbaik bagi anak.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, perlindungan terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum begitu sangat memprihatinkan.
Beberapa kasus penanganan perkara anak yang berhadapan dengan
hukum tidak sesuai dengan semangat dan roh dari Undang-Undang
Perlindungan Anak. Sehingga dalam proses penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum telah berdampak pada psikis anak yang
menimbulkan traumatis dan frustasi bagi anak. Beberapa contoh
penegakan hukum pidana terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dapat diuraikan sebagai berikut:51
1. Di kabupaten Majalengka, tepatnya pada bulan Januari tahun
2003, seorang anak berumur 14 tahun ditahan di Polses Sumber
Jaya dengan tuduhan mencuri rokok. Kemudian anak tersebut
ditemukan tewas karena gantung diri pada hari pertama ia masuk
sel tahanan.
2. Di kabupaten Langkat, sekikar tahun 2006, seorang murid SD
kelas tiga yang bernama Raju menjadi populer ketika itu, karena
proses persidangan yang dilakukan terhadap Raju di Pengadilan
Negeri Stabat Dumai Barat Sumatera Utara dilaksanakan
layaknya seperti orang dewasa. bahkan sejak permulaan sidang
Hakim memberi label dan cap sebagai anak nakal. Pada tanggal
19 Januari 2006, Hakim memerintah agar dilakukan penahanan
terhadap Raju dengan alasan memberikan keterangan berbelit-
belit, dan pada tanggal 8 Maret 2006, Hakim menjatuhkan putusan

50
Wagiati Soedtejo, Op.cit, hlm. 130.
51
Ibid, hlm. 132.

152 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

terhadap Raju dengan dinyatakan bersalah dan dihukum dengan


hukuman tindakan dikembalikan kepada orang tua.
3. Peristiwa gantung diri yang dilakukan oleh tahanan anak terulang
kembali, tepat pada tanggal 28 Desember 2011 dua orang tahanan
anak yaitu G (17 tahun) dan Fs (14 tahun) ditemukan dalam
kondisi tewas tergantung di kamar mandi ruang tahanan Polsek
Sijunujung Sumatera Barat.
Berbagai contoh kasus di atas cukup menjadi bukti bahwa
proses peradilan pidana bagi anak yang berhadapan dengan hukum
masih belum mampu memberikan perlindungan hukum terhadap anak.
Proses hukum formal dengan menerpakan alur proses peradilan pidana
layaknya orang dewasa sebagaimana diatur didalam KUHAP, dengan
melakukan penagkapan, penahanan terhadap anak dapat menimbulkan
dampak frustasi dan traumatis bagi anak. Selain itu, belum adanya
Lembaga Pembinaan Khusus Anak ditiap-tiap Kabupaten di Indonesia,
menyebabkan penahanan anak berpotensi sebagai faktor kriminogen
dan berpengaruh buruk bagi perkembangan anak, sebab tanahan anak
harus disatukan dengan tahanan dewasa.
Berdasar pada pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak kemudian hadir untuk mengakomodir
segala macam permasalahan dan sekaligus melakukan pembaharuan
hukum pidana bagi proses peradilan pidana anak dengan lebih
mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Pembaharuan hukum
peradilan pidana anak dilakukan dengan menerapkan konsep baru dalam
penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu dengan
mengalihkan proses peradilan pidana anak dari peradilan formal ke
peradilan informal (diversi).
Diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum
dilaksanakan melalui pendekatan keadilan restorative, sesuai Pasal 5
Ayat (1) Undang-Undang SPPA, yang menyebutkan: “Sistem Peradilan
Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan restoratif”.
Sehubungan dengan penerapan keadilan restoratif dalam
penanganan perkara pidana anak yang berhadapan dengan hukum,
Jonlar Purba memberikan penjelasan sebagai berikut:
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan
restorative justice menawarkan pandangan pdan pendekatan
berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 153


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Dalam pandangan keadilan restorative makna tindak pidana pada


dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya
yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan
kemasyarakatan. Akan tetapi, dalam pendekatan restorative,
korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara,
sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang
ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk
membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak
pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian
pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana
di mana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi
penting dalam usaha perbaikan, rekonsilisasi dan penjaminan
keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.52
Restorative justice awalnya dikembangkan oleh United
Nations Children Fund (UNICEF) sebagai upaya dalam memberikan
perlindungan terhadap pelaku tindak pidana atau anak yang berhadapan
dengan hukum. Keadilan restoratif yang dirumuskan UNICEF didasari
pada instrumen hukum internasional bagi anak yang mempunyai
masalah hukum, yaitu:53
1. Resolusi Majelis Umum PBB 40/33, tanggal 29 November 1985.,
mengenai United Nations Standart Minumum Rules For The
Administration Of Junivele Justice, (The Beijing Rules).
2. Resolusi Majelis Umum PBB, 45/112, tanggal 14 Desember
1990 mengenai United Nations Guildelines For The Prevention
Of Juvenile Delinguency (The Riyadh Guildelines).
3. Resolusi Majelis Umum PPB, 44/25. Tanggal 20 November 1989,
mengenai Conventions On The Right of The Child, (konvensi
hak-hak anak).
4. Resolusi Majelis Umum PBB, 45/113, tanggal 14 Desember
1990, mengenai United Nations Rules Of For The Protection Of
Juvenile Deprived Of Their Liberty.
Keadilan restoratif dari UNICEF menitikberatkan kepada
keadilan yang dapat memulihkan, yaitu memulihkan bagi pelaku
tindak pidana anak, korban dan masyarakat yang terganggu akibat
adanya tindak pidana tersebut. Proses pemulihan berdasarkan keadilan

52
Jonlar Purba, Op.cit, hlm. 55.
53
Wagiati Soedtejo, Op.cit, hlm. 134.

154 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

restoratif dilakukan melalui pelaksanaan diversi, yaitu pengalihan atau


pemindahan proses peradilan ke dalam proses alternatif penyelesaian
perkara, yaitu melalui musyawarah pemulihan atau mediasi.54
Diversi sebelumnya tidak diatur dalam KUHP maupun KUHAP,
konsep ini baru kemudian muncul setelah diberlakukannya Undang-
Undang SPPA, yang merupakan adopsi konsep yang dikembangkan
UNICEF. Diversi, didasarkan pada diskresi dari aparat penegak hukum
bertujuan melindungi anak dari tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan kepentingan terbaik bagi anak.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam kaitannya dengan
pelaksanaan peradilan pidana terhadap anak dapat pula dilihat dalam
rumusan Pasal 24 Ayat (1) International Covenant on Civil anda
Political Right (ICCPR), yang berbunyi:
“Every child shall have, without any discrimination as to race,
colour, sex, language, religion, national or social origin, property
or birth, the right to such measures of protection as are required
by his status as a minor, on the part of his family, society and the
State”.55 Secara umum dapat diartikan bahwa setiap anak berhak
mendapatkan hak atas langkah-langkah perlindungan, karena
statusnya sebagai anak di bawah umur seharusnya dapat dijadikan
sebagai landasan hukum bagi hakim untuk menghentikan perkara
anak.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam kaitannya dengan
pelaksanaan peradilan pidana anak diatur pula dalam Konvensi Tentang
Hak-Hak Anak (Convention On The Rights The Child) resolusi Nomor
109 Tahun 1990, yang mengatur bahwa :
Tidak seorang anakpun dapat dirampas kemerdekaannya secara
tidak sah atau sewenang-wenang, menjadi sasaran penyiksaan
atau perlakuan/penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat, hukuman mati, atau hukuman seumur
hidup. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak
harus sesuai dengan hukum dan hanya sebagai upaya terakhir dan
untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.56

54
Ibid, hlm. 135.
55
Pasal 24 Aya (1) International Covenant on Civil anda Political Right (ICCPR),
diakses melalui: https://treaties.un.org/doc/. 12 Maret 2019. Pukul. 18. 45. Wib.
56
Purnianti, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice
System) Di Indonesia, (Jakarta: Unicef, 2015), hlm. 19.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 155


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Lebih lanjut, dalam Pasal 37 Convention On The Rights The Child


resolusi Nomor 109 Tahun 1990, ditegaskan bahwa:
Negara-negara peserta menjamin bahwa:
1. Tidak seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat. Hukuman mati atau seumur hidup
tanpa kemungkinan pembebasan, tidak boleh dikenakan pada
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berusia
di bawah 18 tahun.
2. Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara
tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan,
atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum
dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka
waktu yang sesingkat-singkatnya.
3. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan
secara manusiawi dan dihormati martabat manusianya dengan
memperhatikan kebutuhan manusia seusianya. Khususnya,
setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan
dari orang-orang dewasa, kecuali bila dianggap bahwa
kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan menuntut agar
hal ini tidak dilakukan dan anak berhak untuk mempertahankan
hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau
kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus.
4. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk
secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang
layak dan menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannnya
di depan pengadilan atau pejabat lain yang berwenang,
independen dan tidak memihak dan berhak untuk dengan
segera memperoleh keputusan mengenai tindakan perampasan
kemerdekaan tersebut.
Kemudian dalam berbagai Peraturan-Peraturan Minimum Standar
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan bagi
Anak (The Beijing Rules), Resolusi No. 40/33/1985, menentukan
bahwa:57

57
Ibid, hlm. 29-30.

156 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

1. Sistem peradilan bagi anak harus mengutamakan kesejahteraan


anak. Karena itu mereka diberikan kebebasan membuat keputusan
pada seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap-tahap berbeda
dari administrasi peradilan bagi anak, termasuk pengusutan,
penuntutan, pengambilan keputusan dan pengaturan-pengaturan
lanjutannya. Polisi, penuntut umum atau badan-badan lain
yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa untuk
memutuskan perkara menurut kebijaksanaan mereka, tanpa
menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal.
2. Pada saat penangkapan seorang anak, orang tuanya harus segera
diberitahu. Penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan
sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat
mungkin.
3. Kehilangan kebebasan tidak dapat dikenakan kecuali diputuskan
atas suatu tindakan yang serius dan melibatkan kekerasan terhadap
orang lain atau atas ketetapan dalam melakukan pelanggaran–
pelanggaran hukum yang serius lainnya dan kecuali tidak ada
jawaban lain yang memadai.
4. Anak tidak dapat menjadi subyek hukuman badan.
5. Pihak berwenang memiliki kekuasaan untuk mengakhiri proses
peradilan pada setiap saat. Penempatan anak pada suatu lembaga
senantiasa merupakan pilihan terakhir dan jangka waktu sesingkat
mungkin, dengan tujuan memberikan perawatan, perlindungan,
pendidikan dan ketrampilan-ketrampilan khusus dengan tujuan
membantu mereka memainkan peran-peran yang secara sosial
konstruktif dan produktif di masyarakat.
6. Negara akan mengadakan pengaturan-pengaturan semi-
institusional, seperti rumah-rumah persinggahan, rumah-rumah
pendidikan, pusat-pusat pelatihan di siang hari dan pengaturan-
pengaturan lainnya yang dapat membantu anak-anak untuk
kembali berintegrasi secara baik dengan masyarakat.
Selanjutnya didalam Resolusi 45/113/1990 tentang Peraturan-
Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya, menentukan bahwa Sistem pengadilan bagi anak
harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan
kesejahteraan fisik dan mental para anak. Hukuman penjara harus

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 157


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

digunakan sebagai upaya akhir. Dengan demikian, penyelesaian


perkara anak yang berhadapan dengan hukum harus dilaksanakan
demi kepentingan terbaik bagi anak.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam hukum positif, diatur
dalam berbagai undang-undang seperti : Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Undang-Undang Nomor 23
Nomor 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 Tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah menegaskan kembali
apa yang telah digariskan dalam konvensi tersebut.
Pasal 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak menyebutkan :
1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan
bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya
maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar.
2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan
dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan
berguna.
3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa
dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup
yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.
Ketentuan pasal tersebut di atas menentukan bahwa kesejahteraan
anak merupakan hak anak yang wajib diberikan dan diusahakan.
Meskipun tanggung jawab kesejahteraan anak pada dasarnya terletak
pada orang tua, namun negara yang diwakili oleh pemerintah memiliki
tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan bagi setiap anak
melalui perlindungan hukum terhadap anak. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, yang menyebutkan
bahwa: “Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan/
atau masyarakat”.

158 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sehubungan dengan jaminan pemenuhan Hak Asasi Manusia


termasuk didalamnya hak-hak anak, telah diatur pula dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam
undang-undang ini, terdapat pasal-pasal khusus yang mengatur tentang
hak-hak anak, misalnya: Pasal 52 s.d 66 dan yang berkaitan dengan
jaminan perlakuan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum
diatur secara khusus pada butir-butir Pasal 66 yang menyebutkan
bahwa:
1. Setiap anak berhak tidak dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, tidak
dirampas kebebasannya secara melawan hukum. Hukuman mati
atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada mereka.
Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
2. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat
perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai usianya. Harus dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum, berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif
dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Instrumen hukum nasional yang secara khusus mengatur dan
memberikan perlindungan terhadap anak, diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jouncto
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang ini dimaksudkan agar perlindungan terhadap anak
dapat dilakukan secara lebih memadai. Undang-undang ini memberikan
pemahaman bahwa pemenuhan hak-hak merupakan “kewajiban
negara” dari negara. Khususnya perlindungan hukum terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 64,
yang berbunyi:
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
dilaksanakan melalui perlakuan secara manusiawi sesuai hak-
hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini,
penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang
tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan
pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 159


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

berhadapan dengan hukum, jaminan untuk mempertahankan


hubungan dengan orang tua atau keluarga dan perlindungan dari
pemberitaan media/labelisasi.
Sebelum ditebitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengakomodir mengenai
penerapan restorative justice dalam sistem peradilan pidana, penerapan
restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan
anak telah menjadi pedoman bagi penyidik Polri. Berdasarkan Telegram
Kapolri tertanggal  11  November Tahun 2006 No. Pol.TR/1124/
XI/2006, menentukan bahwa:
Kategori tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diancam
dengan sanksi pidana sampai dengan 1 tahun dapat diterapkan diversi.
Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana di atas 1
tahun s.d. 5 tahun dapat dipertimbangkan untuk penerapan diversi dan
anak kurang dari 12 tahun dilarang untuk ditahan, dan penanganan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus mengedepankan
konsep restorative justice”.  
Mengacu pada Telegram Kapolri di atas, seyogianya dapat
menjadi kebijakan penyidik dalam melakukan Diversi, tetapi dalam
kenyataannya penyidik Polri sangat jarang menerapkan Diversi karena
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tidak
mengatur tentang Diversi secara eksplisit. Karena itu, pemerintah
memandang perlu untuk memenuhi hak-hak anak sebagai konsekuensi
yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak.
Berdasarkan berbagai konvensi internasional mengenai hak-hak
anak, maka penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
dapat menggunakan pendekatan non penal melalui penerapan keadilan
restorative dalam penyelesaian perkara pidana anak. Selain itu, konsep
hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan adat juga
memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari keadilan
restorative.
Di Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah
umumnya mendukung penerapan keadilan restorative. Hal ini
dapat dilihat dari ciri-ciri umum hukum adat Indonesia, pandangan
terhadap pelanggaran hukum adat, model dan cara penyelesaian yang

160 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

ditawarkannya. Supomo dalam Jonlar Purba mendeskripsikan ciri


umum dari konsep keradilan restorative dalam hukum adat, sebagai
berikut:58
1. Corak religius yang menempatkan hukum adat sebagai bentuk
kesatuan batin masyarakat dalam suatu persekutuan (komunal).
2. Sifat komunal dari hukum adat menempatkan individu sebagai
orang yang terikat dengan masyarakat. seorang individu sosok
yang bebas dalam segala laku karena ia dibatasi oleh batasan-
batasan norma yang telah diterapkan baginya.
3. Tujuan dari persekutuan masyarakat adalah memelihara
keseimbangan lahir batin antara individu, golongan dan
lingkungan hidupnya (levemilieu). Tujuan ini pada dasarnya
diemban oleh masing-masing individu anggotanya demi mencapai
tujuan dari persekutuan.
4. Tujuan memelihara keseimbangan lahir batin berangkan
dari pandangan atas ketertiban yang ada dalam alam semesta
(kosmos), di mana ketertiban masyarakat merupakan berjalan
kembali seperti biasa.
Keadilan restoratif memperoleh inspirasi dari “community justice”
(peradilan atau keadilan masyarakat) yang masih dipergunakan pada
beberapa budaya masyarakat non Barat, khususnya masyarakat adat
Indonesia. Perkembangannya, konsep restorative justice dipengaruhi
oleh pemikiran mengenai persamaan dalam hubungan masyarakat.
Meskipun inspirasi restorative justice tidak datang dari masyarakat
Indonesia, namun pola-pola restorative justice tertanam dalam
beberapa tradisi masyarakat adat di Indonesia.59 Saat ini Indonesia
telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagai bentuk ratifikasi dari Konvensi Hak-
hak Anak (Convention on the Rights of the Child) 20 November 1989.
Hal ini dapat diketahui dari penjelasan umum Undang-Undang Sistem
Peradilan Anak, yang berbunyi:
Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan
konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the
Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik

58
Jonlar Purba, Op.cit, hlm. 59.
59
Ibid, hlm. 61.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 161


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990


tentang (Convention on the Rights of the Child).
Dijadikannya Konvensi Hak-hak Anak sebagai pertimbangan
yuridis dalam pembentukan Undang-Undang SPPA dan juga disebutkan
dalam penjelasan umum Undang-Undang SPPA, dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang SPPA secara langsung maupun tidak langsung adalah
penjabaran dari Konvensi Hak-hak Anak. Instrumen Internasional
lainnya yang digunakan sebagai dasar terhadap pembentukan Undang-
Undang Sistem Peradilan Anak di Indonesia, meliputi :
1. Peraturan-peraturan minimum standar perserikatan bangsa-
bangsa (United Nations Minimum Standard Rules for the
Administrative of Juvenile Justice) “Beijing Rules”, resolusi
Majelis Umum PBB No. 40/33, tanggal 29 November 1985. Di
dalam peraturan PBB tersebut, antara lain menentukan bahwa
sistem peradilan anak akan mengutamakan kesejahteraan
rakyat. Oleh karena itu, setiap aparatur penegak hukum
diberikan wewenangan untuk menangani anak yang melakukan
pelanggaran hukum tanpa menggunakan peradilan formal.
2. Aturan-aturan Tingkah laku bagi petugas penegak hukum (code
of conduct for law enforcement officials), Resolusi Majelis
Umum PBB, tanggal 17 Desember 1979. Para penegak Hukum
harus melaksanakan kewajiban yang diketakan pada pundak
mereka oleh hakim dengan melayani masyarakat dan melindungi
semua orang terhadap tindakan-tindakan pelanggaran hukum.
3. Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap
Narapidana (Standard Minimum Rules fot the Treatment of
Prisoners), Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 663 C XXIV,
tanggal 31 Juli 1957. Peraturan yang terdapat dalam resolusi
ini harus ditetapkan tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, aliran politik, atau status lainnya.
4. Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang kehilangan
Kebebasannya (Rules for the Protection of Juveniles Depriod
of their Liberty), Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 45/113,
tanggal 14 November 1990. Terhadap remaja yang ditahan
sementara atau menunggu proses pengadilan, tetap berlaku asas
praduga tidak bersalah. Penahanan sebelum pengadilan sejauh
mungkin dihindarkan dam dibatasi hanya untuk kasus-kasus

162 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

tertentu saja. Harus selalu berusaha keras untuk menemukan


cara rehabilitasi selain penahanan. Jika penahanan preventif
tidak bisa dihindari lagi,maka peradilan remaja serta pihak
penyidik harus bekerja ekstra keras agar dilakukan penahanan
sesingkat mungkin. Mereka harus ditahan terpisah dari remaja
yang telah menjadi tertuduh.60
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa kerangka
hukum penerapan diversi melalui pendekatan keadilan restorative dalam
penyelesaian perkara pidana anak mengacu pada berbagai ketentuan
hukum internasional dan hukum nasional. Penerapan keadilan restoratif
dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak bersifat imperatif,
di mana aparat penegak hukum dalam setiap tingkatan berkewajiban
untuk mengupayakan penyelesaian perkara anak melalui pendekatan
restoratif dengan cara menerapkan diversi.

D. Penerapan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana


Anak
Proses peradilan pidana anak belum mampu memberikan keadilan
bagi korban, demikian pula dilihat dari aspek pelaku anak, masih
banyak terjadinya pelanggaran hak-hak anak dalam proses peradilan
pidana, khususnya bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini
mendasari diterapkannya Restorative Justice dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak,
yang pada intinya menentukan agar sistem peradilan pidana anak wajib
menjunjung tinggi harkat dan martabat anak.
Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang SPPA, menyebutkan bahwa
dalam pelaksanaan Diversi dilakukan dengan cara mengadakan
musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan antara korban dan
orang tua/walinya dengan anak/pelaku atau orang tua/walinya,
Bapas, dan pekerja sosial berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Ketentuan pasal ini menegaskan bahwa penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum dengan menggunakan pendekatan keadilan
restoratif dilaksanakan berdasarkan pelaksanaan diversi.

60
R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2016), hlm. 36-37.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 163


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses


peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.61 Secara konseptual,
Diversi adalah mekanisme yang memungkinkan proses penyelesaian
perkara anak yang berhadapan dengan hukum untuk dialihkan dari
proses peradilan menuju proses pelayanan sosial. Dengan demikian,
diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak yang berhadapan
dengan hukum yang diduga melakukan suatu tindak pidana dari proses
pidana formal ke penyelesaian informal melalui upaya perdamaian
antara pelaku dengan korban. Pengalihan penyelesaian perkara anak
yang berhadapan dengan hukum dari peradilan pidana formal ke proses
informal didasarkan pada pertimbangan, bahwa keterlibatan anak dalam
proses peradilan pidana formal telah melahirkan stigmatisasi terhadap
anak.
Diversi, selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, juga diatur dan ditemukan
dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak. Penerapan Diversi dalam proses peradilan anak bersifat wajib
(imperatif). Kewajiban bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan
Diversi dalam proses peradilan Anak diatur dan disebutkan secara
eksplisit dalam Pasal 7 Ayat (1), yang menyatakan bahwa pada tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan
“wajib” diupayakan Diversi.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan
bahwa pelaksanaan Diversi dalam peradilan Anak memiliki beberapa
tujuan yang hendak dicapai, yaitu: mencapai perdamaian antara korban
dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan,
menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab
kepada Anak.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa Diversi dalam
proses penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang
melibatkan anak, dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif.
Pelaksanaan diversi mensyaratkan adanya persetujuan korban dan atau

61
Lihat, Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

164 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

keluarga anak korban serta kesediaan anak.62 Hal terpenting dalam


pelaksanaan Diversi adalah adanya kesepakatan yang didasari atas
persetujuan yang diberikan korban atau keluarga anak korban yang
kemudian dituangkan dalam kesepakatan Diversi. Dengan demikian,
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum tidak
selamanya dapat dilaksanakan diversi. Tidak adanya persetujuan dari
keluarga dan atau kesediaan dari anak korban, maka pelaksanaan diversi
tidak akan dapat dilakukan oleh penyidik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1), pelaksanaan diversi wajib
diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
perkara Anak di pengadilan. Hal ini berarti diversi dapat diupayakan
dan dilaksanakan pada tiap tingkatan proses peradilan pidana, yang
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan.
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan
pengertian opsporing atau onderzoek (Belanda) dan investigation
(Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia ).63 Pasal 1 butir
2 KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Selanjutnya, Andi Sofyan menjelaskan bahwa, hakikat penyidikan
perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan, untuk mengejar
si pelaku kejahatan, sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah
dari tindakan yang tidak seharusnya.64
Proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh
Polri merupakan pintu atau entry point dari suatu penegakan hukum
pidana melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) di
Indonesia. Oleh karena itu, proses penyelidikan dan penyidikan suatu
tindak pidana merupakan kunci utama penentuan dapat tidaknya suatu
perkara pidana dilanjutkan ke proses penuntutan dan peradilan pidana

62
Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
63
Andi Hamzah, Hukum Acara ...Op.cit, hlm. 118.
64
Andi Sofyan, Op.cit., hlm. 83.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 165


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

guna mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan


kemanfaatan dengan tetap mengedepankan asas yang sederhana, cepat
dan biaya ringan.65
Prinsip dasar ide pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan
pidana anak adalah :66
1) diversi untuk menghindari efek negatif peradilan formal dan
pengulangan tindak pidana.
2) harus ada kesepakatan/damai antara pelaku, korban dan
masyarakat.
3) orang tua dan anak setuju dan menyanggupi akan program diversi,
serta menunjukkan rasa tanggung jawab.
4) kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan tidak berat atau
kejahatan berat tertentu.
5) program-program diversi dalam bentuk peringatan, denda/ganti
rugi, pembinaan keterampilan, pembinaan oleh orang tua, dan
konseling.
Keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, didasari pada ketentuan Pasal 1 Ayat (7)
jo Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang SPPA, di mana penyelesaian
perkara anak dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui penerapan
Diversi. Pelaksanaan Diversi dalam perkara anak dapat dilaksanakan
untuk perkara pidana yang diancam di bawah 7 (tujuh) tahun. Diversi
bertujuan untuk memperbaiki perilaku anak dan menghindari anak
dari pemidanaan, karena pemidanaan anak tidak menjamin anak akan
menjadi lebih baik setelah selesai menjalani pemidanaan.
Konsep diversi merupakan konsep yang baru di Indonesia,
awalnya konsep diversi muncul dalam sebuah wacana-wacana seminar
yang sering diadakan. Berawal dari pengertian dan pemahaman tentang
konsep diversi telah menumbuhkan semangat dan keinginan untuk
mengkaji dan menerapkan konsep tersebut. Konsep diversi adalah
konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses
informal.67

65
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 151-152.
66
Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 62-63.
67
Marlina, Op.cit, hlm. 168.

166 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Pelaksanaan diversi oleh Penyidik Satreskrim pada Unit Pelayanan


Pelayanan Perempuan dan Anak Polsek (selanjutnya disingkat Penyidik
PPA) tidak terlepas dari peran Penyidik PPA dalam menjalankan tugas
dan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang telah ditentukan dalam
undang-undang. Kewenangan penyidik dalam pelaksanaan diversi pada
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mengacu
pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
(KUHAP), yang menyatakan bahwa penyidik karena kewajibannya
mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.
Penjelasan lebih lanjut mengenai tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab yang dimaksudkan dalam Pasal 7 Ayat (1)
KUHAP, dapat dilihat dalam rumusan Pasal 16 Ayat (1) huruf l jo Pasal
18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (selanjutnya disebut Undang-Undang Polri), jo
Pasal 5 Ayat (1) KUHAP, bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf l Undang-Undang Polri, adalah tindakan
penyelidikan atau penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat
sebagai berikut :
1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
dan
5) menghormati hak asasi manusia.
Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Polri, menyatakan bahwa
: untuk kepentingan umum pejabat kepolisian bertindak menurut
penilaiannya sendiri. Penjelasan Pasal 18 Ayat (1), dimaksud dengan
“bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah “suatu tindakan yang
dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta
resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum”.
pelaksanaan ketentuan ini dikenal dengan istilah diskresi kepolisian.
Di tingkat penyelidikan dan penyidikan, pendekatan restorative

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 167


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

justice dapat digunakan berdasarkan kewenangan diskresi (discretionary


powers). Kewenangan diskresi adalah salah satu sarana yang memberi
ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk
melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-
undang. Indroharto menjelaskan bahwa dalam pelaksanan diskresi,
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :68
1) Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang
mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan. Dalam
hal ini Pasal 15 Ayat (1) huruf b dan huruf f Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002, bahwa : Dalam rangka menyelenggarakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14, Kepolisian
Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
a) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban umum.
b) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.
2) Tidak bertentangan nyata-nyata dengan nalar sehat.
3) Harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaan-
keadaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
4) Isi kebijaksanaan harus jelas tentang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dari warga yang terkena peraturan.
5) Tujuan dan dasar pertimbangan tentang kebijaksanaan yang akan
ditempuh harus jelas.
6) Harus memenuhi syarat-syarat kepastian hukum materiil, artinya
hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena
kebijaksanaan harus dihormati, juga harapan-harapan warga yang
pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
Sesuai Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang SPPA, bahwa dalam
sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan keadilan restoratif.
Maka dari itu, Penyidik memiliki tanggung jawab untuk sedapat
mungkin mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan
formal ke peradilan informal. Sesuai dengan tanggung jawab tersebut,

68
Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum
Perdata, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992), hlm. 45-46.

168 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

maka didalam menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan


hukum, penyidik melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Penyidik PPA mempertemukan antara pelaku dan korban atau
pihak keluarga korban;
2) Penyidik PPA memberi kelonggaran (jangka waktu) terhadap
pelaku dan korban untuk melakukan musyawarah;
3) PPA akan mengabulkan atau tidak mengabulkan perdamaian
antara pelaku dan korban, akan tetap melihat pertimbangan
kepentingan atau kemanfaatan bagi masyarakat dan kondisi nyata
antara pelaku dan korban;
4) PPA akan menghentikan atau tidak meneruskan pelimpahan
perkara anak tingkat penuntutan, jika terdapat keadaan seperti :
aduan dicabut, korban telah diberi ganti rugi, karena ada saran
dari tokoh masyarakat, ada arahan dari pimpinan agar perkara
dihentikan.
Peran penyidik PPA dalam penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, adalah bagaimana penyidik semaksimal
mungkin mengupayakan pelaksanaan diversi. Berdasarkan kriteria
Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang SPPA, yang menentukan syarat
pelaksanaan diversi, maka pelaksanaan diversi di tingkat penyidikan,
penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :69
1) Kategori tindak pidana
Perkara tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku
harus diupayakan menggunakan pendekatan keadilan restorative
dengan mempertimbangkan tindak pidana yang telah dilakukan.
Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana
sampai dengan 1 tahun harus diprioritaskan dilakukan diskresi,
tidak perlu diproses dengan hukum formal, cukup peringatan
secara lisan maupun tertulis. Sedangkan untuk kategori tindak
pidana diancam dengan sanksi pidana lebih dari 1 (satu) tahun
sampai dengan 7 (tujuh) tahun diprioritaskan untuk diselesaikan
dengan pendekatan keadilan restoratif.

69
Taufik Makarao, Op.cit, hlm. 114-118.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 169


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana


lebih dari 7 (tujuh) tahun, tidak wajib dilakukan penyelesaian
secara diversi. Di sini penyidik tidak memiliki kewajiban atau
tanggung jawab untuk melaksanakan diversi. Berkaitan dengan
pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak, Marlina
mengemukakan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak
yang dapat diselesaikan melalui pendekatan restorative justice,
adalah :70
a) Kasus tersebut bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan
kepentigan orang banyak dan bukan pelanggaralan lalu lintas
jalan;
b) Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya
nyawa manusia, luka berat atau cacat seumur hidup;
c) Kenakalan anak tersebut bukan kejahatan terhadap kesusilaan
yang serius yang menyangkut kehormatan.
Dilihat dari kategori tindak pidana yang dilakukan oleh
anak, diketahui bahwa tidak semua tindak pidana yang dilakukan
oleh anak dapat diselesaikan melalui pendekatan restorative
justice. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan anak termasuk
jenis kejahatan berat, seperti pembunuhan, maka penyelesaian
perkara tidak dapat dilakukan melalui pendekatan restorative
justice.
2) Usia Anak
Dilihat dari batasan usia anak yang diatur dalam Undang-
Undang SPPA, maka pertimbangan usia pelaku sangatlah
urgen. Undang-Undang SPPA, telah menentukan batasan
usia dalam menuntut pertanggungjawaban pidana bagi anak,
yaitu telah mencapai atau berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum sampai berumur 18 (delapan belas) tahun atau lebih.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tidak ada seorang anak pun
yang masih berusia di bawah 12 tahun yang dapat dimintakan
pertanggunganjawaban pidana. Dengan demikian, semakin muda
usia pelaku, semakin besar kemungkinan untuk dilaksanakannya
restorative justice.

70
Marlina, Op.cit, hlm. 207.

170 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

3) Kesediaan (persetujuan) korban dan dukungan keluarga korban


untuk pelaksanaan diversi.
Persyaratan penyelesaian perkara anak yang berhadapan
dengan hukum yang berhubungan dengan korban, yaitu terkait
dengan dampak perbuatan pelaku terhadap korban. Setiap
kejahatan yang dilakukan akan berdampak berbeda bagi masing-
masing korban, dapat berupa fisik psikis materi dan sosial.
Sehingga respon yang didapat dari dampak tersebut akan berbeda-
beda, antara satu kasus dengan kasus lainnya. Penyelesaian
perkara anak sebagai pelaku tindak pidana dengan menggunakan
keadilan restoratif perlu adanya keterlibatan korban dan atau
keluarganya.
Penyidik PPA dapat mendengar dan mempertimbangkan
pendapat atau keinginan korban. Dengan kata lain, dibutuhkan
adanya dukungan orang tua/wali dan keluarga untuk terlibat
secara aktif dalam penyelesaian perkara. Namun, dalam hal tindak
pidana yang dilakukan oleh anak berupa pelanggaran, tindak
pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian
korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat,
kesepakatan diversi dapat dilakukan penyidik bersama dengan
pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta
melibatkan tokoh masyarakat. Dalam ini kesepakatan diversi
dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan korban, kesepakatan
tersebut dibuat oleh Penyidik atas rekomendasi dari Pembimbing
Kemasyarakatan. Kesempatan yang dibuat oleh penyidik, dapat
berbentuk:
a) pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b) rehabilitasi medis dan psikososial;
c) penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d) keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e) pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.71

71
Lihat Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesi
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 171


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

4) Pengakuan dan penyesalan pelaku


Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restorative
akan efektif jika anak mengakui perbuatan dan menyesalinya.
Pengakuan dan penyesalan anak atas perbuatan tidak boleh
dipaksakan dengan ancaman atau bujukan atas imbalan
(akan diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif).
Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif tidak dapat
dipertimbangkan jika anak tidak mengakui perbuatan dan tidak
menyesalinya.
5) Dukungan masyarakat
Penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum
dilakukan dengan mengadakan musyawarah (mediasi) antara
korban dengan pelaku. Dalam proses mediasi tersebut tentunya
dibutuhkan adanya mediator, yaitu pihak yang memfasilitasi atau
sebagai fasilitator dalam proses mediasi itu sendiri.
Mediator merupakan pihak netral dalam membantu para
pihak dalam mencari suatu penyelesaian antara korban dan
pelaku. Oleh karena itu, dalam penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif
diperlukan adanya dukungan masyarakat, dalam hal ini tokoh
masyarakat atau tokoh agama dapat menjadi fasilitator yang
netral dalam proses musyawarah.
Memperhatikan syarat-syarat didalam pelaksanaan diversi,
maka pelaksanaan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif oleh
penyidik dapat dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu :
1) Tahap pertimbangan oleh penyidik untuk melakukan diversi.
Penanganan perkara yang melibatkan anak sebagai
pelaku, penyidik setelah menerima laporan atau menemukan
sendiri adanya tindak pidana, selanjutnya segera melakukan
penyidikan untuk mencari keterangan dan barang bukti. Dalam
hal ditemukan cukup bukti, maka penyidik menerbitkan Surat
Perintah Tugas dan Surat Perintah Penyidikan.
Sebelum memanggil anak, penyidik wajib mengetahui
dampak psikologis anak tersebut dan memeriksa anak di
ruangan pelayanan khusus pada unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (PPA). Apabila terpaksa untuk melakukan penangkapan

172 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

terhadap anak, maka penangkapan tersebut tidak lebih dari 1 x


12 jam, dalam waktu paling lama 1 x 12 jam, penyidik kwajib
memberitahukan penangkapan tersebut kepada orang tua,
keluarga, penasehat hukum dan Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Pemeriksaan awal terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum, penyidik wajib melihat kondisi kesehatan dan kesiapan
anak. Waktu pemeriksaan anak untuk pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak
dilakukan pada malam hari. Dalam melakukan pemeriksaan
terhadap anak wajib didampingi oleh orang tua, keluarga, dan
penasehat hukum.
Selama melakukan pemeriksaaan, penyidik memiliki
kewajiban untuk memeriksa dalam suasana kekeluargaan serta
dalam waktu 1 x 12 jam dan kemudian wajib untuk meminta
pertimbangan dari Bapas. Apabila dipandang perlu, dalam
pemeriksaan terhadap ABH, penyidik dapat pula meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan
jiwa, ahli agama, atau pertimbangan dari petugas kemasyarakatan
lainnya.
Penyidik sebagai gerbang awal pencari keadilan
dalam proses peradilan pidana anak wajib melakukan upaya
musyawarah melalui pendekatan keadilan restorative dengan
melibatkan Bapas atau pihak lain, paling lama 30 hari sejak
diterima laporan. Penyidik dapat melakukan proses diskresi
sesuai ketentuan yang berlaku, dengan syarat tidak bertentangan
dengan aturan hukum, dan selaras dengan kewajiban hukum
yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.
Sebelum melakukan penyidikan terhadap anak, penyidik
terlebih dahulu mempertimbangkan apakah penyelesaian
perkara terhadap anak tersebut dapat dilaksanakan diversi
atau tidak. Dalam hal ini, penyidik tentunya harus memiliki
kemampuan dan keahlian dalam pelaksanaan sistem peradilan
pidana anak.
Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan bagi
penyidik dalam pelaksanaan diversi, meliputi: kategori tindak
pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai
Pemasyarakatan (Bapas), kerugian yang ditimbulkan, tingkat

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 173


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

perhatian masyarakat, dukungan lingkungan keluarga dan


masyarakat.
Penyidik, jika dalam pertimbangannya berkesimpulan
bahwa penyelesaian perkara anak tersebut dapat dilaksanakan
diversi, maka pihak penyidik menanyakan pada pelaku,
apakah bersedia untuk menyelesaikan perkara tersebut secara
musyawarah. Jika pelaku menyatakan dirinya bersedia untuk
menyelesaikan secara musyawarah, kemudian penyidik
menanyakan kesediaan korban untuk melaksanakan proses
penyelesian perkara secara mediasi.
Apabila antara pelaku dengan korban ataupun keluarganya
terdapat kesepakatan untuk menyelesaikan perkara secara
musyawarah, maka penyidik kemudian memuat kesepakatan
tersebut dalam Berita Acara keputusan pelaksanaan diversi
yang didasari adanya persetujuan dari para pihak, khususnya
persetujuan yang diperoleh dari pihak korban dan atau
keluarganya.
Selanjutnya, apabila upaya musyawarah antara korban dan
pelaku tercapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tersebut
haruslah ditandatangani bersama oleh para pihak dan juga saksi.
Sebaliknya, jika musyawarah yang dilakukan antara korban
atau keluarganya dan pelaku tidak mencapai kesepakatan,
maka proses hukum akan dilanjutkan pada tahap berikutnya,
yaitu pelimpahan berkas perkara dari penyidik kepada penuntut
umum dengan melampirkan berita acara hasil musyawarah
yang dicatatkan oleh penyidik dalam berita acara keputusan
musyawarah. Penuntut umum, sesuai kewenangan dapat kembali
melakukan tindakan diversi, sebelum melanjutkan perkara ke
tahap penuntutan.
2) Tahap musyawarah (mediasi) antara pelaku dan atau keluarganya
dengan korban dan atau dengan keluarga.
Penyidik PPA setelah menerima persetujuan untuk
dilaksanakannya diversi, kemudian dapat menjadi fasilitator
atau memfasilitasi proses musyawarah (mediasi) antara pelaku
dengan korban dengan cara terlebih dahulu menggali informasi
baik dari pelaku maupun dari korban. Dalam menggali

174 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

informasi pelaku, dilakukan pertemuan antara fasilitator dengan


melibatkan pelaku dan pihak yang terkait seperti keluarga
pelaku dan pihak dari Bapas.
Fasilitator memperkenalkan diri, lalu membacakan
kronologi perkara, pelaku diberi kesempatan untuk menanggapi
kronologi perkara tersebut sehingga pada kesimpulan pelaku
dapat menerima atau menolak bertanggungjawab atas perbuatan
tersebut. Jika pelaku mengakui perbuatannya dan bersedia
untuk bertanggungjawab maka penyelesaian perkara tersebut
dilanjutkan dengan musyawarah, namun bila pelaku tidak
mengakui dan tidak bertanggungjawab maka dikembalikan ke
proses formal.
Selanjutnya, mencari informasi dari korban, dalam hal
ini fasilitator mengadakan pertemuan dengan korban dan pihak
yang terkait, tanpa melibatkan pelaku dan keluarga. Pertemuan
tersebut korban menceritakan apa yang terjadi dan apa yang
dianggap perlu untuk dilakukan oleh pelaku sebagai konsekuensi
dari perbuatannya.
Setelah proses pertemuan antara korban dengan pelaku
dan atau keluarga dilaksanakan, penyidik memberi kesempatan
kepada keluarga pelaku dan keluarga korban untuk berunding
terkait dengan bagaimana penyelesaian permasalahan yang
sedang dihadapi oleh kedua belah pihak. Substansi pembahasan
dalam perundingan antara keluarga pelaku, keluarga korban,
penyidik dan masyarakat, antara lain meliputi:
a) Bagaimana anak dapat mengganti kesalahan yang memberikan
kontribusi atau kebaikan bagi korban, dan keluarganya.
b) Bagaimana rencana dan upaya yang dapat dilakukan oleh anak
bersama dengan keluarganya untuk mencegah pengulangan
perbuatan.
3) Tahap negosiasi dan membuat perjanjian (kesepakatan).
Tahap negosiasi, maka pihak yang diangkat sebagai
fasilisator perlu untuk memeriksa hal-hal sebagai berikut:
a) Apakah rencana yang dibuat fasilitator telah memenuhi
kebutuhan korban maupun kebutuhan masyarakat, serta

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 175


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

didasari pada kepentingan terbaik bagi anak, baik anak


sebagai pelaku maupun korban.
b) Setelah memeriksa rencana tersebut, maka fasilitator
melakukan perundingan dengan melibatkan keluarga pelaku,
keluarga korban (untuk musyawarah keluarga), untuk
musyawarah masyarakat juga melibatkan tokoh masyarakat/
tokoh agama.
c) Keputusan hasil musyawarah harus mendapatkan persetujuan
dari pihak yang terlibat di dalam musyawarah yaitu, pelaku,
keluarga pelaku, korban dan keluarga korban.
d) Hasil kesepakatan keadilan restorative dapat berupa:
Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan
kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam
pendidikan atau pelatihan ke lembaga pendidikan, lembaga
penyelenggaraan kesejahteraan sosial atau lembaga
kesejahteraan sosial atau Pelayanan masyarakat.
e) Kemudian kesepakatan yang sudah dilakukan tersebut
dituangkan ke dalam suatu surat keputusaan yang berlaku
sejak disepakati untuk selanjutnya keputusan tersebut
dilampirkan dalam berkas perkara anak yang wajib
dipertimbangkan oleh jaksa pada saat penuntutan atau oleh
hakim pada saat membuat putusan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan dalam
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum
penyidik berkewajiban untuk mengupayakan diversi dengan
mengedepankan penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif.
Memenuhi kewajibannya tersebut, dalam penyelesaian perkara
anak yang berhadapan dengan hukum penyidik senantiasa harus
mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, yaitu dengan
pelaksanaan diversi. Dalam pelaksanaan diversi oleh penyidik,
maka terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan,
yaitu kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian
kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas), kerugian
yang ditimbulkan, tingkat perhatian masyarakat, dan dukungan
lingkungan keluarga dan masyarakat.

176 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

2. Pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan


Pelaksanaan diversi harus diupayakan dalam setiap tingkat
proses peradilan pidana anak, termasuk dalam tahap penuntutan.
Pelaksanaan diversi di tingkat penyidikan dengan alasan-alasan
tertentu yang diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang SPPA72,
dimungkinkan proses hukum terhadap anak dilanjutkan pada proses
penuntutan dengan melimpahkan perkara ke penuntut umum.
Pelaksanaan program restorative justice ditingkat penuntutan
dapat dijalankan berdasarkan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya
disebut Undang-Undang Kejaksaan). Ketentuan Pasal 35 huruf c
Undang-Undang Kejaksaan, memberikan wewenang pada Jaksa
untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kalimat
“mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dapat dimaknai
perubahan dan pergeseran dari prosedur retributive justice ke arah
restorative justice, dari berorientasi kepada penjatuhan pidana ke arah
orientasi perbaikan dan perlindungan masyarakat, yakni kepentingan
pelaku, korban dan masyarakat luas”.
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Kejaksaan, menegaskan
bahwa: “Kejaksaan dalam tugasnya menetapkan dan mengendalikan
kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas
dan wewenangnya, dapat mengembangkan kebijakan penegakan
hukum dan keadilan dalam ruang lingkup restorative sebagai bagian
dari kewenangannya”.
Pelaksanaan Diversi dan program restorative dapat pula dianggap
sebagai kewenangan lain dari institusi Kejaksaan berdasarkan undang-
undang. Kewenangan lain dari institusi kejaksaan diperkuat oleh
Pasal 32 Undang-Undang Kejaksaan. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang adalah
wewenang penuntut umum dalam penerapan restorative justice
dengan pelaksanaan diversi sebagaimana ditentukan dalam Undang-
Undang SPPA.

72
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, menentukan, Proses
peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hlm: a. proses Diversi tidak menghasilkan
kesepakatan: atau b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 177


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Sehubungan dengan penerapan diversi pada setiap tingkap


proses peradilan anak yang diatur dalam Undang-Undang SPPA, sesuai
ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Kejaksaan, maka Jaksa Penuntut
Umum dapat langsung mengupayakan program diversi dalam konteks
peradilan restorative. Wewenang penuntut umum untuk melakukan
Diversi termasuk dalam kewenangan Kejaksaan yang diatur dalam
Pasal 32 Undang-Undang Kejaksaan.
Kewenangan penuntut umum dalam pelaksanaan diversi
dijelaskan dalam Pasal 42 Undang-Undang SPPA, yang menyebutkan:
1) Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7
(tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.
2) Diversi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan,
Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta
kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat
penetapan.
4) Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan
berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan
dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
Penuntut Umum Anak sebagai fasilitator bersama pembimbing
kemasyarakatan dengan pelaku, korban, dan orang tua dipertemukan
di dalam ruangan anak (RKA) untuk melakukan musyawarah yang
dimaksud agar mencapai kesepakatan dalam penyelesaian perkara.
Namun, apabila dalam musyawarah tidak mencapai kesepakatan,
proses pemeriksaan akan dilanjutkan pada tahap penuntutan di
Pengadilan.
Pelaksanaan diversi dalam penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum pada tingkat penuntutan, mengacu pada
ketentuan yang diatur dan ditetapkan dalam sesuai Undang-Undang
SPPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Mengenai mekanisme, syarat-syarat
dan prinsip-prinsip dalam pelaksanaan diversi pada tingkat penuntut,
secara umum sama dengan pelaksanaan diversi yang diterapkan pada
tingkat penyidikan di Kepolisian.

178 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

3. Pelaksanaan diversi pada tahap pemeriksaan di Pengadilan


Kegagalan pelaksanaan diversi pada tingkat penuntutan
berimplikasi hukum dilanjutkannya proses perkara ke pengadilan.
Pelaksanaan diversi pada tingkat pengadilan sama halnya seperti
pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dan penuntutan,
dimana hakim sebelum masuk pada pemeriksaan pokok perkara dan
menjatuhkan putusan pengadilan, terlebih dahulu harus melaksanakan
diversi.
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak, menentukan pelaksanaan Diversi
diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12
(dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
Mekanisme pelaksanaan musyawarah diversi diawali dari
acara pembukaan musyawarah diversi oleh fasilitator dengan
memperkenalkan para pihak yang hadir dan menyampaikan maksud
dan tujuan musyawarah diversi serta tata tertib pelaksanaan diversi.
Selain itu, fasilitator juga menjelaskan secara ringkas mengenai tugas
dan fungsinya serta menjelaskan dengan ringkas dakwaan dan uraian
perilaku dan keadaan sosial anak serta saran yang disampaikan oleh
pembimbing kemasyarakatan.
Selanjutnya, dalam musyawarah diversi fasilitator berkewajiban
untuk memberikan kesempatan kepada anak atau orang tua/wali
untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak
dan bentuk penyelesaian yang diharapkan dan juga korban atau orang
tua/wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang
diharapkan. Keinginan para pihak yang merupakan kesepakatan untuk
menyelesaikan perkara secara musyawarah kemudian disusun oleh
fasilitator sebagai bentuk kesepakatan. Penyusunan draf kesepakatan
antara para pihak oleh fasilitator tidak boleh bertentangan dengan
hukum, agama dan kepatutan masyarakat, serta kesusilaan atau
memuat hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan oleh anak atau memuat
itikad tidak baik.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 179


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Seluruh kegiatan musyawarah Diversi dicatatkan dalam Berita


Acara Diversi dan ditandatangani oleh Fasilitator Diversi dan Panitera/
Panitera Pengganti. Kesepakatan Diversi harus ditandatangani oleh
para pihak untuk kemudian dilaporkan kepada Ketua Pengadilan oleh
Fasilitator Diversi. Selanjutnya, Ketua Pengadilan akan mengeluarkan
Penetapan Kesepakatan Diversi. Dalam hal Ketua Pengadilan
memandang perlu adanya perbaikan terhadap isi kesepakatan,
maka Ketua Pengadilan dapat mengembalikan Kesepakatan Diversi
untuk diperbaiki oleh Fasilitator Diversi, yang selambat-lambatnya
dilakukan dalam waktu tiga hari. Setelah menerima penetapan dari
Ketua Pengadilan, maka Hakim berkewajiban untuk menerbitkan
penetapan penghentian pemeriksaan perkara.
Pelaksanaan diversi pada pemeriksaan di muka persidangan,
maka fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat
maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung
penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus).
Kaukus adalah pertemuan terpisah antara fasilitator Diversi dengan
salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya. Pelaksanaan diversi
pada pemeriksaan di muka persidangan, maka terdapat kemungkinan
hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan
perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan
dimuka sidang.73
Poin penting dari diversi adalah bertujuan untuk menghindarkan
anak dari perampasan kemerdekaan.74 Di mana pelaksanaan diversi
harus mempertimbangkan kepentingan dari korban.75 Maka dari
itu, pelaksanaan diversi haruslah didasari pada kesepakatan atau
persetujuan dari korban.76 Dalam kondisi terjadi tindak pidana dimana
anak merupakan korban dari tindakan itu sendiri, dalam banyak
praktik hal ini disebut tindak pidana tanpa korban sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang SPPA.

73
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015), hlm. 70.
74
Pasal 6 huruf c Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana.
75
Pasal 8 Ayat (3) huruf a Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana.
76
Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana.

180 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Misalnya, dalam hal anak sebagai penyalahguna atau korban


penyalahgunaan narkotika. Aparat penegak hukum, khususnya
penyidik Kepolisian dapat melakukan kesepakatan diversi. Namun
sayangnya, dalam praktik penegakan hukum terhadap anak sebagai
penyalahguna narkotika, kesepakatan diversi tersebut sangat jarang
diterapkan.
Pelaksanaan diversi di tingkat pengadilan berdasarkan Perma
No. 4 Tahun 2014 tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang SPSA. Pelaksanaan diversi menurut
Perma No. 4 Tahun 2014, juga didasari pada pertimbangan kategori
tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Perma No. 4 Tahun 2014,
menentukan bahwa: “Hakim Anak wajib mengupayakan Diversi
dalam hal Anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula
dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif,
kumulatif maupun kombinasi (gabungan)”.77
Pelaksanaan diversi dalam Perma No. 4 Tahun 2014, intinya
menitikberatkan jika dalam salah satu dakwaan ada perbuatan yang
diancam dengan pidana kurang dari 7 tahun, maka anak berhak untuk
mendapatkan proses diversi. Dengan demikian, Perma No. 4 Tahun
2014 secara umum memiliki kesesuaian dengan pelaksanaa diversi
yang diatur dalam Undang-Undang SPPA.
Konsep diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan
hukum dilaksanakan melalui pendekatan keadilan restoratif sesuai
dengan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang SPPA, yang menyebutkan:
“Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
Keadilan restoratif”. Perlindungan hukum terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dengan penerapan keadilan restoratif melalui
pelaksanaan Diversi dalam penanganan perkara pidana, Jonlar Purba
menjelaskan sebagai berikut:
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan
restorative justice menawarkan pandangan pdan pendekatan berbeda
dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan

77
Lihat, Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 4 Tahun
2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 181


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

keadilan restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti


pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap
individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi,
dalam pendekatan restorative, korban utama atas terjadinya suatu
tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan
pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan
kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya
suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses
pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana
di mana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting
dalam usaha perbaikan, rekonsilisasi dan penjaminan keberlangsungan
usaha perbaikan tersebut.78
Diversi merupakan suatu konsep untuk mengalihkan suatu kasus
dari proses formal ke proses informal. Proses pengadilan ditujukan
untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum.79 Konsep Diversi merupakan suatu pembaharuan dalam hukum
pidana dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak.
Mewujudkan prinsip-prinsip perlindungan anak dalam
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum harus
senantiasa memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Kepentingan
terbaik bagi anak (the best interest of the child) adalah dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan.
Diversi pada penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan
hukum bertujuan untuk mengalihkan proses penyelesaian perkara anak
dari peradilan formal ke peradilan informal dengan melalui pendekatan
Keadilan restoratif. Penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan
hukum melalui pendekatan keadilan restoratif merupakan upaya untuk
memberi perlindungan terhadap hak-hak anak dan sekaligus mencari
penyelesaian perkara anak yang lebih mengedepankan kepentingan
terbaik bagi anak.
Penerapan diversi dalam penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum memiliki konsekuensi hukum dihentikannya

78
Jonlar Purba. Loc.cit.
79
Marlina, Op.cit, h. 168.

182 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

penyidikan, apabila antara korban dan pelaku terdapat kesepakatan


diversi atau tercapai kesepakatan perdamaian antara korban dengan
pelaku atau antara keluarga korban dan keluarga pelaku. Dengan
demikian, tujuan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum dapat terwujud, yaitu menjauhkan anak dari proses
peradilan formal.
Diversi dalam penanganan perkara anak yang berhadapan
dengan hukum bertujuan menghindari penyelesaian perkara anak
yang berhadapan dengan hukum dari sistem peradilan pidana formal.
Dengan demikian, dalam menangani anak sebagai pelaku tindak
pidana, penyidik senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang
berbeda dari orang dewasa.
Diversi merupakan upaya alternatif untuk menghindarkan anak
dari sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara
dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana. Dengan
adanya diversi, maka proses hukum terhadap anak akan dialihkan ke
proses in formal, yaitu dengan menempatkan pelaku tindak pidana ke
luar dari sistem peradilan pidana. Artinya tidak semua masalah perkara
anak mesti diselesaikan melalui jalur peradilan formal, undang-undang
memberikan alternatif penyelesaian dengan pendekatan keadilan
demi kepentingan terbaik bagi anak dengan tetap mempertimbangkan
keadilan bagi korban yang disebut pendekatan restorative justice.
Penerapan restorative justice dalam penyelesaian perkara
tindak pidana anak tidak saja memberikan perlindungan hukum
bagi anak yang berhadapan dengan hukum, tetapi juga memberikan
perlindungan terhadap hak-hak korban. Oleh karena itu, penerapan
restorative justice juga mencerminkan keadilan, yaitu keadilan bagi
korban dan juga bagi pelaku. Hal ini didasarkan teori keadilan yang
menganggap kejahatan dan pelanggaran, pada prinsipnya adalah
pelanggaran terhadap individu atau masyarakat dan bukan kepada
negara.
Restorative justice (keadilan restorative) menumbuhkan
dialog antara korban dan pelaku akan menunjukkan tingkat tertinggi
kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku. Konsep restorative justice
(keadilan restorative) pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan
tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada
pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 183


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan


kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab,
dengan bantuan keluarga dan masyarakat.
Pengaturan secara tegas mengenai keadilan restorative dan
diversi dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari
proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat
kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. oleh karena itu,
sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan
hal tersebut.
Proses peradilan pidana anak harus tetap pada tujuannya yaitu,
terciptanya keadilan restorative, baik bagi anak maupun bagi korban.
Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan
suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih
baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari
solusi untuk memperbaiki dengan tidak berdasarkan pembalasan.

E. Restoratif Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana


Hukum positif mengatur bahwa terhadap perkara pidana tidak
dapat diselesaikan di luar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal
tertentu dimungkinkan pelaksanaanya. Dalam praktiknya penegakan
hukum pidana di Indonesia, walaupun tidak ada landasan hukum
formalnya, perkara pidana sering diselesaikan diluar proses pengadilan
melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian,
lembaga adat dan sebagainya.
Konsekuensi diterapkan restorative justice sebagai salah satu
alternatif penyelesaian perkara di bidang hukum pidana melalui
restitusi dalam proses pidana, menunjukkan bahwa perbedaan antara
hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi
tidak berfungsi,80 sehingga restorative justice dapat dijadikan sebagai
alternatif penyelesaian dalam perkara pidana.
Penyelesaian perkara pidana melalui jalur penal dengan penjatuhan
pidana oleh hakim terhadap pelaku terkadang kurang memberikan

80
Tolib Efendi, Op.cit, hlm. 4-5.

184 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

kepuasan terhadap semua pihak. Oleh karena itu, perlu untuk melakukan
terobosan hukum yang menimbulkan konsep pemikiran baru dalam
penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan
restorative. Penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan
restorative dimaksudkan agar pelaku dan korban dapat menyelesaikan
konflik yang terjadi dengan mempertimbangkan keadilan dan
kepentingan kedua belah pihak yang didasari pada kesepakatan.
Terobosan hukum dalam sistem peradilan pidana mengupayakan
adanya keadilan restorative dilatar belakangi pemikiran adanya ide-ide
pembaharuan hukum pidana (penal reform). Latar belakang ide-ide
”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi,
ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem
yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana
dan sistem pemidanaan yang ada saat ini.
Ide pembaharuan dalam hukum pidana disebabkan hukum pidana
yang merupakan warisan dari kolonial belanda tidak lagi sesuai dengan
perkembangan masyarakat, bahkan dapat dikatakan tidak sesuai dengan
perkembangan sistem hukum nasional yang diwacanakan. Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh Barda Nawawi, sebagai berikut :
Meskipun sumber hukum pidana positif Indonesia saat ini
bersumber dari KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam
penegakan hukum harusnya berbeda dengan penegakan hukum
pidana seperti di zaman Belanda. Sebab, kondisi lingkungan
atau kerangka besar hukum nasional (nasional legal framework)
sebagai tempat dioperasionalisasikannya WvS, sudah berbeda dan
berubah. Artinya, penegakan hukum pidana harus berada dalam
konteks ke-Indonesiaan.81
Berdasarkan perkembangan dan ide pembaharuan hukum nasional
tersebut, maka dalam penegakan hukum di Indonesia senantiasa harus
memperhatikan sikap masyarakat terhadap hukum, sehingga tidak
boleh mengabaikan waktu saat hukum itu ditetapkan atau berlaku.
Hal ini berarti perlu dilakukan reorientasi atau reinterpretasi terhadap
asas legalitas dalam konteks sistem hukum nasional yang ada saat ini.82
Ditinjau dari perspektif yuridis, restorative justice dalam dimensi
hukum Negara (iu s constitutum) sejatinya memang belum banyak

81
Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan ....Op.cit, hlm. 80-81.
82
Ibid, hlm. 82.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 185


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

dikenal dan masih menyisakan kontroversi, diantara pihak-pihak yang


sepakat dan tidak sepakat untuk diterapkan. Persoalan esensialnya
mengarah pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait
domain superioritas negara dan superioritas masyarakat kearifan lokal.
Eksistensi restorative justice dalam sistem peradilan pidana
dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan demikian, di satu
sisi oleh karena restorative justice dalam ketentuan undang-undang
tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana, tetapi dalam tataran di
bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak
hukum dan sifatnya parsial. Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik
keadilan restorative telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan
penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui
mekanisme lembaga adat.83
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa restorative justice
belum terintegrasi di dalam sistem peradilan pidana. Namun, seiring
terjadinya pembaharuan dalam hukum pidana dan hukum acara pidana,
konsep restorative justice mulai diterapkan dalam penyelesaian perkara
pidana pada kasus-kasus tertentu, seperti terhadap tindak pidana ringan,
penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas, dan pada jenis tindak
pidana lainnya.
Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative justice,
secara eksplisit baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pendekatan restorative
justice dilakukan melalui diversi dalam tiap tingkatan melalui proses
mediasi. Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bahwa diversi
sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana.

83
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jurnal Pro
Yustitia Vol. 2 No. 1 Januari-April 2013), hlm. 3.

186 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB VIII
PENUTUP

M enyimak uraian dan pembahasan bab-bab dimuka, terlihat bahwa


kajian mengenai hak-hak korban dan perlidungan hak-hak korban
begitu penting eksistensinya dalam proses penegakan hukum pidana.
Mengingat, hak-hak korban dalam penegakan hukum pidana masih jauh
dari harapan masyarakat, bahkan tidak jarang hasil akhir dari proses
peradilan pidana justeru mencederai rasa keadilan bagi masyarakat,
khususnya bagi korban.
Penyelesaian perkara pidana melalui sistem peradilan pidana lebih
dominan mengedepankan dan fokus pada hak-hak tersangka/terdakwa.
Sementara hak-hak korban kurang mendapatkan perhatian, bahkan
dapat dikatakan terabaikan. Dalam penyelesaian perkara pidana melalui
sistem peradilan pidana, hak-hak korban kejahatan kurang memperoleh
perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya
immateriil maupun materiil.
Kedudukan korban kejahatan dalam penyelesaian perkara pidana
ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya
sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh
keleluasaan dalam memperjuangkan haknya sangatlah kecil. Asas-
asas hukum Acara Pidana yang dianut KUHAP pun hampir semua
mengedepankan hak-hak tersangka.
Putusan Mahkamah Agung No. Republik Indonesia Nomor 3096
K/Pid. Sus/2018, dalam perkara tindak pidana penipuan jamaah umroh
yang dilakukan oleh pemilik First Travel, merupakan bukti konkrit
bahwa perlindungan hak-hak korban dalam penegakan hukum pidana
melalui proses peradilan pidana masih mengabaikan hak-hak korban
kejahatan, bahkan dapat pula dikatakan penegakan hukum justeru
menjadikan korban menjadi korban.
Perampasan asset Fisrt Travel oleh negara jelas mengabaikan hak-
hak korban (dalam hal ini jamaah umroh). Dalam kasus tersebut pihak
yang paling dirugikan adalah masyarakat (jamaah), bukanlah negara.
Perampasan asset Fisrt Travel oleh negara dengan alasan apapun jelas
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan bentuk pengabaian

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 187


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

terhadap hak korban, yang justeru menjadikan korban kembali menjadi


korban, korban dari arogansi dari negara melalui lembaga peradilan.
Tercapainya “keadilan” merupakan tujuan dari hukum yang
paling hakiki dan termasuk pula bagian dari tujuan penegakan hukum.
Terpenuhinya hak-hak korban dalam proses penegakan hukum
sangatlah diharapkan masyarakat, khususnya korban sebagai pencari
keadilan. Mengingat kerugian yang diderita korban baik langsung
maupun tidak langsung akan berdampak pada diri dan keluarganya di
masa mendatang, maka perlu untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak korban yang memadai dalam proses peradilan pidana.
Menyosong rencana perubahan Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
maka perlindungan hukum terhadap korban perlu diintegrasikan ke
dalam KUHAP dengan mencari alternatif penyelesaian perkara pidana
yang lebih mengedepankan hak-hak korban. Salah satu alternatif yang
dapat dikembangkan dalam penyelesaian perkara pidana dalam KUHAP
adalah melalui pendekatan restoratif justice.

188 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung.
-----------, 2010, Sistem Peradilan Pidana Komtemporer, Prenada
Kencana Media Group, Jakarta.
Ali, Hasbih dan Latif Abdul, 2011, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika,
Jakarta.
Arief, Nawawi Barda, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Hukum Pidana Penanggulangan Kejahatan, Prenada Kencana
Media Group, Jakarta.
-----------, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,  PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
-----------, 2015, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religus, Dalam
Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum
(Pidana) di Indonesia. Pustaka Magister, Semarang.
-----------, 2016, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem
Peradilan Pidana (Integrated Criminal Justice System),
Badang Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Adang, Anwar Yesril, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep,
Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum
Di Indonesia), Widya Padjajaran, Bandung.
-----------, 2013, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung.
B. Shidarta, Arief, B dan Kusumaatmadja Mochtar, 2000, Pengantar
Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup
Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Barkatullah, Hakim Abdul dan Prasetyo Teguh, 2005, Politik Hukum
Pidana : Kajian Kebijjakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ekotama, Suryono, dkk, 2000, Abortus Provocatus Bagi Korban
Perkosaan Perspektif Viktimologi , Kriminologi dan Hukum
Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 189


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Efendi, Tholib, 2010, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan


Komponen dan Proses Sistem Peadilan Pidana di Beberapa
Negara, Pustaka Yustisia, Yokyakarta.
Ibrahim, Harmaily dan Kusnadi, Moh, 1998, Hukum Tata Negara
Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta.
Fadillah, Syarif dan Chaerudin, 2004, Korban Kejahatan dalam
Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia
Press, Jakarta.
Gosita, Arif, 1989, Masalah Perlindungan Anak, CV. Akademika
Pressindo, Jakarta.
----------, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
----------, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo,
Jakarta.
Gultom, Elisatris dan M. Arief, Didik, 2011, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita, PT. Raja
Grafindo Utama, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
----------, 2018, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Bermotif
Ringan Dengan Restoratif Justice, Jala Permata Aksara,
Jakarta.
Harianto, Aries dan Sunggono Bambang, 2009, Bantuan Hukum Dan
Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung.
Harahap, Yahya. M., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta.
Hutauruk, Hotmaulana Rufinus, 2013, Penanggulangan Kejahatan
Korporasi melalui Pendekatan Restoratif suatu Terobosan
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Kartini Kartono, Kartini, 2005, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Kansil, C.S.T., 2006, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Lamintang, P.A.F., 2009, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum
Pidana Yang Berlaku Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

190 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Lubis, Solly, 2009, Serba Serbi Politik Hukum, Soft Media, Medan.
Lubis, Sofyan, M., 2010, Prinsip Miranda Rule: Hak Tersangka
Sebelum Pemeriksaan, Pustaka Yustitia, Jakarta.
Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Dipenogoro, Semarang.
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama,
Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty, Yokyakarta.
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung.
Mulyadi, Lilik, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum
Acara Pidana Indonesia, Alumni, Bandung.
Prakoso, Abintoro, 2013, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laskbang
Grafika, Jakarta.
Purnianti, 2015, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak
(Juvenile Justice System) Di Indonesia, Unicef, Jakarta.
Purba, Jonlar, 2017, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
bermotif Ringan Dengan Restoratif Justice, Permata Aksara,
Jakarta.
Van, L.J, Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya
Paramita, Jakarta.
R, Frank Prassel, 1979, Criminal Law, Justice, and Society, Goodyear
Publishing Company Inc. Santa Monica California.
Rusli, Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 2016, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Penerbit Publisihing, Yokyakarta.
Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sahetapi, J. E., 1995, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi,
Eresco, Bandung.
S. R. Sianturi, S. R dan Kanter, E.Y, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana
Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 191


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Soedjono, Dirdjosisworo, 2002, Pengadilan Hak Asasi Manusia


Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soeparmono, R., 2003, Praperadilan dan Penggabungan Perkara
Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju,
Bandung.
Sunaryo, Sidik, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM
Press, Malang.
Siswosoebroto, Koesriani, 2009, Pendekatan Baru dalam Kriminologi,
Universitas Trisakti, Jakarta.
Setiadi, M. Elly, 2010, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta
dan gejala Permasalahan Sosial, Teori, Aplikasi dan
Pemecahaannya, Prenada Kencana Media Group, Jakarta.
Soesilo, R., 2010, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta
Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia,
Bogor.
Soekanto, Soerjono, 2014, Faktor-Faktor Yang Mempegaruhi
Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Supeno, Hadi, 2015, Keadilan Restoratif Justice, Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2015, Kriminalisasi Anak. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Surbakti, Natangsa, 2015, Peradilan Restoratif, Dalam Bingkai
Empirik, Teori dan Praktek, Genta Publishing, Yogyakarta.
Tahir, Heri, 2009, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan
Pidana Di Indonesia, Laskbang Pressindo, Yokyakarta.
Soeroso, R., 2016, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Utrecht, E, 1958, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.

Yunara, Edy, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi


Berikut Studi Kasus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Yulia, Rena, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Walker, Samuel, 1985, Sense and Nonsense about Crime, A Policy
Guide, Brooks/Cole Publishing Company, California.

192 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Weda, Darma Made, 1995, Beberapa Catatan tentang Korban


Kejahatan Korporasi, dalam Bunga Rampai Viktimisasi,
Eresco, Bandung.
W. A. Bonger dan G.h. Th. Kempe, 1995, diterjemahkan oleh R.A.
Koesnoen, Pengantar Tentang Kriminologi, PT Pembangunan,
Jakarta.
Wisnubroto, Aloysius, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas
Atmajaya, Yogyakarta.
Waluyo, Bambang, 2014, Viktimilogi, Perlindungan Korban & Saksi,
Sinar Grafika, Jakarta.
Wiyono, R, 2016, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
Zulfa, Achjani Eva, 2009, Keadilan Restoratif, FHUI, Jakarta.
Zulfa, Achjani Eva dan Santoso, Topo, 2010, Kriminologi, Rajawali
Pers, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
jo Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undnag Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 193


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007


Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran
Hak Asasi Manusia
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi,
Restitusi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

JURNAL
Arif Rohman, Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Salah
Tangkap Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum
Volume 3 Nomor 1, Pebruari 2017, hlm. 30.
Kimball, Edward L., “Crime: Definition of Crime,” dalam: Sanford H.
Kadish (ed), Encyclopedia of Crime and Justice (New York:
The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983), Volume
1, hlm. 302.
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jurnal
Pro Yustitia Vol. 2 No. 1 Januari-April 2013), hlm. 3.
Mahrus Ali dan Ari Wibowo, Kompensasi dan Restitusi Yang
Berorientasi Pada Korban Tindak Pidana, (Jurnal Hukum
Volume 33 No. 2 Mei 2018), hlm. 265.
Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, Penerbit Ikatan Hakim
Indonesia, Juni 2006, h. 3.
Richard Frase, “Victimless Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed.),
Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press:
A Division of Macmillan Inc., 1983), Volume 4, hlm. 1608.
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Berbasis
Restorative Justice, (Mimbar Justitia Fakultas Hukum
Universitas Suryakancana, Cianjur, Vol. V No. 01, 2016),
hlm. 86.
Zen Zanibar M.Z. “Wilayah Kajian Ilmu Hukum,” dalam : Lex
Jurnalica, Transformasi Ide dan Objektivitas, Jakarta:

194 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat


Universitas Indonesia Esa Tunggal, No. 1/2004, hlm. 44.

INTERNET
Adrian Atmaja, Persamaan Kedudukan Dihadapan Hukum (equality
before of the law), artikel hukum 06 Februari 2013, diakses
melalui bloq: http://ardiandrian. blogspot.co.id, tanggal 11
Februari 2019. Pkl. 13. 40 WIB.
Jecky Tengens, Pendekatan Restoratif Justice Dalam Sistem Peradilan
Indonesia, melalui : http://www.hukum.online.com, diakses
tanggal 19 Februari 2019, Pukul. 12. 45 Wib.
Keadilan Restorasi, sumber http://www.negarahukum.com, diakes pada
tanggal 18 Maret 2019. Pukul 17.30 Wib.
Max Andrwe Ohadi, Minimalisir Korban Salah Tangkap, diakses
melalui website : https://www.kompasiana.com, tanggal 11
September 2019. Pukul. 11. 30 Wib.

Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban 195


HAK-HAK KORBAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Catatan

196 Gomgom T.P. Siregar - Rudolf Silaban

Anda mungkin juga menyukai