Puji dan syukur kami panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena hanya
berkat hidayah dan inayahNya maka buku Fiqh Mawaris ini dapat
diselesaikan.
Semula, buku ini merupakan catatan-catatan sederhana selama penyusun
mengasuh mata kuliah Fiqh Mawaris. Akan tetapi, penyampaian materi kuliah
secara oral saja, dirasa sangat kurang memadai dan memenuhi harapan.
Sementara itu, literatur yang ada juga sangat terbatas dan malah sebagian besar
berbahasa Arab.
Oleh karena itu, disamping untuk memenuhi permintaan mahasiswa dan
juga agar perkuliahan bisa berlangsung lebih efektif maka disusunlah buku ini
dengan berdasarkan syllabi hasil Seminar dan Kurikulum Syllabi di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
Atas pertimbangan praktis semata, pembahasan dalam buku ini disajikan
dalam bentuk penjelasan singkat dan contoh-contoh yang sangat sederhana,
namun kiranya sudah cukup memadai bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum atau Fakultas-Fakultas lain di lingkungan UIN, STAIN maupun
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta serta para peminat lainnya.
Dan karena buku ini bukan merupakan rujukan final, maka diharapkan
agar mahasiswa juga aktif menelaah literatur yang menjadi rujukan
penyusunan buku ini. Disamping itu, keaktifan melatih diri akan sangat
membantu memahami dan memecahkan kasus-kasus yang berkenaan dengan
masalah warisan. Tanpa itu semua, maka buku ini dan mungkin buku-buku
yang lain, tidak akan memberikan bantuan yang berarti.
Kekurangan, kekhilafan dan mungkin juga kesalahan, bukan hal yang
mustahil terdapat dalam buku ini. Untuk itu, kritik serta saran konstruktif
senantiasa kami harapkan.
Akhirnya, penyusun berharap pula, semoga buku ini bermanfaat dan
menjadi sumbangan penting bagi masyarakat. Amin.
Penyusun,
BAB I
II. Dasar
: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َمَ ِال َرسُوْ ُل هللا َ َ ق: ال َ َض َي هللاُ َع ْنهُ ق ِ ع َْن َأبِ ْي هُـ َريْـ َرةَ َر
ِإنِّي7َ ف،اس َ وا ْالفَـ َراِئ77 َوتَ َعلَّ ُم،اس
َ َّا الن77َض َو َعلِّ ُموْ ه َ َّوْ هُ الن77قـرْ آنَ َو َعلِّ ُم ُ تَ َعلَّ ُموا ْال
َ ِة فَال7 ْضَ ان فِى ْالفَ ِري7ِ 7َك َأ ْن يَ ْختَـلِفَ ْاثنُ 7 َويُوْ ِش،ع ٌ ْلع ْل ُم َمرْ فُو
ِ ا ْم ُرٌؤ َم ْقـبُوْ ضٌ َو ْا
2
.يَ ِجدَا ِن َأ َحدًا ي ُْخبِ ُرهَا
“Dari Abi Hurairah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Pelajarilah
al-Qur’an dan ajarkan kepada orang-orang, dan pelajarilah ilmu faraid
serta ajrkan pula kepada orang-orang, karena saya adalah orang yang
bakal direnggut (mati), sedang ilmu ini bakal diangkat. Hampir saja dua
pihak yang berseteru tentang pembagian pusaka dan mereka tidak
menemukan seorangpun yang sanggup memberikan solusi kepada mereka.”
(H.R. Tirmidzi).
َ ْل ُمك77 ْل ِم ْي َس77ك َو َسَ َُد ِم ْي َد ُمكَ َوهَـ ْد ِم ْي هَـ ْد ُمكَ َوثَْأ ِريْ ثَْأرُكَ َو َحرْ بِ ْي َحرْ ب
5
كَ ك َوتُعْـقَـ ُل َعنِّ ْي َوُأ ْعـقَـ ُل عَـ ْن ْ ُطلَـبُ بِ ْي َوا
َ ِطلَبُ ب ْ َُوت َِرثُنِ ْي َوَأ ِرثُكَ وت
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu,
perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku
damaimu, kamu akan mewarisi hartaku dan aku akan mewarisi
hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku dan
aku dituntut karena tindakanku padamu, kamu wajib bayar denda
sebagai pengganti nyawaku dan aku wajib membayar denda sebagai
pengganti nyawamu.”
Kadang sumpah dimaksud dilakukan dengan cara saling meletakkan
tangan di atas tangan yang lain seraya mengucapkan:
َلى النـُّصْ َر ِة َو ْال ُمـ َعـايَـنَـ ِة
َ عـَاقِـ ْدنِ ْي َوعـَا ِهـ ْدنِ ْي ع
“Berprasetia dan berjanjilah padaku untuk saling tolong
menolong.”
3. Adopsi (al-Tabanni@)
Adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal masa Jahiliyah.
Biasanya seseorang akan mengambil anak laki-laki orang lain untuk
dipelihara dan dimasukkan ke dalam keluarganya, sehingga ia akan
menjadi bapak nasab bagi anak angkat tersebut. Rasulullah SAW
sebelum beliau diangkat menjadi Rasul mengangkat anak yang
bernama Zaid Ibn Haritsah, sehingga orang memanggilnya Zaid Ibn
Muhammad. Demikian pula Abu Hudzaifah Ibn ‘Utbah menjadikan
Salim sebagai anak angkat dan orang-orang memanggilnya Salim Ibn
Hudzaifah.6 Adopsi pada masa Jahiliyyah ini bersifat mutlak, karena
kedudukan anak angkat itu disamakan dengan anak kandung. Dengan
demikian, maka anak angkat tersebut akan mendapatkan bagian
warisan seperti halnya anak kandung dari orang yang mengadopsinya.
IV. Sebab-sebab Kewarisan Pada Awal Islam
1. Kekerabatan (nasab) yang tidak diskriminatif:
An-Nisa’ : 7
ك ِ ۤا ِء ن7 ك ْال َوالِ ٰد ِن َوااْل َ ْق َربُوْ ۖنَ َولِلنِّ َس
َ َر7 َيْبٌ ِّم َّما ت7 َص ِ َال ن
َ صيْبٌ ِّم َّما ت ََر ِ لِلرِّ َج
ْ
َص ْيبًا َّمفرُوْ ضًا ُ ْ
ِ ال َوالِ ٰد ِن َوااْل َق َربُوْ نَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ اَوْ َكث َر ۗ ن ْ
7. Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
5
Abu ‘Abdillah Muhammad al-Qurtubi, Al- Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r
al-Kutub al-Mis}riyyah, Juz V, Tt), hal. 166
6
Hasanain, Al-Mawa>ri@s ..., hal. 5-6
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
An-Nisa’: 11
ۤا ًء7ا ِ ْن ُك َّن نِ َس7َلذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ ف َّ ِص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَوْ اَل ِد ُك ْم لِ ْيُو
ِه77ْف ۗ َواِل َبَ َوي ُ َْت َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّص ْ ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَ َركَ ۚ َواِ ْن َكان َ ْفَو
ٌد7َا ِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َول7َ ٌد ۚ ف7َهٗ َول77َاح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ اِ ْن َكانَ ل ِ لِ ُك ِّل َو
ِد7 ُدسُ ِم ۢ ْن بَ ْع7 الس ُّ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه7ه اِ ْخ7 ٓ ٗ 7َانَ ل77ا ِ ْن َك7َث ۚ ف ُّ وهُ فَاِل ُ ِّم ِه7ٰ 7َهٗ ٓ اَب77ََّو َو ِرث
ُ ُالثل
ربُ لَ ُك ْم7 َ 7 ْدرُوْ نَ اَيُّهُ ْم اَ ْق7 َاُؤ ُك ۚ ْم اَل ت7ۤ 7َص ْي بِهَٓا اَوْ َد ْي ٍن ۗ ٰابَ ۤاُؤ ُك ْم َواَ ْبن ِ ْصيَّ ٍة يُّو ِ َو
ْضةً ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما َ نَ ْفعًا ۗ فَ ِري
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
2. Hijrah dan Muakhkhah
Berdasarkan An-Nisa’: 33 dan Al-Anfal: 72
... والذين عقدت أيمانكم فآتوهم نصيبهم
بيل هللا77هم في س77أموالهم وأنفس77دوا ب77اجروا وجاه77وا وه77ذين آمن77إن ال
... والذين آووا ونصروا أولئك بعضهم أولياء بعض
Menurut Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid dan Qatadah, makna
perwalian dalam ayat di atas adalah hak mempusakai yang ditimbulkan
oleh kekerabatan yang terjalin oleh adanya ikatan muakhkhah antara
orang-orang Muhajirin dan Anshar.
Kebijakan ini rupanya hanya bersifat sementara, karena memang
harus diakui bahwa pada saat itu kuantitas kaum Muslimin belum
memadai untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat
dan banyak jumlahnya.
Setelah Rasulullah SAW menerima perintah untuk meninggalkan
kota Mekah, lalu beliau berhijrah bersama sejumlah sahabat ke kota
Madinah. Di kota ini, beliau mendapatkan sambutan luar biasa dari
penduduk Yatsrib, yang kemudian dikenal sebagai kaum Anshar.
Kaum Muhajirin ini ditempatkan di rumah-rumah mereka, dicukupi
segala kebutuhannya dan dilindungi jiwanya dari segala ancaman dan
provokasi kaum musyrikin Quraisy dan bahkan dibelanya dalam
menghadapi musuh yang menyerangnya.
Untuk meneguhkan ikatan persaudaraan itu, maka Rasulullah SAW
menjadikan ikatan persaudaraan tersebut sebagai salah satu sebab
untuk saling mempusakai. Misalnya ada seorang Muhajirin meninggal
dunia di Madinah dan ia mempunyai ahli waris yang ikut berhijrah,
maka harta warisnya dipusakai oleh keluarga yang berhijrah
bersamanya. Sedang keluarganya yang tidak ikut berhijrah ke Madinah,
maka mereka tidak dapat mempusakai harta peninggalannya. Bila
almarhum sama sekali tidak memiliki keluarga yang ikut berhijrah,
maka hartanya bisa dipusakai oleh orang Anshar yang melindunginya
sebagai wali karena ikatan persaudaraan (Muakhkhah).
Strategi semacam ini sebagai bagian dari konsolidasi internal yang
dilakukan Rasul SAW di Madinah ternyata berhasil membangun
kekuatan ummat Islam, baik secara ekonomi maupun politik, sehingga
dalam waktu relatif singkat, kaum Muslimin berhasil menaklukkan
kota Mekah.
Ketika kondisi kaum Muslimin semakin kuat, maka kebijakan untuk
saling mempusakai atas dasar muakhkhah ini kemudian dianulir dan
diganti dengan aturan baru berdasarkan ketentuan Allah SWT yang
termaktub dalam surat Al-Anfal : 75 dan Al-Ahzab : 6.
ئ عليم77وأولوا األرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب هللا إن هللا بكل ش
)75 : (األنفال
Ikhtilaf Ulama’
1). Hanafiyah, ada dua macam:
a). Pembunuhan yang bersanksi qisas (sengaja)
)93 :(النساء ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاءه جهنم خالدا فيها
)173 :(البقرة يأيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى
لم77ه وس77 سمعت رسول هللا صلى هللا علي: عن أبي أمامة رض قال
فال، ه77ق حق77ل ذى ح77د أعطى لك77 إن هللا ق:وداع77ة ال77يقول فى حج
)وصية لوارث (الترمذى
.النسخ بطريق التحويل من محل إلى محل آخر
Pada bab ini akan dibahas bagian-bagian ahli waris, baik Ashhabul
Furudl maupun Ashabah dengan sistematika uraian mendahulukan bagian ahli
waris menurut sebab-sebab mereka menerima warisan. Oleh karena itu, maka
uraian pada bab ini akan diawali dengan bagian ahli waris Sababiyah dan baru
kemudian bagian-bagian ahli waris Nasabiyah. Sedang bagian ahli waris
karena sebab Wala' (memerdekakan budak), sengaja tidak kami bahas, sebab
walaupun secara yuridis masalah itu ada, tetapi secara faktual hampir tidak
pernah kita temukan pada zaman modern ini.
Dalam membahas bagian-bagian ahli waris Nasabiyah, kami uraikan
terlebih dahulu bagian ahli waris kelompok Furu'ul Mayyit yaitu keturunan si
mati. Setelah itu, bagian kelompok Ushulul mayyit yakni leluhur yang
menyebabkan adanya si mati. Sedang kelompok Hawasyi yaitu keluarga yang
dihubungkan dengan si mati melalui garis menyamping, kami uraikan setelah
kedua kelompok terdahulu.
Mengingat ahli waris Ashabul Furudl itu harus didahulukan dalam
pembagian tirkah, sedang sebagian besar dari kelompok ini adalah perempuan,
maka uraian dalam diktat ini kami dahulukan pembahasan ahli waris
perempuan, baru kemudian bagian ahli waris laki-laki dan masing-masing
disertai contoh serta penjelasan hajib dan mahjubnya. Cara tersebut kami
tempuh semata-mata untuk memudahkan para pembaca memahami kedudukan
masing-masing ahli waris serta perubahan fardl-fardl mereka.
Yang dimaksud dengan ahli waris sababiyah disini adalah ahli waris
atau orang-orang yang bisa saling mewarisi karena sebab perkawinan. Mereka
itu hanya terdiri dari dua pihak yaitu suami dan isteri.
1. Bagian isteri
Untuk fard satu bagian isteri ini berlaku ketentuan-ketentuan berikut:
a. Ia memperoleh bagian 1/4, jika almarhum suaminya tidak
meninggalkan anak/cucu, laki/perempuan, seorang/lebih,
betapapun rendahnya kebawah, baik anak/cucu itu dari isteri-
isteri suaminya terdahulu maupun dari dia sendiri sebagai
isteri terakhir.
Dalil :
َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم اِ ْن
لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُك ْم َولَ ٌد
" Para isteri memperoleh seperempat harta yang kami
tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak-anak" (An-
Nisa' : 12)
Isteri adalah ahli waris ashhabul-furudl yang tidak bisa menghijab dan
dihijab hirman oleh siapapun. Tetapi, ia bisa dihijab nuqshan oleh anak/cucu,
seorang/lebih, laki/perempuan betapapun menurunnya kebawah (far'ul waris).
CONTOH :
a.m = 12
a.m = 24
2. Bagian suami
Adapun fardl suami dan perubahan-perubahannya dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Ia memperoleh bagian 1/2, jika almarhumah isterinya tidak
meninggalkan anak/cucu, laki /perempuan, seorang/lebih, baik dari
suaminya yang terdahulu maupun dari dia sendiri sebagai suami
terakhir.
Dalil :
ف َما تَ َركَ اَ ْز َوا ُج ُك ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّه َُّن َولَ ٌد
ُ َْولَ ُك ْم نِص
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak". (An
Nisa':12);
b. Suami memperoleh bagian 1/4, jika alamrhumah isterinya
meninggalkan anak/cucu seperti yang dijelaskan pada point 1 dia
atas.
Dalil :
ْص ْينَ بِهَٓا اَو ِ فَا ِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكنَ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو
ِ ْصيَّ ٍة يُّو
َد ْي ٍن
"Jika isteri-isteri itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta benda yang ditinggalkannya setelah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau setelah dilunasinya hutang mereka".
(An Nisa' : 12).
CONTOH :
1. Ahli waris terdiri dari :
a.m =2
a.m = 12
1. Furu'ul Mayyit
a.. Bagian anak perempuan
Bagian anak perempuan ini dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Ia mendapat 1/2 jika ia seorang saja, artinya ia tidak
mempunyai saudara laki-laki maupun perempuan.
Dalil :
ْ َواِ ْن َكان
َت
ُ َْوا ِح َدةً فَلَهَا النِّص
ف
"Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta".
(An Nisa' : 11)
bila mereka lebih dari seorang, maka disamping bisa menghijab nuqshan ahli
waris di atas, mereka juga bisa menghijab hirman waladul ummi yaitu
saudar/saudari seibu si mati serta cucu perempuan, seorang atau lebih, kecuali
jika cucu perempuan itu bersama mu'ashshibnya (cuc laki-laki). Kemampuan
untuk menghijab hirman waladul ummi itu dimiliki oleh anak perempuan, baik
ia seorang diri atau lebih,
CONTOH :
1. Ahli waris terdiri dari :
a.m = 24
a.m = 24
3. Ahli waris terdiri dari :
a.m =4
a.m = 24
"Nabi SAW telah menetapkan bagian 1/6 untuk cucu perempuan bila
bersama anak perempuan kandung".(HR. Bukhari)
CONTOH :
1. Ahli waris terdiri dari :
a.m = 24
a.m =8
3. Ahli waris terdiri dari :
Suami = 1/4 = 3; Suami = 3/14 x tirkah = ...........
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/14 x tirkah = ...........
2 cucu pr. = 2/3 = 8; 2 cucu pr. = 8/14 x tirkah = ...........
Sudara sbp. = abn = 1; Saudara sbp = 1/14 x tirkah = ...........
a.m = 12 = 14 ('aul)
a.m = 24
2. Ushulul Mayyit
a. Bagian Ibu
Untuk bagian ibu, berlaku ketentuan-ketentuan berikut:
1) Ia memperoleh bagian 1/3 bila si mati tidak meninggalkan
anak/cucu, laki/perempuan, saudara tidak lebih dari seorang, baik
laki/perempuan sekandung atau sebapak maupun seibu saja.
Dalil:
Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Anak pr. = 1/2 = 6; Anak pr. = 6/12 x tirkah = .........
Cucu pr. = 1/6 = 2; Cucu pr. = 2/12 x tirkah = ........
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/12 x tirkah = .........
2 sdri.kd. = amg= 2; amg = 2/12 x tirkah = .........
a.m = 12
a.m =6
b. Bagian Ayah
Adapun fardl ayah bisa dijelaskan sebagai berikut:
Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Suami = 1/4 = 3; Suami = 3/12 x tirkah = ..............
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/12 x tirkah = ..............
Ayah = 1/6 = 2; Ayah = 2/12 x tirkah = ..............
Anak lk. = abn = 5;Anak lk. = 5/12 x tirkah = ..............
a.m = 12
a.m = 24
2) Nenek dari pihak ibu memperoleh bagian 1/6, bila mayit tidak
meninggalkan ibu.
Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Ibunya ayah = 1/6 = 1; Ibunya ayah = 1/5 x tirkah = ..........
Anak pr. = 1/2 = 3; Anak pr. = 3/5 x tirkah = ..........
Cucu pr. = 1/6 = 1; Cucu pr. = 1/5 x tirkah = ..........
a.m = 24 = 19 (radd).
3. Ahli waris terdiri dari:
Ibunya ibu = 1/6 = 1; Ibunya ayah = 1/4 x tirkah = ..........
Anak pr. = 1/2 = 3; Anak pr. = 3/4 x tirkah = ..........
Ibu ibunya ibu = mahjub = X
a.m = 6 = 4 (radd)
a.m = 24
d. Bagian Kakek
Faradliyyun membedakan kakek kepada dua macam, yaitu:
1. Kakek shahih ialah kakek yang hubungan nasabnya dengan mayit
tidak diselingi oleh orang perempuan, misalnya ayahnya ayah (
), ayah dari ayahnya ayah
dan seterusnya keatas.
2. Kakek ghairu shahih ialah kakek yang hubungan nasabnya diselingi
oleh ahli waris perempuan, misalnya ayahnya ibu ( ), ayah
dari ibunya ayah ( ). Yang dimaksud kakek dalam
bab ini adalah kakek shahih, karena kakek ghairu shahih termasuk
kelompok ahli waris Dzawil Arham.
Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ............
Kakek = 1/6 = 4; Kakek = 4/24 x tirkah = ............
Anak lk. = abn=17; Anak lk. = 17/24 x tirkah = ............
a.m =24
a.m = 12
a.m = 24
3. Al-Hawasyi
a. Bagian saudara perempuan sekandung
Adapun bagian saudara perempuan sekandung beserta
perubahan shamnya dapat diterangkan sebagai berikut:
1) Ia memperoleh saham 1/2, jika seorang diri dan si mati tidak
meninggalkan anak atau cucu, baik laki/perempuan, atau tidak ada ayah atau
kakek atau saudara laki kandung.
Dalil:
Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Suami = 1/2 = 1; Suami = 1/2 x tirkah = .................
Sdri.kd. = 1/2 = 1; Sdri.kd. = 1/2 x tirkah = ................
a.m =2
a.m = 12 = 11
a.m =4
a.m = 12
a.m = 24
Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Isteri = 1/4 = 1; Isteri = 1/4 x tirkah = ..............
Sdri. seayah = 1/2 = 2; Sdri. seayah = 2/4 x tirkah = ..............
Paman kd. = abn = 1; Paman kd.i = 1/4 x tirkah = ..............
a.m =4
a.m = 12
a.m =2
a.m =6
a.m =2
a.m =2
Contoh:
a.m = 12
a.m = 24
a.m = 13 ('aul)
a.m =6
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki pancar laki-laki
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki kandung
f. Saudara laki seayah
g. Saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah yang
menerima ashabah ma'al ghair karena bersama anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki.
h. Anak laki-laki saudara sekandung
i. Anak laki-laki saudara seayah
Sedang ahli waris yang mahjub karena adanya paman kandung
ini adalah:
a. Paman seayah
b. Anak laki-laki paman kandung dan paman seayah.
4. Bagian paman seayah
Paman seayah ini juga menerima ashabah binafsih, tapi ia
sendiri terhalang oleh:
a. Paman kandung
b. Semua ahli waris yang menghijab paman kandung (lihat nomor 3a
sampai 3i).
Dan bila paman seayah menerima warisan ahli waris yang
mahjub adalah:
a. Anak laki-laki paman kandung, dan
b. Anak laki-laki paman seayah
A. Masalah Gharrawain
Masalah Gharrawain/Gharrawiyah disebut juga masalah Umariyatain adalah
masalah yang terjadi jika ahli waris terdiri dari: Suami, Ibu dan Ayah atau
Isteri, Ibu dan Ayah.
Pokok perbedaan fuqaha dalam masalah ini adalah bagian ibu, yaitu
apakah ibu mendapat bagian 1/3 pusaka atau mendapat bagian 1/3 sisa pusaka.
Umar ibn Khattab ra, Utsman, Zaid ibn Tsabit, Ibn Mas'ud, Ahlur Ra'yi
serta fuqaha' lain seperti Al Hasan, Ats Tsauri, Imam Malik dan Sa Syafi'i,
berpendapat bahwa ibu mendapat bagian 1/3 sisa pusaka.
Contoh:
1. Suami = 1/2 =3
Ibu = 1/3 sisa =1
Ayah = ashabah =2
a.m =6
2. Isteri = 1/4 =3
Ibu = 1/3 sisa =3
Ayah = ashabah =6
a.m = 12
a.m =6
2. Isteri = 1/4 =3
Ibu = 2/3 =4
Ayah = ashabah =5
a.m = 12
B. Masalah Radd.
Menurut bahasa Radd berarti: atau
yang artinya "kembali", sebagaimana firman Allah:
Syarat-syarat Radd
Masalah radd ini hanya akan terjadi, bila telah terpenuhi 3 macam
syarat berikut:
1. Adanya ahli waris ashhabul furudl;
2. Adanya kelebihan saham;
3. Tidak ada ahli waris ashabah.
Ketiga syarat tersebut harus ada, sebab salah satu saja tidak ada maka
tidak akan terjadi masalah radd. Namun demikian, para fuqaha' berbeda
pendapat tentang eksistensi radd tersebut.
Zaid Ibn Tsabit mengingkari adanya radd bagi Ashhabul Furudl setelah
mereka msing-masing menerima bagian-bagiannya. Bila terjadi radd dan tidak
ada ahli waris ashabah maka sisa harta itu diserahkan ke Baitul Maal. 'Urwah,
Az Zuhri, Malik, Syafi'i dan Ibn Hazm adalah para fuqaha' yang menyetujui
pendapat Zaid Ibn Tsabit.
Menurut fuqaha' Malikiyah, penyerahan ke Baitul Maal itu sifatnya
mutlak, artinya naik lembaga itu dikelola dengan manajemen yang rapi atau
tidak. Demikian pula pendapat As Syafi'i dan sebagian Syafi'iyah, karena
menurut mereka kepala Baitul Maal itu berfungsi sebagai pengawas dan
pelaksana kepentingan kaum muslimin. Tetapi sebagian fuqaha' yang lain
seperti Imam Ibn Saraqah, Qadli Husein dan Al Mutawally berpendapat,
bahwa bila Baitul Maal sudah tidak berfungsi sebagai sumber dana sosial
ummat Islam, maka kelebihan pusaka itu boleh diberikan kepada ashhabul
furudl sesuai dengan perbandingan saham mereka.
Jika ternyata tidak ada seorangpun ashhabul furudl maka setelah tirkah itu
diberikan kepada salah seorang dari suami atau isteri, sisanya diberikan
kepada Dzawil Arham. Dan diriwayatkan dari Syafi'i, bahwa beliau
menyerahkan masalah itu kepada ketetapan pemerintah. (lihat Husnain Moh.
Makhluf, hal. 123).
Zaid Ibn Tsabit beralasan bahwa Allah swt telah menjelaskan bagian
masing-masing ahli waris ashhabul furudl dengan nash-nash yang jelas. Oleh
karena itu tidak boleh ada tambahan pada bagian mereka sebab hal itu berarti
melampaui ketentuan syari'at.
Firman Allah swt. :
Hak pusaka suami dan isteri itu bukan karena pertalian darah, melainkan
karena sebab perkawinan. Oleh karena itu keduanya tidak berhak menerima
tambahan.
Utsman ra. berpendapat bahwa radd itu boleh diberikan kepada seluruh
ahli waris ashhabul furudl termasuk suami dan isteri dengan alasan jika terjadi
'Aul maka saham suami atau isteri juga krena pengurangan sesuai dnegan
perbandingan saham mereka.
Menurut Ibn Mas'ud, radd itu bisa diberikan kepada seluruh ahli waris,
kecuali: suami, isteri, cucu perempuan pancar laki saat bersama anak
perempuan, saudara perempuan sebapak saat bersama saudara perempuan
sekandung, saudara/saudari seibu bila bersama ibu dan nenek bila bersama
ashhabul furudl siapa saja.
Dalam salah satu pendapatnya Ibn Abbas ra, mengatakan bahwa radd
itu untuk semua ashhabul furudl kecuali suami, isteri dan nenek.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan perbedaan tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa yang berhak menerima radd itu ada 8 (delapan)
orang, yaitu:
1. Anak perempuan;
2. Cucu perempuan;
3. Saudara perempuan kandung;
4. Saudara perempuan sebapak;
5. Ibu;
6. Nenek shahiha;
7. Saudara laki seibu;
8. Saudara perempuan seibu.
Adapun yang tidak berhak menerima radd ada 2 orang, yaitu suami dan
isteri, karena kekerabatan keduanya bukan kekerabatan nasabiyah, melainkan
kekerabatan sababiyah. (lihat Ali Ash Shabuny, hal 124-125 dan bandingkan
dengan Fathurrahman, hal 429).
Untuk menyelesaikan kasus yang mengandung masalah radd, terlebih
dahulu harus diperhatikan apakah dalam kasus tersebut terdapat ahli waris
yang ditolak menerima sisa atau tidak. Jika ternyata tidak terdapat seorangpun
yang ditolak menerimanya, maka penyelesaiannya bisa ditempuh dengan cara-
cara sebagai berikut:
Cara pertama : Saham para ahli waris dijumlahkan dan dijadikan asal maslah
baru yakni asal masalah lama ditashihkan dengan
menguranginya sehingga sesuai dengan jumlah
saham ahli waris.
Contoh : Ahli waris terdiri dari ibu, saduari kandung dan saudari
sebapak dan tirkah
mayit sebesar Rp. 600.000,-
Ibu = 1/6 = 1
Sdri.kd.= 1/2 = 3
Sdri.sbp = 1/6 = 1
Jadi:
Ibu = 1/5 x 600.000,- = Rp. 200.000,-
Sdri.kd = 3/5 x 600.000,- = Rp. 360.000,-
Sdri.sbp=1/5 x 600.000,- = Rp. 120.000,-
Tetapi jika diantara ahli waris ada yang ditolak menerima radd,
misalnya suami atau isteri, maka untuk penyelesaiannya bisa ditempuh cara
berikut:
Cara pertama:
Bagian ahli waris yang ditolak menerima radd diberikan terlebih
dahulu, baru sisanya diberikan kepada orang lain yang tidak ditolak.
Contoh: Ahli waris terdiri dari dari isteri, nenek dan 2 orang saudara
perempuan seibu. Dalam kasus ini isteri merupakan ahli waris yang tidak
berhak menerima radd. Tirkah yang ditinggalkan mayit sebesar Rp. 480.000,-
Isteri =¼=3
Nenek = 1/6 = 2
2 sdri.seibu. = 1/3 = 4
a.m = 12 = 2 (a.m baru dalam radd)
Penyelesaian lai dari cara yang pertama ini bisa juga dilakukan dengan jalan
berikut:
- Isteri mendapat bagian ¼, nerarti 1 bagian dari 4 bagian. Sisanya ada 3
bagian. Sisanya sebanyak 3 bagian inilah yang akan dibagikan kepada
nenek dan 2 saudari seibu berdasarkan perbandingan saham mereka. Lebih
lanjut kasus itu bisa dijelaskan sebagai berikut: Isteri mendapat 1,
sisa=………..
Nenek = 1/6 = 1
2 sdri.seibu = 1/3 = 2
a.m =6=3
Isteri = 1 x 3 ( am. Nenek dan 2 sdri.seibu) =3
Nenek = 1 x 3 (sisa) =3
2 sdri.seibu = 2 x 3 (sisa) =6
a.m = 12
Jadi:
Isteri = 3/12 x 480.000 = Rp. 120.000,-
Nenek = 3/12 x 480.000 = Rp. 120.000,-
2 sdri. Seibu = 6/12 x 480.000 = Rp. 240.000,-
Cara kedua:
Bagian semua ahli waris baik yang ditolak atau tidak, diberikan dahulu,
baru sisanya dibagika kepada ahli waris yang berhak menerima radd sesuai
dengan perbandingan saham mereka. Penyelesaiaannya sebagai beerikut:
Isteri =¼=3
Nenek = 1/6 = 2
2 sdri.seibu. = 1/3 = 4
a.m = 12 = 9 (tashhih)
Isteri = 3/12 x 480.000 = Rp. 120.000,-
Nenek = 2/12 x 480.000 = Rp. 80.000,-
2 sdri. Seibu = 6/12 x 480.000 = Rp. 160.000,-
Jumlah = Rp. 360.000,-
Sisa lebih = 480.000 – 360.000 = Rp. 120.000,-
Perbandingan saham nenek dengan 2 sdri.seibu = 1/6:1/3 = 1:2
Jumlah = 1 + 2 = 3; 3 = Rp. 120.000,-
Tambahan bagi nenek = 1/3 x 120.000 = Rp. 40.000,-
Tambahan bagi 2 sdri.seibu = 2/3 x 120.000 = Rp. 80.000,-
Jadi
Nenek = 80.000 + 40.000 = Rp. 120.000
2 sdri.seibu = 160.000 + 80.000 = Rp. 240.000,-
C. Masalah ‘Aul
Menurut bahasa ‘Aul berarti : (tambahan).
Misalnya dikatakan:
“Bertambah timbangan itu, apabila salah satu daun timbangan itu bertambah
(isinya) atau yang lain"
Menurut istilah:
“Jika aku dahulukan suami atau dua orang saudara perempuan itu, niscaya
tidak tersisa lagi hak bagi yang lain”. (Husnain Moh. Makhluf, hal 115).
Dalam musyawarah itu, Abbas Ibn Abd. Muthallib mengisyaratkan
agar masalah tersebut di’aulkan dengan berkata:
Maka Umar ra. Memutuskan masalah itu dengan cara ‘aul dan sejak itu
masalah ‘aul ini menjadi lembaga dalam pembagianharta pusaka. (Lihat
Husnain Moh. Makhluf, hal. 115 dan bandingkan dengan Ali Ash Shabuny,
hal 116-117).
Sekalipun keputusan Umar ra. Tersebut hampir menjadi ijma’
shahabat, tapi sebenarnya Ibn Abbas ra, menentang keputusan tersebut. Hal itu
terbukti sesudah Umar ra wafat, beliau dihadapkan pada kasus kematian
seseorang yang meninggalkan ahli waris terdiri dari suami, ibu dan saudara
perempuan sebapak yang masing-masing bagiannyaadalah ½, 1/3 dan ½ . Jadi
jumlah saham keseluruhan adalah 7 (dari asal masalah 6). Ibn Abbas ra tidak
meng’aulkan kasus itu seraya berkata :
“Demi Allah, andaikata didahulukan orang yang didahulukan Allah Ta’ala dan
diakhirkan orang yang diakhirkan oleh Allah Ta’ala niscaya tidak terjadi suatu
‘aul sama sekali (Lihat DR. Yusuf Musa, hal 322).
Ulama syi’ah Imamiyah dan Ja’fariyah sserta Ahludh Dhahir
mengikuti pendapat Ibn Abbas ra dengan alasan bahwa mustahil Allah
menentukan furudlul muqaddarah bagi para ahli waris, sedang harta yang
dibaginya tidak mencukupi. Oleh karena itu, agar bagian yang
seharusnyaditerima itu dipenuhi sebagaimana mestinya, maka harus ada
prioritas diantara ahli waris yang diutamakan.
Sebaliknya Jumhur shahabat, tabi’in dan Imam-imam Madzhab
mengikuti keputusan Umar ra dengan alasan:
- Nash-nash yang menerangkan hak ahli waris, tidak mengutamakan
sebagian ashhabul furudl atas sebagian yang lain. Disamping itu, juga tidak
dibedakan tirkah yang banyak atau sedikit. Oleh karena itu, mendahulukan
salah seorang ashhabul furudl, akan berakibat, mengemudiankan yang lain
dan sekaligus mengurangi haknya, disamping tindakan sepeerti itu juga
berarti membuat hukum baru. Padahal Rasulullah SAW bersabda:
Cara pertama:
Setelah diketahui saham masing-masing, hendaklah dicari asal
masalahnya dan kemudian dicari bagian masing-masing dari angka asal
masalah itu, lalu semua bagian/saham itu dijumlahkan. Kemudian asal
masalah semula ditashhihkan dengan menambah angka tertentu sehingga
besarnya sama dengan jumlah saham para ahli waris.
Asal masalah yang baru inilah yang dijadikan alat pembagi tirkah.
Contoh: Ahli waris terdiri dari seorang suami dan 2 orang saudara
perempuan kandung. Tirkah sebesar Rp. 42 juta.
Suami =½ =2
2 sdri.kd. = 2/3 = 4
a.m = 6 = 7 (tashhih)
Suami = 3/7 x Rp. 42.000.000 = Rp. 18.000.000,-
2 sdri.kd. = 4/7 x Rp. 42.000.000 = Rp. 24.000.000,-
Cara kedua:
Jumlah sisa kurang dari harta pusaka yang terbagi ditanggung oleh
semua ashabul furudl secara seimbang dengan jalan mengurangi penerimaan
masing-masing sesuai dengan perbandingan besar kecilnya saham mereka.
Untuk itu perlu ditempuh beberapa tahap berikut:
1. Bagian masing-masing ahli waris diperhitungkan berdasarkan asal masalah
yang ada.
Suami =½=3
2 sdri.kd. = 1/3 = 4
a.m = 6 = 7 (‘aul)
Suami = 3/6 x 42.000.000 = Rp. 21.000.000,-
2 sdri.kd. = 4/6 x 42.000.000 = Rp. 28.000.000,-
Jumlah = Rp. 49.000.000,-
2. Mencari sisa kekurangan tirkah, yaitu: 49.000.000 – 42.000.000 = Rp.
7.000.000,-
3. Memperbandingkan saham-saham ahli waris dan menjumlahkannya karena
sisa kekurangan ini harus dipotongkan dari penerimaan mereka.
Perbandingan saham mereka adalah:
½ : 2/3 = 3:4. Jumlahnya 3 + 4 = 7
7 = Rp. 7.000.000,- (nilai jumlah perbandingan saham sama dengan sisa
kekurangannya.
4. Menentukan potongan bagi masing-masing ahli waris sesuai dengan
perbandingan mereka. Potongan bagi suami = 3/7 x 7 juta = Rp.
3.000.000,-
Potongan 2 sdri.kd. = 4/7 x 7 juta = Rp. 4.000.000,-
5. Menentukan bagian akhir.
Suami = 21.000.000 - 3.000.000 = Rp.18.000.000,-
2 sdri.kd. = 28.000.000 – 4.000.000 = Rp 24.000.000,-
Masalah ‘aul ini terjadi hanya pada 3 asal masalah, yaitu asal masalah
6, 12 dan 24. Asal masalah 6 bisa ‘aul 4 kali, yaitu ‘aul ke angka 7,8,9 dan 10.
Asal masalah 12 bisa ‘aul 3 kali, yaitu ‘aul ke angka 13, 15 dan 17.
Asal masalah 24 bisa ‘aul sekali, yaitu ‘aul ke angka 27.
Kedua :
Bila kakek disamping bersama-sama saudara/saudari, juga ada ahli
waris ashabul furudl. Ahli waris ashabul furudl ini diberi terlebih dahulu, baru
kemudian kakek menerima bagian yang lebih menguntungkan dari tiga cara
berikut :
1. Muqasamah
2. Sepertiga sisa ashabul furudl
3. Seperenam dari seluruh harta.
Contoh I : Ahli waris terdiri dari suami, kakek dan saudara. Tirkah mayit
sebesar Rp 30.000,-
Dengan Muqasamah :
Suami = ½ =1
Kakek dan saudara = muqasamah = 1
a.m = 2
Suami = ½ x Rp 30.000,- = Rp 15.000,-
Kakek = ½ x Rp 15.000,- = Rp 7.500,-
Saudara = ½ x Rp 15.000,- = Rp 7.500,-
Dengan 1/3 sisa :
Suami = ½ =3
Kakek = 1/3 sisa = 1
Saudara = ushubah = 2
a.m =6
Suami = 3/6 x Rp. 30.000 = Rp. 15.000
Kakek = 1/6 x Rp. 30.000 = Rp. 5.000
Saudara = 2/6 x Rp. 30. 000 = Rp. 10.000
Dengan 1/6 seluruh harta
Suami = ½ = 3; 3/6 x Rp. 30.000 = Rp. 15.000
Kakek = 1/6 = 1; 1/6 x Rp. 30.000 = Rp. 5000
Saudara = Ushubah = 2; 2/6 x Rp. 30.000 = Rp. 10.000
a.m = 6
Dari ketiga cara tersebut, maka ternyata pembagian dengan cara muqasamah
merupakan cara yang paling menguntungkan bagi kakek.
Contoh II