Anda di halaman 1dari 52

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena hanya
berkat hidayah dan inayahNya maka buku Fiqh Mawaris ini dapat
diselesaikan.
Semula, buku ini merupakan catatan-catatan sederhana selama penyusun
mengasuh mata kuliah Fiqh Mawaris. Akan tetapi, penyampaian materi kuliah
secara oral saja, dirasa sangat kurang memadai dan memenuhi harapan.
Sementara itu, literatur yang ada juga sangat terbatas dan malah sebagian besar
berbahasa Arab.
Oleh karena itu, disamping untuk memenuhi permintaan mahasiswa dan
juga agar perkuliahan bisa berlangsung lebih efektif maka disusunlah buku ini
dengan berdasarkan syllabi hasil Seminar dan Kurikulum Syllabi di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
Atas pertimbangan praktis semata, pembahasan dalam buku ini disajikan
dalam bentuk penjelasan singkat dan contoh-contoh yang sangat sederhana,
namun kiranya sudah cukup memadai bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum atau Fakultas-Fakultas lain di lingkungan UIN, STAIN maupun
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta serta para peminat lainnya.
Dan karena buku ini bukan merupakan rujukan final, maka diharapkan
agar mahasiswa juga aktif menelaah literatur yang menjadi rujukan
penyusunan buku ini. Disamping itu, keaktifan melatih diri akan sangat
membantu memahami dan memecahkan kasus-kasus yang berkenaan dengan
masalah warisan. Tanpa itu semua, maka buku ini dan mungkin buku-buku
yang lain, tidak akan memberikan bantuan yang berarti.
Kekurangan, kekhilafan dan mungkin juga kesalahan, bukan hal yang
mustahil terdapat dalam buku ini. Untuk itu, kritik serta saran konstruktif
senantiasa kami harapkan.
Akhirnya, penyusun berharap pula, semoga buku ini bermanfaat dan
menjadi sumbangan penting bagi masyarakat. Amin.

Surabaya, 5 Oktober 2009

Penyusun,
BAB I

I. Pengertian Ilmu Faraid

ِ ْ‫ب ْال ُمو‬


‫ ِل ِإل َى‬7 ‫ص‬ ِ ‫ا‬7 ‫ْـرفَ ِة ْال ِح َس‬
ِ ‫ث َو َمع‬ ُ ِّ‫ـو ْالفِ ْقهُ ْال ُمتَ َعـل‬
ِ ْ‫ق بِاِإْل ر‬ ِ ‫ِع ْل ُم ْالفَـ َراِئ‬
َ ُ‫ض ه‬
‫نى‬77‫ق (مغ‬ ٍّ ‫ ِّل ِذى َحـ‬7 ‫ب ِمنَ التِّـرْ َك ِة لِ ُك‬
ِ ‫اج‬ِ ‫و‬7َ 7‫ْـرفَ ِة قَـ ْد ِر ْال‬ ِ ‫ْـرفَ ِة َذلِكَ َو َمع‬
ِ ‫َمع‬
) 3 / 3 ‫المحتاج‬
“Ilmu Faraid adalah ilmu Fiqh yang bersangkut paut dengan
pembagian harta pusaka dan mengetahui perhitungan yang dapat
menyampaikan kepada pengetahuan tentang kadar yang wajib dari harta
pusaka yang menjadi milik tiap orang yang berhak”.

II. Dasar

‫ ُوا‬7‫ اَ ْل ِحق‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ض َى هللاُ َع ْنهُ ق‬
َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ ِ ‫س َر‬ ٍ ‫ع َِن اب ِْن َعبَّا‬
1
)‫ـر (متفق عليه‬ ٍ ‫ُـل َذ َك‬
ٍ ‫لى َرج‬ َ ْ‫ض بَِأ ْهـلِهَا فَ َما بَـقِ َي فَهُـ َو َأِلو‬
َ ‫ْالـفَ َراِئ‬
“Dari Ibn ‘Abbas RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: Bagikanlah
harta pusaka kepada orang-orang yang berhak, lalu sisanya untuk
orang laki-laki yang lebih utama.” (H.R. Muttafaq ‘Alaih).

: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬ ِ ‫ع َْن َأبِ ْي هُـ َريْـ َرةَ َر‬
‫ِإنِّي‬7َ‫ ف‬،‫اس‬ َ ‫وا ْالفَـ َراِئ‬77‫ َوتَ َعلَّ ُم‬،‫اس‬
َ َّ‫ا الن‬77َ‫ض َو َعلِّ ُموْ ه‬ َ َّ‫وْ هُ الن‬77‫قـرْ آنَ َو َعلِّ ُم‬ ُ ‫تَ َعلَّ ُموا ْال‬
َ‫ ِة فَال‬7 ‫ْض‬َ ‫ان فِى ْالفَ ِري‬7ِ 7َ‫ك َأ ْن يَ ْختَـلِفَ ْاثن‬ُ 7 ‫ َويُوْ ِش‬،‫ع‬ ٌ ْ‫لع ْل ُم َمرْ فُو‬
ِ ‫ا ْم ُرٌؤ َم ْقـبُوْ ضٌ َو ْا‬
2
.‫يَ ِجدَا ِن َأ َحدًا ي ُْخبِ ُرهَا‬
“Dari Abi Hurairah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Pelajarilah
al-Qur’an dan ajarkan kepada orang-orang, dan pelajarilah ilmu faraid
serta ajrkan pula kepada orang-orang, karena saya adalah orang yang
bakal direnggut (mati), sedang ilmu ini bakal diangkat. Hampir saja dua
pihak yang berseteru tentang pembagian pusaka dan mereka tidak
menemukan seorangpun yang sanggup memberikan solusi kepada mereka.”
(H.R. Tirmidzi).

III. Hukum Waris Pra Islam

Sebagaimana kita ketahui bahwa masalah puasaka mempusakai


harta benda atau masalah waris sudah dikenal dan dipraktekkan oleh
manusia jauh sebelum Islam datang, tak terkecuali orang Arab Jahiliyah.
Dalam bidang muamalah dan pembagian harta pusaka, masyarakat
Arab Jahiliyah berpegang teguh pada tradisi nenek moyang mereka.
Dalam tradisi waris misalnya, terdapat suatu ketentuan yang menyatakan
bahwa:
1). Anak laki-laki yang belum dewasa tidak diberi bagian pusaka, karena
1
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Al-Lu’lu’ wa al-Marja>n, (Kairo: Da>r al-Ihya>’ al-
Kutub al-‘Arabiyyah, Juz III, tt), hal. 183
2
Muhammad Ibn ‘Isa al-Tirmidzi, Al-Ja>mi’ al-S{ah}i@h} Sunan al-Tirmidzi@, (Beirut:
Da>r Ihya>’ al-Tura>s| al-‘Arabi@, Juz IV, Hadis No. 2091, Tt), hal. 413
dianggap tidak bisa berperang untuk memperoleh harta rampasan,
membela kehormatan dan memberikan perlindungan terhadap
keluarga dan kelompok suku mereka.3 Ada ungkapan yang sangat
terkenal dikalangan mereka:
‫ـن الَ يَـرْ َكبُ فَرْ سًا َوالَ يَحْ ِم ُل َس ْيفًا َوالَ يَقـْتـ ُ ُل‬ َ ‫ْـطى ْال َم‬
ْ ‫ـال لِ َم‬ ِ ‫َكـ ْيـفَ نُـع‬
‫ َع ُد ًّوا‬...
“Bagaimana kami akan memberikan harta kepada orang yang tidak
pandai menaiki kuda, tidak terampil menggunakan pedang dan tidak
bisa membunuh musuh”.
2). Kaum wanita, tidak berhak mewarisi harta peninggalan ahli warisnya
yang telah meninggal dunia. Bahkan isteri dari orang yang meninggal,
mereka nilai sebagai harta yang dapat diwariskan kepada para ahli
waris.
Ibn Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibn Abbas ra. yang mengatakan:
‫هُ فَ َمنَ َعـهَا‬7َ‫ هُ ثَوْ ب‬7‫ ِه َح ِم ْي ُم‬7‫اريَـة ً َأ ْلقَى َعلَ ْي‬
ِ ‫ َركَ َج‬7َ‫اتَ َوت‬77‫َكانَ ال َّر ُج ُل ِإ َذ َم‬
‫هَا َحتّى‬7 ‫َت َد ِم ْي َمـةً َحبَ َس‬ ْ ‫ان‬77‫ا َوِإ ْن َك‬77َ‫َت َج ِم ْيلَـةً تَ َز َّو َجه‬
ْ ‫ان‬77‫ِإ ْن َك‬7 َ‫ ف‬،‫اس‬َ َّ‫الن‬
‫تَ ُموْ تَ فَيَ ِرثُهَا‬
4

“Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan


seorang janda, maka kerabatnya akan melemparkan pakaiannya di
muka janda tersebut. Dengan tindakan ini, ia melarang si janda
kawin dengan orang lain. Jika si janda itu cantik, maka ia akan
dikawininya dan jika tidak cantik, maka dia akan ditahannya sampai
mati untuk kemudian diwarisi harta peninggalannya.”
Cotoh kasus : Rasul SAW ditanya tentang Mihshan Ibn Abi Qaisal-
Atslat yang ingin mengawini janda ayahnya dan memaksanya. Lalu
turun An-Nisa’ ayat 19:
ُّ‫وْ ا اَل يَحِ ل‬77ُ‫ا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمن‬77َ‫ٰيٓاَيُّه‬
‫لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َس ۤا َء َكرْ هًا‬
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa ...”
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewarisi wanita tidak dengan
jalan paksaan dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah
apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau
anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut
boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang
maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
Sebab-sebab mempusakai pada zaman Jahiliyyah
1. Kekerabatan (al-Qara>bah), tetapi bersifat diskriminatif, karena
hanya laki-laki dewasa saja yang berhak atas harta pusaka, sedang
kerabat laki-laki yang belum dewasa dan wanita meskipun dewasa
3
Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawa>ri@s | fi al-Syari@’at al-Isla>miyyah, (Kairo:
Lajnah al-Baya>n, Cet. III, 1976), hal. 4
4
‘Abu al-Fida’ Ismail Ibn Kasir al-Dasiqi, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m, (Kairo: Da>r
Ihya>’ al-Kutub al’Arabiyyah, Juz I), hal. 465
tidak diberi bagian seperti dijelaskan di atas.
2. Janji prasetya (al-Muh}a>lafah), yang memiliki kekuatan hukum,
yakni bila salah satu pihak telah mengikrarkan janjinya kepada pihak
lain dengan ucapan sumpah berikut:

َ‫ ْل ُمك‬77‫ ْل ِم ْي َس‬77‫ك َو َس‬َ ُ‫َد ِم ْي َد ُمكَ َوهَـ ْد ِم ْي هَـ ْد ُمكَ َوثَْأ ِريْ ثَْأرُكَ َو َحرْ بِ ْي َحرْ ب‬
5
‫ك‬َ ‫ك َوتُعْـقَـ ُل َعنِّ ْي َوُأ ْعـقَـ ُل عَـ ْن‬ ْ ُ‫طلَـبُ بِ ْي َوا‬
َ ِ‫طلَبُ ب‬ ْ ُ‫َوت َِرثُنِ ْي َوَأ ِرثُكَ وت‬
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu,
perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku
damaimu, kamu akan mewarisi hartaku dan aku akan mewarisi
hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku dan
aku dituntut karena tindakanku padamu, kamu wajib bayar denda
sebagai pengganti nyawaku dan aku wajib membayar denda sebagai
pengganti nyawamu.”
Kadang sumpah dimaksud dilakukan dengan cara saling meletakkan
tangan di atas tangan yang lain seraya mengucapkan:
‫َلى النـُّصْ َر ِة َو ْال ُمـ َعـايَـنَـ ِة‬
َ ‫عـَاقِـ ْدنِ ْي َوعـَا ِهـ ْدنِ ْي ع‬
“Berprasetia dan berjanjilah padaku untuk saling tolong
menolong.”
3. Adopsi (al-Tabanni@)
Adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal masa Jahiliyah.
Biasanya seseorang akan mengambil anak laki-laki orang lain untuk
dipelihara dan dimasukkan ke dalam keluarganya, sehingga ia akan
menjadi bapak nasab bagi anak angkat tersebut. Rasulullah SAW
sebelum beliau diangkat menjadi Rasul mengangkat anak yang
bernama Zaid Ibn Haritsah, sehingga orang memanggilnya Zaid Ibn
Muhammad. Demikian pula Abu Hudzaifah Ibn ‘Utbah menjadikan
Salim sebagai anak angkat dan orang-orang memanggilnya Salim Ibn
Hudzaifah.6 Adopsi pada masa Jahiliyyah ini bersifat mutlak, karena
kedudukan anak angkat itu disamakan dengan anak kandung. Dengan
demikian, maka anak angkat tersebut akan mendapatkan bagian
warisan seperti halnya anak kandung dari orang yang mengadopsinya.
IV. Sebab-sebab Kewarisan Pada Awal Islam
1. Kekerabatan (nasab) yang tidak diskriminatif:
An-Nisa’ : 7
‫ك‬ ِ ‫ ۤا ِء ن‬7 ‫ك ْال َوالِ ٰد ِن َوااْل َ ْق َربُوْ ۖنَ َولِلنِّ َس‬
َ ‫ َر‬7 َ‫يْبٌ ِّم َّما ت‬7 ‫َص‬ ِ َ‫ال ن‬
َ ‫صيْبٌ ِّم َّما ت ََر‬ ِ ‫لِلرِّ َج‬
ْ
‫َص ْيبًا َّمفرُوْ ضًا‬ ُ ْ
ِ ‫ال َوالِ ٰد ِن َوااْل َق َربُوْ نَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ اَوْ َكث َر ۗ ن‬ ْ
7. Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
5
Abu ‘Abdillah Muhammad al-Qurtubi, Al- Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r
al-Kutub al-Mis}riyyah, Juz V, Tt), hal. 166
6
Hasanain, Al-Mawa>ri@s ..., hal. 5-6
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
An-Nisa’: 11

‫ ۤا ًء‬7‫ا ِ ْن ُك َّن نِ َس‬7َ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ ف‬ َّ ِ‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَوْ اَل ِد ُك ْم ل‬ِ ْ‫يُو‬
‫ ِه‬77ْ‫ف ۗ َواِل َبَ َوي‬ ُ ْ‫َت َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّص‬ ْ ‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَ َركَ ۚ َواِ ْن َكان‬ َ ْ‫فَو‬
‫ ٌد‬7َ‫ا ِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َول‬7َ‫ ٌد ۚ ف‬7َ‫هٗ َول‬77َ‫اح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ اِ ْن َكانَ ل‬ ِ ‫لِ ُك ِّل َو‬
‫ ِد‬7‫ ُدسُ ِم ۢ ْن بَ ْع‬7 ‫الس‬ ُّ ‫ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه‬7‫ه اِ ْخ‬7 ٓ ٗ 7َ‫انَ ل‬77‫ا ِ ْن َك‬7َ‫ث ۚ ف‬ ُّ ‫وهُ فَاِل ُ ِّم ِه‬7ٰ 7َ‫هٗ ٓ اَب‬77َ‫َّو َو ِرث‬
ُ ُ‫الثل‬
‫ربُ لَ ُك ْم‬7 َ 7‫ ْدرُوْ نَ اَيُّهُ ْم اَ ْق‬7 َ‫اُؤ ُك ۚ ْم اَل ت‬7ۤ 7َ‫ص ْي بِهَٓا اَوْ َد ْي ٍن ۗ ٰابَ ۤاُؤ ُك ْم َواَ ْبن‬ ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬ ِ ‫َو‬
‫ْضةً ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫نَ ْفعًا ۗ فَ ِري‬
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
2. Hijrah dan Muakhkhah
Berdasarkan An-Nisa’: 33 dan Al-Anfal: 72
... ‫والذين عقدت أيمانكم فآتوهم نصيبهم‬
‫بيل هللا‬77‫هم في س‬77‫أموالهم وأنفس‬77‫دوا ب‬77‫اجروا وجاه‬77‫وا وه‬77‫ذين آمن‬77‫إن ال‬
... ‫والذين آووا ونصروا أولئك بعضهم أولياء بعض‬
Menurut Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid dan Qatadah, makna
perwalian dalam ayat di atas adalah hak mempusakai yang ditimbulkan
oleh kekerabatan yang terjalin oleh adanya ikatan muakhkhah antara
orang-orang Muhajirin dan Anshar.
Kebijakan ini rupanya hanya bersifat sementara, karena memang
harus diakui bahwa pada saat itu kuantitas kaum Muslimin belum
memadai untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat
dan banyak jumlahnya.
Setelah Rasulullah SAW menerima perintah untuk meninggalkan
kota Mekah, lalu beliau berhijrah bersama sejumlah sahabat ke kota
Madinah. Di kota ini, beliau mendapatkan sambutan luar biasa dari
penduduk Yatsrib, yang kemudian dikenal sebagai kaum Anshar.
Kaum Muhajirin ini ditempatkan di rumah-rumah mereka, dicukupi
segala kebutuhannya dan dilindungi jiwanya dari segala ancaman dan
provokasi kaum musyrikin Quraisy dan bahkan dibelanya dalam
menghadapi musuh yang menyerangnya.
Untuk meneguhkan ikatan persaudaraan itu, maka Rasulullah SAW
menjadikan ikatan persaudaraan tersebut sebagai salah satu sebab
untuk saling mempusakai. Misalnya ada seorang Muhajirin meninggal
dunia di Madinah dan ia mempunyai ahli waris yang ikut berhijrah,
maka harta warisnya dipusakai oleh keluarga yang berhijrah
bersamanya. Sedang keluarganya yang tidak ikut berhijrah ke Madinah,
maka mereka tidak dapat mempusakai harta peninggalannya. Bila
almarhum sama sekali tidak memiliki keluarga yang ikut berhijrah,
maka hartanya bisa dipusakai oleh orang Anshar yang melindunginya
sebagai wali karena ikatan persaudaraan (Muakhkhah).
Strategi semacam ini sebagai bagian dari konsolidasi internal yang
dilakukan Rasul SAW di Madinah ternyata berhasil membangun
kekuatan ummat Islam, baik secara ekonomi maupun politik, sehingga
dalam waktu relatif singkat, kaum Muslimin berhasil menaklukkan
kota Mekah.
Ketika kondisi kaum Muslimin semakin kuat, maka kebijakan untuk
saling mempusakai atas dasar muakhkhah ini kemudian dianulir dan
diganti dengan aturan baru berdasarkan ketentuan Allah SWT yang
termaktub dalam surat Al-Anfal : 75 dan Al-Ahzab : 6.
‫ئ عليم‬77‫وأولوا األرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب هللا إن هللا بكل ش‬
)75 : ‫(األنفال‬

‫نين‬777‫اب هللا من المؤم‬777‫هم أولى ببعض في كت‬777‫ام بعض‬777‫وا األرح‬777‫وأول‬


)6 : ‫والمهاجرين إال أن تفعلوا إلى أوليائكم معروفا (األحزاب‬

)‫(متفق عليه‬ ‫ال هجرة بعد الفتح‬

3. Adopsi, dibatalkan oleh Al-Ahzab : 4, 5 dan 40


‫و‬77‫ق وه‬77‫ول الح‬77‫أفواهكم وهللا يق‬77‫ولكم ب‬77‫وما جعل أدعيائكم أبنائكم ذلكم ق‬
‫) ادعوهم آلبائهم هو أقسط عند هللا فإن لم تعلموا آبائهم‬4( ‫يهدى السبيل‬
‫الكم ولكن‬77‫د من رج‬77‫ا أح‬77‫د أب‬77‫ان محم‬77‫ا ك‬77‫) م‬5( ... ‫دين‬77‫إخوانكم فى ال‬77‫ف‬
)40( ... ‫رسول هللا وخاتم النبيين‬

V. Sebab-sebab Kewarisan masa Islam:


1. Sebab Perkawinan
Apabila salah seorang dari suami isteri meninggal dunia, maka
yang masih hidup adalah ahli waris dari orang yang meninggal.
Disyaratkan pada perkawinan yang saling mewarisi adalah hal-hal
berikut:
a. Perkawinan itu sah menurut syara’ dan tidak ada penghalang
antara keduanya;
b. Perkawinan itu masih terjalin, baik menurut hakikat (tidak terjadi
perceraian), maupun menurut hukum (isteri yang ditalak raj’i
sedang si isteri masih dalam masa iddah.
Dalam hal talak ba-in dengan motif agar isteri tidak dapat
warisan, maka isteri tetap berhak menerima waris selama ia masih
dalam iddah.
2. Sebab Kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara muwarris dengan ahli
warisnya yang yang terkuat, disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan
itu adalah sebab memperoleh hak mewarisi, sebab kekerabatan
adalah unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat
dihilangkan.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara muwarris
dengan ahli waris, kerebat-kerabat itu dapat digolongkan menjadi 3
golongan:
a. Furu’, yaitu keturunan muwarris;
b. Ushul, yaitu leluhur yang menyebabkan adanya muwarris;
c. Hawasyi, yaitu kerabat yang dihubungkan dengan muwarris
melalui garis menyamping.
Ditinjau dari segi penerimaan bagian-bagiannya, maka kerebat
itu terbagi pada 4 golongan, yaitu:
a. Golongan kerabat yang mendapat bagian tertentu jumlahnya,
disebut: Ashhab al-Furud. Mereka itu dalah:
‫ة‬77‫وا األب) – جـدة (من جه‬77‫ جـد (أب‬- ‫ أم‬- ‫ أب‬- ‫ة‬77‫زوج أو زوج‬
‫ اخت‬- ‫ اخت ألب‬- ‫ اخت شقيقة‬- ‫ بنت اإلبن‬-‫ بنت‬- )‫األب واألم‬
. ‫ اخ ألم‬- ‫ألم‬
Kelompok ini harus didahulukan dalam pembagian warisan dari
pada kerabat-kerabat yang lain.
b. Golongan kerabat yang tidak memperoleh bagian tetentu, tetapi
menerima salah satu dari 3 kemungkinan, yaitu:
1). Mereka menerima seluruh harta warisan, bila muwarris sama
sekali tidak meninggalkan ashhab al-furud;
2). Mereka menerima sisa bersama-sama ahli waris yang sederajat,
bila muwarris meninggalkan ashhab al-furud
3). Mereka tidak menerima bagian sama sekali, karena harta waris
sudah habis dibagikan kepada ahli waris lain yang lebih dekat
kekerabatannya.
Mereka adalah:
‫ ابن األخ‬- ‫ اخ ألب‬- ‫قيق‬777‫ اخ ش‬- ‫ ابن اإلبن‬- ‫ ابن‬- ‫د‬777‫ ج‬- ‫أب‬
‫ ابن العم‬- ‫ عم ألب‬- ‫قيق‬7777‫ عم الش‬- ‫ ابن األخ ألب‬- ‫قيق‬7777‫الش‬
- ‫ ابن العم ألب‬- ‫الشقيق‬
c. Golongan kerabat yang bisa memperoleh 2 macam bagian, yaitu
sebagai ashhab al-furud dan sebagai ‘ashabah. Mereka adalah:
1). Ayah, bila mewarisi bersama seorang far’ul waris muannats;
2). Kakek dalam keadaan yang sama dengan ayah.
d. Golongan kerabat yang tidak termasuk kelompok ashhab al-furud
dan juga tidak termasuk ashabah. Mereka disebut dzawil arham,
yaitu:
Cucu pancar perempuan, laki/perempuan dst ke bawah )‫البنـات‬ ‫(أوالد‬
Anak-anak cucu perempuan pancar laki-laki ( ‫اإلبن‬ ‫( أوالد البنـات‬
VI. Mawa>ni’ al-Irtsi
Yang dimaksud penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal
yang dapat menggugurkan hak seseorang utuk mewarisi, meskipun ada
sebab-sebab dan syarat-syarat mewarisi. (Pasal 173 KHI)
A. Macam-macam Penghalang
1. Pembunuhan.
a. Jumhur sepakat bahwa pembunuhan itu pada prinsipnya merupakan
salah satu sebab penghalang mewarisi. Dasarnya adalah:
Hadis riwayat Ahmad:
‫ وإن كان له‬،‫من قتل قتيال فإنـه ال يرثـه وإن لم يكن له وارث غـيره‬
)‫والده أو ولده فليس لقاتل ميراث (أحمد‬
b. Ijma’ sahabat: Bahwa Umar ra pernah memutuskan untuk
memberikan diyat Ibn Qatadah kepada saudaranya dan bukan
kepada ayahnya yang telah ia bunuh tanpa sengaja. Sebab kalau
diberikan kepada ayahnya, tentu ia menuntut sebagian sebagai ahli
waris.

Ikhtilaf Ulama’
1). Hanafiyah, ada dua macam:
a). Pembunuhan yang bersanksi qisas (sengaja)
)93 :‫(النساء‬ ‫ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاءه جهنم خالدا فيها‬
)173 :‫(البقرة‬ ‫يأيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى‬

b). Pembunuhan yang bersanksi kaffarat (penebus kelalaian, yaitu


membebaskan seorang budak mukminah atau berpuasa 2
bulan berturut-turut). Ada 3 macam:
b.1. ‫شبه العمد‬ (mirip sengaja), yaitu kesengajaan seseorang
memukul orang lain dengan alat yang tidak meyakinkan,
tetapi mengakibatkan kematian .
Menurut Abu Yusuf, sekalipun tidak meyakinkan, tapi
kalau mengakibatkan kematian, maka termasuk
pembunuhan dengan sengaja.
Disebut mirip sengaja karena:
- Adanya unsur kesengajaan ditinjau dari maksud
pelaku untuk memukul;
- Adanya unsur ketiadaan maksud untuk membunuh,
karena alat yang dipakai tidak meyakinkan.

‫ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ود ية مسلمة‬


‫ فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين توبة‬،‫إلى أهلها‬
)92 :‫ وكان هللا عليما حكيما (النساء‬،‫من هللا‬

b.2. ‫ل الخطأ‬77‫( قت‬karena silap): a). Silap maksud, yaitu


maksudnya untuk membunuh keliru, tetapi
tindakannya tidak salah, tepat mengenai sasaran.
Misalnya pemburu yang keliru sasaran. b). Silap
tindakan, yaitu tindakannnya tidak mengenai sasaran,
tetapi mengenai sasaran lain. Misalnya latihan
menembak kena orang lain.
b.3. ‫( الجار مجر الخطأ‬dianggap silap), misalnya seseorang
tidur di atas tempat yang tinggi, kemudian tempatnya
ambruk dan menimpa orang yang tidur di bawahnya
hingga mati. Ini tidak termasuk pembunuhan karena
silap.

Sedang pembunuhan yang tidak menjadi penghalang bagi fuqaha


Hanafiyah adalah:
a. Pembunuhan tidak langsung (tasabbub), misalnya menggali lubang
di tanah yang bukan miliknya dan belum mendapat izin dari
pemerintah yang kemudian memakan korban. Kesalahannya bukan
terletak pada pembunuhannya, melainkan pada penggalian lubang
yang bukan miliknya. Oleh karena itu, ia wajib membayar diyat ada
keluarga korban.
b. Pembunuhan karena hak, misalnya pelaksana qisas, membela diri
dan atau kehormatan atau harta milik.
c. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap
bertindak.
d. Pembunuhan karena udzur, yaitu pembunuhan yang dilakukan
secara reflek, hilang kontrol dan tanpa ikhtiyar.

2). Menurut Malikiyah, yang menjadi penghalang itu adalah


pembunuhan sengaja karena permusuhan, baik langsung
(mubasyarah) maupun tidak langsung (tasabbub).
Dengan kata lain, yang menjadi penghalang itu adalah
pembunuhan sengaja, mirip sengaja dan pembunuhan tidak
langsung seperti yang dikatakan fuqaha Hanafiyah.
Sedang yang tidak menjadi penghalang, ialah:
a. Pembunuhan karena silap.
b. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap
bertindak.
c. Pembunuhan karena hak.
d. Pembunuhan karena udzur.
3). Menurut fuqaha Syafi’iyah, setiap pembunuhan mutlak menjadi
penghalang, baik langsung maupun tidak langsung, ada alasan atau
tidak, dilakukan oleh orang yang cakap bertindak atau tidak.
)‫(النسائ‬ ‫ليس للقاتل من الميراث شئ‬
4). Menurut Hanabilah, yang menjadi penghalang adalah pembunuhan
yang bersanksi qisas, kaffarat. Dengan kata lain pembunuhan
dengan sengaja, mirip sengaja, dianggap silap, karena silap, tidak
langsung dan oleh orang yang tidak cakap bertindak.
Sedang yang tidak menjadi penghalang adalah pembunuhan
karena melaksanakan had atau qisas dan karena udzur.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173, dinyatakan:
“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris;
a. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.
Dalam hukum Adat, pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja menjadi penghalang mempusakai.
Dala KUHS Pasal 838 ayat (1), dinyatakan bahwa orang yang
tidak pantas menjadi waris ialah orang yang telah dihukum dalam
perkara percobaan membunuh (pembunuhan atau percobaan
membunuh yang menjadi penghalang mempusakai itu harus ada
putusan hakim yang menghukumnya).
2. Perbedaan Agama
Yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah berlainan
keyakinan agama yang menjadi kepercayaan antara pewaris dengan
ahli waris.
Jumhur sepakat bahwa non Muslim tidak menerima pusaka dari
Muslim, bila sebab penerimaan pusaka itu perkawinan atau
kekerabatan nasabiyah. Tetapi, bila sebab itu ‘usubah sababiyah
seperti wala’(memerdekakan budak), maka menurut pendapat Imam
Ahmad dan Fuqaha’ Syi’ah Imamiyah larangan itu tidak berlaku,
artinya boleh antara Muslim dengan non Muslim saling mewarisi.
Alasan Jumhur adalah hadis Rasulullah SAW dari Usamah Ibn
Zaid:
)‫(متفق عليه‬ ‫ال يرث المسلم الكافر وال الكافر المسلم‬
Hadis di atas, menegaskan larangan saling mewarisi antara
Muslim dan non Muslim itu, ada dua kemungkinan:

a. Kafir mewarisi Muslim


Menurut Jumhur tetap tidak boleh, dengan alasan hadis di atas
dan an-Nisa’: 141:
‫ولن يجعل هللا للكافـرين على المؤمنين سبيال‬
Bagaimana jika ahli waris masuk Islam sesaat setelah
meninggalnya pewaris, sedang harta belum dibagikan ?
Menurut Jumhur, ia tetap terhalang, karena timbulnya hak
mewarisi itu sejak kematian pewaris dan bukan saat dimulainya
pembagian harta waris.
Menurut Imam Ahmad dan fuqaha’ Syi’ah Imamiyah, ia tidak
terhalang, karena predikat berlainan agama sudah hilang sebelum
harta waris dibagikan dan harta itu belum menjadi milik ahli waris
secara tetap sebelum dibagikan kepada yang bersangkutan.
b. Muslim mewarisi non Muslim
Menurut Jumhur, tetap tidak boleh, sebab ketika Abu Thalib
meninggal dunia dengan 4 anak, yaitu: Ali, Ja’far, ‘Uqail dan
Thalib, Rasul SAW membagikan harta hanya kepada ‘Uqail dan
Thalib saja, sebab keduanya masih kafir, Sedang Ali dan Ja’far
tidak diberi bagian, karena keduanya sudah Muslim.
Menurut Syi’ah Imamiyah berdasarkan pendapat Mu’adz Ibn
Jabal, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Muhammad Ibn Hanafiyah, Ali
Ibn Husein dan Said Ibn Mutsayyab, larangan dalam hadis itu
tidak mencakup Muslim mewarisi kerabatnya yang non Muslim,
dengan alasan:
.a )‫(الدار قطنى‬ ‫اإلسـالم يعـلوا وال يعلى عليه‬
Ketinggian Islam itu membawa ketinggian pada martabat
pemeluknya, tetapi tidak sebaliknya.
b. Analogi waris dengan pernikahan
)5 : ‫(المائدة‬ ‫والمحصنت من الذين أوتوا الكتاب‬
c. Larangan mengurangi hak Muslim
)‫(متفق عليه‬ ‫اإلسـالم يزيد وال ينقص‬
VII. Hijab dan Mahjub.
A. Pengertian Hijab
Pada prinsipnya setiap ahli waris yang telah mempunyai sebab-
sebab mewarisi dan telah memenuhi syarat serta tidak terdapat
penghalang, maka dia dipandang cakap untuk menerima warisan.
Bila terdapat penghalang, maka kecakapan untuk mewarisi menjadi
hilang, sehingga ia diharamkan menerima warisan yang dalam
istilah mawaris disebut Mahrum atau Mamnu’.
Keharaman itu bersifat abadi selama penghalang itu belum
hilang, sedang si mamnu’ sedikitpun tidak mempengaruhi ahli waris
yang lain. Misalnya: Pewaris meninggalkan isteri (Muslim) dan
seorang anak perempuan yang berbeda agama. Andaikata anak
perempuannya tidak berbeda agama, maka isteri akan memperoleh
bagian 1/8, sedang anak perempuan memperoleh 1/2. Tapi karena
status anak perempuan itu mamnu’, maka isteri memperoleh bagian
1/4.
Meskipun sebab dan syarat sebagai ahli waris sudah terpenuhi
serta tidak terdapat penghalang, seorang ahli waris mungkin pula
tidak dapat menerima bagian warisan disebabkan dua hal, yaitu:
1. Ia sebagai ahli waris ‘ashabah (selain asl/far’u al-waris
mudzakkar) yang bagiannya sisa dari ashhab al-furud. Dalam
keadaan harta warisan sudah habis dibagikan ke ashhab al-furud,
maka ia tidak akan dapat bagian. Dalam hal ini, ia disebut ghair
waris.
2. Ia sebagai ahli waris ashhab al-furud, tetapi ia tidak dapat
menerima bagian atau menerima lebih sedikit dari bagiannya,
karena ada ahli waris lain yang lebih dekat kekerabatannya
dengan pewaris dari pada dia. Misalnya : Saudara perempuan
kandung pewaris bila bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
atau bapak pewaris. Jadi status saudara perempuan itu mahjub
(hirman). Bagian ibu 1/3 akan berkurang menjadi 1/6 bila
bersama dengan keturunan pewaris. Jadi status ibu mahjub
(nuqshan).
B. Perbedaan Mahjub, Mamnu’ dan Ghairu Waris
Perbedaan antara ketiganya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
1. Ketidakcakapan dalam menerima harta waris
a. Pada mahjub, terhalangnya menerima harta waris, karena
adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya;
b. Pada mamnu’, karena adanya salah satu penghalang;
c. Pada ghair waris, karena harta waris sudah habis dibagikan
kepada ahli waris utama.
2. Ketidakcakapan dalam bertindak
a. Pada mahjub, ketidakcakapan itu hanya dalam menerima
harta warisan, sedang menghijab ahli waris lain masih
dimilikinya, meskipun ia sendiri telah terhijab. Misalnya:
ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan 2 orang saudara atau
saudari. Meskipun kelompok saudara disini terhijab oleh
ayah, namun mereka masih bisa menghijab nuqshan bagian
ibu dari 1/3 menjadi 1/6.
b. Pada mamnu’, ketidakcakapan itu menyeluruh, artinya
disamping ia tidak dapat menerima bagian karena adanya
penghalang, ia juga tidak bisa mempengaruhi bagian ahli
waris yang lain. Misalnya : seorang isteri meninggalkan
suami, saudara kandung dan seorang anak laki-laki yang
telah membunuhnya. Maka suami akan menerima bagian 1/2
sedangkan saudara kandung pewaris menerima sisanya
sebagai ashabah. Artinya, karena si anak berstatus mahrum
atau mamnu’, maka disamping tidak bisa menerima warisan,
ia juga tidak bisa menghijab nuqshan suami dan menghijab
hirman saudara kandung.
VIII. Hak-hak yang berkaitan dengan harta waris.
Jika seseorang meninggal dunia, maka sebelum hartanya dibagikan
kepada para ahli waris, hendaknya diperhatikan beberapa hak yang
berkaitan dengan dengan harta tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian harta waris dibedakan
dengan harta peninggalan. Dalam Pasal 171 ayat (d) dinyatakan
bahwa : “Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh
pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun
hak-haknya.” Sedang ayat (e), menyatakan: “harta warisan adalah
harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama, setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.”
Menurut Jumhur fuqaha’, hak-hak yang berkaitan dengan harta
warisan itu adalah:
1. Tajhiz, yaitu biaya-biaya perawatan yang dibutuhkan oleh pewaris,
sejak ia sakit, meninggal dan penguburannya. Tidak ada ketentuan
berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk tajhiz ini, karena
sifatnya relatif, tetapi ia harus wajar, berdasarkan keterntuan surat
al-Furqan: 67
‫والذين إذا أنفقـوا لم يسرفوا ولم يقتـروا وكان بين ذلك قواما‬
Bagaimana jika pewaris tidak mempunyai harta waris sedikitpun ?
Menurut Malikiyah, tajhiz ditanggung oleh Bait al-Mal.
Sedang menurut Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah ditanggung
oleh: 1). Keluarga yang menjadi tanggungan pewaris sewaktu
masih hidup, 2). Bait al-Mal, atau 3). Muslim yang kaya sebagai
fardu kifayah.
2. Hutang, yaitu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbangan
prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. Dasarnya adalah:
)11 : ‫(النساء‬ ‫من بعد وصية يوصى بها أو د ين‬
‫ؤمن‬77‫ نفس الم‬: ‫عن أبي هريرة عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫معلقة بـديـنه حتى يقضى عنه (الترمذى‬
Dalam kitab-kitab Fiqh, hutang itu dibagi dua macam, yaitu
dainullah dan dainul ‘ibad. Dainul ‘ibad terdiri dari: 1). ‘Ainiyah,
yaitu hutang yang berkaitan dengan wujud harta peninggalan, 2).
Mutlaqah, yaitu hutang yang tidak berpautan dengan harta
peninggalan.
Dainul ‘ibad yang mutlaqah dibagi pada: 1). Dain al-sihhah,
yaitu hutang yang dilakukan pewaris sewaktu sehat berdasar alat
pembuktian atau ikrar dengan sumpah, 2). Dain al-maradl, yaitu
hutang yang diakui pewaris sewaktu sakit atau dianggap dalam
keadaan sakit.
Menurut Jumhur, hutang pewaris dibayarkan setelah biaya
tajhiz. Sedang menurut Ibn Hazm, hutang didahulukan dari pada
tajhiz.
Jika pewaris menanggung dua macam hutang, yakni hutang
terhadap Allah dan hutang terhadap sesama, manakah yang harus
didahulukan ?
Menurut Imam Syafi’i dan Ibn Hazm, dainullah didahulukan
dari pada dainul ‘ibad, dengan alasan bahwa keumuman an-Nisa’
ayat 11 itu ditakhsis oleh hadis Nabi SAW:
‫فدين هللا أحق أن يقضى‬
Dainul ‘ibad yang ‘ainiyah didahulukan dari pada yang mutlaqah.
Menurut Hanafiyah, dainullah gugur akibat kematian
seseorang, kecuali untuk tabarru’ atau karena ada wasiat yang
besarnya tdak lebih dari 1/3 setelah diambil biaya tajhiz dan
pelunasan hutang kepada sesama, bila ada ahli waris. Jika tidak
ada ahli waris, maka 1/3 dari total harta.
Dainul ‘ibad didahulukan dari dainullah. Yang ainiyah
didahulukan daripada yang mutlaqah dan tajhiz.
Bagaimana dengan kasus zakat yang berpautan dengan hak
manusia ? Dainul ‘ibad, penuntutnya tertentu, sedang zakat tidak
tertentu, hanya disifati orang fakir dan miskin.
Menurut Malikiyah, Dainul ‘ibad didahulukan dari dainullah.
Dainul ‘ibad yang ‘ainiyah didahulukan dari tajhiz.
Menurut Hanabilah, Dainuyllah dan dainul ‘ibad itu sama,
karena istilah “dain” dalam an-Nisa 11 mencakup keduanya. Yang
‘ainiyah didahulukan daripada yang mutlaqah.
3. Wasiat (Ps. 194-209 KHI)
Wasiat adalah pemberian yang dilakukan seseorang atas
sejumlah hartanya kepada orang atau lembaga yang berlangsung
sesudah meninggalnya si pemberi menurut syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh agama.
Dasar hukum:
Al-Baqarah: 180 :
‫كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين‬
‫واألقربين بالمعروف حقا على المتقين‬
‫ال‬77‫ يا رسول هللا أنا ذو م‬: ‫ قلت‬:‫عن سعد ابن أبي وقاص رض قال‬
،‫ ال‬: ‫ال‬77‫الى ؟ ق‬77‫ثى م‬77‫ أفأتصدق بثل‬، ‫وال يرثني إال ابنة لي واحدة‬
: ‫ال‬77‫ أفأ تصدق بثلثه ؟ ق‬: ‫ قلت‬،‫ ال‬: ‫ أفأتصدق بشطره ؟ قال‬: ‫قلت‬
‫ إنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم‬،‫ والثلث كثير‬، ‫الثلث‬
)‫عالة يتكففون الناس ( متفق عليه‬
Menurut Ibn Hazm, wasiat hukumnya fardu ‘ain bagi orang
yang meninggalkan harta, berdasarkan an-Nisa’: 11. Jadi
membedakan antara wasiat dengan waris adalah batal.
Menurut Abu Dawud dan ulama’ salaf seperti Masruq,
Thawus, Ilyas, Qatadah dan Ibn Jarir, wasiat hukumnya wajib
kepada orang tua atau kerabat yang tidak dapat mewarisi karena
beberapa hal, seperti beda agama.
Alasannya : 1). Al-Baqarah 180 itu bersifat ‘am uridu bihi al-
khash. 2). Sudah dinasakh sebagian hukumnya oleh ayat-ayat
mawaris dan hadis-hadis yang telah menjelaskan furud al-
muqaddarah para ahli waris.
Menurut Jumhur dan fuqaha’ Syi’ah Zaidiyah, wasiat itu tidak
fardu ‘ain dan juga tidak wajib, baik bagi keluarga yang berhak
mewarisi maupun yang tidak berhak mewarisi.
Alasannya: 1). Nabi SAW tidak pernah menjelaskannya dan
tidak pula berwasiat dengan hartanya. 2). Mayoritas sahabat tidak
menjalankan wasiat. 3). Karena wasiat itu tidak wajib dilaksanakan
sewaktu pewaris masih hidup, tentu tidak wajib pula ketika
pewaris sudah meninggal.
An-Nisa’: 11 itu tidak memfardukan wasiat, tetapi
menjelaskan bahwa harta waris itu dibagikan setelah pelunasan
hutang dan pelaksanaan wasiat. (al-Muhadarat fi al-Miratsal-
Muqaran: 126, Muhammad Abd. Rahim).
Al-Baqarah: 180 itu telah dinasakh seluruh hukumnya, bukan
sebagian hukumnya. Kewajiban wasiat terhadap kedua orang tua
dan kerabat, baik mereka berhak atau tidak berhak itu berlaku pada
zaman permulaan Islam. Tetapi setelah turun an-Nisa’: 11, maka
kedua orang tua dan kaum kerabat sudah tidak mempunyai hak
lagi untuk menerima wasiat ( al- Bada’i al-Shana’i’, VII, h. 331)

‫لم‬77‫ه وس‬77‫ سمعت رسول هللا صلى هللا علي‬: ‫عن أبي أمامة رض قال‬
‫ فال‬، ‫ه‬77‫ق حق‬77‫ل ذى ح‬77‫د أعطى لك‬77‫ إن هللا ق‬:‫وداع‬77‫ة ال‬77‫يقول فى حج‬
)‫وصية لوارث (الترمذى‬
.‫النسخ بطريق التحويل من محل إلى محل آخر‬

IX. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu


yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atau harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum
kewarisan Islam juga disebut Faraid, jamak dari kata faridla yang erat
sekali hubungannya dengan kata fardlu yang berarti kewajiban yang harus
dilaksanakan.
Adapun sumber hukum kewarisan Islam adalah al-Qur’an dan al-
Hadis yang memuat sunnah Rasulullah SAW yang kemudian
dikembangkan oleh para Fuqaha’. Sebagai hukum yang bersumber dari
wahyu Ilahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah SAW,
hukum kewarisan mengandung beberapa asas yang diantaranya terdapat
juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu:
1. Asas Ijbari
Asas ini mengandung arti bahwa peralihan harta dari pewaris
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan
Allah SWT, tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli
warisnya.
Unsur Ijbari dalam hukum kewarisan Islam terlihat terutama dari
kepastian ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan
pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh
Allah SWT di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris
yaitu orang yang akan meninggal dunia suatu ketika tidak perlu
merencanakan menggunakan hartanya setelah ia meninggal dunia
kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan
beralih kepada ahli warisnya denga perolehan yang sudah dipastikan.
Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam ini dapat dilihat dari
beberapa segi, misalnya:
a. Dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah pewaris
meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari An-Nisa’ ayat 7.
Kata “nasiban” dalam ayat tersebut mengandung makna bahwa
dalam harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat bagian atau
hak ahli waris. Oleh karena itu, pewaris tidak perlu menjanjikan
sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia
meninggal dunia. Demikian pula halnya, ahli waris tidak perlu
meminta haknya kepada pewaris ketika pewaris masih hidup.
Unsur Ijbari ini terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa
menerima kenyataan berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai
dengan jumlah yang ditentukan. Ketentuan ini berbedadengan
pewarisan menurut Hukum Perdata misalnya, yang peralihan hak
pewarisannya tergantung pada kehendak dan kerelaan ahli waris
dan tidak berlaku dengan sendirinya (Subekti, 1965: 71).
Adanya unsur Ijbari ini juga tidak memberatkan kepada ahli
waris, karena menurut hukum kewarisan Islam, ahli waris tidak
dibebani untuk membayar hutang pewaris dengan harta sendiri.
Kewajibannya hanya sebatas membayar hutang pewaris dan atau
keperluan lainnya dari harta yang ditinggalkannya. Dalam BW,
diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak pewarisan
karena akan membawa akibat adanya kewajiban ahli waris untuk
melunasi hutang pewaris.
b. Jumlah harta sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris. Ini
tercermin dari kata “mafrudlan” yang makna asalnya adalah
“ditentukan” atau “diperhitungkan”. Apa yang ditentukan oleh
Allah SWT maka wajib dilaksanakan oleh hamba-Nya. Sifat wajib
yang dikandung oleh kata itu memaksa manusia melaksanakan
ketentuanyang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
c. Penerima harta warisan sudah ditentukan dengan pasti, yakni
mereka yang mempunyai ikatan perkawinan dan hubungan darah
dengan pewaris, seperti yang dirinci dalam pengelompokan ahli
waris di dalam surat An-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176. Karena rincian
yang sudah pasti itu, maka tidak ada suatu kekuasaan manusia yang
dapat merubahnya. Dan oleh karena unsurnya demikian, maka
hukum kewarisan Islam disebut Ijbari, bersifat wajib dilaksanakan
sesuai dengan ketetapan Allah SWT.
Dalam KHI, asas Ijbari ini terdapat dalam ketentuan umum, yakni
Pasal 171, khususnya pada huruf (a), yang berbunyi: “Hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Juga
terdapat dalam Pasal 187 ayat (2) yang berbunyi: “Sisa dari
pengeluaran dimaksud adalah merupakan harta warisan yang harus
dibagikan kepada ahli waris yang berhak”. Kedua pasal tersebut
dengan tegas menjelaskan asas Ijbari dimaksud.
2. Asas Bilateral
Dalam hukum kewarisan Islam, asas ini dapat dilihat dalam surat
An-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176. Pada ayat 7 ditegaskan bahwa seorang
laki-laki berhak mendapatkan warisan dari ayahnya dan juga dari
ibunya. Demikian pula halnya dengan anak perempuan. Dalam ayat 11,
dijelaskan bahwa anak perempuan berhak menerima warisan dari orang
tuanya sebagaimana halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan
bagian seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua anak perempuan.
Ibu berhak mendapatkan warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan sebesar seperenam bila bersama keturunan pewaris.
Demikian pula halnya ayah berhak menerima warisan anaknya, baik
laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam, bila pewaris
meninggalkan anak. Sementara ayat 12 menjelaskan bahwa bila
seorang laki-laki mati punah (kalalah), maka saudaranya (seibu), baik
laki-laki maupun perempuan berhak menerima harta warisannya.
Sedang apada ayat 176, Allah SWT menjelaskan bahwa seorang laki-
laki yang tidak mempunyai keturunan sedang ia mempunyai saudara
perempuan, maka saudaranya perempuan itulah yang berhak menerima
warisannya. Dan seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan,
sedang ia mempunyai saaudara laki-laki, maka saudaranya yang laki-
laki itu yang berhak menerima harta warisannya.
Ahli waris keluarga dekat (kerabat) lain yang tidak disebut secara
tegas dalam al-Qur’an dapat diketahui dari penjelasan yang diberikan
oleh Rasulullah SAW, di samping itu juga dapat diketahui dari
perluasan pengertian ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur’an.
Misalnya kewarisan kakek, dapat difahami dari kata: “ ‫ “ أب‬dalam al-
Qur’an yang dalam bahasa Arab berarti “kakek” secara umum.
Demikian pula bagian nenek dapat dikembangkan dari kata: “ ‫ “ أم‬.
Perluasan makna itu dimungkinkan di samping terdapat juga perluasan
dari Nabi SAW tentang kewarisan kakek dan nenek. Dari pengertian
perluasan itu dapat pula diketahui garis kerabat melalui pihak laki-laki
maupun pihak perempuan.
Demikian pula halnya dengan garis kerabat ke bawah. Walau tidak
secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an, namun garis kerabat ke bawah
itu dapat diketahui dari penjelasan makna kata: “ ‫ ” ولـد‬yang berarti
“anak”, baik laki-laki maupun perempuan dan keturunannya. Hanya
menurut Ali (1992: 91), dikalangan sunni, makna anak itu dibatasi pada
anak laki-laki saja dan keturunannya. Sedang dikalangan Syi’ah,
makna anak itu mencakup anak laki-laki dan anak perempuan berikut
keturunannya. Kekerabatan bilateral ini juga berlaku untuk kerebat
garis ke samping (al-hawasyi). Ini dapat dilihat pada surat An-Nisa’
ayat 12 dan 176. Pada ayat 12 tersebut dijelaskan kewarisan saudara
laiki-laki dan saudara perempuan dengan pembagian yang berbeda
dengan hak atau bagian yang diperoleh saudara dalam ayat 176 pada
surat yang sama. Perbedaan itu menunjukkan adanya perbedaan dalam
hal (orang) yang berhak menerima warisan. Oleh karena saudara, baik
laki-laki maupun perempuan dalam ayat 12 adalah seperenam atau
sepertiga, sama dengan bagian ibu, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan saudara-saudara dalam ayat 12 itu
adalah saudara garis ibu. Sedang saudara-saudara dalam ayat 176
adalah saudara garis ayah (seayah) atau garis ayah dan ibu
(sekandung).
Dengan mendalami makna ayat 12 dan 176 surat An-Nisa’
tersebut, diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada garis kerabat ke
samping-pun berlaku kewarisan dua arah, yakni melalui arah ayah dan
ibu.
Asas bilateral ini dapat kita temukan dalam Pasal 174 ayat (1)
KHI, yang intinya seorang menerima hak atau bagian warisan dari
kedua belah pihak, yaitu dari keturunan kerabat laki-laki dan dari
kerabat keturunan laki-laki dan dari keturunan kerabat perempuan.
3. Asas Individual
Dalam hukum kewarisan Islam, asas ini nampak dari kenyataan
bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki
secara perorangan. Untuk itu dalam pelaksanaannya, seluruh harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan
kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
bagian masing-masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas
bagian masing-masing yang sudah ditentukan. Ayat 7 surat An-Nisa’
misalnya, dalam garis besar sudah menjelaskan tentang hak laki-laki
dan perempuan dari orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun
banyak. Begitu pula halnya ayat 11, 12 dan 176 pada surat yang sama
secara rinci menjelaskan hak masing-masing ahli waris menurut bagian
tertentu dan pasti. Dalam bentuk yang tertentupun, seperti bagian anak
laki-laki yang bersama anak perempuan pada ayat 11 dan bagian
saudara laki-laki bersama-sama saudara perempuan dalam ayat 176,
telah dijelaskan perimbangan pembagiannya. Jadi jelaslah bagian
masing-masing individu. Bila pembagian menurut asas individu ini
telah terlaksana, maka setiap ahli waris berhak untuk berbuat dan
bertindak atas harta yang diperolehnya.
Dalam KHI, asas individual ini bisa kita baca dalam Pasal 176
sampai dengan 180 mengenai besarnya bagian masing-masing ahli
waris.
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas ini dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan
kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan
kegunaannya. Dengan demikian, asas ini mengandung arti bahwa harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak
yang diperoleh dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki
dan perempuan misalnya, mandapat hak yang sebanding dengan
kewajiban yang dipikul masing-masing dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat.
Dalam sistem kewarisan Islam, bagian yang diterima oleh masing-
masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab
terhadap keluarga. Seorang laki-laki misalnya dalam surat al-Baqarah
ayat 233 digambarkan sebagai penanggung jawab atas segala keperluan
anak dan isterinya, menurut kadar kemampuannya seperti disitir oleh
surat at-Talaq ayat 7. Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama
yang harus dilaksanakan, terlepas dari persoalan apakah isterinya itu
mampu atau tidak. Begitu pula halnya tanggung jawab seorang laki-
laki terhadap kerabat lain seperti yang dimaksud ayat 177 surat al-
Baqarah.
Berdasarkan asas ini, maka manfaat yang dapat dirasakan oleh
seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta peninggalan yang
mereka peroleh, adalah sama.
5. Asas Kematian
Asas yang terakhir ini adalah asas yang menyatakan bahwa
kewarisan terjadi kalau pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa
hukum kewarisan itu mulai berlaku, semata-mata sebagai akibat dari
kematian seseorang. Dengan demikian, maka harta seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan,
selama orang yang memiliki harta itu masih hidup. Ini juga berarti
bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup
kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan
dilaksanakan sesudah kematiannya, tidak termasuk dalam kategori
kewarisan menurut hukum Islam.
Menurut Ali al-Sabuni, alasan dari syarat bahwa “pewaris harus
sudah meninggal dunia” secara pasti atau secara hukum, sebab bila
pewarisnya masih hidup, maka ia punya hak kuasa atas hartanya dan
tak boleh seorangpun mentasharrufkan harta orang yang masih hidup
tanpa izin dari pemiliknya. Namun apabila orang itu telah meninggal
dunia, otomatis ia tidak dapat mentasharrufkan hartanya, dan hak
miliknya berpindah kepada orang-orang yang menjadi ahli warisnya
(Sabuni, 1989: 40).
Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari pemakaian
kata: “‫ “ ورث‬yang banyak terdapat dalam al-Qur’an. Dalam ayat-
ayat kewarisan, beberapa kali kata tersebut digunakan dan dari
keseluruhan pemakaian itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku
sesudah kematian orang-orang yang memiliki harta tersebut. Ini berarti
bahwa kata “warisan” mengandung makna peralihan harta setelah
kematian dimaksud.
BAB II
BAGIAN-BAGIAN AHLI WARIS

Pada bab ini akan dibahas bagian-bagian ahli waris, baik Ashhabul
Furudl maupun Ashabah dengan sistematika uraian mendahulukan bagian ahli
waris menurut sebab-sebab mereka menerima warisan. Oleh karena itu, maka
uraian pada bab ini akan diawali dengan bagian ahli waris Sababiyah dan baru
kemudian bagian-bagian ahli waris Nasabiyah. Sedang bagian ahli waris
karena sebab Wala' (memerdekakan budak), sengaja tidak kami bahas, sebab
walaupun secara yuridis masalah itu ada, tetapi secara faktual hampir tidak
pernah kita temukan pada zaman modern ini.
Dalam membahas bagian-bagian ahli waris Nasabiyah, kami uraikan
terlebih dahulu bagian ahli waris kelompok Furu'ul Mayyit yaitu keturunan si
mati. Setelah itu, bagian kelompok Ushulul mayyit yakni leluhur yang
menyebabkan adanya si mati. Sedang kelompok Hawasyi yaitu keluarga yang
dihubungkan dengan si mati melalui garis menyamping, kami uraikan setelah
kedua kelompok terdahulu.
Mengingat ahli waris Ashabul Furudl itu harus didahulukan dalam
pembagian tirkah, sedang sebagian besar dari kelompok ini adalah perempuan,
maka uraian dalam diktat ini kami dahulukan pembahasan ahli waris
perempuan, baru kemudian bagian ahli waris laki-laki dan masing-masing
disertai contoh serta penjelasan hajib dan mahjubnya. Cara tersebut kami
tempuh semata-mata untuk memudahkan para pembaca memahami kedudukan
masing-masing ahli waris serta perubahan fardl-fardl mereka.

A. Ahli Waris Sababiyah

Yang dimaksud dengan ahli waris sababiyah disini adalah ahli waris
atau orang-orang yang bisa saling mewarisi karena sebab perkawinan. Mereka
itu hanya terdiri dari dua pihak yaitu suami dan isteri.

1. Bagian isteri
Untuk fard satu bagian isteri ini berlaku ketentuan-ketentuan berikut:
a. Ia memperoleh bagian 1/4, jika almarhum suaminya tidak
meninggalkan anak/cucu, laki/perempuan, seorang/lebih,
betapapun rendahnya kebawah, baik anak/cucu itu dari isteri-
isteri suaminya terdahulu maupun dari dia sendiri sebagai
isteri terakhir.
Dalil :
‫َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم اِ ْن‬
‫لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُك ْم َولَ ٌد‬
" Para isteri memperoleh seperempat harta yang kami
tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak-anak" (An-
Nisa' : 12)

b. Ia memperoleh bagian 1/8, jika almarhum suaminya


meninggalkan keturunan sebagaimana dijelaskan pada point a
diatas.
Dalil :
‫فَا ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد‬
‫فَلَه َُّن الثُّ ُم ُن ِم َّما‬
‫تَ َر ْكتُ ْم‬
"Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan" ( An-Nisa' : 12)

Hajib dan Mahjib

Isteri adalah ahli waris ashhabul-furudl yang tidak bisa menghijab dan
dihijab hirman oleh siapapun. Tetapi, ia bisa dihijab nuqshan oleh anak/cucu,
seorang/lebih, laki/perempuan betapapun menurunnya kebawah (far'ul waris).

CONTOH :

1. Ahli waris terdiri dari :


Isteri = 1/4 = 3; Isteri = 3/12 x tirkah = ...........
Sdri kd. = 1/2 = 6; Sdri kd. = 6/12 x tirkah = ...........
Sdri sbp. = 1/6 = 2; Sdri sbp. = 2/12 x tirkah = ...........
Anak lk. sdr. kd = abn = 1; Anak lk. sdr. kd = 1/12 x tirkah = ...........

a.m = 12

2. Ahli waris terdiri dari :


Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ...........
Sdri kd. = 1/2 = 12; Sdri kd. = 12/24 x tirkah = ...........
Sdri sbp. = 1/6 = 4; Sdri sbp. = 4/24 x tirkah = ...........
Anak lk. sdr. kd = abn = 5; Anak lk. sdr. kd = 5/24 x tirkah = ...........

a.m = 24

2. Bagian suami
Adapun fardl suami dan perubahan-perubahannya dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Ia memperoleh bagian 1/2, jika almarhumah isterinya tidak
meninggalkan anak/cucu, laki /perempuan, seorang/lebih, baik dari
suaminya yang terdahulu maupun dari dia sendiri sebagai suami
terakhir.
Dalil :
‫ف َما تَ َركَ اَ ْز َوا ُج ُك ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّه َُّن َولَ ٌد‬
ُ ْ‫َولَ ُك ْم نِص‬
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak". (An
Nisa':12);
b. Suami memperoleh bagian 1/4, jika alamrhumah isterinya
meninggalkan anak/cucu seperti yang dijelaskan pada point 1 dia
atas.
Dalil :
ْ‫ص ْينَ بِهَٓا اَو‬ ِ ‫فَا ِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكنَ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬
‫َد ْي ٍن‬
"Jika isteri-isteri itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta benda yang ditinggalkannya setelah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau setelah dilunasinya hutang mereka".
(An Nisa' : 12).

Hajib dan Mahjub


Sebagaimana halnya isteri, maka suami juga merupakan ahli waris
yang tidak bisa menghijab dan dihijab (hirman) oleh siapapun, tetapi ia bisa
dihijab nuqshan oleh far'ul waris.

CONTOH :
1. Ahli waris terdiri dari :

Suami = 1/2 = 1; Isteri = 1/2 x tirkah = ...........


Sdri kd. = 1/2 = 1; Sdri kd. = 1/2 x tirkah = ...........

a.m =2

2. Ahli waris terdiri dari :

Suami = 1/4 = 3; Isteri = 3/12 x tirkah = ...........


Sdri kd. = 1/2 = 6; Sdri kd. = 6/12 x tirkah = ...........
Sdri sbp. = 1/6 = 2; Sdri sbp. = 2/12 x tirkah = ...........
Anak lk. sdr. kd = abn = 1; Anak lk. sdr. kd = 1/12 x tirkah = ...........

a.m = 12

B. Ahli Waris Nasabiyah

1. Furu'ul Mayyit
a.. Bagian anak perempuan
Bagian anak perempuan ini dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Ia mendapat 1/2 jika ia seorang saja, artinya ia tidak
mempunyai saudara laki-laki maupun perempuan.
Dalil :
ْ ‫َواِ ْن َكان‬
‫َت‬
ُ ْ‫َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّص‬
‫ف‬
"Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta".
(An Nisa' : 11)

2. Jika anak perempuan itu lebih dari seorang, maka mereka


memperoleh bagian 2/3 dibagi sama rata.
Dalil :
َ ْ‫فَا ِ ْن ُك َّن نِ َس ۤا ًء فَو‬
َ ‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما ت ََر‬
‫ك‬
"Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari satu
( dua atau lebih ), maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan". (An Nisa' : 11)

3. Jika anak perempuan seorang atau lebih menerima warisan


bersama-sama saudaranya yang laki-laki (anak laki-laki
mayit), maka mereka menjadi Ashabah bil ghair, dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan.
Dalil :
‫ ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَوْ اَل ِد ُك ْم‬77777‫ص‬
ِ ْ‫يُو‬
‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَي ِْن‬ َّ ِ‫ل‬
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka)
untuk anak-anakmu, yaitu bagian sorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan". (An
Nisa' : 11).

Hajib dan Mahjub


Anak perempuan adalah ahli waris yang tidak bisa
dihijab oleh siapapun. Tetapi jika anak perempuan
menerima warisan, maka :
- bila ia seorang diri, ia bisa menghijab nuqshan bagian suami
atau isteri, ayah dan ibu dan seterusnya ke atas.

bila mereka lebih dari seorang, maka disamping bisa menghijab nuqshan ahli
waris di atas, mereka juga bisa menghijab hirman waladul ummi yaitu
saudar/saudari seibu si mati serta cucu perempuan, seorang atau lebih, kecuali
jika cucu perempuan itu bersama mu'ashshibnya (cuc laki-laki). Kemampuan
untuk menghijab hirman waladul ummi itu dimiliki oleh anak perempuan, baik
ia seorang diri atau lebih,

b. Bagian anak laki-laki


Sebagaimana diketahui bahwa anak laki-laki termasuk
kelompok ahli waris Ashabah yang bagiannya dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1) Jika si mati tidak meninggalkan seorangpun ahli waris Ashhabul
furudl, termasuk anak perempuan maka seluruh tirkah diwarisi oleh
anak laki-laki. Bila jumlah mereka lebih dari seorang maka tirkah
dibagi sama rata.
2) Bila si mati meninggalkan ahli waris Ashhabul Furudl selain anak
perempuan maka anak laki-laki memperoleh sisa tirkah setelah
dibagikan kepada Ashhabul furudl tersebut.
3) Jika anak laki-laki bersama anak perempuan maka mereka secara
bersama mewarisi seluruh tirkah, bila ternyata si mati tidak
meninggalkan ahli waris Ashhabul Furudl atau memperoleh sisa
tirkah, bila ada ashhabul furudl lain dengan ketentuan nak laki-laki
mendapat dua kali bagian anak perempuan.

Hajib dan Mahjub


Seperti halnya anak perempuan, anak laki-laki juga juga
merupakan ahli waris yang tidak bisa dihijab oleh siapapun. Tetapi bila
mayit meninggalkan anak laki-laki maka seluruh ahli waris akan
mahjub, kecuali suami atau isteri, ibu dan bapak. Mereka ini hanya
terhijab nuqshan oleh anak laki-laki.

Contoh kasus dan cara penyelesaiannya

CONTOH :
1. Ahli waris terdiri dari :

Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ...........


Ibu = 1/6 = 4; Ibu = 4/24 x tirkah = ...........
Seorang anak(pr) = 1/2 = 12;Seorang anak(pr) = 12/24 x tirkah =..........
Ayah = 1/6+sisa = 5; Ayah = 5/24 x tirkah =...........

a.m = 24

2. Ahli waris terdiri dari :

Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ...........


Sorang anak pr = 2/3 = 16; 2 anak pr = 16/24 x tirkah = ...........
Ibu = 4 = 2; Ibu = 4/24 x tirkah = ...........
Paman kd. = ashabah = 1; Paman kd. = 1/12 x tirkah = ...........

a.m = 24
3. Ahli waris terdiri dari :

Suami = 1/4 = 1; Suami = 1/4 x tirkah


= ...........
Anak laki = ashabah = 3; Anak laki = 3/4 x
tirkah ...........
Anak(pr) = ashabah = 3; Seorang anak(pr) = 3/4 x tirkah
=..........

a.m =4

4. Ahli waris terdiri dari :

Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ...........


anak pr = 2/3 = 16; 2 anak pr = 16/24 x tirkah = ...........
Sdra. seibu = Mahjub X = Sdra. seibu
Sdri. seibu = Mahjub X = Sdri. seibu
Cucu pr. = abg = 5; Cucu pr. = 5/24 x tirkah =..........
Cucu lk. = abg = 5; Cucu lk. = 5/24 x tirkah =..........

a.m = 24

c. Bagian cucu perempuan (pancar laki-laki)


Sebenarnya bagian cucu perempuan ini tidak dijelaskan dalam
al Qur-an, melainkan berdasarkan ketetapan Zaid ibn Tsabit. Beliau
berkata :
‫ا‬77‫ يرثون كم‬،‫ ذكرهم كذكرهم وأنثاهم كأنثاهم‬،‫ولد األبناء بمنزلة األبناء‬
‫ وال يرث ولد ابن مع ابن ذكر‬، ‫يرثون ويحجبون كما يحجبون‬

"Cucu dari anak laki-laki menempati kedudukan anak laki-laki, jika si


mati itu tidak meninggalkan anak laki-laki, yaitu cucu laki-laki seperti
anak laki-laki dan cucu perempuan sama seperti anak perempuan.
Mereka dapat menerima pusaka, sebagaimana anak
laki-laki/perempuan menerima pusaka. Mereka juga dapat menghijab
orang lain, sebagaimana anak laki/perempuan menghijab orang lain.
Dan cucu dari anak laki-laki tidak bisa menerima pusaka, jika bersama
anak laki-laki".
Bagian dari cucu perempuan pancar laki-laki ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Ia memperoleh bagian, 1/2, bila ia sendirian dan si mati tidak
meninggalkan anak laki/perempuan atau cucu laki-laki.
2) Jika lebih dari seorang, mereka mendapat bagian 2/3 dengan syarat
seperti diatas
3) Menjadi ashabah bil ghair, bila bersama cucu laki-laki dengan
ketentuan bagian cucu laki-laki dua kali bagian cucu perempuan
dengan syarat si mati tidak meninggalkan anak laki-laki.
4) Cucu perempuan seorang/lebih akan memperoleh bagian 1/6 bila
bersama seorang anak perempuan, anak perempuan tetap
memperoleh furudlnya sebanyak 1/2.

Penerimaan 1/6 bagi cucu perempuan ini disebut "Takmilatus


Tsulutsain", artinya : "Penyempurna bagian 2/3", karena dalam
masalah ini seolah-olah terdapat dua orang anak perempuan yang
furudlnya 2/3. ( 2/3-1/2 = 4/6-3/6 = 1/6 ).
Dasarnya :

"Nabi SAW telah menetapkan bagian 1/6 untuk cucu perempuan bila
bersama anak perempuan kandung".(HR. Bukhari)

"Abdullah ibn Mas'ud berkata : "Rasulullah SAW menetapkan bagian


1/2 untuk anak perempuan dan 1/6 bagi cucu perempuan karena
menyempurnakan pembagian dua pertiga. Adapun sisanya untuk
saudara perempuan (kandung/sebapak)". (HR. Jama'ah kecuali Muslim
dan at-Tirmidzi).

Hajib dan Mahjub


Cucu perempuan pancar laki-laki adalah ahli waris yang hanya bisa
dihijab (hirman) oleh:
- anak laki-laki atau cucu laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, baik
cucu perempuan tersebut bersama mu'asshibnya maupun tidak.
- dua orang/lebih anak perempuan sedang mereka tidak bersama
mu'asshibnya, baik yang sederajat (cucu laki-laki atau anak laki-
laki pamannya) maupun yang lebih rendah derajatnya (anak laki-
laki saudaranya atau cucu laki-laki pamannya), maka ia bisa
menerima bagian secara 'ushubah.
- dua orang/lebih cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya,
kecuali bila ia bersama mu'asshibnya.
Bila seorang/lebih cucu perempuan menerima bagian maka mereka
akan menghijab (hirman) Waladul Ummi, baik laki-laki maupun
perempuan, seorang atau lebih.

d. Bagian cucu laki-laki (pancar laki-laki)


Seperti halnya anak laki-laki, cucu laki-laki inipun termasuk
ahli waris ashabah yang bagiannya sebagai berikut :
1) Bila si mati tidak meninggalkan anak laki/perempuan dan juga
tidak ada ahli waris lain, maka cucu laki-laki memperoleh seluruh
harta peninggalan.
2) Bila mayyit mempunyai ahli waris lain dan tidak ada anak laki-laki
maka cucu laki-laki ini mendapat sisa setelah dibagikan kepada ahli
waris lain tersebut.
3) Bila cucu laki-laki bersama cucu perempuan maka mereka secara
bersama mewarisi seluruh tirkah, bila mayyit tidak mempunyai ahli
waris lain. Tetapi jika bersama ahli waris lain, mereka memperoleh
sisa dengan ketentuan bagian cucu laki-laki dua kali cucu
perempuan.

Hajib dan Mahjub


Anak laki-laki atau cucu laki-laki yang lebih tinggi derajatnya
adalah ahli waris yang menghijab (hirman) cucu laki-laki. Sedang ia
sendiri bisa menghijab nuqshan suami atau isteri, ayah, ibu, kakek
sahih dan atau nenek sahihah dan menghijab hirman semua ahli waris,
kecuali anak perempuan.

CONTOH :
1. Ahli waris terdiri dari :

Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ...........


Cucu pr. = 1/2 = 12;Cucu pr. = 12/24 x tirkah = ..........
Ibu = 1/6 = 4; Ibu = 4/24 x tirkah = ...........
Sdra. kd.= ashabah bi nafsih = 5; Sdra. kd. = 5/24 x tirkah = ...........

a.m = 24

2. Ahli waris terdiri dari :

Isteri = 1/8 = 1; Isteri = 1/8 x tirkah = ...........


Anak pr = 1/2 = 4; Anak pr = 4/8 x tirkah = ...........
Cucu lk. = abg =3; Cucu lk. = 3/8 x tirkah = ...........
Cucu pr. = abg =3; Cucu pr. = 3/8 x tirkah = ...........

a.m =8
3. Ahli waris terdiri dari :
Suami = 1/4 = 3; Suami = 3/14 x tirkah = ...........
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/14 x tirkah = ...........
2 cucu pr. = 2/3 = 8; 2 cucu pr. = 8/14 x tirkah = ...........
Sudara sbp. = abn = 1; Saudara sbp = 1/14 x tirkah = ...........

a.m = 12 = 14 ('aul)

4. Ahli waris terdiri dari :

Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ...........


2 anak pr = 2/3 = 16; 2 anak pr = 16/24 x tirkah = ...........
2 Cucu pr. = abg = 5; Cucu pr. = 5/24 x tirkah =..........
2 Cucu lk. = abg = 5; Cucu lk. = 5/24 x tirkah =..........

a.m = 24

2. Ushulul Mayyit

a. Bagian Ibu
Untuk bagian ibu, berlaku ketentuan-ketentuan berikut:
1) Ia memperoleh bagian 1/3 bila si mati tidak meninggalkan
anak/cucu, laki/perempuan, saudara tidak lebih dari seorang, baik
laki/perempuan sekandung atau sebapak maupun seibu saja.
Dalil:

"Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi


oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga". (An
Nisa' : 11)
Berdasarkan ayat tersebut, ibu mendapat 1/3 dan ayah menjadi
ashabah.

2) Bila bersama anak/cucu, laki/perempuan, seorang/lebih maka ibu


mendapat bagian 1/6.
Dalil:

"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya


seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak". (An Nisa' : 11)

3) Sedang bila bersama dua orang saudara/lebih, laki/perempuan,


sekandung/sebapak atau seibu saja, maka ia ibu juga memperoleh
bagian 1/6, tetapi ayah tetap menjadi ashabah.
Dalil:

"Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka


ibunya mendapatkan seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
diatas sesudah dipebuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya)". (An Nisa' : 11)
4) Dalam pembagian pusaka bagi ibu, terdapat bagian yang menyalahi
ketentuan umum didalam ilmu Faraid, yaitu bila ibu mewarisi
bersama bapak dan salah seorang dari suami isteri. Masalah ini
disebut gharrawain yang akan dijelaskan dalam bab tersendiri.

Hajib dan Mahjub


Tidak ada seorang ahli waris yang mampu menghijab (hirman)
ibu. Ia hanya bisa dihijab (nuqshan) oleh anak/cucu dan seterusnya
kebawah atau oleh saudara yang jumlahnya dua atau lebih,
laki/perempuan, sekandung atau sebapak atau seibu saja.
Tapi jika ibu menerima pusaka maka ahli waris yang mahjub adalah:
1. Ibunya ibu (nenek shahihah) dan seterusnya keatas.
2. Ibunya ayah dan seterusnya ke atas.

Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Anak pr. = 1/2 = 6; Anak pr. = 6/12 x tirkah = .........
Cucu pr. = 1/6 = 2; Cucu pr. = 2/12 x tirkah = ........
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/12 x tirkah = .........
2 sdri.kd. = amg= 2; amg = 2/12 x tirkah = .........

a.m = 12

2. Ahli waris terdiri dari:


Suami = 1/2 = 3; Anak pr. = 3/6 x tirkah = .........
Nenek = mahjub= X;
Ibu = 1/3 = 2; Ibu = 2/6 x tirkah = .........
sdra.kd. = abn= 1; amg = 1/6 x tirkah = .........

a.m =6

b. Bagian Ayah
Adapun fardl ayah bisa dijelaskan sebagai berikut:

1) Ia memperoleh bagian 1/6, bila mayit meninggalkan anak/cucu


laki-laki (far'ul waris mudzakkar) betapapun rendahnya.
Dalil:

"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya


seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu
mempunyai anak. (An Nisa' : 11).
2) 1/6 ditambah sisa bila ia mewarisi bersama anak/cucu perempuan
(far'ul waris muannats) betapapun rendahnya, dengan syarat tidak
ada anak/cucu laki-laki.
Dasarnya:

"Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sesudah itu,


sisanya untuk orang laki-lakiyang lebih utama". (HR. Bukhari dan
Muslim).
3) Ashabah binafsih, bila mayit tidak meninggalkan far'ul waris laki-
laki maupun perempuan,

4) Bila ayah mewaris bersama salah seorang dari suami/isteri serta


ibu, timbul masalah gharrawain. (dibahas dalam bab tersendiri).

Hajib dan Mahjub


Ayah adalah ahli waris yang tidak bisa dihijab oleh siapapun.
Tetapi semua ahli waris akan mahjub bila ada ayah, kecuali suami,
isteri, anak, cucu, ibu serta nenek (dari pihak ibu).

Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Suami = 1/4 = 3; Suami = 3/12 x tirkah = ..............
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/12 x tirkah = ..............
Ayah = 1/6 = 2; Ayah = 2/12 x tirkah = ..............
Anak lk. = abn = 5;Anak lk. = 5/12 x tirkah = ..............

a.m = 12

2. Ahli waris terdiri:


Isteri = 1/8 = 3;Isteri = 3/24 x tirkah = ................
Anak pr. = 1/2 = 12;Anak pr. = 12/24 x tirkah = ..............
Cucu pr. = 1/6 = 4; Cucu pr. = 4/24 x tirkah = ................
Ayah = 1/6 + sisa = 5; Ayah= 5/24 x tirkah = ................

a.m = 24

c. Bagian nenek shahihah


Yang dimaksud dengan nenek shahihah adalah nenek dari pihak
ayah maupun ibu.
Adapun ketentuan yang berkaitan dengan bagian nenek ini adalah:
1) Nenek dari pihak ayah, ceorang/lebih, mendapat bagian 1/6, bila
mayit tidak meninggalkan ayah/ibu. Jika lebih dari seorang maka
bagian 1/6 itu dibagi sama rata.
Dasarnya:

"Dari Buraidah ra., bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagian


untuk nenek seperenam, jika mayit tidak meninggalkan ibu". (HR.
Abu Dawud).

"Ubadah ibn Shamit berkata: "Sesungguhnya Rasulullah SAW


telah menetapkabagian seperenam untuk dua orang nenek dibagi
antara mereka". (HR. Ahmad)
"Abdurrahman ibn Yazid telah berkata: "Rasulullah SAW telah
memberikan bagian seperenam kepada tiga orang nenek. Dua orang
nenek dari pihak ayah dan seorang dari pihak ibu". (HR. Daruquthni)

2) Nenek dari pihak ibu memperoleh bagian 1/6, bila mayit tidak
meninggalkan ibu.

Hajib dan Mahjub


Baik nenek dari pihak ayah atau ibu tidak bisa menghijab ahli
waris lain. Bila nenek dari ayah mahjub karena adanya ayah atau ibu,
maka nenek dari pihak ibu hanya mahjub oleh ibu. Disamping itu,
keduanya bisa mahjub, jika ada nenek yang lebih dekat atau karena
adanya kakek shahih bagi nenek dari pihak ayah.

Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Ibunya ayah = 1/6 = 1; Ibunya ayah = 1/5 x tirkah = ..........
Anak pr. = 1/2 = 3; Anak pr. = 3/5 x tirkah = ..........
Cucu pr. = 1/6 = 1; Cucu pr. = 1/5 x tirkah = ..........

a.m = 6 = 5 (am. baru).

2. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/19 x tirkah = ..........
Anak pr. = 1/2 = 12; Anak pr. = 12/19 x tirkah = ..........
Ibu = 1/6 = 4; Ibu = 4/19 x tirkah = ..........
Ibunya ayah = mahjub = X;

a.m = 24 = 19 (radd).
3. Ahli waris terdiri dari:
Ibunya ibu = 1/6 = 1; Ibunya ayah = 1/4 x tirkah = ..........
Anak pr. = 1/2 = 3; Anak pr. = 3/4 x tirkah = ..........
Ibu ibunya ibu = mahjub = X

a.m = 6 = 4 (radd)

2. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ..........
Cucu pr. = 1/2 = 12; Anak pr. = 12/24 x tirkah = ..........
Ibunya ibu = 1/6 = 4; Ibu = 4/24 x tirkah = ..........
Ayah = 1/6 + sisa = 5; Ayah= 5/24 x tirkah = ...........

a.m = 24

d. Bagian Kakek
Faradliyyun membedakan kakek kepada dua macam, yaitu:
1. Kakek shahih ialah kakek yang hubungan nasabnya dengan mayit
tidak diselingi oleh orang perempuan, misalnya ayahnya ayah (
), ayah dari ayahnya ayah
dan seterusnya keatas.
2. Kakek ghairu shahih ialah kakek yang hubungan nasabnya diselingi
oleh ahli waris perempuan, misalnya ayahnya ibu ( ), ayah
dari ibunya ayah ( ). Yang dimaksud kakek dalam
bab ini adalah kakek shahih, karena kakek ghairu shahih termasuk
kelompok ahli waris Dzawil Arham.

Adapun fardl kakek shahih dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Ia mendapat 1/6, bila mayit meninggalkan far'ul waris mudzakkar
(anak/cucu laki) betapapun rendahanya serta tidak ada ayah.
2. Ia mendapat 1/6 ditambah sisa, bila mayit meninggalkan far'ul
waris muannats (anak/cucu perempuan) betapapun rendahanya
serta tidak ada ayah.
3. Jika kakek tidak bersama far'ul waris laki-laki/perempuan atau
ayah, maka ia menjadi Ashalah binafsih.
4. Bila ia bersama saudara sekandung atau sebapak, baik laki-laki
maupun perempuan, maka ulama berbeda pendapat yang akan
dijelaskan nanti pada bab Muqasamah.

Hajib dan Mahjub


Kakek adalah ahli waris yang tidak bisa dihijab oleh siapapun, kecuali
oleh ayah atau kakek shahih yang lebih dekat. Sedang ia bisa menghijab ahli
waris sebagai berikut:
1. Saudara laki/perempuan seibu
2. Keponakan laki-laki kandung
3. Keponakan laki-laki sebapak
4. Paman kandung dan paman sebapak serta anak-anak mereka.

Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ............
Kakek = 1/6 = 4; Kakek = 4/24 x tirkah = ............
Anak lk. = abn=17; Anak lk. = 17/24 x tirkah = ............

a.m =24

2. Ahli waris terdiri dari:


Suami = 1/4 = 3; Suami = 3/12 x tirkah = ..............
Anak pr. = 1/2 = 6; Anak pr. = 6/12 x tirkah = ..............
Kakek = 1/6+sisa = 3; Kakek = 3/12 x tirkah = ..............

a.m = 12

3. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ..............
Anak pr. = 1/2 = 12; Anak pr. = 12/24 x tirkah = ............
Ayah = 16+sisa = 9; Ayah = 9/24 x tirkah = ..............
Kakek = mahjub = X;

a.m = 24

3. Al-Hawasyi
a. Bagian saudara perempuan sekandung
Adapun bagian saudara perempuan sekandung beserta
perubahan shamnya dapat diterangkan sebagai berikut:
1) Ia memperoleh saham 1/2, jika seorang diri dan si mati tidak
meninggalkan anak atau cucu, baik laki/perempuan, atau tidak ada ayah atau
kakek atau saudara laki kandung.
Dalil:

"...........jika seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak


tetapi mempunyai seorang saudar perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya". (An Nisa' : 176).
2) Jika jumlah mereka lebih dari seorang, mereka memperoleh 2/3
dengan syarat seperti diatas.
Dalil:

"..........tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi


keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal" (An
Nisa' : 176).
3) Saudara perempuan kandung seorang/lebih akan menjadi ashabah
bil ghair, bila bersama saudara laki-lakinya kandung dengan syarat seperti
diatas. Bagian saudara laki-laki kandung dua kali bagian saudara perempuan
kandung.
4) Saudara perempuan kandung seorang/lebih akan menjadi ashabah
ma'al ghair bila bersama seorang anak/cucu laki-laki atau ayah atau saudara
laki-laki kandung menjadi mu'ashshibnya. Anak/cucu perempuan tetap
memperoleh furudlnya yaitu 1/2.
5) Bila saudara perempuan kandung mewaris bersama-sama kakek,
para ulama berbeda pendapat:
Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa saudara perempuan kandung mahjub, karena
memandang sam derajat ayah dan kakek.
Zaid ibn Tsabit, Malik, Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Muhammad dan
Abu Yusuf berpendapat bahwa saudara perempuan kandung
dengan kakek diadakan pembagian Muqasamah (dibahas dalam bab
tersendiri).

Hajib dan Mahjub


Dua orang atau lebih saudari sekandung akan menghijab saudari
sebapak (seorang/lebih), jika saudari sebapak tersebut tidak bersama saudara
sebapak. Bila bersama saudara sebapak maka mereka menjadi ashabah bil
ghair.
Jika saudara perempuan kandung tidak bersama seorang anak/cucu perempuan
si mati (ashabah ma'al ghair) maka tidak ada seorangpun ahli waris yang
dihijabnya. Tapi, bila bersama anak/cucu perempuan maka ahli waris yang
mahjub adalah:
1. Saudara laki-laki dan perempuan seayah
2. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
3. Paman kandung dan paman seayah beserta anak laki-laki mereka.
Adapun ahli waris yang bisa menghijab saudara perempuan kandung
seorang/lebih, bersama-sama saudara laki kandung atau tidak adalah anak laki-
laki, cucu laki-laki dan ayah.

b. Bagian saudara laki kandung


Hak mewarisi saudara kandung itu dengan jalan ushubah, yang
secara terinci bagian mereka sebagai berikut:
1) Jika almarhum tidak meninggalkan ahli waris selain seorang saudara
kandung, maka ia mendapat seluruh tirkah. Kalau jumlah mereka lebih dari
seorang, maka tirkah dibagi sama rata antara mereka.
2) Jika saudara kandung mewarisi bersama saudari kandung dan tidak
ada ahli waris lain, maka tirkah dibagi antara mereka dengan ketentuan bagian
saudara kandung dua kali saudari kandung.
3) Jika almarhum meninggalkan ashhabul furudl maka mereka
menerima menerima sisa ashhabul furudl.
4) Jika mereka mewarisi bersama-sama dua orang atau lebih saudara
seibu, suami dan ibu atau nenek shahihah maka mereka bergabung dengan
saudara-saudara seibu. Kasus ini dinamakan Musyarakah atau musytarakah
yang akan dibahas dalam bab tersendiri.

Hajib dan Mahjub


Ayah, anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki adalah ahli waris
yang dapat menghijab hirman saudara sekandung. Sedang saudara kandung
sendiri bisa menghijab ahli waris sebagai berikut:
1. Saudara seaayah
` 2. Anak laki-laki saudara kandung dan saudara seayah
3. Paman kandung dan paman seayah serta anak laki-laki mereka

Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Suami = 1/2 = 1; Suami = 1/2 x tirkah = .................
Sdri.kd. = 1/2 = 1; Sdri.kd. = 1/2 x tirkah = ................

a.m =2

2. Ahli waris teridiri dari:


` Isteri = 1/4 = 3; Isteri = 3/11 x tirkah = ................
3 sdri.kd. = 2/3 = 8;3 sdri.kd. = 8/11 x tirkah = ...............

a.m = 12 = 11

3. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/4 = 1; Isteri = 1/4 x tirkah = ..............
Sdra.kd = abg = 3; Sdra.kd. = 3/4 x tirkah = .............
Sdri.kd = abg = 3; Sdri.kd. = 3/4 x tirkah = .............

a.m =4

4. Ahli waris terdiri dari:


Suami = 1/4 = 3; Suami = 3/12 x tirkah = ..............
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/12 x tirkah = ..............
Anak pr. = 1/2 = 6; Anak pr. = 6/12 x tirkah = ..............
Sdri.kd = amg= 1; Sdri.kd. = 1/12 x tirkah = ..............

Paman kd. = mahjub = X

a.m = 12

5. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ..............
Ibu = 1/6 = 4; Ibu = 4/24 x tirkah = .............
Anak lk. = abn = 13; Anak pr. = 13/24 x tirkah = ............
Ayah = 1/6 = 4; Ayah = 4/24 x tirkah = ..............
Sdri.kd. = mahjub = X;

a.m = 24

c. Bagian saudara perempuan seayah


Bagian saudara perempuan seayah ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Ia memperoleh saham 1/2, bila ia sendiri dan si mati tidak
meninggalkan anak atau cucu laki/perempuan atau saudara kandung
laki/perempuan seorang/lebih atau ayah atau kakek. Dasarnya An Nisa' : 176
(lihat bagian saudara kandung point 1)
2) Jika jumlah mereka lebih dari seorang maka mereka menerima
bagian 2/3 dengan syarat-syarat seperti diatas.
3) Menerima ashabah bil ghair bila bersama saudara laki seayah
dengan syarat yang sama. Bagian laki-laki dua kali lipat.
4) Menerima ashabah ma'al ghair bila mereka bersama seorang
anak/cucu perempuan dengan syarat seperti diatas. Anak/cucu perempuan
tetap mengambil furudlnya. (lihat hadits Abdullah bin Mas'ud)
5) Saudari seayah seorang/lebih memperoleh bagian 1/6, bila bersama
dengan seorang saudari kandung dengan syarat-syarat seperti diatas.
(Takmilatus Tsulutsain)
6) Saudari seayah mahjub, bila bersama dengan seorang anak laki-laki
atau dua orang/lebih saudari kandung, atau seorang saudari kandung yang
menjadi ashabah ma'al ghair karena bersama anak/cucu perempuan, atau
saudara kandung, atau cucu laki-laki, atau ayah. Gugurnya saudara seayah bila
bersama dua orang/lebih saudari kandung itu, bila ia tiak bersama
mu'ashshibnya (saudara seayah). Jika besama saudara seayah, maka mereka
semua akan menerima ashabah bil ghair.
7) Seperti halnya saudari kandung maka jika saudari seayah mewaris
bersama kakek, ulama berbeda pendapat 6).

Hajib dan Mahjub


Jika saudari seayah menerima pusaka, maka tidak ada ahlil waris yang
dihijabnya kecuali saudari seayah mewaris bersama anak/cucu perempuan.
Kalau menerima ashabah ma'al ghair, maka dia bisa menghijab:
1. Anak laki-laki saudara kandung maupun saudara seayah
2. Paman kandung dan paman seayah beserta anak laki-laki mereka.
Sedang ahli waris yang bisa menghijab saudari seayah adalah:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Saudara kandung
5. Saudari kandung yang menjadi ashabah ma'al ghair
6. Dua orang/lebih saudari kandung bila saudari seayah tidak bersama
mua'ashshibnya.
d. Bagian saudara laki-laki seayah
Seperti halnya saudara laki kandung, saudara laki-laki seorang
saudara seayah memiliki hak mewarisi dengan jalan ushubah dengan perincian
sebagai berikut:
1) Bila almarhum tidak meninggalkan ahli waris selain saudara seayah
maka ia mendapat seluruh tirkah. Dan kalau jumlah mereka lebih dari seorang,
tirkah dibagi sama rata antar mereka.
2) Jika saudara seayah mewarisi bersama saudari seayah dan tidak ada
ahli waris lain, maka tirkah dibagi antar mereka dengan ketentuan bagian
saudara seayah dua kali bagian saudari seayah.
3) Bila almarhum meninggalkan ashhabul furudl maka mereka
menerima sisanya.

Hajib dan Mahjub


Ahli waris yang dapat menghijab hirman saudara seayah adalah:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Saudara sekandung
5. Saudari sekandung bila bersama anak perempuan atau cucu perempuan
pancar laki (amg)
adapun ahli waris yang mahjub oleh saudara laki-laki seayah ialah:
1. Anak laki-laki saudara sekandung dan anak laki-laki saudara seayah
2. Paman sekandung dan paman seayah serta anak laki-laki mereka

Contoh:
1. Ahli waris terdiri dari:
Isteri = 1/4 = 1; Isteri = 1/4 x tirkah = ..............
Sdri. seayah = 1/2 = 2; Sdri. seayah = 2/4 x tirkah = ..............
Paman kd. = abn = 1; Paman kd.i = 1/4 x tirkah = ..............

a.m =4

2. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/4 = 3; Isteri = 3/12 x tirkah = ..............
2 sdri.seayah = 2/3 = 8; 2 sdri.seayah = 2/12 x tirkah = ..............
Anak lk.sdra.kd.=abn=1; An.lk.sdra.kd.=1/12 x tirkah = ..............

a.m = 12

3. Ahli waris terdiri dari:


Anak pr. = 1/2 = 1; Anak pr. = 1/2 x tirkah = ................
Sdri.seayah = amg=1; Sdri.seayah = 1/2 x tirkah = ................
Paman kd. = mahjub = X;

a.m =2

4. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/4 = 3; Isteri = 3/12 x tirkah = ..............
Ibu = 1/6 = 2; Isteri = 2/12 x tirkah = ..............
2 sdri.kd. = 2/3 = 8; 2 sdri.kd. = 8/12 x tirkah =...............
a.m = 12
5. Ahli waris terdiri dari:
Nenek = 1/6 = 1; Nenek = 11/6 x tirkah = ..............
Cucu lk. = abn= 5; Cucu lk. = 5/6 x tirkah = ..............
Sdra.seayah = mahjub = X;

a.m =6

6.. Ahli waris terdiri dari:


Anak pr. = 1/2 = 1; Anak pr. = 1/2 x tirkah = ................
Sdri.kd. = amg= 1; Sdri.kd. = 1/2 x tirkah = ................
Sdra.seayah = mahjub = X;

a.m =2

7. Ahli waris terdiri dari:


Ibu = 1/6 = 1; Anak pr. = 1/6 x tirkah = ................
Sdra.seayah = abn= 1; Sdri.seayah = 1/2 x tirkah = ................
Paman kd. = mahjub = X;

a.m =2

e. Bagian saudara/saudari seibu


Yang dimaksud dengan saudaa/saudari seibu adalah anak-
anaknya ibu si mati yang didalam kitab Fiqh biasa disebut "Waladul Ummi".
Adapun bagian baginya, ini berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Mereka akan memperoleh bagian 1/3, jika jumlah mereka lebih dari
seorang, baik laki-laki saja atau perempuan saja atau terdiri dari laki-laki dan
perempuan (campuran) dan si mati tidak meninggalkan anak/cucu,
laki/perempuan (far'ul waris) atau ayah atau kakek. Bagian 1/3 ini dibagi sama
rata.
Dasarnya:

"..........Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka


mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu .............. (An Nisa' : 12)

2) Jika waladul ummi itu hanya seorang, baik laki/perempuan sedang si


mati tidak meninggalkan far'ul waris atau ashlu waris mudzakkar (ayah atau
kakek) maka ia memperoleh bagian 1/6.
Dalil:

"Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak


meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta". (An Nisa' : 12)
3) Jika waladul ummi lebih dari seorang mewaris bersama-sama
dengan suami, ibu, saudara laki-laki kandung maka terjadilah masalah yang
disebut Musyarakah/Musytarakah. Masalah ini akan dibahas dalam baba
tersendiri.
Hajib dan Mahjub
Jika waladul ummi menerima pusaka, maka tidak ada seorangpun ahli
waris yang terhalang/mahjub. Tetapi dia sendiri bisa terhijab oleh far'ul waris
laki/perempuan maupun ashlu waris mudzakkar.

Contoh:

1. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/4 = 3; Isteri = 1/12 x tirkah = ................
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/12 x tirkah = ................
Sdra.seibu = 1/3 = 4; Sdri.seibu = 4/12 x tirkah = ................
Sdri.seibu = 1/3 = 4; Sdri.seibu = 4/12 x tirkah = ................
Sdra.kd. = asbn=1; Sdra.kd. = 1/12 x tirkah = ................

a.m = 12

2. Ahli waris terdiri dari:


Isteri = 1/8 = 3; Isteri = 3/24 x tirkah = ................
Ibu = 1/6 = 4; Ibu = 4/24 x tirkah = ................
Anak pr. = 1/2 = 12; Anak pr. = 12/24 x tirkah = ..............
Ayah = 1/6+sisa=5;Ayah = 5/24 x tirkah = ...............
Sdra.seibu = mahjub = X

a.m = 24

3. Ahli waris terdiri dari:


Suami = 1/4 = 3; Suami = 3/13 x tirkah = ..............
Ibu = 1/6 = 2; Ibu = 2/13 x tirkah = ..............
Sdri.seibu = 1/6 = 2; Sdri.seibu = 2/13 x tirkah = ..............
Sdri.kd = 1/2 = 6; Sdri.kd = 6/13 x tirkah = ..............

a.m = 13 ('aul)

4. Ahli waris terdiri dari:


Suami = 1/4 = 3; Suami = 3/6 x tirkah = ..............
Ibu = 1/6 = 1; Ibu = 1/6 x tirkah = ..............
2 Sdra.seibu = 1/3 = 2; Musytarakah.
Sdra.kd = asbn = X

a.m =6

f. Bagian anak laki-laki saudara, paman dan anak laki-laki paman.


Dalam Fiqh Mawaris I sudah dijelaskan pengertian ashabah
binafsih beserta seluk beluknya yang pada pokoknya golongan ini terdiri dari 4
kelompok yang diutamakan satu sama lain menurut urutan berikut:
Far'ul Mayit, yakni anak laki-laki dan cucu laki-laki betapapun jauh
menurunnya
Ushulul Mayit, yakni ayah dan kakek betapapun jauhnya keatas
Al Hawasyi (kerabat menyamping) yang dekat, yakni keturunan dari
ayah si mati, misalnya saudar-saudara si mati dan anak laki-laki
betapapun rendah menurunnya.
Al Hawasyi (kerabat menyamping) yang jauh, yakni keturunan kakek
si mati betapapun tinggi mendakinya. Misalnya paman
(sekandung/seayah) si mati beserta anak laki-laki mereka betapapun
rendah menurunnya, paman ayah si mati dan anak laki-laki mereka,
paman kakek si mati dan anak laki-laki mereka.

Secara keseluruhan, 4 kelompok diatas disebut dengan "jihatul


'ushubah binnafsi", dengan perincian kelompok pertama disebut "jihat
bunuwwah", kelompok kedua disebut "jihat ubuwwah", yang ketiga disebut
"jihat ukhuwwah" sedang yang terakhir disebut "jihat 'ummah".
Berdasarkan ketentuan yang berlaku terhadap pembagian secara
'ushubah ini, maka kelompok yang berjihat nubuwwah harus didahulukan
daripada kelompok yang berjihat ubuwwah. Tetapi pengutamaan ini hanya
terjadi dari segi 'ushubah. Oleh akrena itu, bila si ayah atau kakek mewarisi
bersama far'ul waris yang laki-laki maka ayah atau kakek tersebut tetap
menerima bagian secara fardl. Kemudian yang berjihat ubuwwah harus
didahulukan daripada yang berjihat ukhuwwah. Tetapi hal ini tidak mutlak,
sebab jika yang berjihat ubuwwah itu kakek, maka akan terjadi pembagian
Muqasamah seperti yang akan dibicarakan dalam bab tersendiri nanti.
Demikian pula, ashabah yang berjihat ukhuwwah didahulukan dari yang
berjihat 'ummah.
Cara pembagian tirkah kepada para ahli waris ashabah berdasarkan
ketentuan tersebut, dinamakan "Tarjih bil jihat".
Jika para ahli waris ashabahitu mempunyai jihat yang sama, maka
hendaklah didahulukan mereka yang terdekat derajatnya dengan mayyit.
Misalnya anak laki-laki (derajat satu) harus didahulukan dari cucu laki-laki
(derajat dua); ayah (derajat satu) didahulukan dari kakek (derajat dua);saudara
laki-laki (derajat dua) didahulukan dari anak laki-laki saudara (derajat tiga);
demikian pula paman (derajat tiga) didahulukan dari anak laki-laki paman
(derajat empat).
Cara membagikan tirkah berdasarkan jauh dekatnya derajat mereka
kepada mayit dinamakan "Tarjih biddarajah",
Bila diantara para ahli waris ashabah itu mempunyai jihat dan derajat
yang sama, maka mereka yang lebih kuat kekerabatannya harus didahulukan
daripada yang lain. Misalnya, saudara kandung harus didahulukan dari saudara
seayah, demikian pula anak laki-laki mereka.
Mendahulukan para ashabah yang lebih kuat kekerabatannya dalam
Fiqh Mawaris dikenal dengan istrilah "Tarjih bi quwwatil qarabah"
Dan jika jihat, derajat maupun kekerabatan antar mereka sama, maka
mereka menerima bersama tanpa adanya pengutamaan atau tarjih diantara
mereka.
Dengan memperhatikan beberapa ketentuan tersebut diatas, maka
berikut ini akan dijelaskan bagian-bagian mereka.

1. Bagian anak laki-laki saudara kandung


Bagian anak laki-laki saudara kandung atau keponakan laki
kandung ini adalah ashabah binafsih. Tetapi ia akan mahjub bila mayit
meninggalkan ahli waris berikut:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki pancar laki-laki
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki kandung
f. Saudara laki seayah
g. Saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah yang
menerima ashabah ma'al ghair karena bersama anak perempuan atau cucu
perempuan pancar laki-laki.
Jika anak laki-laki saudara kandung ini menerima waris,
maka ia mampu menghijab ahli waris berikut:
a. Anak laki-laki saudara seayah
b. Paman sekandung dan paman seayah
c. Anak laki-laki paman kandung dan paman seayah

2. Bagian anak laki-laki saudara seayah


Seperti halnya anak laki-laki saudara kandung, bagian
dari anak laki saudara seayah ini juga ashabah binafsih. Sedang ahli waris
yang bisa menghijabnya adalah:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki pancar laki-laki
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki kandung
f. Saudara laki seayah
g. Saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah yang
menerima ashabah ma'al ghair karena bersama anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki.
h. Anak laki-laki saudara sekandung
Sementara itu, ia sendiri mampu menghijab ahli waris
berikut:
a. Paman kandung dan paman seayah
b. Anak laki-laki paman kandung dan paman seayah

3. Bagian paman kandung


Bagian paman kandung ini adalah ashabah binafsih, hanya saja
ia terhijab oleh:

a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki pancar laki-laki
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki kandung
f. Saudara laki seayah
g. Saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah yang
menerima ashabah ma'al ghair karena bersama anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki.
h. Anak laki-laki saudara sekandung
i. Anak laki-laki saudara seayah
Sedang ahli waris yang mahjub karena adanya paman kandung
ini adalah:
a. Paman seayah
b. Anak laki-laki paman kandung dan paman seayah.
4. Bagian paman seayah
Paman seayah ini juga menerima ashabah binafsih, tapi ia
sendiri terhalang oleh:
a. Paman kandung
b. Semua ahli waris yang menghijab paman kandung (lihat nomor 3a
sampai 3i).
Dan bila paman seayah menerima warisan ahli waris yang
mahjub adalah:
a. Anak laki-laki paman kandung, dan
b. Anak laki-laki paman seayah

5. Bagian anak laki-laki paman kandung


Bagiannya adalah ashabah binafsih dan ia hanya dapat
menghijab seorang ahli waris yaitu : Anak laki-laki paman seayah.
Sedang ahli waris yang menghijab anak laki-laki paman
kandung ini adalah:
a. Paman seayah
b. Semua ahli waris yang bisa menghijab paman seayah.

6. Bagian anak laki-laki paman seayah


Sebagaimana anak laki-laki paman kandung, anak laki-laki
paman seayah ini juga menerima bagian ashabah binafsih, tetapi ia sama sekali
tidak bisa menghijab seorangpun diantara para ahli waris.
Sementara itu, ia sendiri terhijab oleh:
a. Anak laki-laki paman kandung, dan
b. Semua ahli waris yang bisa menghijab anak laki-laki paman
kandung.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH-MASALAH SPESIFIK

A. Masalah Gharrawain
Masalah Gharrawain/Gharrawiyah disebut juga masalah Umariyatain adalah
masalah yang terjadi jika ahli waris terdiri dari: Suami, Ibu dan Ayah atau
Isteri, Ibu dan Ayah.
Pokok perbedaan fuqaha dalam masalah ini adalah bagian ibu, yaitu
apakah ibu mendapat bagian 1/3 pusaka atau mendapat bagian 1/3 sisa pusaka.
Umar ibn Khattab ra, Utsman, Zaid ibn Tsabit, Ibn Mas'ud, Ahlur Ra'yi
serta fuqaha' lain seperti Al Hasan, Ats Tsauri, Imam Malik dan Sa Syafi'i,
berpendapat bahwa ibu mendapat bagian 1/3 sisa pusaka.

Contoh:
1. Suami = 1/2 =3
Ibu = 1/3 sisa =1
Ayah = ashabah =2

a.m =6

2. Isteri = 1/4 =3
Ibu = 1/3 sisa =3
Ayah = ashabah =6

a.m = 12

Pendapat mereka ini berdasarkan firman Allah swt. dalam surat An


Nisa' : 11.

".............jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia


diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga..........".(An
Nisa' : 11)

Rangkaian kalimat dalam ayat tersebut maksudnya 1/3 harta


peninggalan yang diwarisi oleh kedua orang tuanya. Kalau tidak diartikan
demikian, maka kalimat dalam ayat yang sama, kehilangan maknanya. Ketika
Allah menerangkan bahwa jika yang mewarisi mayit itu hanya kedua orang
tuanya saja, maka pada saat yang sama Allah menjelaskan sekali bagian ibu
adalah 1/3; artinya 1/3 dari seluruh pusaka yang diwarisi oleh ibu bapak
tersebut. Sebab, bila ibu bapak bersama-sama dengan salah seorang
suami/isteri maka bukan seluruh pusaka yang diwarisi, melainkan sisa pusaka
setelah sebelumnya diberikan kepada salah seorang dari suami atau isteri.
dengan demikian, ibu hanya memperoleh 1/3 sisa pusaka. Disamping itu,
ketentuan Ilmu Faraidl menyatakan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian
perempuan, kecuali pusaka bagi Waladul Ummi. (lihat Hasanain Moh.
Mahkluf, hal 46-48).
Tetapi Ibn Abbas ra. yang pendapatnya kemudian diikuti fuqaha' Syi'ah
Imamiyah da Fuqaha' Dhahiriyah berpendapat, bahwa ibu tetap memperoleh
bagian 2/3 dari seluruh pusaka.
Contoh:
1. Suami = 1/2 =3
Ibu = 2/3 =2
Ayah = ashabah =1

a.m =6

2. Isteri = 1/4 =3
Ibu = 2/3 =4
Ayah = ashabah =5

a.m = 12

Alasan yang dikemukakan Ibn Abbas ra. antara lain adalah:


- Kalimat dalam An Nisa' : 11 itu maksudnya dari seluruh pusaka,
sebab kalimat tersebut di-athafkan kepada kalimat, sebagaimana halnya
kalimat yang diathafkan kepadanya. Dengan demikian lengkapnya
kalimat tersebut berbunyi:

- Seluruh furudlul muqaddarah dalam Al Qur-an yakni 1/2, 1/3, 1/4,


1/6, 1/8 dan 2/3 selalu disandarkan kepada pokok harta yang dibagi.

- Ibu termasuk ahli waris ashhabul furudl, sedang ayah termasuk


ashabah. Oleh karena itu, ia harus diberi fardl/bagian secara sempurna, baru
sisanya diberikan kepada ayah, sesuai hadits Nabi saw:

"Berikanlah bagian-bagian harta peninggalanmu kepada orang-orang


yang berhak. Kemudian sisanya adalah untuk orang laki-laki terdekat". (HR.
Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas).
Sementara itu, Ibn Sirrin dan Abu Tsaur berpendapat bahwa dalam hal
ahli waris terdiri dari suami, ibu dan ayah, maka ibu mendapat 1/3 sisa pusaka.
Sedang dalam hal ahli waris terdiri dari isteri, ibu dan ayah maka ibu
mendapat 1/3 dari seluruh pusaka.
Menurut penelitian Ali as Shabuny, pendapat Umar dan Zaid bin
Tsabit itu lebih shahih dan oleh karena itu lebih banyak diikuti oleh para
ulama'.(lihat Ali as Shabuny, hal.59)
Dua masalah tersebut oleh fuqaha' disebut gharrawain (bentuk
tatsiniyah) lewat lafadh "Gharra" yang berarti bintang yang cemerlang, karena
kemasyhuran dua masalah ini bagaikan dua bintang yang cemerlang.
Disebut Umariyatain, karena Umar-lah yang pertama kali merumuskan kedua
masalah tersebut. Tetapi kadang-kadang juga disebut Gharibatain, karena dua
maslah itu tidak ada yang menandinginya. (Syihabuddin Ar Ramly Juz VI, hal.
19)

B. Masalah Radd.
Menurut bahasa Radd berarti: atau
yang artinya "kembali", sebagaimana firman Allah:

"Lalu keduanya kembali. mengikuti jejak mereka semula". (Al-


Kahfi:64)
Menurut istilah Faradliyyun, Radd adalah:
"Penambahan pada jatah-jatah penerimaan ahli waris dan pengurangan
pada saham-sahamnya". (Hasanain Moh Makhluf, hal 122).
Dengan perkataan lain, masalah radd ni terjadi jika jumlah saham para ahli
waris lebih kecil daripada asal masalah, sehingga akan terdapat sejumlah
sisa/kelebihan harta pusaka.
Dalam ilmu faraidl, sisa lebih tersebut harus dibagikan lagi kepada
para ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan perbandingan besar
kecilnya saham masing-masing dengan telah memperhatikan siapa diantara
para ahli waris itu yang tidak berhak menerima tambahan dari sisa tersebut.

Syarat-syarat Radd

Masalah radd ini hanya akan terjadi, bila telah terpenuhi 3 macam
syarat berikut:
1. Adanya ahli waris ashhabul furudl;
2. Adanya kelebihan saham;
3. Tidak ada ahli waris ashabah.
Ketiga syarat tersebut harus ada, sebab salah satu saja tidak ada maka
tidak akan terjadi masalah radd. Namun demikian, para fuqaha' berbeda
pendapat tentang eksistensi radd tersebut.
Zaid Ibn Tsabit mengingkari adanya radd bagi Ashhabul Furudl setelah
mereka msing-masing menerima bagian-bagiannya. Bila terjadi radd dan tidak
ada ahli waris ashabah maka sisa harta itu diserahkan ke Baitul Maal. 'Urwah,
Az Zuhri, Malik, Syafi'i dan Ibn Hazm adalah para fuqaha' yang menyetujui
pendapat Zaid Ibn Tsabit.
Menurut fuqaha' Malikiyah, penyerahan ke Baitul Maal itu sifatnya
mutlak, artinya naik lembaga itu dikelola dengan manajemen yang rapi atau
tidak. Demikian pula pendapat As Syafi'i dan sebagian Syafi'iyah, karena
menurut mereka kepala Baitul Maal itu berfungsi sebagai pengawas dan
pelaksana kepentingan kaum muslimin. Tetapi sebagian fuqaha' yang lain
seperti Imam Ibn Saraqah, Qadli Husein dan Al Mutawally berpendapat,
bahwa bila Baitul Maal sudah tidak berfungsi sebagai sumber dana sosial
ummat Islam, maka kelebihan pusaka itu boleh diberikan kepada ashhabul
furudl sesuai dengan perbandingan saham mereka.
Jika ternyata tidak ada seorangpun ashhabul furudl maka setelah tirkah itu
diberikan kepada salah seorang dari suami atau isteri, sisanya diberikan
kepada Dzawil Arham. Dan diriwayatkan dari Syafi'i, bahwa beliau
menyerahkan masalah itu kepada ketetapan pemerintah. (lihat Husnain Moh.
Makhluf, hal. 123).
Zaid Ibn Tsabit beralasan bahwa Allah swt telah menjelaskan bagian
masing-masing ahli waris ashhabul furudl dengan nash-nash yang jelas. Oleh
karena itu tidak boleh ada tambahan pada bagian mereka sebab hal itu berarti
melampaui ketentuan syari'at.
Firman Allah swt. :

"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar


ketentuan-ketentuan niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
msedang ia kekal didalamnya dan baginya siksa yang menghinakan". (An
Nisa' : 14)

Kemudian sabda Rasulullah saw:

"Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada masing-masing pemegang


hak (ahli waris)". (HR.Tirmidzi)

Karena hadits itu disampaikan setelah turunnya ayat mawaris maka


dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap ahli waris tidak boleh menerima lebih
daripada yang telah ditetapkan Allah atas mereka.
Sebaliknya, jumhur shahabat, tabi'in, imam-imam madzhab serta
syi'ah zaidiyah dan imamiyah, menyetujui adanya radd. Hanya mereka
berbeda pendapat mengenai siapa diantara ashhabul furudl yang tidak boleh
menerima tambahan sisa tersebut.
Jumhur shahabatm fuqaha', tabi'in, imam-imam madzhab, fuqaha'
syi'ah imamiyah dan zaidiyah serta fuqaha' muta'akhirin berpendapat bahwa
radd itu untuk seluruh ashhabul furudl selain suami dan isteri.
Dasarnya:

"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih


berhak terhadap sesamanya didalam kitab Allah". (Al Anfal : 75).

Hak pusaka suami dan isteri itu bukan karena pertalian darah, melainkan
karena sebab perkawinan. Oleh karena itu keduanya tidak berhak menerima
tambahan.
Utsman ra. berpendapat bahwa radd itu boleh diberikan kepada seluruh
ahli waris ashhabul furudl termasuk suami dan isteri dengan alasan jika terjadi
'Aul maka saham suami atau isteri juga krena pengurangan sesuai dnegan
perbandingan saham mereka.
Menurut Ibn Mas'ud, radd itu bisa diberikan kepada seluruh ahli waris,
kecuali: suami, isteri, cucu perempuan pancar laki saat bersama anak
perempuan, saudara perempuan sebapak saat bersama saudara perempuan
sekandung, saudara/saudari seibu bila bersama ibu dan nenek bila bersama
ashhabul furudl siapa saja.
Dalam salah satu pendapatnya Ibn Abbas ra, mengatakan bahwa radd
itu untuk semua ashhabul furudl kecuali suami, isteri dan nenek.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan perbedaan tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa yang berhak menerima radd itu ada 8 (delapan)
orang, yaitu:
1. Anak perempuan;
2. Cucu perempuan;
3. Saudara perempuan kandung;
4. Saudara perempuan sebapak;
5. Ibu;
6. Nenek shahiha;
7. Saudara laki seibu;
8. Saudara perempuan seibu.
Adapun yang tidak berhak menerima radd ada 2 orang, yaitu suami dan
isteri, karena kekerabatan keduanya bukan kekerabatan nasabiyah, melainkan
kekerabatan sababiyah. (lihat Ali Ash Shabuny, hal 124-125 dan bandingkan
dengan Fathurrahman, hal 429).
Untuk menyelesaikan kasus yang mengandung masalah radd, terlebih
dahulu harus diperhatikan apakah dalam kasus tersebut terdapat ahli waris
yang ditolak menerima sisa atau tidak. Jika ternyata tidak terdapat seorangpun
yang ditolak menerimanya, maka penyelesaiannya bisa ditempuh dengan cara-
cara sebagai berikut:

Cara pertama : Saham para ahli waris dijumlahkan dan dijadikan asal maslah
baru yakni asal masalah lama ditashihkan dengan
menguranginya sehingga sesuai dengan jumlah
saham ahli waris.
Contoh : Ahli waris terdiri dari ibu, saduari kandung dan saudari
sebapak dan tirkah
mayit sebesar Rp. 600.000,-
Ibu = 1/6 = 1
Sdri.kd.= 1/2 = 3
Sdri.sbp = 1/6 = 1

a.m = 6 = 5 (am baru)

Jadi:
Ibu = 1/5 x 600.000,- = Rp. 200.000,-
Sdri.kd = 3/5 x 600.000,- = Rp. 360.000,-
Sdri.sbp=1/5 x 600.000,- = Rp. 120.000,-

Cara kedua : Setelah bagian masing-masing diberikan, sisanya dibagikan lagi


pada mereka menurut perbandingan sahamnya.

Ibu = 1/6 x 600.000,- = Rp. 100.000,-


Sdri.kd.= 1/2 x 600.000,- = Rp. 300.000,-
Sdri.sbp = 1/6 x Rp. 600.000 = Rp. 100.000,-

Sisa lebih yang akan diradd-kan = Rp. 600.000 - Rp. 500.000 = Rp


100.000,-
Perbandingan saham ahli waris = 1/6:1/2:1/6 = 1:3:1.
Jumlah = 1+3+1 = Rp. 100.000,-
Tambahan bagi :
Ibu = 1/5 x 100.000 = Rp.20.000,-
Sdri kd. = 3/5 x 100.000 = Rp. 60.000,-
Sdri.sbp = 1/5 x 100.000 = Rp. 20.000,-

Jadi bagian masing-masing setelah ditashihkan adalah


Ibu = 100.000 + 20.000 = Rp. 120.000,-
Sdri kd. = 300.000 + 60.000 = Rp. 360.000,-
Sdri. sbp = 100.000 + 20.000 = Rp. 120.000,-

Cara ketiga : Jumlah perbandingan saham mereka digunakan untuk membagi


seluruh harta, sehingga dapat diketahui nilai satuan angka
perbandingan.
Setelah itu, baru ditentukan jumlah penerimaan masing-masing
Ibu = 1/6 = 1
Sdri.kd.= 1/2 = 3
Sdri.sbp = 1/6 = 1
Perbandingan saham mereka = 1/6:1/2:1/6 = 1:3:1
Jumlahya = 1 + 3 + 1 = 5 = Rp. 600.000,-
Jadi penerimaan masing-masing adalah:
Ibu = 1/5 x 600.000 = Rp.120.000,-
Sdri kd. = 3/5 x 600.000 = Rp. 360.000,-
Sdri.sbp = 1/5 x 600.000 = Rp. 120.000,-

Tetapi jika diantara ahli waris ada yang ditolak menerima radd,
misalnya suami atau isteri, maka untuk penyelesaiannya bisa ditempuh cara
berikut:
Cara pertama:
Bagian ahli waris yang ditolak menerima radd diberikan terlebih
dahulu, baru sisanya diberikan kepada orang lain yang tidak ditolak.
Contoh: Ahli waris terdiri dari dari isteri, nenek dan 2 orang saudara
perempuan seibu. Dalam kasus ini isteri merupakan ahli waris yang tidak
berhak menerima radd. Tirkah yang ditinggalkan mayit sebesar Rp. 480.000,-
Isteri =¼=3
Nenek = 1/6 = 2
2 sdri.seibu. = 1/3 = 4
a.m = 12 = 2 (a.m baru dalam radd)

Isteri = 3/12 x 480.000 = Rp. 120.000,-


Sisa tirkah = Rp. 480.000 – Rp. 120.000 = Rp. 360.000,-

Bagian orang yang tida kditolak menerima radd:


Nenek = 1/6 = 1
2 sdri.seibu = 1/3 = 2
a.m = 6 (baru) = 3 (a.m baru dalam radd\)
Nenek = 1/3 x 360.000 = Rp.120.000,-
2 sdri.seibu = 2/3 x 360.000 = Rp. 240.000,-

Penyelesaian lai dari cara yang pertama ini bisa juga dilakukan dengan jalan
berikut:
- Isteri mendapat bagian ¼, nerarti 1 bagian dari 4 bagian. Sisanya ada 3
bagian. Sisanya sebanyak 3 bagian inilah yang akan dibagikan kepada
nenek dan 2 saudari seibu berdasarkan perbandingan saham mereka. Lebih
lanjut kasus itu bisa dijelaskan sebagai berikut: Isteri mendapat 1,
sisa=………..
Nenek = 1/6 = 1
2 sdri.seibu = 1/3 = 2
a.m =6=3
Isteri = 1 x 3 ( am. Nenek dan 2 sdri.seibu) =3
Nenek = 1 x 3 (sisa) =3
2 sdri.seibu = 2 x 3 (sisa) =6
a.m = 12
Jadi:
Isteri = 3/12 x 480.000 = Rp. 120.000,-
Nenek = 3/12 x 480.000 = Rp. 120.000,-
2 sdri. Seibu = 6/12 x 480.000 = Rp. 240.000,-

Cara kedua:
Bagian semua ahli waris baik yang ditolak atau tidak, diberikan dahulu,
baru sisanya dibagika kepada ahli waris yang berhak menerima radd sesuai
dengan perbandingan saham mereka. Penyelesaiaannya sebagai beerikut:
Isteri =¼=3
Nenek = 1/6 = 2
2 sdri.seibu. = 1/3 = 4
a.m = 12 = 9 (tashhih)
Isteri = 3/12 x 480.000 = Rp. 120.000,-
Nenek = 2/12 x 480.000 = Rp. 80.000,-
2 sdri. Seibu = 6/12 x 480.000 = Rp. 160.000,-
Jumlah = Rp. 360.000,-
Sisa lebih = 480.000 – 360.000 = Rp. 120.000,-
Perbandingan saham nenek dengan 2 sdri.seibu = 1/6:1/3 = 1:2
Jumlah = 1 + 2 = 3; 3 = Rp. 120.000,-
Tambahan bagi nenek = 1/3 x 120.000 = Rp. 40.000,-
Tambahan bagi 2 sdri.seibu = 2/3 x 120.000 = Rp. 80.000,-
Jadi
Nenek = 80.000 + 40.000 = Rp. 120.000
2 sdri.seibu = 160.000 + 80.000 = Rp. 240.000,-

C. Masalah ‘Aul
Menurut bahasa ‘Aul berarti : (tambahan).
Misalnya dikatakan:

“Bertambah timbangan itu, apabila salah satu daun timbangan itu bertambah
(isinya) atau yang lain"

Menurut istilah:

“Kelebihan jumlah saham-saham ahli waris dibandingkan dengan besarnya


asal masalah dan adanya penyusutan dalam kadar penerimaan mereka”. (Lihat
Hasanain Moh. Makhluf. Hal 114).

Seperti halnya masalah radd, masalah ’aul juga termasuk masalah


ijtihadiyah, karena baik dalam Al Qur-an maupun As Sunnah tidak terdapat
nash yang mengatur dan menerangkannya. Persoalan ini baru terjadi pada
masa Umar ra. Yakni keetika beliau dihadapkan pada kasus kematian
seseorang yang meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami dan 2 orang
saudara perempuan sekandung.
Menurut ketentuan faraidl, suami mendapat bagian ½ , sedang 2 orang
saudara perempuan sekandung memperoleh bagian 2/3, sehingga bila masing-
masing menerima bagiannya, maka harta pusaka yang ada tidak mencukupi,
karena ½ + 2/3 = 3/6 + 4/6 = 7/6. Jadi dengan demikian, jumlah saham ahli
waris melebihi asal msalahnya yaitu 6.
Kasus itu kemudian beliau musyawarahkan dengan para shahabat,
antara lain Zaid Ibn Tsabit dan Abbas Ibn Abd. Muthallib, seraya berkata:

“Jika aku dahulukan suami atau dua orang saudara perempuan itu, niscaya
tidak tersisa lagi hak bagi yang lain”. (Husnain Moh. Makhluf, hal 115).
Dalam musyawarah itu, Abbas Ibn Abd. Muthallib mengisyaratkan
agar masalah tersebut di’aulkan dengan berkata:
Maka Umar ra. Memutuskan masalah itu dengan cara ‘aul dan sejak itu
masalah ‘aul ini menjadi lembaga dalam pembagianharta pusaka. (Lihat
Husnain Moh. Makhluf, hal. 115 dan bandingkan dengan Ali Ash Shabuny,
hal 116-117).
Sekalipun keputusan Umar ra. Tersebut hampir menjadi ijma’
shahabat, tapi sebenarnya Ibn Abbas ra, menentang keputusan tersebut. Hal itu
terbukti sesudah Umar ra wafat, beliau dihadapkan pada kasus kematian
seseorang yang meninggalkan ahli waris terdiri dari suami, ibu dan saudara
perempuan sebapak yang masing-masing bagiannyaadalah ½, 1/3 dan ½ . Jadi
jumlah saham keseluruhan adalah 7 (dari asal masalah 6). Ibn Abbas ra tidak
meng’aulkan kasus itu seraya berkata :

“Demi Allah, andaikata didahulukan orang yang didahulukan Allah Ta’ala dan
diakhirkan orang yang diakhirkan oleh Allah Ta’ala niscaya tidak terjadi suatu
‘aul sama sekali (Lihat DR. Yusuf Musa, hal 322).
Ulama syi’ah Imamiyah dan Ja’fariyah sserta Ahludh Dhahir
mengikuti pendapat Ibn Abbas ra dengan alasan bahwa mustahil Allah
menentukan furudlul muqaddarah bagi para ahli waris, sedang harta yang
dibaginya tidak mencukupi. Oleh karena itu, agar bagian yang
seharusnyaditerima itu dipenuhi sebagaimana mestinya, maka harus ada
prioritas diantara ahli waris yang diutamakan.
Sebaliknya Jumhur shahabat, tabi’in dan Imam-imam Madzhab
mengikuti keputusan Umar ra dengan alasan:
- Nash-nash yang menerangkan hak ahli waris, tidak mengutamakan
sebagian ashhabul furudl atas sebagian yang lain. Disamping itu, juga tidak
dibedakan tirkah yang banyak atau sedikit. Oleh karena itu, mendahulukan
salah seorang ashhabul furudl, akan berakibat, mengemudiankan yang lain
dan sekaligus mengurangi haknya, disamping tindakan sepeerti itu juga
berarti membuat hukum baru. Padahal Rasulullah SAW bersabda:

“Berikanlah bagian-bagianmu yang sudah ditentukan itu kepada para


pemiliknya (HR.Mutafaq’alaih).

Untuk menyelesaikan kasus-kasu ‘aul ada beberapa cara yang biasa


ditempuh, antara lain:

Cara pertama:
Setelah diketahui saham masing-masing, hendaklah dicari asal
masalahnya dan kemudian dicari bagian masing-masing dari angka asal
masalah itu, lalu semua bagian/saham itu dijumlahkan. Kemudian asal
masalah semula ditashhihkan dengan menambah angka tertentu sehingga
besarnya sama dengan jumlah saham para ahli waris.
Asal masalah yang baru inilah yang dijadikan alat pembagi tirkah.
Contoh: Ahli waris terdiri dari seorang suami dan 2 orang saudara
perempuan kandung. Tirkah sebesar Rp. 42 juta.
Suami =½ =2
2 sdri.kd. = 2/3 = 4
a.m = 6 = 7 (tashhih)
Suami = 3/7 x Rp. 42.000.000 = Rp. 18.000.000,-
2 sdri.kd. = 4/7 x Rp. 42.000.000 = Rp. 24.000.000,-

Cara kedua:
Jumlah sisa kurang dari harta pusaka yang terbagi ditanggung oleh
semua ashabul furudl secara seimbang dengan jalan mengurangi penerimaan
masing-masing sesuai dengan perbandingan besar kecilnya saham mereka.
Untuk itu perlu ditempuh beberapa tahap berikut:
1. Bagian masing-masing ahli waris diperhitungkan berdasarkan asal masalah
yang ada.
Suami =½=3
2 sdri.kd. = 1/3 = 4
a.m = 6 = 7 (‘aul)
Suami = 3/6 x 42.000.000 = Rp. 21.000.000,-
2 sdri.kd. = 4/6 x 42.000.000 = Rp. 28.000.000,-
Jumlah = Rp. 49.000.000,-
2. Mencari sisa kekurangan tirkah, yaitu: 49.000.000 – 42.000.000 = Rp.
7.000.000,-
3. Memperbandingkan saham-saham ahli waris dan menjumlahkannya karena
sisa kekurangan ini harus dipotongkan dari penerimaan mereka.
Perbandingan saham mereka adalah:
½ : 2/3 = 3:4. Jumlahnya 3 + 4 = 7
7 = Rp. 7.000.000,- (nilai jumlah perbandingan saham sama dengan sisa
kekurangannya.
4. Menentukan potongan bagi masing-masing ahli waris sesuai dengan
perbandingan mereka. Potongan bagi suami = 3/7 x 7 juta = Rp.
3.000.000,-
Potongan 2 sdri.kd. = 4/7 x 7 juta = Rp. 4.000.000,-
5. Menentukan bagian akhir.
Suami = 21.000.000 - 3.000.000 = Rp.18.000.000,-
2 sdri.kd. = 28.000.000 – 4.000.000 = Rp 24.000.000,-

Masalah ‘aul ini terjadi hanya pada 3 asal masalah, yaitu asal masalah
6, 12 dan 24. Asal masalah 6 bisa ‘aul 4 kali, yaitu ‘aul ke angka 7,8,9 dan 10.
Asal masalah 12 bisa ‘aul 3 kali, yaitu ‘aul ke angka 13, 15 dan 17.
Asal masalah 24 bisa ‘aul sekali, yaitu ‘aul ke angka 27.

D. Pembahasan tentang Muqasamah.


Jika kakek mewaris bersama saudara/saudairi seibu (waladul ummi)
baik laki-laki maupun perempuan saja atau campuran keduanya; maka kakek
bisa menghijab mereka sebagaimana ayah menghijab mereka. Ketentuan ini
sudah idsepakati oleh para ulama. Tetapi jika kakek mewaris bersama
saudara/saudari sekandung atau sebapak, para ulama berbeda pendapat karena
tidak ada nash al-Qur-an maupun as Sunnah yang menjelaskna persoalan ini.
Masalah ini dikalangan faradliyyin dikenal dengan masalah Muqasamah.
Abu Bakar, Ibn Abbas, Ibn Umar dan segolongan yang lain dari
kalangan shahabat, tabi’in dan Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa, kakek
menghijab saudara/saudari sekandung atau sebapak, sebagaimana ayah
menghijab mereka. Alasan mereka antara lain:
1. 1. Lafadh itu mutlak, baik sekandung, seayah
maupun seibu, laki/perempuan. Jika ayah bisa menghijab mereka maka
kakek mempunyai kemampuan yang dan kedudukan yang sama dengan
ayah pada saat tidak ada ayah dalam segala hal, seperti yang
diisyaratkan dalam ayat-ayat mawaris. (Ali Ash Shabuny, hal. 97)
1. 2. Kaidah penerimaan ‘Ushubah menjelaskan bahwa ashabah jurusan
anak ( ) didahulukan dari ashabah jurusan bapak (
). Ashabah jurusan bapak didahulukan dari ashabah jurusan
saudara. Sedang ashabah dari jurusan saudara didahulukan dari ashabah
jurusan paman ( ). Oleh karena itu, jika anak laki-
laki mewaris bersama ayah, maka anak laki-laki yang menajadi
ashabah. Jika saudara laki-laki mewaris bersama-sama paman, maka
saudara laki-laki yang akan mengambil ashabah.
Begitu pula, bila ashabah jurusan ubuwwah (ayah, kakek dan seterusnya
keatas) mewarisi bersama-sama saudara (ukhuwwah) maka pihak
jurusan ubuwwah yang akan menjadi ashabah. Dengan demikian, maka
kakek menghijab saudara-saudara secara mutlak, seperti halnya bila
mereka bersama ayah. ( Ali Ash shabuny, hal. 97).
4. Ibn Qudamah mengatakan bahwa kekerabatan kakek itu karena sebab
kelahiran dan bagiannya sama seperti ayah. Oleh karena itu, dia tidak
mahjub kecuali ayah. Berbeda dengan kedudukan saudara-saudara yang
bisa dihijab oleh ayah, anak laki-laki dan cucu laki-laki. Dengan
demikian maka saudara-saudara terhijab oleh kakek pada saat tidak ada
ayah. (Hasanain Moh. Makhluf, hal.83).
Sebaliknya besar sahabat dan yang paling masyhur diantaranya adalah
Ali Ibn Thalib, Zaid Ibn Haritsah, Ibn Mas’ud, Umar dan Utsman berpendapat,
bahwa saudara/saudari sekandung atau sebapak tetap mewaris bila bersama
kakek dengan alasan :
1. Kakek itu hanya menempati posisi ayah ketika ia mewaris bersama anak
keturunan si mati dan begitu pula ia memiliki kemampuan yang sama
dengan ayah dalam menghijab saudara/saudari seibu si mati. Tetapi dalam
hal menghijab saudara/saudari sekandung atau seayah, maka kakek tidak
menempati kedudukan ayah.
2. Kakek itu mempunyai derajat yang sama dengan saudara/saudari
sekandung atau sebapak dari segi hubungannya dengan mayit. Kalau kakek
dihubungkan nasabnya melalui ayah, begitu pula halnya saudara/saudari
sekandung atau sebapak. Jika kakek merupakan asal daripada ayah, maka
saudara/saudari sekandung atau sebapakpun merupakan keturunan dari
ayah. Oleh karena itu, tidak logis jika kita memberikan warisan kepada
salah satu pihak dengan meninggalkan yang lain.
3. Saudara/saudari sekandung atau sebapak itu lebih membutuhkan harta
warisan itu daripada kakek, karena biasanya kakek itu sudah berusia lanjut
dan lemah. Bila kakek mewarisi seluruh harta warisan dan kemudian ia
mati, maka harta itu akan jatuh kepada anak-anaknya kakek yaitu paman
atau bibi dari saudara/saudari sekandung atau sebapak. (Ali Ash Shabuny,
hal. 97 – 98).
Pendapat yang terakhir ini didikuti oleh imam Malik, As Syafi’I,
Ahmad Ibn Hambal, Abu Yusuf serta Muhamad. Menurut penelitian Ali Ash
Shabuny, pendapat yang terakhir ini lebih rajin, lebih dekat pada keadilan,
lebih kuat hujjahnya dan lebih nyata kemaslahatannya.
Dalam musaqamah ini, ada dua kemungkinan yaitu :
Pertama :
Bila kakek hanya mewarisi bersama saudara/saudari sekandung atau
sebapak, maka kakek akan mendapatkan bagian yang lebih menguntungkan
diantara dua cara pembagian, yaitu :
1. Muqasamah
2. Menerima 1/3 seluruh harata.
Dengan kata lain, jika dalam kasus itu pembagian muqasamah lebih
menguntungkan kakek maka ditetapkan dengan cara muqasamah. Dan bila 1/3
bagian dari seluruh harta itu lebih menguntungkan, maka cara itulah yang
harus dilaksanakan.
Contoh : Ahli waris terdiri dari kakek dan seorang saudara dengan tirkah
sebesar Rp 60.000,-
Dengan cara muqasamah :
Kakek = muqasamah = 1 ; ½ x Rp 60.000,- = Rp 30.000,-
Saudara = muqasamah = 1 ; ½ x Rp 60.000,- = Rp 30.000,-
Dengan cara 1/3 harta :
Kakek = 1/3 =1
Saudara = ushubah = 2
a.m =3
Kakek = 1/3 x Rp 60.000,- = Rp 20.000,-
Saudara = 2/3 x Rp 60.000,- = Rp 40.000,-
Dari contoh diatas, nampak bahwa pembagian dengan cara muqasamah
lebih menguntungkan bagi kakek, sehingga cara itulah yang harus dipakai.
Contoh II : Ahli waris terdiri dari kakek dan lima saudari. Tirkah sebesar Rp
21.000,-
Dengan cara muqasamah :
Kakek = muqasamah = 5 ; 2/7 x Rp 21.000,- = Rp 6.000,-
5 Saudari = muqasamah = 5 ; 5/7 x Rp 21.000,- = Rp 15.000,-
Dengan cara 1/3 harta :
Kakek = 1/3 x Rp 21.000,- = Rp 7.000,-
5 Saudari = 2/3 x Rp 21.000,- = Rp 14.000,-
Contoh kasus diatas menunjukkan bahwa bagian kakek lebih besar,
maka kakek diberi 1/3 dari seluruh harta peninggalan.
Contoh III: Ahli waris terdiri dari kakek dan 2 (dua) saudara tirkah sebesar
Rp. 9.000,-
Dengan cara muqasamah:
Kakek = muqasamah = 1; 1/3 x 9.000,- = Rp. 3.000,-
2 Saudara = muqasamah = 1; 1/3 x 9.000,- = Rp 6.000,-
Dari contoh terakhir ini nampak bahwa bagian kakek, baik dengan cara
maqasamah maupun dengan memberikan 1/3 dari harta adalah sama. Oleh
karena itu, boleh kita mengguakan salah satu dari dua cara tersebut.
Sebagai patokan untuk mengetahui kapan cara muqasamah atau 1/3
harta itu lebih menguntungkan baginya, begitu pula kapan kedua cara tersebut
sama-sama menguntungkan baginya, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1. Muqasamah lebih menguntungkan daripada 1/3 harta, apabila :
a. kakek mewarisi bersama seorang saudari kandung atau sebapak.
b. kakek mewarisi bersama dua seorang saudari kandung atau sebapak.
c. kakek mewarisi bersama tiga orang saudari kandung atau sebapak.
d. kakek mewarisi bersama seorang saudara kandung atau sebapak
e. kakek mewarisi bersama seorang saudara kandung atau sebapak dan
seorang saudari kandung atau sebapak
2. Bagian 1/3 harta lebih menguntungkan kakek, apabila :
a. kakek mewarisi bersama tiga/lebih saudara kandung atau sebapak.
b. kakek mewarisi bersama lima/lebih saudari kandung atau sebapak.
c. kakek mewarisi bersama dua saudara dan dua saudarikandung atau
sebapak. (lihat Ali Ash Ahabuny, hal. 101-102 dan DR. Yusuf Musa,
hal. 218)

Kedua :
Bila kakek disamping bersama-sama saudara/saudari, juga ada ahli
waris ashabul furudl. Ahli waris ashabul furudl ini diberi terlebih dahulu, baru
kemudian kakek menerima bagian yang lebih menguntungkan dari tiga cara
berikut :
1. Muqasamah
2. Sepertiga sisa ashabul furudl
3. Seperenam dari seluruh harta.
Contoh I : Ahli waris terdiri dari suami, kakek dan saudara. Tirkah mayit
sebesar Rp 30.000,-
Dengan Muqasamah :
Suami = ½ =1
Kakek dan saudara = muqasamah = 1
a.m = 2
Suami = ½ x Rp 30.000,- = Rp 15.000,-
Kakek = ½ x Rp 15.000,- = Rp 7.500,-
Saudara = ½ x Rp 15.000,- = Rp 7.500,-
Dengan 1/3 sisa :
Suami = ½ =3
Kakek = 1/3 sisa = 1
Saudara = ushubah = 2
a.m =6
Suami = 3/6 x Rp. 30.000 = Rp. 15.000
Kakek = 1/6 x Rp. 30.000 = Rp. 5.000
Saudara = 2/6 x Rp. 30. 000 = Rp. 10.000
Dengan 1/6 seluruh harta
Suami = ½ = 3; 3/6 x Rp. 30.000 = Rp. 15.000
Kakek = 1/6 = 1; 1/6 x Rp. 30.000 = Rp. 5000
Saudara = Ushubah = 2; 2/6 x Rp. 30.000 = Rp. 10.000
a.m = 6

Dari ketiga cara tersebut, maka ternyata pembagian dengan cara muqasamah
merupakan cara yang paling menguntungkan bagi kakek.

Contoh II

Anda mungkin juga menyukai