Anda di halaman 1dari 35

KOSEP DASAR TEORI

1. Defenisi

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang

akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,

2007).

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang

datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik

abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2010).

2. Etiologi

Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering

terjadi pada:

a) Trauma lahir, asphyxia neonatorum

b) Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf

c) Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

d) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

e) Tumor otak

f) Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama

ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut dan

epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal.

Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan

RSE dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-

masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.


Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi

neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai

berikut:

Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12

bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila defisit neurologik

terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12

bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi

pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan

pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan

resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan

bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.

Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada

bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu

hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa

menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang

sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin

sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi

bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak

seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/ trauma serta

adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi

terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi

Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal

Cedera lahir intrakranial

Infeksi akut

Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,

hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)

Malformasi kongenital

Gangguan genetic

Anak (2- 12 th) Idiopatik

Infeksi akut

Trauma

Kejang demam

Remaja (12- 18 th) Idiopatik

Trauma

Gejala putus obat dan alcohol

Malformasi anteriovena

Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma

Alkoholisme

Tumor otak

Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak

Penyakit serebrovaskular

Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )

Alkoholisme
3. Klasifikasi

Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi

dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang

a) Klasifikasi Epilepsi Dan Sindrom Epilepsi

Berdasarkan penyebab

1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak

dengan paroksimal oksipital

2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus otak

b) Klasifikasi Tipe Kejang Epilepsi (Browne, 2010)

1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)

a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap

normal

Dengan gejala motorik:

 Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh

saja

 Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan

menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.

 Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.

 Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap

tertentu

 Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau

pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu


Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai

halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang

disertai vertigo).

 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk

jarum.

 Visual: terlihat cahaya

 Auditoris: terdengar sesuatu

 Olfaktoris: terhidu sesuatu

 Gustatoris: terkecap sesuatu

 Disertai vertigo

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,

pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)

Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

 Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata

atau bagian kalimat.

 Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah

mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak

mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.

 Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.

 Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

 Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau

lebih besar.

 Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik,

melihat suatu fenomena tertentu, dll.


c. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.

Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran

mula-mula baik kemudian baru menurun.

 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada

golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul

dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka

berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing

baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak

permulaan kesadaran.

 Hanya dengan penurunan kesadaran

 Dengan automatisme

d. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,

tonik, klonik).

Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.

Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.

Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu

berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Epilepsi kejang umum

a. Lena Atau Kejang absant (Petit mal)

Lena khas (tipical absence)

Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka

tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila
diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan

biasanya dijumpai pada anak.

 Hanya penurunan kesadaran

 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya

dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya

bilateral.

 Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher,

lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.

 Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot

ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan

menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau

mengedang.

 Dengan automatisme

 Dengan komponen autonom.

Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai:

 Gangguan tonus yang lebih jelas.

 Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Grand Mal

1. Kejang mioklonik

Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar,

dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau

berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur

2. Kejang klonik
ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan

tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali

pada anak.

3. Kejang tonik

Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya

menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan

ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.

4. Kejang tonik- klonik

Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal

dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-

tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan,

otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½

menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya

berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila

pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa

karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat

serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat

pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi

sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

5. Kejang atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas

sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun

sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak


6. Epilepsi kejang tak tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola

mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau

pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

4. Patofisiologi

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus

merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta

neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik

saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat

yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter

eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif

terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan

oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini

aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya

dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami

muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang

mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang

lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang

mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti

pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang

lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai

penurunan kesadaran.

Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga

sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx ke

intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah

keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron

sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan

peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter

inhibitorik.

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah

fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.

Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi

di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,

sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat

membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk

yang berikut :

a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan

apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.

c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam

repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-

aminobutirat (GABA).

d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,

yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi

neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan

neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang

sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat

hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis


meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi

1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan

glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan

setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya

cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang

diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.


Pathway
Trauma lahir, cedera kepala,
demam, gangguan metabolik,
Faktor idiopatik tumor otak

Kerusakan neuron

stabilisasi membran sinaps Ketidak seimbangan neurotransmiter

Invlux Na ke intraseluler depolarisasi Asetilkolin GABA zat inhibitif


(zat eksitatif) )

Na dlm intra sel berlebihan


G3 polarisasi (hypo/hiper
polarisasi) Kerusakan berfikir
Ketidk seimbangan ion Na & Ka

G3 presesi
Ketidak sambungan lektrolit sensori
Isolasi
sosial
G3b depolarisasi (ke listrikan saraf) KEJANG

Parsial Umum

sederhana komplex

absen mioklonik Tonik klonik atonik

kesadaran G3 peredaran darah Aktifitas otot

Reflek menelan Pen CO metabolisme


Resti injuri

Akumulasi mucus Permeabilitas


kapiler Keb O2 suhu tubuh/
hipertermi

G3 bersihan jalan asfiksia


nafas inefektif

Lidah melemah, dan Kerusakan


Gangguan perfusi G3 nervus V, IX, X
menutup saluran trakea neuron otak
jaringan

4. Manifestasi Klinik

a.  Kehilangan kesadaran

b. Aktivitas motorik

1) Tonik klonik

2)  Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau

3)  Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot

4) Kedipan kelopak mata

5) Sentakan wajah

6) Bibir mengecap – ecap

7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi

c. Fungsi pernafasan

1) Takipnea

2) Apnea

3) Kesulitan bernafas

4) Jalan nafas tersumbat


Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan epilepsi

yang dialami pada penderitagejala yang timbul berturut-turut meliputi di saat

serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran

menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon

terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang

nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang,

sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola

mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung

berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti

dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat

sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan

muatan listrik.

5. pemeriksaan Diagnostik

a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,

fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi

simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT

scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas

tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik

yang jelas

b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan

c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

 mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah

 menilai fungsi hati dan ginjal

 menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya

infeksi).
 Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

 Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada dan dapat

berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang

 Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang

 Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas

kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan dengan

pengobatan

 Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat

 Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang teurapetik

 Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan\Foto

rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur

 DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan metabolik

7. Penatalaksanaan

a. Atasi penyebab dari kejang

b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam seseorang

 Anti konvulson

 Sedatif

 Barbiroratfenitoin (difenilhidantoin)

 karbamazepin

 fenobarbital dan asam valproik

Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan

yang dicapai, yakni:


 Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.

 Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang

normal.

 Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.

c. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang

d. Menaggulangi kejang epilepsi

1. Selama kejang

a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu

b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan

c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam

atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.

d) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk

mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.

e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara

giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien

melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan

sampai menutupi jalan pernapasannya.

f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg

biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti

perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan

mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan

aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan

anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.

g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka

berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.


2. Setelah kejang

a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.

b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan

bahwa jalan napas paten.

c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal

d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang

e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan

f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang

dan biarkan penderita beristirahat.

g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk

menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang

lembut

h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk

pemberian pengobatan oleh dokter.

8. Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan

untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan

obat antikonvulsi (konvulsi: spasma autau kekejangan kontruksi otot keras dan terlalu

banyak disebabkan oleh proses pada sistem saraf pusat, yang menimbulkan pula

kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan.

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah.

Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang

aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan

epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi)

harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera

akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan

persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia

dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti

konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana

pencegahan ini.

I. Konsep Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien

ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan

alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang

ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi?

Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?

1. Identitas

Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku

bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan

diagnosa medis.

2. Keluhan utama

Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien

sering mangalami kejang.

3. Riwayat penyakit sekarang

Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan,

mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam,
anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan.

nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.

4. Riwayat penyakit dahulu

Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan  dengan  keadaan 

penyakit  sekarang  perlu  ditanyakan.

5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.

Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.

Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh

ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm

atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak.

Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi

ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak

setelah kelahariran dan pertumbuhan dan perkembanagannya.

6. Riwayat penyakit keluarga

Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan

penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu

diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor

hereditas misalnya kembar monozigot.

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam

mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.

a) Selama serangan :

 Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.

 Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.

 Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.


 Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,

kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.

 Apakah pasien menggigit lidah.

 Apakah mulut berbuih.

 Apakah ada inkontinen urin.

 Apakah bibir atau muka berubah warna.

 Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.

 Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu

sisi atau keduanya.

b) Sesudah serangan

 Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara

 Apakah ada perubahan dalam gerakan.

 Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama

dan sesudah serangan.

 Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut

jantung.

 Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.

c) Riwayat sebelum serangan

 Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi

 Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.

 Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,

olfaktorik maupun visual.

d) Riwayat Penyakit

 Sejak kapan serangan terjadi.


 Pada usia berapa serangan pertama.

 Frekuensi serangan.

 Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang

tidur, keadaan emosional.

 Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai

dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.

 Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak

 Apakah makan obat-obat tertentu

 Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisik

1. Tingkat kesadaran pasien

2. Sirkulasi

Gejala : palpitasi.

Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.

3. Penglihatan (mata)

Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil

4. Makanan / cairan

Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.

Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi

5. Ekstremitas:

Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak

6. Integritas ego

Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.

Tanda : depresi, ansietas, marah.

7. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing.

Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.

8. Nyeri / kenyamanan

Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.

Tanda : gelisah, distraksi.

9. Pernafasan

Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.

Tanda : dispnea, apnea, batuk


Analisa Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan

DS: -- perubahan aktivitas listrik di Resiko cedera

otak

DO:

pasien kejang (kaki menendang- Keseimbangan terganggu

nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi

geligi terkunci, lidah menjulur gerakan tidak terkontrol

DS: - gangguan nervus V, IX, X Bersihan jalan napas

tidak efektif

DO: lidah melemah

apnea, cianosis

menutup saluran trakea

Adanya obstruksi

DS: Terjadi depolarisasi berlebih Gangguan persepsi

terjadi aura (mendengar bunyi yang Bangkitan listrik di bagian sensori

melengking di telinga, bau- bauan, otak serebrum

melihat sesuatu), halusinasi, perasaan

bingung, melayang2. Menyebar ke nervus- nervus

DO: Mempengaruhi aktivitas

penurunan respon terhadap stimulus, organ sensori persepsi

terjadi salah persepsi


DS: Terjadi kejang epilepsi Ansietas

klien terlihat cemas, gelisah.

Kurang pengetahuan tentang

DO: kondisi penyakit

takikardi, frekuensi napas cepat atau

tidak teratur Bingung

DS: pasien mengeluh sesak Terjadi bangkitan listrik di Ketidakefektifan pola

DO: RR meningkat dan tidak teratur, otak napas

Menyebar ke daerah medula

oblongata

Mengganggu pusat

respiratori

Mempengaruhi pola napas

b. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).

b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di

endotrakea, peningkatan sekresi saliva

c. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan


d. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit

c. Intervensi

Dx 1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan

keseimbangan).

Tujuan :

Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat

meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,

menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh

Kriteria hasil :

tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada

memar, tidak jatuh

Intervensi Rasional

Kaji :

Kaji tanda-tanda vital Untuk mengetahui tindakan keperawatan

selanjutnya.

Observasi:

Barang- barang di sekitar pasien dapat

Identivikasi factor lingkungan yangmembahayakan saat terjadi kejang

memungkinkan resiko terjadinya cedera

Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau

penyimpangan hasil yang diharapkan


Mandiri

Jauhkan benda- benda yang dapatMengurangi terjadinya cedera seperti

mengakibatkan terjadinya cedera padaakibat aktivitas kejang yang tidak

pasien saat terjadi kejang terkontrol

Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk

mencegah cidera atau jatuh

Letakkan pasien di tempat yang rendahArea yang rendah dan datar dapat

dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien

Tinggal bersama pasien dalam waktuMemberi penjagaan untuk keamanan

beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang

kembali

Menyiapkan kain lunak untuk mencegahLidah berpotensi tergigit saat kejang

terjadinya tergigitnya lidah saat terjadikarena menjulur keluar

kejang

Tanyakan pasien bila ada perasaan yangUntuk mengidentifikasi manifestasi awal

tidak biasa yang dialami beberapa saatsebelum terjadinya kejang pada pasien

sebelum kejang

Kolaborasi:

Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang

dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi

suplai oksigen ke otak

Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk

merasa ada sesuatu yang tidak nyaman,segera melakukan tindakan sebelum

atau mengalami sesuatu yang tidak biasaterjadinya kejang berkelanjutan

sebagai permulaan terjadinya kejang.

Berikan informasi pada keluarga tentangMelibatkan keluarga untuk mengurangi

tindakan yang harus dilakukan selamaresiko cedera

pasien kejang

Dx 2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di

endotrakea, peningkatan sekresi saliva

Tujuan :

jalan nafas menjadi efektif

Kriteria hasil :

nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea

Intervensi Rasional

Kaji :

Kaji tanda-tanda vital Untuk mengetahui tindakan keperawatan

selanjutnya

Observasi

Identifikasi bersihan jalan nafas Mengurangi terjadinya subatan jalan nafas


Mandiri

Anjurkan klien untuk mengosongkan mulutMenurunkan resiko aspirasi atau

dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat masuknya sesuatu benda asing ke faring.

yang lain jika fase aura terjadi dan untuk

menghindari rahang mengatup jika kejang

terjadi tanpa ditandai gejala awal.

Letakkan pasien dalam posisi miring,meningkatkan aliran (drainase) sekret,

permukaan datar mencegah lidah jatuh dan menyumbat

jalan nafas

Tanggalkan pakaian pada daerah leher /untuk memfasilitasi usaha bernafas /

dada dan abdomen ekspansi dada

Melakukan suction sesuai indikasi Mengeluarkan mukus yang berlebih, 

menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.

Kolaborasi

Berikan oksigen sesuai program terapi Membantu memenuhi kebutuhan oksigen

agar tetap adekuat, dapat menurunkan

hipoksia serebral sebagai akibat dari

sirkulasi yang menurun atau oksigen

sekunder terhadap spasme vaskuler


selama serangan kejang.

Edukasi

Anjurkan keluarga untuk memberi motivasiKeluarga sebagai orang terdekat pasien,

kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar dalam

keadaan psikologis pasien

Dx 3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit

epilepsi dalam masyarakat

Tujuan:

mengurangi rendah diri pasien

Kriteria hasil:

 adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar

 menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat

Intervensi Rasional

Kaji :

Kaji tanda-tanda sosial pasien Untuk mengetahui apakah pasien rendah

diri atau tidak


Observasi:

Memberi informasi pada perawat tentang

Identifikasi dengan pasien, factor- factor yangfactor yang menyebabkan isolasi sosial

berpengaruh pada perasaan isolasi sosialpasien

pasien

Mandiri

Memberikan dukungan psikologis danDukungan psikologis dan motivasi dapat

motivasi pada pasien membuat pasien lebih percaya diri

Kolaborasi:

Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi

perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.

Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompokMemberikan kesempatan untuk

penyokong, seperti yayasan epilepsi danmendapatkan informasi, dukungan ide-ide

sebagainya. untuk mengatasi masalah dari orang lain

yang telah mempunyai pengalaman yang

sama.

Edukasi:

Anjurkan keluarga untuk memberi motivasiKeluarga sebagai orang terdekat pasien,

kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar dalam

keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan temanMenghilangkan stigma buruk terhadap


dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidakpenderita epilepsi (bahwa penyakit

menular epilepsi dapat menular).

Dx 4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan saraf pernafasan

Tujuan :

setelah diberikan asuhan keperawatan selama … pasien tidak mengalami gangguan pola

napas kriteria hasil :

 RR dalam batas normal sesuai umur

 Nadi dalam batas normal sesuai umur

Intervensi Rasional

Kaji :

Kaji tanda-tanda vital Untuk mengetahui tindakan keperawatan

selanjutnya

Observasi :

Identifikasi pola napas Untuk mengetahui adanya tanda hipoksia

Mandiri :

Tanggalkan pakaian pada daerahMemfasilitasi usaha bernapas/ekspansi

leher/dada, abdomen dada

Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan

memfasilitasi saat melakukan penghisapan

lendir, atau memberi sokongan pernapasan

jika diperlukan

Lakukan penghisapan sesuai sesuai indikasi Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia
Kolaborasi:

Berikan tambahan O2 Dapat menurunkan hipoksia serebral

Edukasi :

Menganjurkan keluarga untuk memberiKeluarga sebagai orang terdekat pasien,

motivasi kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar dalam

keadaan psikologis pasien


Dx 5. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai penyakit

Tujuan :

Setelah dilakukan askep Selama ... masalah kurang pengetahuan mengenai

kondisi dan aturan pengobatan teratasi dengan,

kriteria hasil :

Mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsangan

yang telah diberikan, mulai merubah perilaku, mentaati peraturan obat yang

diresepkan.

INTERVENSI RASIONAL

Kaji :

Kaji pengetahuan orang tua pasien. Untuk mengetahui pengetahuan

keluarga tentang penyakit yg diderita

pasien

Observasi :

Identifikasi dengan orng tua pasien, Memberi informasi kepada perawat

factor-factor tentang pengetahuan tentang factor pengetahuan orng tua

orang tua pasien terhadap penyakit. pasien

Mandiri :

Jelaskan mengenai prognosis Memberikan kesempatan untuk

penyakit dan perlunya pengobatan mengklarifikasi kesalahan persepsi &

keadaan penyakit yang ada

Kolaborasi :

Diskusikan manfaat kesalahan umum Aktivitas yang sedang & teratur dapat

yang baik, seperti diet yang adekuat, membantu


& istirahat yang cukup menurunkan/mengendalikan faktor

presdiposisi

Edukasi :

Berikan informasi yang adekuat Pengetahuan yang diberikan mampu

tentang prognosis penyakit dan menurunkan resiko dari efek bahay

tentang interaksi obat yang potensial satu penyakit & cara menanganinya

Tekankan perlunya untuk melakukan Kebutuhan terpeutik dapat berubah

evaluasi yang teratur/melakukan sehingga mempersiapkan

pemeriksaan laboratorium sesuai kemungkinan yang akan terjadi

indikasi

d. Evaluasi

a. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar

b. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi

c. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik

diri (minder)

d. Pola napas normal, TTV dalam batas normal

e. Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang


DAFTAR PUSTAKA

Asuhan Keperawatan Epilepsi, 2008.

Brunner and Sudarth, 2010 Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Jakarta ; EGC

Doenges, marilynn E. 2010. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai