Kelompok 5 Cedera Kepala
Kelompok 5 Cedera Kepala
“CEDERA KEPALA”
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
Dewi Sumarni
Mutia Elvina
Putri Susanti
Yulia Renita
PEMBIMBINGAKADEMIK
2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, karena Alhamdulillah
dengan limpahan karunia dan nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Tidak lupa pula shalawat serta salam tercurah pada Nabi akhir zaman
Muhammad SAW, kepada para Sahabatnya, keluarga, serta sampai kepada kita
selaku umatnya. Amin.
Makalah berjudul ”cedera kepala” ini kami buat untuk memenuhi tugas
dosen mata Kuliah “sistem reproduksi ” dan semoga, selain memenuhi tugas
tersebut, kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan kami khususnya.
Kritik dan saran sangat kami harapkan dalam upaya perbaikan kami untuk
ke depannya. Karena kami menyadari banyak kesalahan yang ada dalam makalah
ini.
Kelompok 5
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis crania
serta organ didalamnya dimana kerusakan disebabkan gaya mekanik dari luar
sehingga timbul gangguan fisik dan kognitif serta berhubungan dengan atau tanpa
penurunan kesadaran.
iii
Pada kasus cedera kepala di IGD suatu rumah sakit orang yang berperan
dalam melakukan pertolongan pertama yaitu perawat. Peran perawat sangat
dominan dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala (Sekar,
2015).Kecelakaan lalu lintas ini mengakibatkan berbagai cedera, yaitu cedera
kepala, thoraks dan ektremitas.Berdasarkan data Lampiran Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor:263/Menkes/SK/II/2010 beberapa dari provinsi tercatat
prevalensi cedera kepala secara Nasional yaitu Provinsi Kepulauan Riau (18.9%),
Papua Barat (18.0%), NAD (17.9%), Papua (16.8%), Sumatra Selatan (16.7%),
Jambi (16.5%), DIYogyakarta (16.4%) dan Sulawesi Utara (16.1%). Data dari
Polda DIY bahwa jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas di wilayah DIY tahun
2012 cukup tinggi antara lain Kabupaten Sleman sebanyak 1.548, Bantul
sebanyak 1.420, Yogyakarta sebanyak 678, Gunung Kidul sebanyak 453 dan
Kulon Progo sebanyak 323 kejadian (Dinkes, 2013).
iv
mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan
cedera sekunder. Pada setiap keadaan yang tidak normal dan membahayakan
harus segera diberikan dalam tindakan resusitasi (Wahjoepramono, (2005).
v
pasien non hipoksia dengan p value <0.005. Namun dari 18.8 % pasien cedera
kepala dengan hipotensi memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan
outcome dengan p value >0.05.
Otak yang mengalami cedera lebih rentan terhadap gangguan sistemik
sekunder terutama hipoksia dan hipotensi. Gangguan sistemik sekunder tersebut
umum terjadi pada pasien cedera kepala, dan dapat memperburuk tingkat
kerusakan otak. Dari berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa gangguan
sistemik sekunder berhungan erat dengan outcome yang lebih buruk terutama bila
terdapat kombinasi dari hipoksia dan hipotensi.
Menurut Kumat (2017), didalam jurnal penelitiannya mengatakan bahwa
sebagian besar responden datang ke rumah sakit dengan keadaan hipoksia ringan–
sedang dengan SaO2 90% - < 95%. Setelah pemberian oksigenasi nasal prong
selama 30 menit berada dalam kondisi normal dengan saturasi oksigen 95% -
100%. Semakin lama pemberian oksigenasi nasal prong semakin meningkatkan
saturasi oksigen. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terapi
oksigenasi nasal prong berpengaruh terhadap perubahan saturasi oksigen pasien
cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Menurut Bidjuni (2017), didalam penelitiannya didapatkan hasil bahwa
Sebagian besar Cedera kepala pada pasien kecelakaan lalu lintas di IGD RS
Bhayangkara adalah cedera kepala ringan, Sebagian besar disorientasi pada pasien
kecelakaan lalu lintas di IGD RS Bhayangkara adalah ringan Dan Ada hubungan
antara cedera kepala dengan disorientasi pasien kecelakaan lalu lintas di IGD RS
Bhayangkara.
Menurut Zainuddin (2013) didalam penlelitiannya ada pada penderita yang
mengalami amnesia post trauma kepala lebih berat dari pada penderita yang tidak
mengalami anmnesia post trauma pada penderita cedera kepala ringan dan sedang.
Faktor kognisi yang paling banyak terganggu adalah atensi, defisit memori, dan
cepat lelah, dan pada faktor gejala somatik yaitu gejala fisik. Perlunya dilakukan
pemeriksaan fungsi neurobehavior secara rutin menggunakan NRS pada penderita
cedera kepala ringan dan sedang terutama yang mengalami amnesia post trauma.
Perlunya dilakukan penatalaksanaan yang lebih mengarah ke penanganan
gangguan neurobehavior berupa stimulasi otak pada penderita amnesia post
vi
trauma yang mengalami gangguan neurobehavior. Perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk mengetahui fungsi neurobehavior beberapa bulan pasca cedera
kepala pada penderita cedera kepala ringan-sedang yang mengalami amnesia post
trauma dan gangguan fungsi neurobehavior pada fase akut.
Menurut Chandra (2016) dalam penelitiannya menyebutkan Penggunaan
obat analgesik pada pasien cedera kepala di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado adalah obat-obat dari golongan non-opioid. Pada terapi awal, Ketorolac
(59,61%), Metamizole (28,85%), Paracetamol (3,85%), Asam Mefenamat
(1,92%), Antalgin (1,92%) dan Ketorolac + Paracetamol (3,85%). Pola
penggunaan obat analgesik berdasarkan usia anak menggunakan obat Metamizole
(54,55%) dan dewasa menggunakan obat Ketorolac (70,73%). Pola penggunaan
obat analgesik pada pasien cedera kepala, pada terapi awal diberikan secara
intravena (92,30%) maupun secara peroral (7,70%) dan pada terapi lanjutan
diberikan secara intravena (3,03%) dan peroral (96,97%).
Menurut Putri (2014) didalam penelitiannya menyebutkkan terbukti ada
hubungan antara trauma kepala ringan sampai sedang dengan vertigo. Vertigo
berasal dari bahasa latin yaitu “vertere” yang berarti berputar dan “igo” yang
berarti kondisi. Gangguan orientasi dimana seseorang merasa berputar terhadap
lingkungannya, atau lingkungan sekitar bergerak terhadap dirinya dinamakan
vertigo. Apabila perasaan seseorang berputar terhadap lingkungan sekitar, maka
dinamakan vertigo subjektif, sedangkan perasaan seolah-olah
ruangan bergerak terhadapnya disebut vertigo objektif.
Menurut Wahyudi (2015) didalam penelitiannya yang berjudul Head Up
In Management Intracranial For Head Injury mengatakan bahwa Cedera kepala
(head Injury) atau trauma atau jejas yang terjadi pada kepala bisa oleh mekanik
ataupun non-mekanik yang meliputi kulit kepala, otak ataupun tengkorak saja dan
merupakan penyakit neurologis yang paling sering terjadi, biasanya dikarenakan
oleh kecelakaan (lalu lintas). Hal tersebut bisa mengakibatkan terjadi peningkatan
intrakranial.
vii
1.2 RUMUSAN MASALAH
viii
1.4 MANFAAT PENULISAN
1.4.1 Bagi Instansi Rumah Sakit
Dapat digunakan sebagai bahan dalam meningkatkan pelayanan
kesehatan penanganan cedera kepala.
1.4.2 Bagi Ilmu Keperawatan
Dapat memberikan pengembangan ilmu pengetahuan tentang
penanganan cedera kepala dengan baik.
1.4.3 Bagi penulis
Dapat memperoleh pengetahuan tentang penanganan cedera kepala
dan mengaplikasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang telah dipelajariselama
pendidikan.
ix
BAB II
PEMBAHASAN
x
2.1.2 Tengkorak
Terdiri dari tulang-tulang yang dihubungkan satu sama lain oleh tulang
bergerigi yang disebut sutura banyaknya delapan buah dan terdiri dari tiga bagian,
yaitu :
2.1.2.1 Gubah tengkorak, terdiri dari:
- Tulang dahi (os frontal)
- Tulang ubun-ubun (os parietal)
- Tulang kepala belakang (os occipital)
2.1.2.2 Dasar tengkorak, terdiri dari :
- Tulang baji (os spheinoidale)
- Tulang tapis (os ethmoidale)
- Samping tengkorak, dibentuk dari tulang pelipis (os temporal) dan
sebagian dari tulang dahi, tulang ubun-ubun, dan tulang baji.
Fraktur tengkorak dianggap mempunyai kepentingan primer sebagai
penanda dari tempat dan keparahan cidera.
2.1.3 Meningen
xi
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu
darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan.
Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
2.1.3.1 Dura mater
Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
2.1.3.2 Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis .
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
2.1.3.3 Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
xii
2.1.4 Otak
Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, yaitu:
2.1.4.1 Cerebrum (otak besar)
Cerebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki
fungsi yang berbeda, yaitu:
1. Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat
tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
2. Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan
merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan
lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk
melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk
menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi
kemampuan penderita dalam Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau
dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.
xiii
3. Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis
akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
4. Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi
dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional.
2.1.4.3. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Bagian
ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan
penglihatan. Medula oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak,
terdapat pusat pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan,
frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk, pengatur siklus
tidur dan bersin.
midbrain
pons
medulla oblongata
xiv
2.1.5. Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma
kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus yaitu:
1. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
2. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
3. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
4. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
5. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah
cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak
besar, sarafnya yaitu:
6. Nervus oftalmikus
sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas,
selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
7. Nervus maksilaris
sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung,
ronga hidung dan sinus maksilaris.
8. Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris)
mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi
gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
9. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata
xv
10. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya
mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini
terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit
kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
11. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
12. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan
lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
13. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf
motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa
14. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf
ini terdapat di dalam sumsum penyambung.
2.2 PENGERTIAN
Cedera kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya
kekuatan fisik dari luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan
kesadaran. Akibatnya dapat menyebabkan gangguan kognitif, gangguan
tingkah laku, atau fungsi emosional. Gangguan ini dapat bersifat sementara
atau permanen, menimbulkan kecacatan baik partial atau total dan juga
gangguan psikososial. (Donna, 1999).
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), cedera kepala adalah cedera
yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak Adapun menurut Brain
Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
xvi
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.
xvii
Jangan berikan tekanan pada tulang tengkorak atau jaringan otak yang tidak
stabil jika fraktur ditemukan, sejak jaringan otak dan daerah sekitarnya
dikelilingi oleh pembuluh--pembuluh darah dapat menyebabkan cedera
lebih lanjut. Rambut disekitar laserasi kulit kepala harus dicukur dan luka
dibersihkan, didebridemen, dan diinspeksi keseluruhan areanya sebelum
ditutup.
2.3.2.2 Fraktur Tengkorak
Fraktur kalvaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka (tidak ada
hubungan otak dengan dunia luar) tidak memerlukan perhatian segera. Yang
lebih penting adalah keadaan intrakranialnya. Pada fraktur basis kranium
dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga
menimbulkan ancaman terhadap jalan nafas. Pada fraktur ini, aliran cairan
serebro spinal berhenti dalam 5-6 hari dan ada hematom kacamata yaitu
hematom sekitar orbita.
2.3.2.3 Komosio serebri (gegar otak)
Kehilangan pengetahuan sementara (kurang dari 15 menit) Sesudah
itu klien mungkin mengalami disorientasi dan bingung hanya dalam waktu
yang relatif singkat. Sakit kepala, tidak mampu untuk berkonsentrasi,
gangguan memori sementara, pusing dan peka. Beberapa klien mengalami
amnesia retrograd. Kebanyakan klien sembuh sempurna dan cepat, dan
beberapa penderita lainnya berkembang ke arah sindrom pasca gegar dan
dapat mengalami gejala lanjut selama beberapa bulan. Penderita tetap
dibawa ke RS, karena kemunkinan cedera yang lain.
2.3.2.4 Kontusio serebri
Kehilangan kesadaran lebih lama,dikenal juga dengandiffuse axonal
injury (DAI), yang mempunyai prognosis lebih buruk.
2.3.2.5 pendarahan intrakranial
dapat berupa pendarahan epidural, perdarahan subdural atau
pendarahan intrakranial. erutama pendarahan epidural dapat berbhaya
karena pendarahan berlanjut akan menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial yang semakin berat.
xviii
2.4 KLASIFIKASI
2.4.1. Berdasarkan mekanisme :
2.4.1.1 Cedera tembus (benda tajam)
Misalnya: pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan
dari fraktur tengkorak. Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh
merupakan trauma yang dapat menyebabkan cedera setempat atau
kerusakan terjadi terbatas dimana benda tersebut merobek otak.
2.4.1.2 Cedera difus (cedera tumpul)
Misalnya : terkena pukulan atau benturan. Trauma oleh benda
tumpul dapat menimbulkan kerusakan menyeluruh (difuse) karena
kekuatan benturan. Terjadi penyerapan kekuatan oleh lapisan pelindung
spt : rambut, kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat sisa energi
diteruskan ke otak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang
perjalanan pada jaringan otak sehingga dipandang lebih berat.
2.4.2. Berdasarkan berat – ringannya cedera :
2.4.2.1 Ringan
1.) GCS = 13 – 15
2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2.4.2.2 Sedang
1.) GCS = 9 – 12
2.) Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
3.) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
2.4.2.1 Berat
1.) GCS = 3 – 8
2.) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3.) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
xix
2.5 ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
xx
2.7.2 Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode
akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam
2 minggu atau beberapa bulan. Tanda dan gejala: nyeri kepala, bingung,
mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
xxi
dan gejala: nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk.
2.7 PATOFISIOLOGI
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
xxii
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang
bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang
sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak
sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tak ada pada area cedera.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra
kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya
bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang
terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume
darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002). Namun bila
trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan
xxiii
syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkanterjadinya gangguan dalam
mobilitas (Brain, 2009)
2.8 KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari
cedera kepala adalah;
2.8.1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-
110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru
berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen
akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih
lanjut.
2.8.2. Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,
dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang
mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan
komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
2.8.3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping
xxiv
tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus
memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah
cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
2.8.4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan,
diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
2.8.5. Infeksi
pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranial.
2.8.6. Disorientasi / Vertigo
Orientasi adalah proses dimana seseorang menyadari lingkungan
sekelilingnya serta menempatkan dirinya secara mental dalam hubungan
dengannya. Disorientasi adalah ketidaksanggupan seseorang untuk mengetahui
posisi dirinya dalam hubungannya dengan waktu tempat, atau benda-benda
tertentu di lingkungannya. Sebagian besar pasien kecelakaan lalu lintas
mengalami cedera kepala ringan mengalami disorientasi pada pasien
(Bidjuni,2017).
Menurut Putri (2014) didalam penelitiannya menyebutkkan terbukti ada
hubungan antara trauma kepala ringan sampai sedang dengan vertigo. Vertigo
berasal dari bahasa latin yaitu “vertere” yang berarti berputar dan “igo” yang
berarti kondisi. Gangguan orientasi dimana seseorang merasa berputar terhadap
lingkungannya, atau lingkungan sekitar bergerak terhadap dirinya dinamakan
vertigo. Apabila perasaan seseorang berputar terhadap lingkungan sekitar, maka
dinamakan vertigo subjektif, sedangkan perasaan seolah-olah ruangan bergerak
terhadapnya disebut vertigo objektif
2.8.7. Gangguan Neurobehavior
xxv
Menurut Zainuddin (2013) didalam penlelitiannya ada pada penderita yang
mengalami amnesia post trauma kepala lebih berat dari pada penderita yang
tidak mengalami anmnesia post trauma pada penderita cedera kepala ringan dan
sedang. Faktor kognisi yang paling banyak terganggu adalah atensi, defisit
memori, dan cepat lelah, dan pada faktor gejala somatik yaitu gejala fisik.
Perlunya dilakukan pemeriksaan fungsi neurobehavior secara rutin
menggunakan NRS pada penderita cedera kepala ringan dan sedang terutama
yang mengalami amnesia post trauma. Perlunya dilakukan penatalaksanaan yang
lebih mengarah ke penanganan gangguan neurobehavior berupa stimulasi otak
pada penderita amnesia post trauma yang mengalami gangguan neurobehavior.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui fungsi neurobehavior
beberapa bulan pasca cedera kepala pada penderita cedera kepala ringan-sedang
yang mengalami amnesia post trauma dan gangguan fungsi neurobehavior pada
fase akut.
xxvi
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai
defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan
luka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom
intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up
kesadaran semakin menurun atau timbul lateralisasi. Observasi
kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan
kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
1) Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
2) Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera
organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
3) Foto kepala dan bila perlu bagian tubuh lain
4) CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
5) Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh
karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
xxvii
2.9.2. Penatalaksanaan Keperawatan
2.9.2.1. Terapi Oksigenasi Nasal Prong
Pasien cedera kepala akan mengalami keadaan hipoksia ringan–sedang
dengan SaO2 90% - < 95%. Didalam penelitian Takatelide Terapi oksigenasi
nasal prong berpengaruh terhadap perubahan saturasi oksigen pasien cedera
kepala. Nasal prong adalah salah satu jenis alat yang digunakan dalam
pemberian oksigen. Alat ini adalah dua lubang “prong” pendek yang
menghantar oksigen langsung kedalam lubang hidung. Prong menempel pada
pipa yang tersambung ke sumber oksigen, humidifier, dan flow meter.
Manfaat sistem penghantaran tipe ini meliputi cara pemberian oksigen
yang nyaman dan gampang dengan konsentrasi hingga 44%. pemakaian jangka
lama, Setelah pemberian oksigenasi nasal prong selama 30 menit berada dalam
kondisi normal dengan saturasi oksigen 95% - 100%. Semakin lama pemberian
oksigenasi nasal prong semakin meningkatkan saturasi oksigen (Kumaat,2017)
2.9.2.2. Head Up In Management Intracranial
Menurut Wahyudi (2015) Dalam penelitian ini bertujuan untuk
menentukan bagaimana ketinggian kepala pada tempat tidur dari 20º dan 45º
mempengaruhi dinamika serebrovaskular pada pasien dewasa dengan
vasospasme ringan atau sedang setelah aneurisma subarachnoid hemorhage dan
untuk menggambarkan respon vasospasme ringan atau sedang kepala pada
tempat tidur elevasi 20º dan 45º terhadap variabel seperti kelas perdarahan
subarachnoid dan tingkat vasospasme .
Metode penelitiannya pasien desain diulang dengan langkah yang
digunakan. Kepala pasien dan tempat tidur diposisikan urutan 0º - 20º - 45º
pasien dengan vasospasme ringan atau sedang antara hari 3 dan 14 setelah
aneurisma subarachnoid hemorhage. Kontinyu transkranial Doppler rekaman
diperoleh selama 2 sampai 5 menit setelah membiarkan sekitar 2 menit untuk
stabilisasi dalam setiap posisi.
Hasilnya ada pola atau trend yang menunjukkan bahwa kepala pada
tempat tidur yang ditinggikan akan meningkatkan vasospasme.
xxviii
2.9.2.3. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu
bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah
leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien
dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
2.9.2.4. Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal,
bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi
muntahan
2.9.2.5. Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru,
infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi
faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
xxix
BAB III
3.1 PENGKAJIAN
Anamnesis: Identitas klien meliputi nama, umur, (kebanyakan terjadi pada
usia muda), jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan
dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku, bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor pasien dan
diagnosa medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala
disertai penurunan tingkat kesadaran.
xxx
3.1.1.2 Riwayat Kesehatan Dahulu (RKD)
Pada pengkajian riwayak kesehata klien sebelumnya biasanya
berupa Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, diabetes melitus, cidera kepala sebelumnyas, penyakit
jantung, anemia penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif konsumsi alkohol berlebihan, yang
dapat mempersulit kondisi klen dengan cedera kepala
3.1.1.3 Riwayat Kesehatan Keluarga (RKK)
Pada riwaya kesehatan keluarga klien biasanya mengkaji adanya
anggota atautgenerasi terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes mellitus, atau penyakit akut lainya yang dapat memo\persulit
kondisi klien cedera kepala.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan
dan pengobatan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Cedera kepala
memerlukan biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan
dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
memegaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga. Perawat
juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
xxxi
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup
individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua
masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis
dalam kaitannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan
yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam
sistem dukungan individu. (Menurut muttaqin 2008)
3.1.2.1.1 BI (breathing)
xxxii
yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai:
retraksi dari otot - otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen,
dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini
bisa terjadi otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding
dada. Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapat apabila melibatkan tauma pada rongga thorak.Perkusi,
adanya suara redup sampai pekak pada keadaan terkait trauma pada
thorakshematothoraks. Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti
napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret, dan kemampuan batuk yang menurun sering
didapatkan pada klien cidera kepala dengan penurunan tingkat
kesadaran koma.
Pada klien cedera otak berar dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernafasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi
klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera otak berat dengan
pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur
keperawatan kritis.
3.1.2.1.2 B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular diperoleh renjatan
(syok) ipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala
sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera
kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal
atau berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi
cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardi
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit pucat
xxxiii
menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
Hipotensi menandakan adanya perubaha perfusi jaringan dan tanda-
tanda awal dari suatu syok. Pada keadaan lain akibat dari trauma
kepala akan mempengaruhi pelepasan anti diuretik hormon (ADH)
yang berdampak pada konpensasi tubuh untuk melakukan retensi atau
pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektrolit meningkat sehingga
menimbulkan risiko terjadi ganguan keseimbangan cairan dan
elekrtolit pada sistem kardiovaskuler.
Trauma Kepala
ADH dilepas
xxxiv
3.1.2.1.3 B3 (OTAK)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis
terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intra kranial
akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural, dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (brain adalah
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada
sistem lainnya.
1. Tingkat kesadaran
xxxv
ini mengalami masalah frustrasi dalam program rehabilitasi
mereka. Masalahnya psikologis lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustrasi,
dendam, dan kurang kerja sama.
4. Hemisfer: ceder kepala hemisfer kanan didapatkan hemifarese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan memiliki kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan disfagia global, afasia, dan mudah
frustasi.
xxxvi
penyinara. Paralisi oto-oto okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria
dimana bukanya midriasis yang ditemuka,melainkan miosis
yang bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang
lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Moisis ini
disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ibsilateral yang
mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat
siliospinal menjadi tidak aktif, sehingga pupil tidak berdilatasi
melainkan berkontriksi.
4. Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan
paralisis nervus trigenimus, didapatakan penurunan
kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
5. Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6. Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera
kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang
terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis.
7. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
8. Saraf XI. Bila tidak melibatkantrauma pada leher, mobilitas
klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
9. Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
4. Sistem Motorik
1. Inspeksi umum, didapat hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi ) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
2. Tonus otot, dapatkan menurun sampai hilang.
3. kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade
kekuatan otot didapatkan grade 0.
4. Keseimbangan dan koordinasi, didapat karena gangguan karena
hemiparese dan hemiplegia.
xxxvii
5. Pemeriksaan Refleks
1. Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periosteum derajat refleks pada respon normal.
2. Refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang
lumpuh akan hilang. setelah Beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
6. Sistem Sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan
untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensorik primer di antara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasiai) sering terlihat pada kloen dengan
hemiplegia kiri.
3.1.2.1.4 B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urin mengandung warna, jumlah, dan karakteristik,
termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan bisa terjadi akibatnya menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera
kepala klien mungkin mengalami inkontinensia urin karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan,dan ketidakmampuan
untuk mengunakn urinal karena kerusakan kontrol motorik dan posturan.
Kadang-kadang kontrol spingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik siteril.
Inkontenensia urin yang berlajut menujukan kerusakan neorologis luas.
xxxviii
3.1.2.1.5 B5 (BOWEL)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi yang terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi
yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas
Trauma
Nutrisi berkurang
Hilang nitrogen
3.1.2.1.6 B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada saluran
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya
xxxix
perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstermitas, tilinga, hidung, bibir, dan membran mukosa).
Pucat pada wajh dan membran mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang mengunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Jaundice(warna kuning) pada klien yang mengunakan respirator dapat
terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari pengunaan packe
redcels (PRC) dalam jangka waktu lama. Pada klien dengan kulit gelap,
perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terliah. Warna kemerahan
pada kulit dapat menunjukan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit
untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk
beraktivitas karen kelemahan, kehilangan sensirik atau
paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat. (Menurut muttaqin 2008)
xl
8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial (Menurut
muttaqin 2008)
- TD biasanya tek.darah
meninggkat
- Suhu meningkat sistem pembuluh darah
Resiko PTIK
xli
2. DO: Pemasanagan ETT Bersihan jalan
- nafas tidak
- Biasanya klien Peningkatan produksi efektif
bernafas dengan sekret
bantuan ventilator
- Mode SIMV,pressure, Ketidakmampuan batuk
PEEP: 3 fr:20x efektif
FiO2:30 %, SPO2:97%
- Produksi sekret Retensi sekret
meningkat, warna
Bersihan jalan nafas
kekuningan, Ronkhi
tidak efektif
+/+
- TTV: ttv klien
biasanya juga
meninggkat.
DS:-
- Biasanya klien tampak
gelisah, dan kesulitan
dalam bernafas.
3. - Nyeri Kepala dalam Trauma Jaringan dan Gangguan rasa
keadaaan apapun, refleks spasme otot nyaman : nyeri
nyeri tangan kiri jika sekunder
tersentuh atau
digerakkan.
- Nyeri seperti tertusuk-
tusuk.
- Nyeri berlangsung
terus-menerus.
- Klien tampak mringis
menahan sakit.
- Klien tampak hati-
xlii
hati dalam melakukan
setiap gerakan.
- TTV: ttv klien
biasanya juga
meninggkat.
DS:
- Biasanya Klien
mengatakan pusing
dan nyeri dengan
dengan skala nyeri 8
penurunan kontrol
Perubahan kekuatan
otot
oto,tonos,dan aktifitas
DS :
refleks
- Hilang keseimbangan
- Sulit menggenggam
- Lemah
xliii
dan menelan akibat untuk mengunyah dan tubuh
fraktur menelan, status
- Penurunan kesadaran hipermetabolik
DS :
- Mual dan muntah
- Sulit
mencerna/menelan
makanan
- Letargi, gelisah,
lemah
(Menurut muttaqin 2008)
xliv
3.4 RENCANA KEPERAWATAN
Rencana Keperawatan
No DIAGNOSA
KEPERAWATAN NOC NIC
45
yang ditanai dengan: Manajemen sensasi perifer:
1. Berkomunikasi degan jelas dan sesuai - Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka
dengan kemampuan terhadap panas atau digin, tajam atau tumpul
2. Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan - Monitor adanya paretese
orientasi - Instruksikan keluarga untuk mengobservasi jika
3. Memproses informasi ada isi atau laserasi
4. Membuat keputusan dengan benar - Gunakan sarung tangan untuk proteksi
Menunjukan sensorik motorik cranial yang - Batasi gerakan pada kepala, leher dan pungung
utuh: - Monitor kemampuan BAB
1. Tingkat kesadaran membaik - Kolaborasi pemberian analgesik
2. Tidak ada gerakan infolunter - Monitor adanya tromboplebitis
46
dengan mudah, tidak ada pursed lips) - Berikan oksegen dengan mengunakan nasal untuk
2. Menunjukan jalan nafas yang paten memfasilitasi suksion nasotrakeal
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas, - Gunakan alat yang siteril setiap tindakan
frekuensi pernafasan dalam rentang - Anjurka klien istirahat dan nafas dalam setelah
normal, tidak ada suara nafas abnormal melakukan suctioning
3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah - Monitor status oksigen klien
faktor yang dapat menghambat jalan - Ajarkan keluarga bagaimana mengunakan
nafas abnormal) suctioning
Manajemen jalan napas
Aktivitas:
- Membuka jalan nafas dengan cara dagu diangkat
atau rahang ditinggikan.
- Memposisikan pasien agar mendapatkan ventilasi
yang maksimal
- Mengidentifikasi pasien berdasarkan penghirupan
nafas yang potensial pada jalan nafas.
- Penghirupan nafas melalui mulut atau
nasopharing.
- Memberikan terapi fisik pada dada.
47
- Mengeluarkan sekret dengan cara batuk atau
penyedotan.
- Mendorong pernapasan yang dalam, lambat,
bolak-balik, dan batuk.
- Menginstruksikan bagaimana batuk yang efektif.
- Mendengarkan bunyi nafas, mancatat daerah yang
mangalami penurunan atau ada tidaknya ventilasi
dan adanya bunyi tambahan.
- Melakukan penyedotan pada endotrakea atau
nasotrakea.
- Memeriksa bronchodilators dengan tepat.
- Mengajarkan pasien bagaimana penghirupan
nafas yang tepat.
- Memberikan perawatan ultrasonic.
- Memberikan oksigen yang tepat.
48
spasme otot sekunder Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama nyeri.
…. x 24 jam, klien dapat : - Observasi respon ketidaknyamanan secara verbal
1. Mengontrol nyeri, de-ngan indikator: dan non verbal.
1. Mengenal faktor-faktor penyebab - Pastikan klien menerima perawatan analgetik dg
2. Mengenal onset nyeri tepat.
3. Tindakan pertolong-an non farmakologi - Gunakan strategi komunikasi yang efektif untuk
4. Menggunakan anal-getik mengetahui respon penerimaan klien terhadap
5. Melaporkan gejala-gejala nyeri kepada nyeri.
tim kesehatan. - Evaluasi keefektifan penggunaan kontrol nyeri
6. Nyeri terkontrol - Monitoring perubahan nyeri baik aktual maupun
potensial.
2 - Sediakan lingkungan yang nyaman.
3. - Kurangi faktor-faktor yang dapat menambah
ungkapan nyeri.
- Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi sebelum
atau sesudah nyeri berlangsung.
- Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
memilih tindakan selain obat untuk meringankan
nyeri.
49
- Tingkatkan istirahat yang adekuat untuk
meringankan nyeri.
Manajemen pengobatan
- Tentukan obat yang dibutuhkan klien dan cara
mengelola sesuai dengan anjuran/ dosis.
- Monitor efek teraupetik dari pengobatan.
- Monitor tanda, gejala dan efek samping obat.
- Monitor interaksi obat.
- Ajarkan pada klien / keluarga cara mengatasi
efek samping pengobatan.
- Jelaskan manfaat pengobatan yg dapat
mempengaruhi gaya hidup klien.
50
aktifitas mencegah terjadinya cedera
3. Memverbalisasikan perasaan dalam - Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
meningkatkan kekuatan dan kekuatan - Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADL
berpindah secara mandiri sesuai kemampuan
4. Memperagakan pengunaan alat bantu - Berikan alat bantu jika klien memerlukan
untuk mobilisasi. - Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
- Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi dan cairan.
- Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat
dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman
dan bersih.
- Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan
dan keamanan ling-kungan
5. Resti perubahan nutrisi Nutrional status: food, fluid intake and Nutrition management:
kurang dari kebutuhan tubuh nutrient intake - Kaji adanya alergi makanan
b.d penurunan tingkat Weight control - Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
kesadaran, mual, muntah kriteria hasil: - Berikan kalori tentang kebutuhan nutrisi
1. adanya peningkatan BB - Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
2. BB ideal sesuai dengan TB - Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan
51
3. mampu mengidentifikasi kebutuhan vitamin C
nutrisi - Berikan subsatansi gula
4. tidak ada tanda tanda malnutrisi - Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi
5. menunjukan peningkatan fungsi serat untuk mencegah konstipasi
pengecapan dari menelan. - Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan
kebutuhan yang dibutuhkan
- Kolaborasi : kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan
Nutrion monitoring:
- Timbang berat badan pasien
- Monitor adanya penuruna berat badan pasien
- Monitor turgor kulit
- Monitor makanan kesukaan
- Monitor kalori dan intake nutrisi
- Banyak makan(sedikit, tapi sering), banyak
minum, buah
- Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama
jam makan
52
(NANDA NIC-NOC 2013)
53
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks
serebri biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku
seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas
perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan
yang terjadi.
4.2 Saran
Penanganan pada klien dengan cedera kepala sangat ditekankan agar tidak
terjadi kerusakan otak sekunder. Dalam hal ini perawat harus bertindak dengan
cepat dan tepat sesuai dengan standar asuhan keperawatan
54
DAFTAR PUSTAKA
Asuhan keperawatan berdasarkan NANDA NIC-NOC 2013: edisi revisi jilid 1 dan
2.
Chandra, Chrysario, Heedy Tjitrosantoso, and Widya Astuty Lolo. 2016. “Studi
Penggunaan Obat Analgesik Pada Pasien Cedera Kepala ( Concussion ) Di
RSUP PROF . Dr . R . D . KANDOU.” Pharmacon 5(2): 197–204.
Diane C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah,Brunner and Suddarth. Jakarta :
EGC
Donna. 1999. Medical Surgical Nursing : Across the Health Care Continum.
(Edisi III). Jakarta
55
Masel, B., Conceptualizing Brain Injury as a Chronic Disease: A position paper
of the Brain Injury Association of America. 2009.
Muttaqin Arif 2008 Asuhan keperawatan klien dengan gangun sestem persarafan:
jakarta salemba medika.
Putri, Ayu Lintang. 2014. “Hubungan Trauma Kepala Ringan Sampai Sedang
Dengan Vertigo Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.” Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Price, L. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC.Jakarta.
56